"Sayang, kau harus percaya bahwa aku akan tetap mencintaimu. Aku tak peduli orang tuaku tidak menginginkanmu lagi karena keluargamu yang telah bangkrut. Bagiku, kau adalah napasku, kebahagiaanku, semua yang kuinginkan untuk tetap hidup di dunia ini."
Air mata Lerina jatuh saat mendengar perkataan Calvin. Pria tampan di depannya, yang sudah dicintainya hampir 4 tahun ini, datang menemuinya di tempat kost sederhana ini.
Lerina memang bukan anak orang kaya lagi. Setahun yang lalu, perusahaan ayahnya tiba-tiba saja berpindah tangan pada rekan bisnisnya dari luar negeri, ayahnya begitu sok dan mendapat serangan jantung sehingga meninggal 2 hari setelah itu. Sedangkan ibunya, yang begitu terpukul karena kepergian ayahnya yang tiba-tiba terus dirundung dalam kesedihan yang dalam sampai akhirnya 2 bulan setelah kepergian ayahnya, ibunya menyusul pergi.
Lerina begitu sedih. Ketika rumah yang selama bertahun-tahun menjadi tempat tinggalnya disita dengan seluruh aset yang dimiliki oleh keluarganya. Mama Calvin pun tiba-tiba datang dan meminta supaya ikatan pertunanganan mereka harus diputuskan.
Tetapi Calvin, dengan gagahnya tetap berdiri disamping Lerina. Ia bahkan menentang kedua orang tuanya. Dan itu yang membuat Lerina bersyukur dibalik semua kepedihan hidup yang dideritanya, Tuhan masih memberikan seorang pria terbaik untuk melindunginya, mencintainya dan yang menjanjikan harapan untuk masa depannya.
"Terima kasih Calvin. Terima kasih karena terus mencintaiku. Terima kasih karena mau bersamaku disaat aku sedang terpuruk seperti ini"
Calvin menghapus air matanya. Lalu memberikan kecupan manis dipipi mulusnya. Dengan lembut, ia menarik tubuh Lerina untuk ada dalam pelukannya. Memberikan seluruh kehangatan cintanya untuk menenangkan gadis yang sedang sedih ini.
"Besok, aku akan pergi ke Korea. Ada pekerjaan penting di sana. Mungkin aku agak lama. Aku harap, kau mau menungguku."
Lerina mengangguk dalam pelukan Calvin. "Aku akan menunggumu dengan seluruh cintaku"
"Jangan percaya apapun yang kau dengar tentang aku kecuali aku sendiri yang mengatakan padamu. Mengerti?"
Lerina kembali mengangguk. Ia sudah memiliki cinta Calvin yang tulus untuknya. Dia tidak mungkin berpaling dari laki-laki baik yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Lerina menghapus air matanya. Perjumpaan terakhir mereka dua bulan yang lalu masih segar dalam ingatannya. Dan kini, matanya sendiri menatap pasangan pengantin yang berbahagia itu. Tertawa tanpa menyadari ada hati yang sedang berdarah karena luka yang yang tergores teramat dalam dan besar.
Benarkah pengantin pria itu Calvin Leolinsky tunangannya? Lerina berusaha menajamkan pandangannya. Namun laki-laki itu memang Calvin yang dia kenal. Di sampingnya berdiri Antonio Leolinsky dan Arista Leolinsky. kedua orang tua Calvin. Tak jauh dari situ ada Lisa adik Calvin dan beberapa orang yang Lerina kenal sebagai om dan tante Calvin. Pandangannya tidak mungkin salah. Pria itu adalah pujaan hatinya.
Menjalin hubungan dengan Calvin selama hampir 4 tahun membuat Lerina banyak mengenal saudara-saudara Calvin.
"Lerina, ayo kita pergi!" ajak Putri, saudara sepupunya yang mengajak dia terbang dari Jakarta ke Seoul untuk menyaksikan pernikahan Calvin.
"Aku tidak akan pergi. Aku akan menyaksikan pernikahan ini sampai selesai." kata Lerina sambil menepis tangan Putri yang menariknya. Keduanya berdiri di pintu samping gedung mewah tempat pernikahan ini digelar.
"Aku capek berdiri terus di sini. Aku tunggu kamu di depan." Putri langsung beranjak pergi.
Apakah benar Calvin meninggalkannya? 2 hari yang lalu ia masih menerima pesan Calvin yang bertuliskan " Hai..manis, aku merindukanmu. Rasanya tak sabar menunggu hari berganti untuk bisa berada dalam pelukanmu lagi"
Lerina menyeka air matanya yang jatuh lagi. Kau kejam Calvin. Betapa bodohnya aku yang mempercayai kata-katamu.
Seorang pria tampan naik ke atas panggung, duduk didepan sebuah piano putih. Semua yang ada di sana langsung bertepuk tangan saat dentingan piano berbunyi. Calvin dan istri cantiknya itu segera berdansa. Gerakan mereka begitu serasi dengan suara piano yang mengalun indah.
Lerina ingat, dulu Calvin tak tahu berdansa. Lerinalah yang mengajarinya. Dansa pertama mereka adalah saat mereka bertunangan 2 tahun yang lalu. Calvin pernah bilang saat mereka menikah nanti gerakan dansanya akan semakin bagus. Dan memang saat ini Calvin terlihat begitu hebat berdansa. Tapi bukan Lerina yang ada dalam pelukannya. Melainkan perempuan lain.
Air mata Lerina kembali mengalir. Suara piano itu sungguh menyejukan hati. Pastilah itu merupakan lagu cinta. Tapi saat ini dentingan suara piano itu bagaikan seribu pisau yang membela seluruh tubuh Lerina. Kakinya mulai gemetar sehingga ia tak kuat berdiri. Ia jatuh tersungkur di atas lantai.
Sang pemain piano, pria berwajah korea namun memiliki warna mata biru dan rambut coklat itu sekilas menatap seorang gadis yang berdiri tak jauh dari pintu samping gedung pernikahan ini. Ia melihat beberapa kali gadis itu menghapus air matanya. Pandangan mata yang terluka itu nampak jelas saat ia menatap pasangan pengantin yang berbahagia itu. Dia sebenarnya tidak begitu suka terlibat dengan orang lain. Namun entah mengapa, pandangan mata gadis itu sangat mengusik perhatiannya.
Dentingan piano itu berhenti, pria Korea bermata biru itu berdiri, lalu membungkuk hormat pada ratusan orang yang bertepuk tangan atas permainan hebatnya itu.
Pasangan pengantin itupun mengangkat jempolnya, menunjukan bahwa mereka begitu bahagia, dansa pernikahan mereka diiringi oleh Edward Kim, sang pemain piano yang sangat fenomenal itu.
Edward Kim turun dari atas panggung, melangkah mendekati pasangan pengantin itu memberikan pelukan hangat sambil mengucapkan selamat berbahagia, setelah itu ia langsung keluar dari pintu samping dan mencari gadis itu.
Kemana dia? Edward mengitari seluruh bagian ruangan itu. Sampai ia melihat gadis itu sedang berdiri diujung bangunan sambil menatap jauh ke depan. Acara pernikahan ini memang dibuat dilantai atas hotel bertingkat 7 ini.
Apakah gadis itu akan bunuh diri? Edward mendekat perlahan. Cukup sudah negara ini menjadi salah satu negara dengan angka bunuh diri terbanyak di dunia.
Edward memang terlalu cuek dengan urusan orang lain, namun pemandangan ini tak bisa dibiarkan saja. Apalagi saat ia mengingat wajah Anastasya. Jantung Edward langsung berdetak cepat, tragedi 3 tahun lalu sepintas membuka memorinya.
"Nona, apakah anda baik-baik saja?"
Lerina menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan tanpa ekspresi. Kakinya sudah terlalu dekat dengan batas akhir gedung itu. satu langkah saja ia maju, tubuhnya sudah dipastikan jatuh menimpah sederet mobil mewah yang terparkir di bawah. Ia pasti tidak akan selamat.
Apakah dia tidak bahasa Korea. Wajahnya memang bukan seperti orang Korea, batin Edward.
"Miss....please....let me take your hand" Edward mengulurkan tangannya dan berjalan sangat hati-hati mendekati gadis itu. Ia tidak ingin mengejutkannya.
Lerina menarik napas panjang. Bayangan wajah ayah dan ibunya terasa begitu dekat. Ia seperti melihat wajah ibunya yang berkata, "Jangan sayang...jangan berbuat konyol."
Namun Lerina rindu dengan mereka. Saat hatinya hancur karena perbuatan Calvin, ia ingin berada dalam pelukan kedua orang tuanya. Lerina rindu menangis dalam dekapan lembut ibunya.
Kesadaran Lerina mulai hilang. Tubuhnya gemetar dan sebelum ia jatuh, sebuah tangan kekar telah menariknya dan membuatnya jatuh dalam pelukan pria itu.
"Akan kita apakan gadis ini, tuan?" tanya Keyri, maneger sekaligus asistent pribadinya yang memang selalu mengikuti kemana tuannya pergi.
"Kita bawa ke apartementku saja. Dimana letak lift khususnya?" Tanya Edward sambil terus memeluk tubuh Lerina. Ia sama sekali tak merasa kesulitan karena tubuh gadis ini ringan menurutnya.
Keyri segera menunjukan sebuah pintu lift yang letaknya paling sudut.
"Ayo kita pergi...!" Edward Kim menggendong gadis itu dengan kedua tangannya. Mereka meninggalkan suasana pesta yang semakin semarak dengan hadirnya seorang penyanyi terkenal.
# Happy reading ya...
Suara denting Piano terdengar. Lerina Avigail, gadis berusia 22 tahun, yang memiliki rambut hitam lurus dengan kulit berwarna kuning langsat itu, perlahan membuka matanya. Matanya langsung bertemu dengan sebuah kamar bernuansa putih.
Di mana aku? Bukankah kemarin aku berada di acara pesta pernikahan Calvin? Aku rasanya ingin bunuh diri dan.....astaga, apakah ini di sorga? Pantaskah orang yang mati bunuh diri masuk sorga? Lerina bertanya dalam hati.
Lerina duduk. Ia menatap dirinya ke cermin besar yang ada di depan tempat tidur. Pakaiannya bahkan sudah diganti dengan sebuah gaun tidur berwarna putih.
Suara dentingan piano itu masih terdengar indah. Membuat seluruh kesadaran Lerina kembali secara perlahan akan peristiwa sedih yang dialaminya kemarin.
"Lerina, besok ikut aku ke Seoul. Calvin akan menikah" ujar Putri yang datang menemuinya di perusahaan tempat Lerina bekerja. Sebuah perusahaan kecil milik sahabat almarhum ayahnya yang bernama Berty Mahendra. Sudah 2 bulan Lerina bekerja di sana.
Waktu itu Lerina hanya tertawa. Calvin menikah? Tidak mungkin. Ia menunjukan sms Calvin pada Putri.
"Ini undangannya" Putri menujukan hp nya, ada gambar sebuah undangan pernikahan dan memang ada nama Calvin di sana dengan seorang perempuan bernama Kim Jien.
"Kamu pasti salah. Nama ini bisa saja sama tapi orangnya berbeda." Lerina masih belum percaya.
"Ini foto prewed mereka." Putri kembali menggeser layar hp nya dan menunjukan beberapa foto di sana.
Lerina memandang foto itu dengan seksama. Deg! Jantunnya seakan berhenti berdetak. Foto ini memang foto Calvin. Tapi, mana mungkin? Calvin mencintainya. Calvin tidak mungkin akan menghianatinya.
"Baiklah. Aku akan ikut denganmu" kata Lerina akhirnya. Ia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Calvin memang akan menikah.
Hati Lerina kembali tertusuk dan rasanya sangat perih. Calvin, kau sungguh pintar memainkan kata-kata, membuat aku termakan rayuanmu, membangun harapanku setinggi langit untuk bisa bahagia denganmu tapi pada kenyataannya, aku harus terhempas jatuh dengan rasa sakit yang amat sangat. Aku membencimu, Calvin. Aku tidak akan pernah memaafkanmu, jerith hati Lerina. Air matanya kembali jatuh.
Dulu, saat ia melihat teman-temannya patah hati, putus cinta, ia selalu merasa bersyukur, cinta pertamanya adalah laki-laki sempurna yang tak pernah menyakiti dia. Yang selalu ada saat ia membutuhkannya. Tapi kini, dirinya menempatkan Calvin diantara pria-pria jahat yang suka mempermainkan hati wanita.
Tangis Lerina semakin dalam, suara dentingan piano itu seolah lagu yang sedang mengiringi jatuhnya kepingan-kepingan hatinya yang tak berbentuk lagi karena penghiatan Calvin padanya.
Tuhan akan menghukummu, Calvin. Semoga kau akan merasakan sakit seperti yang kurasakan.
"Aku membencimu......aku membencimu....aku sungguh membencimu..." teriak Lerina perih.
Suara piano berhenti. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki mendekat dan pintu kamar terbuka.
Masuk seorang perempuan mengenakan seragam pelayan, ditangannya ada nampan berisi makanan. Di sebelahnya berdiri pria tampan yang mengenakan celana jeans dan kaos oblong berwarna hitam.
"Selamat pagi nona, saya sudah menyiapkan sarapan anda" ujar pelayan itu sambil menunduk hormat.
Lerina menatap kedua orang tersebut tanpa bicara.
"Tuan, sepertinya nona ini tidak tahu bahasa Korea" kata pembantu itu melihat Lerina diam saja.
Edward Kim mendekat "Miss you must..."
"Aku tidak mau makan" tegas Lerina dalam bahasa Korea memotong ucapan Edward.
"Tadi malam kau pingsan karena perutmu kosong. Bagaimana kau bisa membalaskan sakit hatimu kalau kau tak punya tenaga untuk melawannya?" kata Edward pelan namun membuat hati Lerina terusik.
Lerina menatap Edward. Apa pria ini tahu kalau aku sedang patah hati?
Edward mengambil nampan itu dan meletakan dipangkuan Lerina, membuka kaki penyangga napan supaya bisa berdiri dengan baik didepan gadis itu. Ia menyuruh sang pelayan pergi sementara ia sendiri menarik sebuah kursi dan menempatkannya di samping tempat tidur itu.
"Makanlah! Aku tahu kau mungkin merasa tidak lapar. Tapi kau membutuhkan makanan agar pikiranmu dapat berpikir dengan jernih." suara Edward terdengar begitu lembut, seperti seorang kakak yang melindungi adiknya.
Lerina menurut. Ia mulai memasukan makanan itu ke dalam mulutnya. Wah, makanan ini sangat enak, guman hatinya. Ia pun terus menguyahnya kemudian saat ia akan meneguk susu di depannya, ia teringat dengan Calvin. Pada kejadian beberapa bulan yang lalu.
"Apa yang kau bawah?" tanyanya saat melihat Calvin datang ke tempat kost dengan 2 kantong belanjaan.
"Aku membelikan kamu susu dan beberapa jenis makanan yang mengandung gizi yang baik. Kamu sudah kurus, sayang. Tak ada lagi pipi cabimu yang aku suka" ucap Calvin sambil menyentuh pipi Lerina dengan punggung tangannya.
"Akhir-akhir ini selera makanku sepertinya hilang. Aku bingung mau cari pekerjaan dimana. Sementara uang tabunganku sudah semakin menipis."
"Mengapa kamu menolak kartu ATM yang kuberikan padamu?"
Lerina memegang tangan Calvin" Aku tahu kalau kau berniat baik dengan memberikan ATM itu padaku, namun aku tidak mau merepotkanmu."
"Pikiran macam apa itu? Aku ini tunanganmu. Saling membantu itu adalah hal yang wajar. " Calvin mencium tangan Lerina yang ada dalam genggamannya. "Kalau begitu, menikalah denganku. Sehingga kau tak akan merasa sungkan lagi menerima bantuanku."
Lerina tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang cowok itu. "Aku tahu niatmu tulus, sayang. Aku pun ingin menikah denganmu. Tapi aku ingin supaya papa dan mamamu dapat menerima aku kembali. Aku ingin kita menikah dengan restu mereka. Karena aku juga tahu bahwa kamu tidak mau menyakiti hati mereka."
Calvin memeluknya dengan lembut. Mencium kepala gadis itu dengan penuh kasih.
"Aku bangga padamu, sayang. Kau selalu mengerti isi hatiku. Tapi percayalah, kalau papa dan mama akan terus menghalangi hubungan kita, aku tak mau menungguh lebih lama lagi. Karena aku tak mau kamu menderita sendiri"
Lerina membanting gelas ditangannya saat lamunan masa lalunya membali.
"pembohong....! Kamu pembohong...!" tangan Lerina melemparkan nampan yang ada di depannya sehingga semuanya jatuh berserakan di lantai.
Edward memang tak mengerti dengan apa yang Lerina ucapkan. Namun ia tahu kalau gadis itu sangat terluka, sedang stres, putus asa.
Ia memanggil pelayannya untuk membersihkan kekacauan yang dibuat oleh Lerina.
"Aku akan meninggalkanmu sendiri." Edward segera keluar meninggalkan Lerina yang masih menangis.
Saat kakinya tiba dilantai satu apartementnya, Keyri sang Maneger sudah ada di sana.
"Bagaimana?" tanya Edward
"Gadis itu dari Indonesia. Aku menemukan pasport dan beberapa barangnya di kamar hotel yang ia sewa bersama seorang gadis. Tapi gadis itu sudah pergi. Kopernya pun sudah tak ada. Nama gadis itu Lerina Avigail. Aku mencari datanya diinternet, dia seorang yatim Piatu. Calvin, sang pengantin pria itu adalah tunangannya."
Waw....kisah yang menarik guman Edward dalam hati.
"Bos, apa yang akan kau lakukan dengan gadis itu?"
"Dia masih terluka. Sepertinya dia sangat mencintai Calvin. Aku kasihan padanya karena ia mengingatkanku pada adikku Anastasya. Aku akan membantunya. Menolongnya untuk bisa bangkit lagi."
"Apa?" Keyri terkejut. Ia mengenal Edward sejak kecil. Laki-laki yang lebih banyak diam itu, yang tidak suka mencampuri urusan orang lain, kini tertarik dengan kehidupan seorang gadis asing.
"Sudah...jangan bengong. Bawa barang-barang gadis itu ke kamar tamu." kata Edward lalu segera melangkah menuju ke ruangan pianonya. Ia ingin menyelesaikan beberapa lagu yang sedang dibuatnya.
#Happy reading ya....
#jangan lupa like dan komentarnya
Malam sudah datang, membuat suasana makin dingin karena hujan baru saja berhenti. Lerina bangun dari tidur sorenya. Ia sepertinya bermimpi atau juga secara nyata mendengar suara ibunya.
"Bangun sayang, jangan seperti ini. Mana anak ibu yang kuat dan periang? Bangkit sayang, kejar kembali mimpimu"
"Ibu.....!" ucapnya lirih sambil memeluk dirinya sendiri. Ia turun dari tempat tidur, masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.
Saat ia sudah selesai mandi, pelayan yang waktu itu datang menemuinya sudah berada di kamar dengan baju ganti untuknya.
"Terima kasih" ucap Lerina
"Panggil saja saya nani." katanya sopan lalu meninggalkan Lerina sendiri.
Lerina mengenakan bajunya dan segera keluar kamar. Dua hari dia menangis dan berdiam diri di kamar ini. Sekarang kesadarannya sudah kembali. Ia harus menemui orang yang telah menolongnya. Kalau bukan karena orang itu, Lerina pasti sudah berada di neraka karena mencoba mengahiri hidupnya yang adalah milik Tuhan.
Saat menginjakan kakinya di lantai satu apartement itu, Lerina dibuat kagum oleh ruangan serba putih dengan dekorasi yang modern dan berkelas. Di lemari kaca dekat tangga, Lerina melihat sederet piala dan piagam penghargaan di bidang musik.
Sepertinya orang yang menolongku adalah seorang pemain piano guman Lerina sambil membaca beberapa piala yang ada.
"Kau sudah merasa lebih baik?" Lerina terkejut mendengar suara bariton itu. Ia membalikan badannya. Seorang pria tampan berdiri di hadapannya dengan senyum ramah. Matanya mirip orang Korea yang agak sipit, namun warna matanya yang biru dan rambutnya yang agak pirang kecoklatan membuat Lerina sadar bahwa pria didepannya ini berdarah campuran.
"Kamu bisa bahasa Korea kan? Atau kamu mau kita berbicara bahasa Inggris? Kalau bahasa Indonesia, aku tidak bisa." Kata pria itu lagi dengan senyum penuh keramahan. Lerina merasa pria ini baik.
Perlahan, Lerina mencoba tersenyum. Ia kemudian mengulurkan tangannya. "Namaku Lerina. Terima kasih sudah menolongku"
"Aku Edward. Senang bisa berkenalan denganmu" Edward membalas uluran tangan Lerina. Ia mengenggam tangan Lerina dengan hangat dan melepasnya perlahan.
"Mari silakan duduk." ajak Edward sambil melangkah ke arah sofa putih. Lerina mengikuti langkah Edward dan duduk di hadapan pria itu.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Edward melihat Lerina hanya diam saja.
"Aku sudah merasa lebih baik. Makanya aku akan pergi hari ini. Aku harus menemui sepupuku. Ia pasti sangat khawatir karena aku menghilang dari pesta itu."
"Maksudmu gadis yang bersama denganmu saat datang ke Korea ini? Yang menginap satu kamar denganmu?" Tanya Edward sambil mengerutkan dahinya.
"Iya. Bagaimana kamu tahu?" Lerina terkejut saat mendengar pertanyaan Edward.
Edward tersenyum. "Karena kamu pingsan tanpa ada identitas didalam tas kecilmu itu. Aku meminta anak buahku untuk mencari informasi tentangmu. Kami menemukan hotel tempatmu menginap dan menemukan pasport beserta kopermu. Barang-barangmu sudah diletakan di kamar tamu. Tapi saudara sepupumu itu sudah tidak ada. Barangnya pun sudah diambil."
Kemana Putri? Apakah dia mencariku dan kehilangan jejak? Dia juga kan baru pertama kali datang ke Korea. batin Lerina sedih.
"Dimana barang-barangku? Aku ingin mencari hp ku"
Edward mengantar Lerina ke kamar tamu yang ada di lantai satu itu. Lerina langsung membuka kopernya dan mencari hp nya namun tidak ditemukannya.
Apa mungkin Putri yang mengambil hp ku? Tapi untuk apa? Bagaimana aku bisa menghubunginya? Nomor hp nya saja aku tidak tahu. Aku telepon ke rumah bibi saja.
Lerina menatap Edward yang masih berdiri di dekat pintu kamar.
"Bolehkah aku memakai teleponmu untuk melakukan panggilan ke Indonesia?" tanya Lerina.
"Silahkan" Edward menunjuk sebuah telepon yang ada di dekat tempat tidur.
Lerina segera menelepon bibinya.
"Hallo....bi, ini dengan Lerina."
"Akhirnya kalian memberi kabar. Kapan kalian akan pulang?"
"Memangnya Putri belum pulang ke rumah?"
"Apa-apaan kamu ini. Kalian kan pergi bersama. Seharusnya kalian sedang bersama saat ini. Memangnya apa yang terjadi?"
"Kami terpisah, bi. Aku pingsan"
"Cari anakku Lerina. Kalau dia sampai kenapa-kenapa, bibi akan menghajarmu" Terdengar suara bibinya yang penuh ancaman.
"Baik, bi." Lerina nenutup gagang telepon dengan wajah cemas.
"Bagaimana?"
"Sepupuku itu belum pulang ke Indonesia. Berarti dia masih di sini. Aku harus mencarinya. Kalau dia sampai ada dalam masalah, semua ini karena diriku. Tuan, bolehkah aku menitip barangku ini disini sampai aku menemukan sepupuku?"
"Boleh. Tapi kamu mau mencari dia kemana? Ini sudah malam. Kamu sendiri tidak punya kenalan di tempat ini. Aku sarankan besok saja kamu mencarinya. Kita boleh melaporkannya ke kantor polisi"
Lerina mengangguk. "Baiklah. Eh, kemana tas kecil yang aku bawa saat diriku pingsan?"
"Ada di kamarku di lantai 2. Aku meletakannya di atas nakas. Aku akan meminta Nana untuk mengambilnya" Edward keluar dari kamar. Meninggalkan Lerina sendiri.
Ya Tuhan, aku terlalu sibuk dengan rasa sakit hatiku pada Calvin sampai aku melupakan Putri. Di mana sepupuku itu? Apakah dia juga sedang mencari aku? Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Ya ampun Lerina....mengapa kamu seegois ini? Lerina menggaruk kepalanya dengan rasa frustasi.
"Nona, ini tas anda." Nana datang dan memberikan tas itu. Lerina membukanya. Astaga...dompetku juga sudah hilang. Bagaimana ini?
"Nona, tuan sudah menunggu anda untuk makan malam"
Lerina ingin menolak namun perutnya tiba-tiba saja berbunyi. Dia akhirnya mengikuti langkah Nana menuju ke ruang makan.
Lerina menghabiskan makanannya tanpa bersuara. Ia masih bingung mencari cara untuk menemukan Putri sementra uangnya juga sudah lenyap bersama dompetnya.
"Tuan, maafkan aku sebelumnya. Aku sungguh malu meminta ini padamu" Lerina tertunduk. Ia meremas-remas tangannya dengan gugup.
Edward yang sudah menghabiskan makan malamnya mengambil lap dan membersihkan sudut bibirnya. "Katakan saja."
"Bolehkah aku meminjam uang darimu untuk mencari saudaraku yang hilang? Aku janji akan mengembalikan padamu jika saudaraku sudah ketemu. Dompetku tidak ada. Mungkin ada padanya"
"Boleh." Edward mengeluarkan dompetnya dan mengambil satu kartu didalamnya lalu meletakannya di depan Lerina.
"Ini. Kau boleh menggunakan kartuku ini untuk keperluanmu sampai bertemu dengan sepupumu."
Lerina terkejut."Tidak tuan.....ini sudah terlalu berlebihan. Aku.....aku.....tidak mungkin menerimanya"
"Aku tidak tahu berapa yang kamu butuhkan. Aku juga tidak menyimpan uang tunai yang banyak di dompetku. Kalau kamu mau kamu bisa menggunakan ini. Jika kamu tidak mau, ya terserah" Edward langsung berdiri, meninggalkan Lerina sendiri di meja makan. Tak lama kemudan, terdengar suara denting piano.
Lerina menatap kartu ATM itu yang masih ada di depannya. Ia pun mengambilnya dan berjalan menuju ke tempat Edward berada.
Cowok itu sedang asyik dengan pianonya. Lerina tiba-tiba ingat ibunya. Beliau juga sangat pintar memainkan piano.
"Tuan Edward, Maaf menganggu anda."
Edward menghentikan pergerakan tangannya di atas tuts lalu menoleh ke arah Lerina.
"Ada apa?"
"Terima kasih" Lerina mengangkat kartu ditangannya.
"Tidak masalah. Kau dapat menggunakannya"
"Aku permisih dulu. Malam ini aku akan tidur di kamar tamu. Terima kasih karena selama 2 malam ini aku sudah tidur di kamar tuan Edward"
"Sebenarnya kalau kau suka tidur di kamarku tidak masalah juga. Aku bisa tidur di kamar satunya lagi."
"Tidak tuan..aku di kamar tamu saja."
"Terserah padamu. Dan jangan panggil aku, tuan. Panggil saja namaku Edward"
"Baiklah, Edward. Selamat malam"
Lerina melangkah ke kamar tamu. Suara dentingan piano kembali terdengar.
Gadis itu membaringkan tubuhnya sambil menatap dinding kamar yang dihiasi oleh gambar bunga sakura.
Harapanku bersama Calvin sudah musnah. Aku tidak boleh lagi memikirkan laki-laki yang telah mempermainkan hatiku. Aku harus bangkit. Begitu pulang ke Indonesia, aku akan kembali bekerja.Pokoknya aku harus melupakan laki-laki penghianat itu.
Lerina menghapus air matanya yang kembali berlinang. "Putri....dimana kamu?" gumannya sambil memejamkan matanya. Lagu yang dimainkan Edward terdengar sangat merdu. Lerina bahkan merasa tenang saat mendengarkannya.
# makasi sudah membaca part ini
#jangan lupa like dan komentarnya jika suka
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!