NovelToon NovelToon

Rumah Terbengkalai (True Story)

Opening & Perkenalan

Pendahulua: Pertama-tama, Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua narasumber yang telah meluangkan waktunya demi memberikan kesaksian hingga melahirkan cerita sederhana ini.

Tidak ketinggalan ucapan terima kasih Penulis untuk semua pembaca yang telah memilih cerita ini untuk mengisi waktu luang dengan respons positif. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada: perkataan, nama, tempat, atau karakter yang sekiranya kurang berkenan di hati pembaca.

WARNING:

Ada beberapa nama dan tempat yang kami samarkan demi menjaga privasi. Mohon untuk tidak meng-copy-paste cerita ini tanpa sepengetahuan Penulis. Terima kasih.

True Story:

Judul: Rumah Terbengkalai

Genre: Horor/Misteri

Status: Tamat

Author: Eyzha

Date Writing: 08/2018

Notice dari Penulis:

Buat kalian yang suka dengan cerita ini, berikan dukungan dengan cara: vote, komentar. Atas perhatiannya, Penulis ucapkan terima kasih.

"Ini bukan hanya tentang makhluk halus, tapi ada misteri besar yang harus terungkap!"

Sinopsis:

Cerita ini diangkat berdasarkan kejadian nyata yang dialami oleh pemuda asal Bogor, Jawa Barat, terutama Deni.

Kejadian bermula ketika Ferdy membeli sebuah rumah tua peninggalan Belanda yang hendak ia ubah menjadi bangunan mewah berlantai empat. Namun, seiring pembangunan berjalan, kejadian aneh kerap dialami oleh Deni dan tiga temannya, Rifaldy, Aidan, dan Kevin, yang mendapat tugas serupa dari Ferdy untuk mengawal proses pembangunan rumah tua itu.

Interaksi dengan makhluk tak kasat mata mulai bermunculan seiring berjalannya pembangunan rumah tersebut. Suara-suara memilukan hingga penampakan sosok menyeramkan begitu kental dirasakan oleh siapa saja yang bermalam di bangunan besar itu.

Sudah tak terhitung berapa banyak pekerja yang mengundurkan diri disebabkan oleh hal mistis yang selalu menghantui mereka. Lalu, akankah Deni dan tiga temannya mampu bertahan dari situasi yang terus menerornya? Adakah kisah kelam yang tersembunyi di balik semua peristiwa misterius ini?

Ikuti terus kisahnya dalam Rumah Kutukan, dan pastikan Anda cukup pemberani untuk membacanya.

Perkenalan Tokoh:

Berikut perkenalan para tokoh dalam cerita yang diperankan langsung oleh orang-orang yang terlibat kuat dalam peristiwa Rumah Kutukan, dan mereka jugalah yang menjadi narasumber utama Penulis, terutama Deni.

Kita buka cerita ini dengan memperkenalkan temanku yang bernama Deni, tokoh utama dalam cerita ini yang paling sering mendapatkan gangguan dari makhluk astral penghuni rumah tua itu.

Deni lahir di Kota Bogor, anak kedua dari empat bersaudara. Pada usia 8 tahun, ia dan keluarganya berhijrah ke daerah Cilebut, Jawa Barat, dan menetap hingga saat ini. Setelah lulus dari bangku SMP, ia memutuskan melanjutkan pendidikannya di SMK Negeri yang berada di Kota Bandung.

Ke hidupan Deni berubah ketika sepupunya, Ferdy, memutuskan untuk memfasilitasi Deni, membiayai semua kebutuhannya, dan bahkan membangun rumah megah sebagai tempat tinggal Deni.

Seiring waktu, Deni mendapat kawan satu rumah dan satu sekolah yang bernama Rifaldy, adik kandung Ferdy. Usianya tidak jauh berbeda dengan Deni.

Rifaldy memiliki sifat manja dan tidak memiliki pendirian yang kuat. Meskipun hijrah ke Bandung, ia tetap malas dan menyelesaikan masalah dengan uang, tanpa berusaha keras.

Tokoh lain adalah Aidan, sepupu jauh Deni dan Rifaldy. Aidan dan Deni sudah akrab sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia memiliki sifat periang dan solidaritas tinggi, namun juga bisa jahil dan menyebalkan.

Terakhir adalah Kevin, yang diperkenalkan oleh Aidan kepada Deni dan Rifaldy. Kevin memiliki watak sedikit keras kepala, percaya diri, dan terkadang terlalu berbaur dengan lingkungan yang negatif. Meski begitu, ia sangat menjunjung nilai persahabatan walau dirinya dikenal sebagai sosok pemalu dan penakut.

Mungkin sudah cukup untuk perkenalan tokoh-nya, semoga bisa lebih melengkapi cari ini. Dan maaf jika tidak ada deskripsi singkatnya dari sosok Ferdy. Karena saat Deni meninggalkan rumah itu hingga detik ini, ia belum pernah berjumpa lagi dengan Ferdy.

Prolog:

Apa yang terlintas dalam benak Anda saat melihat rumah tua atau gedung besar dan megah yang dibiarkan begitu saja hingga usang dimakan waktu? Terbengkalai. Iya, hanya itu kata yang tepat untuk menggambarkan bangunan tua yang telah kosong dan tak terawat.

Tapi pernahkah Anda berpikir, apa faktor yang membuat bangunan-bangunan itu menjadi terbengkalai? Aneh rasanya jika bangunan yang direncanakan dengan baik tiba-tiba terhenti begitu saja tanpa alasan yang jelas

Andai kita berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti ada akar cerita di baliknya. Meskipun banyak orang menutupinya dengan alasan logis, tak sedikit pula yang mengaitkannya dengan peristiwa mistis yang disebabkan oleh hal-hal metafisik.

Keluhan yang muncul sangat beragam, terutama alasan-alasan yang logis, seperti kehabisan dana atau masalah terkait lahan yang sedang digarap. Ada juga yang mengatakan bahwa terhentinya pembangunan disebabkan oleh gangguan makhluk tak kasat mata, terutama jika bangunan itu berdiri di atas lahan bekas pemakaman keramat, atau karena lokasi tersebut menyimpan kisah kelam dari masa lalu—seperti pembantaian massal, bunuh diri, atau korban pada zaman kolonial Belanda.

Mungkin pernyataan di atas itulah yang paling cocok menggambarkan peristiwa aneh yang sering aku alami saat tinggal di rumah Loji. Hingga saat ini, rumah itu masih sama, tak ada perubahan sedikit pun, tetap menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap.

Ferdy adalah anak dari kakak ibuku. Saat ia berusia empat tahun, Ferdy sering ditinggal oleh keluarganya, sehingga ia dititipkan kepada ibuku untuk waktu yang cukup lama. Tak heran, Ferdy kecil lebih senang tinggal bersama keluargaku dan menganggapku sebagai adiknya. Ketika Ferdy berusia 19 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Serang, Banten, dan sukses dengan bisnis batu baranya.

Suatu ketika, Ferdy membeli rumah di Loji, Bogor, Jawa Barat. Bukan rumah megah dan mewah yang menarik perhatiannya, melainkan rumah tua dan kumuh yang menjadi daya tariknya. Namun, Ferdy punya alasan. Ia ingin memanfaatkan lahan luas rumah itu untuk membangun rumah megah berlantai lima, seperti rumah-rumah lainnya yang ia miliki di berbagai provinsi.

Namun, kali ini keberuntungan tidak berpihak padanya. Setelah separuh pembangunan berjalan, Ferdy mulai dihadapkan pada berbagai masalah yang datang bertubi-tubi.

Mulanya, istrinya sering dirasuki makhluk halus yang tak henti-hentinya mengganggu. Meski Ferdy telah berusaha berbagai cara untuk menyembuhkan sang istri, tidak ada satu pun yang berhasil. Ini membuat Ferdy mengalami tekanan batin yang sangat berat.

Belum lagi bisnisnya yang mengalami kemunduran ketika sebuah kapal pengangkut batu bara yang ia investasikan mengalami masalah di perairan Singapura, menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah. Di samping itu, denda angsuran yang terus membengkak dari pembangunan rumah memaksa Ferdy untuk berhutang dalam jumlah besar.

Malapetaka belum berhenti di situ. Nasib buruk menimpa adiknya, Rifaldy. Berbulan-bulan Rifaldy tersiksa oleh rasa gatal yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menyebabkan benjolan sebesar telur puyuh yang mengeluarkan nanah. Anehnya, penyakit itu memburuk pada hari-hari tertentu.

Keluarga akhirnya membawa Rifaldy ke rumah sakit ternama di Kota Bogor, namun hasil yang didapat justru mengejutkan. Dokter menyimpulkan bahwa tidak ada iritasi atau alergi pada kulit Rifaldy. Penyakit itu sangat sulit disembuhkan; semua antibiotik tampak tak berguna. Bukan hanya Ferdy dan Rifaldy yang mengalami hal buruk. Aidan, dan Kevin yang selalu berada di rumah tua itu pun mengalami hal yang serupa.

Dalam kasus lain, Aidan menderita sakit yang cukup serius, dengan pembengkakan pada lehernya yang mengeluarkan cairan nanah dari mulutnya. Selama berbulan-bulan, Aidan berjuang melawan penyakitnya hingga suatu hari ia dirawat di salah satu rumah sakit di Bogor. Namun, hal aneh kembali kami alami. Tidak jelas dari mana asal penyakit radang yang dideritanya. Bahkan dokter hanya berasumsi bahwa penyakit itu bermula dari sakit gigi yang meradang ke leher. Tapi anehnya, Aidan tidak memiliki riwayat sakit gigi. Ketika dokter memeriksa giginya, tidak ditemukan satu pun gigi yang rusak.

Di sisi lain, Kevin pun mengalami gejala aneh pada tubuhnya. Ia terus-menerus cegukan selama berminggu-minggu, membuatnya tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Saat itu, keluarganya membawanya ke Bekasi untuk menjalani pengobatan tertutup. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku tidak tahu.

Prolog

Apa yang terlintas dalam benak anda saat melihat rumah tua atau gedung yang besar dan megah namun dibiarkan begitu saja hingga usang termakan waktu. Terbengkalai. Iya hanya itu yang cocok untuk menggambarkan bangunan tua yang telah kosong tak terawat.

Tapi pernahkah anda berpikir, faktor apa yang membuat bangunan-bangunan itu menjadi terbengkalai? Aneh rasanya jika bangunan yang direncanakan sedemikian rupa, tiba-tiba terhenti begitu saja tanpa alasan yang jelas.

Andai saja kita ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti semua memiliki akar cerita masing-masing. Walau tak sedikit orang menutupinya dengan pernyataan yang logis. Tapi tak sedikit pula yang mengkaitkannya dengan peristiwa mistis yang disebabkan oleh hal yang berbau metafisik.

Keluhannya sangat beragam, terutama untuk alasan yang logis, dari kehabisan dana atau terjadi masalah pada lahan yang tengah digarapnya.

Dan ada juga yang mengatakan jika terhentinya pembangunan disebabkan oleh gangguan mahluk tak kasat mata yang timbul akibat bangunan berdiri di atas lahan yang dulunya bekas pemakaman keramat, ada juga yang menarik kesimpulan jika di lokasi itu memiliki kisah kelam yang pernah terjadi di masa lampau. Seperti pembantaian massal, bunuh diri, atau korban saat jaman kolonial Belanda.

Mungkin pernyataan di atas itu yang paling cocok untuk menggambarkan peristiwa aneh yang kerap aku alami saat mendiami rumah Loji. Hingga saat ini rumah itu tak ada perubahan sedikitpun, masih menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap.

***

Ferdy adalah seorang anak dari kakak Ibu-ku, saat ia masih berusia empat tahun, Ferdy seringkali ditinggal berpergian oleh keluarganya, hingga ia dititipkan kepada ibu-ku untuk waktu yang cukup lama. Tak heran Ferdy kecil lebih senang tinggal bersama keluargaku dan menganggap aku sebagai adiknya. Hingga suatu ketika saat Ferdy berusia 19 tahun, ia memutuskan untuk merantau di kota Serang Banten dan sukses dengan bisnis batu baranya.

Hingga suatu ketika ia membeli rumah yang berlokasi di Loji, tepatnya di Bogor Jawa Barat. Bukan rumah yang megah dan mewah yang menarik perhatiannya, namun justru rumah tua dan kumuh yang menjadi daya tariknya.

Namun bukanlah tanpa alasan Ferdy membeli rumah tua tersebut. Ia bermaksud untuk mengambil lahan luasnya saja, guna dibangun rumah megah berlantai lima seperti rumah lainnya, yang ia miliki di berbagai provinsi

Namun kali ini keberuntungan tidak memihak kepadanya, selang bangunan yang ia rencanakan setengahnya berjalan. Ia kerap didatangi oleh berbagai macam masalah yang begitu bertubi-tubi.

Di mulai dari sang Istri yang kerap dirasuki makhluk halus yang tiada hentinya. Walau segala upaya telah Ferdy tempuh untuk menyembuhkan sang Istri, namun tak ada satupun usahanya yang membawakan hasil, tentu itu membuat Ferdy mengalami guncangan batin yang begitu hebat.

Belum lagi bisnisnya yang mengalami kemunduran, ketika sebuah kapal pengangkut batu bara yang ia investasikan mengalami maslah di perairan Singapura membuatnya merugi ratusan juta. Dan lagi denda angsuran yang terus membengkak, yang dihasilkan dari biaya pembangunan rumah, hingga memaksa Ferdy untuk terbelit hutang dengan jumlah yang besar.

Belum cukup sampai di situ. Nasib buruk pun kini menimpa adiknya. Berbulan-bulan Rifaldy tersiksa oleh rasa gatal yang terus menggerogoti sekujur tubuhnya hingga menimbulkan benjolan sebesar telur puyuh yang mengeluarkan nanah kental, dan anehnya, penyakit itu bertambah parah di saat hari tertentu.

Hingga suatu saat keluarganya membawa Rifaldy pada rumah sakit ternama di Kota Bogor, dan kami terheran-heran ketika dokter menyimpulkan tidak di temukan kulit yang mengalami iritasi atau alergi yang menyerang tubuh Rifaldy. Sungguh penyakit itu sangat sulit untuk disembuhkan, semua obat antibiotik seakan tak ada khasiatnya, bukan hanya Ferdy dan Rifaldy yang merasakan hal buruk.

Aku, Aidan dan Kevin yang selalu berada di rumah tua itu pun mengalami hal yang serupa.

Pada kasus lain Aidan mengalami sakit yang cukup serius, dengan pembengkakan pada lehernya yang mengeluarkan cairan nanah yang keluar dari dalam mulutnya, selama berbulan-bulan Aidan berjuang melawan penyakitnya itu hingga pada suatu hari ia dirawat di salah satu rumah sakit di Bogor. Namun hal aneh pun kembali kami dapati, tak jelas bermula dari apa penyakit radang yang dideritanya, bahkan dokter hanya mengasumsikan, jika penyakit itu bermula dari sakit gigi yang meradang ke bagaian leher, tapi sayangnya, tidak ada riwayat sakit gigi yang dialami Aidan, itu terungkap ketika dokter memeriksa gigi-nya, namun tak ditemukan satu gigi pun yang rusak.

Di sisi lain Kevin pun merasakan gejala aneh pada tubuhnya, ia mengalami cegukan yang tak berujung selama berminggu-minggu, membuatnya tak lagi bisa mengucap sepatah katapun. Saat itu Kevin dibawah keluarganya ke Bekasi untuk menjalani pengobatan tertutup, entah apa yang terjadi selanjutnya aku tidak tahu.

Terakhir kejadian itu menimpaku dengan diawali penyakit lambung yang aku derita dalam waktu yang sangat lama, sakit yang aku rasakan awalnya seperti gejala Maag biasa, namun lama kelamaan timbul tiga benjolan yang melintang dari pinggang hingga ulu hati, aku tahu sekali gejala Maag pada umumnya, tapi kali ini jelas sangat berbeda, tidak ada gejala perih atau mual sedikitpun, yang hanya aku rasakan hanyalah ngilu yang begitu hebat jika benjolan itu bergeser ke sisi lain di perutku. Sempat aku berpikir jika aku terkena penyakit kangker lambung yang sempat mematahkan semangat hidupku.

***

Rumah terbengkalai 2017 Nampak depan

Tampak dari sisi kanan belakang.

Hingga saat ini warga sekitar tidak ada yang mau menginjakan kaki ke dalam bangunan itu.

Saat Idul Fitri kemarin aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah Rifaldy yang berada di Kota Bogor dan mengajaknya untuk mengunjungi rumah yang berada di Loji.

"Sudah berpindah pemilik, bukan punya bang Ferdy lagi," ujar Rifaldy, menyeringai tersenyum.

Aku penasaran dengan pendapat warga sekitar dengan rumah tua itu, apakah pernah mendengar hal aneh yang terjadi di rumah itu, "Ah, itu sih bangunan Tua, sarang setan, Mas. Yang dari mana-mana masuk ke rumah itu," ujar Hamdi, pemilik toko, "Berapa kali dikasih lampu, tapi nggak lama udah mati lagi, jadi dibiarkan saja gelap seperti itu."

Saat tiba Aku hanya di depan rumah dan memotret bagian depan dan belakang yang terlihat dari jalan. Setelah itu kami bergegas pergi, tak ingin berlama-lama menatap bangunan yang berdiri angkuh tak berpenghuni itu, masih jelas tersirat semua kejadian aneh yang kerap kami alami di dalam rumah ini.

Aku orang pertama yang menyadari jika ada hal ganjil yang menghantui rumah tua itu, entah mengapa aku selalu merasa diawasi oleh sesuatu yang tak berwujud, perasaan itu timbul setiap kali aku berada di sekitaran rumah Loji.

"Itu pertama kalinya aku merasakan hal yang berada di luar nalar manusia, memang awalnya aku tidak mempercayainya, namun setalah aku kaitkan, semua hal ganjil yang aku alami baru nampak berhubungan," kata Deni (narasumber) yang membalas BBM 'ku.

Kisah seram apa yang ia dapatkan ? pengalaman apa yang ia tahu tentang makhluk tak kesat mata?

Ada kejadian yang sampai saat ini aku tidak bisa lupakan, itu di saat aku hendak pergi ke kamar mandi, aku melihat sebuah gumpalan hitam yang menyerupai rambut, nampak dari sudut atas pintu kamar mandi, seakan gumpalan meronta-ronta ke arahku dengan penuh amarah! Semakin lama aku pandangi, gumpalan hitam itu semakin berbentuk, hingga terlihatlah, seraut wajah pucat pasi, dengan mata menghitam lebam.

True Story - Rumah Tua Part 1

Tahun 2001 tepatnya pada bulan Juni. Aku tengah berada di Bandung, tinggal bersama sepupuku yang bernama Rifaldy. Selain kami tinggal bersama, kami juga satu perguruan di salah satu SMK Negeri yang berada di Kota Bandung, namun aku lebih dulu menyelesaikan pendidikan.

Rifaldy memiliki seorang Kakak pria berusia 32 Tahun yang bernama Ferdy.

Sejak kecil Ferdy tinggal bersama keluargaku, dan dibesarkan oleh ibuku hingga beranjak dewasa. Entah karena hal apa itu bisa terjadi, tapi menurut ibuku, keluarganya yang tak ingin jika Ferdy terjangkit penyakit yang serupa, sama seperti Kakak pertamanya yang selalu sakit-sakitan. (Almarhum.)

Hingga beranjak usia 17 tahun, Ferdy merantau bersama temannya untuk menjalankan bisnis batu bara—kini telah merubah nasibnya secara drastis—Saat itu masa-masa di mana Ferdy tengah berada dipuncak kejayaannya, bahkan rumah yang aku tinggali bersama Rifaldy ini pun terbilang begitu megah bak Istana yang kerap terlihat pada serial TV.

Di rumah ini, kami difasilitasi cukup mewah dan sedikit berlebihan bagiku. Di garasi bawah, siaga selalu, empat buah sepeda motor keluaran terbaru, dan tiga unit mobil Honda Jezz berwarna biru dan putih yang siap kami gunakan untuk keperluan sehari-hari.

Hingga suatu ketika Ferdy berambisi untuk membangun rumah sebanyak mungkin, terutama pada daerah yang menurutnya cocok. Apa lagi saat ia mendengar--jika ada tanah yang dijual berukuran luas dengan harga murah, pasti pantang pulang sebelum membelinya.

"Bikin rumah yang banyak, kalau susah bisa dijual atau disewakan." Kurang lebih itulah yang ia ucapkan dengan tawa menangnya.

Hingga kini ia sedang membangun 6 Rumah sekaligus yang berlokasi di Bandung, Sabi Banten, Pandeglang Banten, dan Satu di Bogor.

*****

Tapi akhir-akhir ini cuaca di Bandung terasa sangat menyengat, meliputi seluruh bagian penjuru kota yang tengah mengalami musim kemarau, padahal biasanya kota ini terasa sangat sejuk dan dingin.

Merasa cuaca yang kurang bersahabat, aku dan Rifaldy lebih memilih menghabiskan waktu luang untuk bermalas-malasan di dalam rumah, seperti yang sedang kami lakukan saat ini, aku tengah berada di lantai tiga yang hampir menyerupai BAR Mini.

Cetar!! Brukkkk-Brukkk-brukk! ...

Bola Billiard yang saling beradu terdengar memecah kesunyian dalam ruangan. Dengan tubuh membungkuk, tatap tajam pada ujung Stick, Rifaldy mendorong kuat bola putihnya. saat ini kami telah hanyut dalam permainan.

"Gimana hubungan lu sama Nurul, Den?"

"Hubungan apa? Akrab juga nggak."

"Dia sering tanya tentang, lu. Dan dia berharap lebih sama, lu."

"Berapa kali gue harus bilang—gue belum tertarik dengan dunia percintaan—berhentilah jadi Mak Comblang!"

"Sekali-kali nggak apa, kan."

"Sekali? Ini udah kesekian kalinya, Rif!"

"Abisnya ... Lu tuh kenapa susah banget sih, buat nerima cewek?"

"Gue nggak suka Drama!"

Kring! ... kring! ...

"Oy, Telp. Tuh ...."

Aku berdecak malas, membuang nafas. Menghampiri ponsel yang tak henti berteriak, pada sebuah Sofa Bludru berwarna biru, tidak jauh dari meja Billiard.

Aku mengeritkan gigi, saat kulihat nomor tidak dikanal. "Cih, siapa sih." gusarku, menekan tombol dengan gemas. "Hallo!" Sedikit bernada keras.

"Galak amat, Den. Ini Babang ... " ('Bang' panggilan dari 'Babang' yang artinya sama seperti 'Kakak'.)

Aku terperanjat, hampir saja aku tersedak oleh ludahku sendiri. Ternyata panggilan itu dari Bang Ferdy.

"I-iya, Bang. Deni kira siapa ...."

"Den, Babang lagi di jalan, mungkin jam empat Babang sampai di sana, kalian segera siap-siap kita pulang hari ini," lanjut Bang Ferdy, terdengar hening di sekitarnya, mungkin ia sedang berada di dalam mobil.

"Pulang Bang?" Aku membeo, melongo mendengar ucapannya. "Tumben dadakan banget."

"Babang mau beli rumah di daerah Loji, Den."

"Loji, Bang?" aku mengerutkan kedua alis, hanya merasa tidak asing dengan nama itu.

"Kalian segera bersiap-siap," tegas Bang Ferdy. "Babang sebentar lagi sampai," lanjutnya, menutup percakapan kami.

Aku menoleh ke arah Rifaldy yang masih bermain Billiard.

"Rif, kayaknya emang bukan jodoh lu sama Anis," celotehku, dengan senyum meledek.

Rifaldy berkata dengan cepat, "Maksud lu?"

"Kita disuruh balik," seruku, membuat Rifaldy menoleh cepat. "Babang mau beli rumah lagi," tambahku, lalu bersandar pada sisi meja Billiard, masih dengan ponsel yang kugenggam.

"Gue, udah janji mau ke rumahnya," gusar Rifaldy, mengetuk keras Stick Billiard ke lantai. "Lagi-an! tuh Orang gak pernah puas beli rumah terus!"

Begitulah Rifaldy, terkadang ia lupa akan semua yang telah diberikan Bang Ferdy padanya, cenderung besar kepala dan merasa memiliki segalanya. Karena sifat pemalas dan angkuh itulah yang membuat pendidikannya selalu tercekat.

"Seharunya lu bersyukur, mungkin bisnisnya lagi bagus," sahutku, dengan menggeleng kepala samar.

Melihat waktu sudah hampir pukul empat sore, aku beranjak meninggalkan ruang menyenangkan ini, untuk bergegas mempersiapkan diri.

"Mau kemana Den?" sapa Rifaldy, melihatku berjalan hendak keluar ruangan.

"Baiknya lu siap-siap Rif, Babang bentar lagi tiba," singkatku, membuka pintu kaca, dan berlalu.

Kami harus cepat, karena Bang Ferdy bukan tipikal orang penyabar, tidak bisa mengimbangi waktu saat bersamanya, maka akan membuat situasi grasak-grusuk, membuat kacau suasana.

Sungguh jauh berbeda jika dibandingkan dengan Rifaldy, yang lebih senang membuang-buang waktu, tak pernah serius dalam menyikapi masalah, mungkin karena hidupnya yang terlalu di manjakan oleh materi.

Selang berapa menit, setelah aku selesai bersiap, samar terdengar kelakson mobil dari arah depan rumah.

Bip-bip! ...

Aku mengintip dari celah jendela yang ada di kamarku, dan kulihat sebuah mobil sedang memasuki lahan parkir dengan perlahan.

Menyadari Ferdy telah tiba, aku segera menyambar Tas Selempang yang tergeletak di atas kasur lalu bergegas keluar kamar, namun aku sempatkan untuk berhenti di depan kamar Rifaldy yang masih tertutup rapat.

"Rif, Babang udah di bawah," pekik-ku, setelah mengetuk pintu kamarnya, namun tak ada jawaban darinya.

Dengan tas selempang yang melintang pada *Sweater *merah bludru, celana levis hitam yang sedikit mengerucut  di pergelangan kaki, dan sepatu putih bergaris hitam yang selalu aku gunakan berpergian. Kini aku siap untuk pulang.

Wwuuss...!

Seketika pintu terbuka terasa udara panas bercampur debu menabrak kuat wajahku, memang sudah berapa hari ini, di Bandung tidak diguyur hujan, tak heran rumah yang berada tidak jauh dari jalan raya akan mendapatkan hadiah berupa debu pada musim kemarau.

Nampak Bang Ferdy sedang berdiri di sisi pintu mobilnya, sepertinya ia hendak menyusul kami ke dalam.

"Den, si Rifaldy mana?" sapa Bang Ferdy, dari kejauhan.

Ia nampak seperti orang kantoran hari ini, dengan mengenakan kemeja biru polos yang menutupi tubuh gemuknya, disambung celana panjang hitam, selaras dengan sepatunya coklat yang berujung kotak mengkilap. Ia hanya berdiri di samping pintu mobil menatap ke arahku yang tengah berjalan menghampirinya.

"Lagi siap-siap Bang, bentar lagi beres. Mungkin," jawabku, yang baru tiba di belakang mobil.

"Masuk Den," singkatnya, lalu masuk kembali ke dalam mobil.

"Bang, Loji di daerah mananya?" tanyaku, setelah menutup pintu mobil, dan duduk pada kursi depan, "Bukannya Loji nggak ada perumahan, ya."

Karena yang aku tahu, di daerah itu masih jarang rumah, bahkan terbilang masih banyak pohon rimbun dan lahan kosong yang tak jelas siapa pengurusnya—lebih cocok disebut hutan.

Sekilas Ferdy mengangkat dagu dan menoleh ke arahku dengan mata yang masih tertuju pada layar Handphone-nya.

"Loji Den, ada satu rumah pokoknya," aku mengerutkan alis mendengar perkataannya, "Lahannya luas, cocok kalau dijadikan Villa," lanjutnya, tak mewakili pertanyaan-ku.

Seperti inilah jika berbicara dengan Bang Ferdy, tak pernah mendetail. namun kita dipaksa untuk mengerti, itu semua disebabkan oleh lima ponsel miliknya, yang tak hentinya berteriak.

Hingga perhatianku tertarik oleh suara pintu mobil yang terbuka, diiringi Rifaldy yang merangsak masuk, lalu duduk di kursi belakang.

"Sorry, lama. Nyari jam tangan lupa naruhnya," ujarnya, sambil nyengir kuda.

Lirik sinis mengarah padanya, sebelum bang Ferdy berkata, "Susah amat diajak buru-burunya!" ia lantas menaruh ponsel miliknya di Dasboard dan menyalakan mesin mobil.

Menghindari Death Time saat di berjalanan, aku memasang Earphone di kedua telingaku, dan menyandarkan kapala pada kuris untuk mencari posisi senyaman mungkin, karena aku tahu perjalanan ini akan menyita banyak waktu. Belum lagi jika jalan macet total tentu akan terasa lebih menyiksa.

***

Kurang lebih pukul 19.00, kami baru keluar dari pintu Tol Ciawi, hampir dua jam kami di perjalanan, membuat pinggangku terasa remuk. Kulihat Rifaldy sedang sibuk dengan ponselnya, dan Ferdy masih fokus dalam mengemudi, walau sesekali dia bergumam akibat situasi jalan yang begitu padat.

"Den, ajak teman yang lain, biar lebih seru ... itung-itung untuk menemani kalian di rumah yang baru nanti," ucap bang Ferdy melirik sesaat ke arahku.

"Siap ... Bang," seruku, lalu menoleh ke arah belakang dan menaik turunkan alis.

Menyadari hal itu, raut wajah Rifaldy berubah mesem, dan lalu berkata, "Apa?"

"Telp yang lain, lupa isi pulsa, Euy." Rifaldy menurunkan bibirnya dan mengangguk samar.

Tak terasa sudah hampir dua jam berlalu, setelah kami berhasil keluar dari kemacetan yang lumayan parah, dan kini kurasakan kendaraan kami seakan berguncang ketika melintasi jalan yang masih berupa tanah bergelombang. Jarak pandang sangat terbatas, karena tiadanya lampu yang menerangi bahu jalan, cahaya satu-satunya hanya bersumber dari lampu mobil yang kami kendarai.

Mataku tak henti berkeliling melihat keadaan sektiar jalan. Entah perasaan takut atau karena masih asing dengan tempat ini, namun aku merasa tak nyaman melihat pemandangan sekitar yang terkesan menyeramkan.

Nampak berjajar, pepohonan berdahan besar serta daun lebatnya terlihat begitu mencekam. Belum lagi,

rumput dan ilalang liar yang menghimpit bibir jalan, hanya beberapa rumah saja yang terlihat, itu pun berada tidak jauh dari persimpangan jalan raya.

Semakin dalam, semakin terasa sepi dan hening, hingga akhirnya mobil pun menepi, aku menoleh ke arah kanan, tampaklah satu rumah yang terlihat sangat usang, bahkan genting pada bagian depannya sudah tidak tersusun rapih lagi, seperti akan terjatuh. Pagar besi hitam yang melintang membatasi perkarangan rumah yang dipenuhi tanaman liar tak terurus.

Namun di sisi kanan terlihat rumah lainnya, yang ber-cat putih berpagar besi dan tembok yang mengitari setiap sudutnya. Rumah itu sangatlah gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Ditambah tiga pohon besar yang berdiri diantara rimbunnya semak-semak yang memenuhi pekarangannya. Entah rumah itu berpenghuni atau tidak.

Hentakan pada pintu mobil yang tertutup, meliputi Ferdy yang telah berada di luar mobil, aku pun segara melepas sabuk pengaman yang melintang di dadaku untuk menyusulnya.

Wusssss! ...

Seketika terasa hembusan angin malam yang menerpa wajah, Kupingku terasa berdengung mewakili suasana yang sunyi, hanya ada suara ranting pohon yang saling bergesekan terhempas oleh kencangnya angin malam.

Aku melirik arloji, baru jam 8 malam, namun di sini sudah sangat sunyi, tak nampak sebatang hidung pun manusia yang berlalu-lalang di sepanjang jalan.

Rifaldy yang menyusul kami berdiri tepat di sisi kananku,

"Tempatnya kaya gini? gak salah pilih rumah?" cetus Rifaldy, dengan mata menerawang sekitar.

"Liat lahannya dong, mantap," jawab Ferdy, dengan penuh percaya diri.

Tak ingin membuang waktu lama, kami mulai berjalan mendekati pintu pagar yang berkarat, lapuk termakan usia.

Drakk-drakk-drakk ...

Ferdy mengetuk kuat pagar itu—menggunakan kunci mobilnya, melihat jarak dari pintu rumah ke tempat kami berdiri lumayan cukup jauh.

Lama kami menunggu di sini, hingga akhirnya terdengar suara hentakan kunci, diiringin suara pintu berdecit perlahan terbuka. Pintu itu terlihat tua dan bergaya khas Blanda yang terbagi menjadi dua sisi.

Samar terlihat seorang yang berjalan menghampiri kami dengan tertatih-tatih. Derap langkahnya sungguh lambat, terlihat dari cara ia menyeret alas kakinya dengan bantuan sebilah tongkat. Tubuhnya bungkuk, rambut putih sepenuhnya, lekuk Senyumnya hampir pudar oleh kerutan layu pada wajahnya. Nenek itu, mengenakan Kebaya khas Jawa berwarna coklat, bermotif bunga. Mungkin usianya lebih dari 78 tahun.

Raut wajah menyeringai, saat ia tiba di balik pagar dan melirik kami satu per satu, "M-maaf Jang, nunggu lama," ucapnya, dengan nada lirih bergelombang, "Maklum Jang, nenek  sudah tidak bisa gesit lagi," lanjutnya, lalu tertawa terkekeh, ia mencoba membuka ikatan tambang yang membelit pada pagar.

Khawatir tidak akan kuat sang Nenek menahan pagar besi yang sudah doyong ini, dengan sigap aku menahannya, "Sudah, biar aku saja Nek."

sang Nenek mengangguk sungkan, dan tersenyum ke arahku, "Nuhun Jang," ucap sang Nenek. jika diartikan: (Terima kasih Nak.)

Segera aku menggeser pagar dengan hati-hati, karana memang kondisinya yang sudah sangat rapuh dan berkarat.

"Nek, apa Andre sudah datang?" tanya Ferdy yang mulai menyelip di antara celah pagar yang sudah sedikit terbuka.

"Dari pagi Nenek belum liat dia, Jang," sahutnya, mempersilahkan kami masuk. "Kemarin malam dia bilang kalau ada yang mau datang."

Aku dan Rifaldy berjalan sejajar, di belakang Ferdy dan Nenek itu. Tapi kulihat wajah Rifaldy nampak gelisah, ia tak hentinya melirik sekitar lokasi. Entah apa yang ia rasakan, tapi dari sikapnya itu, justru membuat aku semakin tidak nyaman.

Penasaran akan tingkah aneh Rifaldy, aku menjulurkan kepala—mendekat pada daun telinganya, "Sssttt, Rif," bisik-ku, membuat Rifaldy menoleh terkejut ke arahku, "Kenapa?"

"Bikin kaget aja, lu ... " sergah Rifaldy dan mengibaskan satu lengannya, "N-nggak ... " kilah Rifaldy, meski aku tahu itu bukanlah jawaban yang tepat.

*****************

Bersambung ...

*****************

-Vote, Like, Save To Favorit jika kalian suka dengan cerita ini.

-Mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan. 🙏

-Terima kasih telah membaca, semoga terhibur. dan jangan lupa untuk Vote dan Komentar jika kalian suk cerita ini jika kalian suka.

-Update aku usahakan secepatnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!