NovelToon NovelToon

Kehidupan Ke Dua

CHAPTER 01 :

"Heh, Lanna bangun! Malah enak-enak tidur saja kau!"

Bentakan gadis remaja yang usianya hanya terpaut satu tahun itu membuatnya terbangun. Bangkit dari ranjang tempat tidurnya karena merasa terganggu.

"Tidak bisa ya, bicara yang sopan? Aku ini lebih tua daripada kau, mengerti!" Lanna balas membentak tidak terima. "Tidak sopan pula kau sembarangan masuk ke kamar orang lain!"

Bukannya takut, Malia blair adik tirinya itu malah bersedekap dada tertawa kecil di lanjutkan dengan senyuman sinisnya. "Cih, hanya berbeda satu tahun saja sudah belaga betul," Malia memutar badannya membelakangi Lanna, kepalanya setengah menoleh. "Cuci pakaianku sana! Besok aku tidak mau tahu, pokoknya semuanya sudah bersih!" Titahnya.

Alis Lanna menukik tajam, matanya melotot menatap punggung adik tirinya yang kurang ajar itu. Kedua matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.00 pagi. Yang benar saja, Lanna harus mencuci pakaian di jam larut begitu. Toh, apakah Malia tidak punya tangan sendiri untuk mencuci pakaiannya? Merasa geram sudah menindasnya, Lanna melangkahkan kakinya mendekati Malia yang hendak keluar dari kamarnya.

"Aku tidak sudi!"

Bug!

"AAAKH! IBU, SAKIT!"

Lanna tersenyum puas ketika melihat Malia terkapar merintih kesakitan di lantai kamarnya. Tubuh adik tirinya itu sudah dia banting ke lantai yang keras menggunakan hampir seluruh tenaganya yang di dominasi rasa marah dan tidak terima. Berkat dirinya yang diam-diam suka menonton pertandingan bela diri di sela-sela kesibukannya bekerja.

"Ibu! Si Lanna sudah membanting tubuhku!" Teriak Malia kesakitan.

"Dasar anak cengeng! Jalang muda! Bisanya cuma mengadu, merengek," Cibir Lanna.

Rupanya teriakan Malia terdengar oleh ibunya yang sedang tertidur pulas di kamar. Merasa khawatir mendengar teriakan Malia, segera melangkahkan kakinya cepat-cepat menuju lantai atas untuk mengecek apa yang terjadi di sana.

"Iya, iya, menangislah sepuasnya. Aku yang tidak punya ibu dan ayah bisa ap—"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Lanna dengan mulusnya. Lanna memegangi pipinya yang terasa ngilu itu sementara ibu tirinya langsung menghampiri anak kesayangannya itu. Raut wajahnya begitu khawatir.

"Dasar anak tidak tahu diri! Anak bajingan kau!" Maki ibunya Malia, Yakni ibu tirinya. "Sayang, Kau tidak apa-apa? Ya ampun, sakit, hm?"

Melihat pemandangan seperti itu di hadapannya dan bukannya merintih sakit akibat tamparan keras, Lanna hanya memutar bola matanya malas, Seolah-olah tamparan keras itu tidak ada apa-apanya.

"Duh, malasnya melihat drama di jam segini,"

Ibu Malia bangkit, berdiri menghadap Lanna. Menatap anak tirinya itu dengan tatapannya yang penuh emosi dan Lanna yang juga menatap balik ibu tirinya tanpa rasa takut sedikitpun.

"Kau ini kurang ajar sekali!" Bentak ibunya Malia, matanya melotot.

Lanna menatap ibunya Malia dengan tatapan datarnya. " Anakmu, Elena Florine yang lebih dulu menggangguku," adalah nama lengkap dari ibu tirinya sendiri.

"Pergi kau dari rumah ini!" Usirnya.

Lanna menaikan satu alisnya, memiringkan kepala. "Yakin? Aku bisa saja lapor ke polisi karena kau sudah melakukan kekerasan padaku dulu," ancam Lanna dengan santainya.

Pun sebenarnya sudah lama Lanna ingin keluar dari rumah yang berubah seperti kubangan neraka itu. Namun dia masih harus menahan diri untuk saat ini, bahkan rela menunda masuk SMA satu tahun demi mengumpulkan pundi-pundi uang. Tidak, Lanna tidak menyerah dan tidak akan membiarkan pendidikannya terbengkalai begitu saja. Dia punya rencana. Selagi mengumpulkan uang Lanna juga memiliki keinginan untuk keluar dari kota kelahirannya itu, menjalani kehidupan baru dan masuk ke SMA walaupun telat satu tahun tapi baginya itu tidak mengapa. Semua sudah di pertimbangkan dengan baik.

Ah, Elena Florine itu dengan liciknya menguasai semua harta benda milik orang tuanya. Membuatnya harus terpontang-panting bekerja keras di usia yang sangat muda.

Elena menunjuk wajah Lanna. "Bocah, kau mengancamku?"

"Jangan panggil aku sembarangan bocah, aku sudah 17 tahun, Tahu!" Lanna membenarkan.

"Kau! Tidak sopan sekali hanya memanggilku nama saja! Aku ini orang tua, paham?"

"Tapi anakmu juga tidak sopan kepadaku dan kau bukan ibuku, kau bukan orang tuaku, paham?"

Mendengar penuturan Lanna, Elena mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan rasa kesalnya. Menyerah berdebat dengan anak perempuan remaja di hadapannya ini.

Dan karena Lanna memiliki banyak bukti bagaimana dirinya suka di siksa selama ini oleh ibu tirinya semenjak kematian ayahnya termasuk mantan asisten rumah tangga di rumah itu, Bibi Amelda. Saksi dari perlakuan tidak baik wanita yang bernama Elena itu padanya. Yang entah bibi Amelda pergi kemana, sudah lama tidak ada kabar tentangnya. Sebelum akhirnya di berhentikan paksa oleh ibunya Malia tanpa alasan yang jelas sejak kematian ayahnya juga. Daripada membuat dirinya sendiri masuk ke jeruji besi yang dingin serta menyiksa itu, lebih baik ibunya Malia mengalah. Memilih untuk membantu anak kesayangannya itu bangkit dan memapahnya keluar. Ya, tapi pada akhirnya Lanna masih punya hati kepada dua manusia yang sebenarnya merekalah bagi Lanna yang seperti bajingan bukan dirinya.

Lanna menutup pintu kamarnya rapat-rapat dan menguncinya. Berdiri sebentar di belakang pintu kamar dan waktu pada jam dindingnya sudah menunjukkan pukul 02.30 pagi. Sudah jam segitu mau tidur pun tidak mungkin. Nanti bisa-bisa bangun kesiangan untuk pergi bekerja pagi nanti.

"Dasar, mereka itu selalu saja membuat waktu ku jadi terbuang sia-sia. Dua manusia yang kalau saja mereka itu mati aku akan menertawakannya keras-keras merasa puas. Merepotkan saja," celotehnya.

Lanna mendekati ranjangnya. Duduk di tepi kasur menatap satu pigura di atas meja nakasnya. Tangannya terulur meraih pigura berwarna putih polos. Menampakkan sepasang suami istri dengan senyuman bahagianya bersama satu anak perempuan sekitar berusia 4 tahun duduk di tengahnya, tidak lupa rambutnya yang di kuncir dua membuatnya terlihat menggemaskan sekaligus senyumnya yang begitu cantik. Di tatapnya foto itu dalam-dalam.

" Ayah, ibu, aku rindu kalian. Aku di rumah ini tidak baik-baik saja. Mereka jahat padaku,"

Lanna Xevellyn, seorang gadis yang awalnya hanya menyandang sebagai piatu tetapi kini bertambah menyandang sebagai yatim. Sungguh panggilan yang menyakitkan baginya ketika dirinya adalah seorang anak yatim piatu. Ibunya meninggal dalam kecelakaan tabrak lari bersama dirinya yang juga menjadi korban di sana saat masih berusia 7 tahun. Namun sayangnya hanya Lanna yang selamat tetapi tidak dengan ibunya. Lanna hanya mengalami luka ringan sedangkan ibunya, dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Lanna melihat penampakan tubuh ibunya begitu mengenaskan. Yakni, tubuhnya yang terputus menjadi beberapa bagian akibat terlindas truk sehingga darah berceceran di mana-mana.

Dan kematian ayahnya tidak jauh seperti ibunya. Serupa tapi tak sama. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil yang di kendarainya. Penyebabnya adalah karena ada pemotor yang menabrak dari arah yang berlawanan secara ugal-ugalan lalu kecelakaan terjadi begitu saja dan lagi-lagi Lanna untuk yang kedua kalinya melihat bagaimana kematian orang tuanya sendiri. Saat itu usianya sudah menginjak 10 tahun. Ayahnya tewas di tempat dan setelah itu benar-benar meninggalkannya bersama dengan ibu tiri dan saudara tirinya yang kurang ajar itu.

Sempat Lanna merutuki kebodohannya sendiri sudah menyetujui ayahnya yang menikah lagi. Kalau tahu begini, Lanna tidak akan pernah menyetujui keputusan ayahnya apalagi ketika mengetahui wanita yang di nikahinya adalah Elena Florine membawa anak kandungnya Malia Blair ke rumahnya. Tidak, tidak akan pernah. Dua manusia itu sudah merebut segalanya di rumah ini. Mereka berdua itu palsu, nyatanya saat kematian ayahnya kesedihan yang di tampakannya di depan orang-orang hanyalah sandiwara saja. Itu tipuan, itu topeng.

Kesengsaraan serta kemalangan pun terjadi padanya di rumah itu. Satu hari setelah kematian ayahnya. Elena, ibu tirinya langsung memperlakukannya dengan tidak baik. Dulu dia tidak bisa melawan membela dirinya sendiri namun semakin bertambahnya usia, Lanna berani untuk melawan perlakuan tidak baik itu.

Lanna mendesis merasakan lehernya yang terasa sakit tidak karuan kemudian rasa sakit itu menjalar sampai kepalanya. Menaruh pigura di tepi ranjangnya, Lanna bergerak bangkit berjalan ke arah meja belajar. Satu tangan lainnya berusaha meraih kotak obat-obatan mencari sesuatu di sana. Dan dapat. Obat sakit kepala yang di belinya di apotek sepulang dari bekerja sambilan di sebuah toko roti. Dan tinggal tersisa satu pil saja sekarang. Lanna tidak berbicara mengenai rasa sakit itu datangnya dari leher tetapi hanya kepala saja. Karena menurutnya sedikit aneh untuk menuturkan hal itu.

Pergi ke dokter? Tidak, Lanna terlalu malas untuk itu. Baginya itu dapat mengurangi pundi-pundi uang yang sudah di kumpulkannya.

Lanna menundukkan kepala, memejamkan matanya merasakan pil pereda sakit kepala itu sedang bekerja. Memiliki efek samping yang membuat lidahnya terasa kebas sementara.

Salah satu apoteker di sana yang melayaninya berkata : Obat sakit kepala itu dapat bekerja langsung dalam hitungan menit.

Dan memang benar, itu yang di rasakannya selama ini. Lanna tidak tahu apa saja kandungan di dalam obat sakit kepala yang di konsumsinya ini tetapi bagi Lanna yang terpenting adalah rasa sakit kepala juga tangannya bisa mereda dengan cepat. Sambil merasakan lidahnya yang terasa kebas akibat efek samping dari obatnya, Lanna berjalan menuju kamar mandi. Letaknya masih di dalam ruangan kamarnya. Di depan wastafel kamar mandi Lanna berdiri menghadap ke cermin memandang pantulan dirinya di sana. Nampak seorang gadis menggunakan tank top berwarna putih dengan rambutnya yang setengah kusut berantakan.

Sekilas tidak ada yang jelek dari wajahnya. Tidak ada yang cacat pula. Semuanya lengkap.

Menahan tubuhnya menggunakan kedua tangan, Lanna mencondongkan wajahnya lebih mendekat pada cermin. Ada satu hal yang membuatnya bertanya-tanya, penasaran sekaligus aneh. Selama ini ada sesuatu yang berkecamuk di kepalanya. Yaitu, tanda. Tiba-tiba saja di sebelah leher kanannya itu muncul seperti sebuah tanda walaupun terlihat masih samar tetapi Lanna yakin apa yang ada di leher kanannya itu adalah sebuah bentuk yang membentuk tanda tertentu. Dan Lanna merasakan pusat rasa sakitnya dari tanda tersebut kemudian menjalar ke sekitar.

Sejak beberapa bulan belakangan ini, rasa sakit di leher dan kepalanya itu, selalu menyerangnya tiba-tiba. Rasa sakit yang datangnya selalu mendadak itu benar-benar mengganggu aktivitas di kesehariannya. Lanna pun baru benar-benar bisa mencernanya sekarang setelah mengamati dirinya sendiri, seperti saat ini. Mungkin kah itu sesuatu yang bersangkutan dengan kekuatan tertentu? Yang kemudian dirinya bisa berubah menjadi superhero? Seperti di cerita konyol untuk anak-anak.

Yang benar saja, mana ada hal seperti itu di dunia ini? Pikirnya.

"Aneh," katanya. Menatap tanda samar yang terdapat di leher kanannya. "Sebenarnya ini apa? Tanda ini sedikit demi sedikit timbul bersamaan dengan rasa sakitnya,"

Mendiang orang tuanya pun tidak pernah memberi tahunya sesuatu hal. Maksudnya hal-hal yang bersangkutan dengan apa yang terjadi pada tubuhnya saat ini. Bahkan tidak meninggalkan jejak atau juga sebuah petunjuk untuk dirinya agar mengetahui semua hal ini membuatnya tidak tahu apa-apa. Terkadang Lanna bertanya-tanya belakangan ini, apakah mendiang kedua orangtuanya itu memang betulan asli orang tuanya? Atau fakta sebenarnya adalah mereka bukan orang tuanya dan dirinya juga bukan anak mereka? Atau memang Lanna memiliki sebuah kelainan kulit?

Lanna menggelengkan kepalanya cepat. Menyadarkan pikirannya sendiri. Daripada memikirkan hal yang tidak berguna juga tidak berujung itu Lanna memilih untuk bersiap-siap pergi bekerja pagi ini. Sedikit lagi hari akan di mulai dan Lanna mengawalinya dengan membereskan kamarnya terlebih dahulu setelah beberapa hari ini di biarkannya karena sudah kelelahan bekerja.

"Sekalian aku juga akan membeli persediaan obat," katanya.

...****************...

...Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, Tempat kejadian ataupun cerita, Itu adalah kebetulan semata....

...Jika ada kekurangan dalam karya saya, mohon di beritahu dengan sopan karena saya juga masih banyak belajar dalam kepenulisan. Dan terkadang di beberapa chapter di lakukan tahap revisi. Terimakasih bagi yang sudah menyempatkan waktunya untuk mampir ke cerita saya....

...Selamat membaca dan semoga harimu menyenangkan....

...****************...

CHAPTER 02 :

Lanna mempercepat langkahnya menuju ke sebuah toko roti tempatnya bekerja. Toko roti itu buka jam 9.30 pagi sedangkan dirinya harus berangkat sekitar jam 07.00 pagi agar tidak terlambat sekaligus membereskan tempat itu terlebih dahulu serta menyiapkan segalanya sebelum benar-benar siap membuka toko, menjual berbagai jenis roti. Lanna berdiam diri di salah satu halte bus yang sudah di padati oleh orang-orang yang juga sedang menunggu sama sepertinya dan butuh waktu setengah jam untuk bisa sampai ke sana. Tidak lama kemudian bus yang di tunggunya datang. Lanna sudah duduk di kursi penumpang yang di pilihnya tetapi karena melihat seorang nenek tua berdiri memakai tongkat alhasil Lanna mengalah dengan memberikan kursinya untuk sang nenek.

Seperti biasa, Lanna dengan earphone kabelnya yang tidak dapat di pisahkan menemaninya selama perjalanan sekaligus untuk mengawali aktivitasnya pagi ini dan berharap semoga hari ini pun juga keberuntungan menghampirinya. Semoga.

Hari pun berlalu dan malam juga sudah tiba. Toko roti itu tutup jam 21.30 malam. Sebelum pulang Lanna berpamitan terlebih dahulu kepada sang pemilik toko. Sedikit informasi, sang pemilik toko roti menjadikan rukonya sebagai tempat tinggal juga, beliau tinggal di lantai atasnya. Seperti biasa, Lanna menunggu kedatangan bus selanjutnya di halte yang lumayan sepi. Mungkin hanya beberapa orang saja termasuk dirinya. Lagi, Lanna tidak lupa menautkan earphone kabel pada telinga dan sesaat kemudian bus pun datang.

Baru saja Lanna mendaratkan bokongnya di kursi penumpang paling belakang namun ternyata langsung di suguhkan pemandangan sejoli tiba-tiba saja berciuman tepat di sebelahnya. Lanna tidak iri, hanya saja agak terkejut. Sepertinya mereka seumuran dengan Lanna.

Sesampainya, Lanna membuka gerbang besi rumahnya yang tidak terkunci. Berukuran pendek hanya setengah badan nya saja dan ketika kau masuk langsung di sambut rumput hijau juga taman kecil-kecilan dengan pot-pot berisi tanaman bunga juga satu pohon rindang. Semuanya itu di rawat dengan baik oleh Lanna, Seorang diri. Pemandangan rumah yang terlihat asri, sejuk nan nyaman namun tidak untuk bagian dalamnya. Untuk sekarang, bagi Lanna.

"Elena tidak ada di rumah sepertinya," kata Lanna menyalakan lampu ruangan tamu, kepalanya celingak-celinguk melihat area sekitar.

Suasana rumah yang begitu sepi tetapi itu hanya sebentar saja. Tidak lama pendengarannya menangkap suara-suara samar perempuan yang sedang—Lanna tidak tahu. Dia selalu berusaha membuat pikiran jernihnya itu agar tidak jadi kotor. Tapi suara itu terdengar melalui lantai atas dimana kamarnya berada dan juga Malia. Lanna lantas menengok ke arah rak sepatu di dekat sudut pintu, pantas saja. Dia baru sadar ada sepatu asing berukuran besar yang Lanna yakini itu bukanlah sepatu yang di pakai Malia. Mana mungkin, Malia memiliki kaki yang berukuran lebih kecil bahkan lebih kecil daripadanya.

"Siapa lagi yang dia bawa malam ini?" Gumam Lanna.

Lanna melangkahkan kakinya menuju anak tangga. Semakin dia melangkahkan kakinya semakin jelas suara yang sangat di kenalinya itu bergabung dengan suara seorang lelaki yang asing. Benar, Malia. Suara-suara yang membuatnya merasa malu sendiri sekaligus merinding ketika mendengarnya pada awalnya, tetapi pada akhirnya Lanna pun terbiasa. Kamar Lanna dan Malia letaknya berhadapan-hadapan, benar-benar persis. Lanna sudah sampai ke depan pintu kamarnya hendak menarik kenop pintu.

"Aah... A, ah... Mmphh... "

Itu dia. Suara-suara khas orang yang sedang bercinta terdengar begitu jelas. Lanna memutar bola matanya malas tidak peduli, dia tetap masuk ke dalam kamarnya yang sudah siap menyambut rasa lelahnya dan menutupnya, tidak lupa mengunci kamarnya juga. Malia itu, dia gemar sekali membawa lelaki asing ke rumah di kala Elena sedang tidak ada di rumah. Entahlah apa yang mereka lakukan di kamar tetapi bagi siapapun yang mendengarnya saja pasti sudah paham apa yang mereka lakukan. Adalah sebuah alasan kenapa Lanna memanggil Malia dengan panggilan jalang muda, seperti saat ini contohnya. Dan Elena sebagai ibu dari anak itu tidak pernah mengetahui kelakuan anaknya yang suka menjajakan kehormatannya sembarangan.

Bagaimana? Elena florine, ibu kandung anak itu saja begitu. Seringkali Elena pulang dalam keadaan mabuk di antar oleh pria-pria asing yang sering bergonta-ganti. Bahkan pernah pulang hanya menggunakan selimut saja tanpa sehelai pakaian yang melekat di tubuhnya. Lanna mempertanyakan kemana pakaian yang tadinya melekat itu? Tapi Lanna langsung cukup tahu saja. Seperti kata pepatah : Buah jatuh tidak jauh dari pohon nya. Seperti itulah mereka.

Lagi, kalau waktu memang bisa di putar ulang kembali Lanna lebih baik membiarkan ayahnya terus menduda. Dan kalau memang ayahnya pergi lebih dulu seperti sekarang? Lanna tidak masalah. Lebih baik dia seorang diri di rumah ini daripada harus hidup satu atap, satu napas, satu lingkungan dengan sampah-sampah itu.

"Lelahnya..." Lanna meregangkan otot-otot lehernya yang terasa pegal. Berjalan mendekati meja belajarnya, mendaratkan bokongnya di kursi belajar.

Lanna diam sejenak, tatapannya agak kosong. Bukan kosong karena kemasukan tetapi seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

"Tapi apa?" Lanna berpikir keras.

Sedetik kemudian Lanna memekik. Dia teringat dengan obatnya yang tertinggal di toko roti tadi saat akan pulang. Lanna berdecak kesal merutuki kecerobohannya. Melihat ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan hampir jam 11 malam tetapi Lanna masih merasa memiliki waktu untuk mengambilnya ke sana. Tidak, Lanna tidak bisa tanpa obat itu. Dia terlalu payah untuk menahan rasa sakit di lehernya yang aneh itu.

Lanna menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Bahkan melewati Malia dengan lelaki asing yang entah siapa Lanna pun tidak mengenalnya. Sehabis dari kamar, mereka berdua melanjutkan permainannya di sofa ruang tamu.

"Siapa?" Tanya lelaki itu.

"Ah, Sudahlah. Ayo lanjut lagi sayang," jawab Malia.

Mereka lalu melanjutkan permainannya yang terhenti sejenak.

...----------------...

"Halo? Maaf mengganggu waktumu sebentar. Tapi aku lupa sesuatu, aku meninggalkan obat ku di sana," Lanna berlari menuju halte bus yang sudah kosong tidak ada siapapun di sana.

"Sudah ku duga. Mau ku antar? Aku akan ke tempatmu jika perlu," sahut sang pemilik toko.

"Tidak, tidak terimakasih. Aku sedang menuju ke sana," Lanna menutup panggilan teleponnya sepihak.

Gabruk!

"Aw!" Lanna memekik.

Dia meringis memegangi kedua lututnya yang di penuhi luka berdarah bahkan sampai melubangi celana jeans di area itu pula. Lagi, karena kecerobohannya menekankan pikirannya hanya pada obat, obat dan obat saja. Selalu melihat ke depan tanpa tahu apa yang berada di bawahnya itu. Ya, Lanna baru saja tersandung sebongkah batu berukuran sedang.

"Astaga! Sejak kapan batu itu di sana?" Lanna berusaha menyingkirkan batu yang berada di hadapannya itu menggunakan ujung sepatunya.

Belum selesai sampai di situ saja. Tiba-tiba rasa sakit di lehernya menyerangnya lagi tapi kali ini lebih hebat dari daripada sebelumnya membuatnya mengerang kesakitan. Di trotoar ini tidak ada orang selain dirinya sendiri tidak seperti biasanya. Hanya banyak kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat. Mau berteriak meminta tolong pun rasanya sulit karena rasa sakit di lehernya mulai menjalar ke kepalanya.

Sa-sakit, batinnya.

"To-tolong aku!"

Di tengah-tengah kesakitannya itu Lanna dapat mendengar suara anak kecil berteriak meminta tolong sambil menangis. Mata Lanna melihat ke sekeliling dan dia mendapati di ujung jalan sana, sekitar 20 langkah kaki darinya seorang anak laki-laki sedang berdiri di tengah-tengah jalan raya, zebra cross yang di penuhi kendaraan berlalu lalang.

"Apa yang dia lakukan di sana?" Lanna terkejut.

Lanna mempertanyakan kemana ibunya dan kenapa ada anak kecil di tengah jalan raya yang ramai tanpa di pedulikan oleh siapapun itu? Lanna juga tidak mengerti kenapa lampu merah tidak kunjung menyala.

"Tolong aku! Tolong!" Teriak anak kecil itu lagi, ketakutan.

"Hei, tetap di sana! Kakak akan datang!" Teriak Lanna bermaksud membalas teriakan anak kecil itu.

Lanna bergerak. Bangkit berdiri dengan susah payah sembari merasakan kedua lututnya yang perih, leher serta kepalanya yang semakin hebat rasa sakitnya. Menutupi seluruh wajahnya, Setelah di rasa kuat untuk berdiri Lanna segera berlari menghampiri anak kecil itu berada. Kepala Lanna mendongak ke atas melihat lampu merah yang anehnya tidak kunjung menyala juga.

"Kakak, tolong aku! Aku takut!" Teriak anak kecil itu hendak berjalan ke arahnya.

"Jangan! Jangan bergerak! Kakak akan menjemputmu di sana!"

Tetapi anak kecil itu tidak mengindahkannya. Dari arah yang berlawanan, dari kejauhan Lanna melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi ke arah di mana anak kecil itu berdiri. Lanna berlari ke arah anak kecil itu tanpa mempedulikan mobil sedan hitam yang dalam hitungan menit sedikit lagi akan menabraknya. Menarik tangan anak itu dan mendorongnya ke bahu jalan. Anak kecil itu tersungkur ke aspal jalanan yang keras lalu menggelinding.

Anak kecil itu memang selamat dan Lanna merasa bersyukur dengan hal tersebut. Walaupun kemungkinan besar anak itu mengalami luka di bagian tertentu tubuhnya karena membentur aspal tetapi yang paling penting adalah anak itu masih hidup. Seperti saat ini, anak itu meraung-raung di bahu jalan, merangkak menatap Lanna dengan tangisannya yang keras. Lanna balas menatap anak itu lalu menggeleng pelan. Cairan kristal berwarna bening jatuh melalui ujung matanya. Bersamaan dengan itu, rasa sakit di lehernya pun semakin hebat, kepalanya juga sangat sakit. Sangat sakit.

Pertahanan tubuh Lanna melemah kemudian runtuh. Dia terjatuh duduk ke aspal memegangi kepalanya serta lehernya yang terasa sakit. Semuanya sudah terlambat. Lanna menoleh ke arah di mana cahaya mobil itu sudah lebih mendekat padanya. Memejamkan matanya, Lanna pasrah dan mengucapkan kata-kata terakhir di dalam hatinya.

Jika memang ini adalah akhir dari segalanya, akhir dari takdir hidupku yang menyakitkan, tidak mengapa. Setidaknya sebelum kematianku dan dengan cara seperti inilah aku di jemput, tidak mengapa. Setidaknya aku mengakhirinya setelah melakukan kebaikan dengan menolong manusia lainnya. Ayah, ibu... Akhirnya kita akan bersama lagi.

Dan—

Brak!

Wiu...wiu... Wiu...

Suara sirine ambulans terdengar memekikkan telinga di sepanjang jalan raya kota malam itu. Bersama polisi yang menjaga area tempat perkara kejadian agar tidak di masuki oleh sembarangan orang.

" Selamat pagi, pemirsa. Kembali bersama saya di berita pagi ini. Kami akan mengabarkan sebuah insiden kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya utama kota tadi malam... "

"Sebuah mobil sedan berwarna hitam di kendarai dengan kecepatan tinggi menabrak seorang gadis remaja berusia 17 tahun... "

Lanna Xevellyn, gadis itu—tewas di tempat.

...****************...

CHAPTER 03 :

Lanna terbangun lemas. Duduk di atas ranjang tempat tidur untuk ukuran satu orang. Memegangi kepalanya yang terasa pusing serta penglihatannya yang masih terasa sedikit kabur.

"Sadar juga akhirnya kau,"

Lanna melonjak kaget mendengar suara bariton tepat di telinganya yang begitu tiba-tiba. Jantungnya serasa ingin copot dan suara itu berasal dari arah sampingnya.

"Kau mengejutkanku!" Lanna memekik menoleh ke arah sang sumber suara.

Lelaki itu tidak menjawabnya, dia lantas menegakkan tubuhnya menatap datar ke arah Lanna yang masih memasang ekspresi terkejut padanya. Dadanya nampak kembang kempis.

"Aku tidak sudi melakukan hal aneh padamu. Lagipula tidak napsu dan kau bukan tipeku. Aku tidak menyukaimu," kata lelaki yang belum di ketahui namanya itu.

Melihat sang gadis di hadapannya itu langsung sibuk menutupi dadanya dengan kedua tangan seolah-olah dirinya hendak melakukan hal senonoh. Dia bukanlah seorang lelaki yang berkelakuan brengsek seperti yang di pikirkan. Justru jauh dari itu semua.

Lanna mendengus namun tidak berniat membalas perkataan apapun melalui mulutnya, menatap si lelaki berambut hitam dengan mata hazel itu berjalan mendekati jendela, memandang keluar. Sekilas ada perasaan aneh pada lelaki itu, dia setengah menoleh kepada Lanna yang masih duduk di atas ranjang tempat tidur miliknya.

"Tumben tidak membalasnya?"

"Apa? Balas apa?"

Lelaki itu membalikkan tubuhnya, Memiringkan kepala menatap Lanna serius. "Biasanya mulutmu itu bawel luar biasa. Kau tipikal perempuan yang bermulut kasar, dan kau selalu berdebat dengan siapapun termasuk diriku. Kau selalu tidak mau kalah,"

"Masa, sih?" Heran Lanna.

Bahkan Lanna benar-benar tidak mengenal siapa lelaki yang berada di hadapannya sekarang ini.

"Kau sendiri siapa?" Tanya Lanna penasaran.

"Kau sungguhan sedang mempertanyakan aku ini siapa?" Tanya balik si lelaki.

Lanna mengangguk polos. "He'em. Memangnya ada yang salah dengan itu?"

Bukannya menjawab lelaki itu kini malah terdiam menatap Lanna cukup lama sekitar 5 menit tanpa berkedip sama sekali. Membuat Lanna menjadi gugup salah tingkah sendiri. Matanya berkeliling tidak berani menatap sekaligus merasa tidak nyaman. Bayangkan saja, di tatap dalam satu detik saja sudah tidak karuan ini lagi 5 menit. Keheningan tercipta di antara mereka sesaat hanya bunyi detik jam yang mengisi ruangan tersebut.

"Xavier Walters," Jawabnya masih menatap gadis di hadapannya.

"A-ah, ya... Terimakasih sudah menjawab, Xavier... Walters?" Intonasi Lanna melambat di ujung kalimatnya merasa takut. Menundukkan pandangannya, bibirnya menyunggingkan senyuman kaku.

Sungguh, Lanna benar-benar berusaha sehati-hati mungkin terhadap lelaki yang berada di hadapannya ini. Memang, Lanna mengakui bahwa lelaki di hadapannya itu tampan dengan tubuh idealnya tapi ekspresinya yang terlihat galak serta dingin itu membuatnya sedikit ketakutan. Xavier, aura lelaki itu terlihat begitu dominan dan Lanna merasa terintimidasi dengan itu, Lanna takut di apa-apakan.

"Kau bahkan bisa mengucapkan kata terimakasih sekarang?" Kata Xavier.

Lanna sontak memundurkan wajahnya ketika wajah Xavier tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Sebenarnya dirinya pun juga bertanya-tanya dari awal kemunculan lelaki yang sudah di ketahuinya bernama Xavier ini. Tadi tiba-tiba ada di sampingnya, sekarang tiba-tiba sudah berada di hadapannya saja dengan jarak yang dekat. Secepat kilat, seperti dalam satu kedipan mata atau bahkan tidak? Lanna tidak mengerti belum benar-benar bisa mencernanya yang jelas dia juga sedang di landa kebingungan.

"Kau, sejak kapan kau sedekat ini?" Tanya Lanna bingung sekaligus lebih tambah terkejut lagi. Namun kali ini gadis itu dapat mengontrol ekspresinya dengan baik.

Xavier duduk di tepi ranjang di dekat Lanna. Lagi-lagi menatap Lanna cukup lama seperti sebelumnya, tapi tidak selama tadi. Tatapan yang tidak bisa Lanna mengerti sama sekali. Merasa tidak tahan, Lanna pun akhirnya berkata.

"kalau memang aku memiliki kesalahan padamu aku minta maaf. Tapi tolong katakan, aku akan berusaha untuk memperbaikinya. Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu. Sebab—"

"Sebab apa?" Sela Xavier.

"Sebab kau membuatku takut dan juga aku malu dengan tatapanmu," setelah itu Lanna memalingkan wajah ke arah lain.

Setelah mendengarkan pengakuan Lanna yang merasa takut terhadapnya, kali ini Xavier benar-benar merasa terheran-heran di buatnya. Itu tergambar jelas melalui alisnya yang nampak mengernyit. Apalagi ketika mendengarkan gadis di hadapannya itu bisa berkata maaf dan satu lagi memperbaiki kesalahannya. Xavier mencondongkan tubuh serta wajahnya, menatap mata gadis itu secara bergantian. Sedang Lanna menundukkan pandangannya, dia tidak berani membalas tatapan mata Xavier merasa malu. Xavier melihat bagaimana pipi gadis itu memerah padam walaupun terlihat samar.

"Sepertinya kematianmu sudah membuat otakmu langsung mati dan jadi amnesia," ucap Xavier beralih menatap lurus ke depan. "Kau bahkan seperti tidak mengenaliku juga. Baru kali ini aku mendengarmu berbicara tentang maaf. Kau juga merasa malu padaku. Padahal kau bukan seorang gadis yang seperti itu, kau itu suka tidak tahu malu,"

"Apa maksudnya itu? Amnesia bagaimana? Memang aku ini kenapa? Aku tidak mengerti kau membicarakan tentang siapa. Aku ini Lan—eh?"

Lanna menghentikan ucapannya menyadari sesuatu hal. Merasa ada yang berbeda pada dirinya. Rambut, Lanna baru menyadari dengan rambutnya yang tidak sengaja tersibak oleh tangannya sendiri ketika sibuk membalas celotehan Xavier yang kini lelaki itu beralih mengalihkan pandangannya menatap Lanna kembali.

Lanna memegangi rambutnya yang tiba-tiba saja berubah menjadi panjang sepinggang dan berwarna pirang.

"A-ada apa dengan rambutku? Kenapa begini? Bukankah rambutku pendek dan berwarna hitam?" Tanya Lanna menatap rambutnya.

Bahkan Lanna merasa sama sekali tidak memiliki koleksi wig sekalipun semasa hidupnya.

Belum sempat Xavier menjawab pertanyaan Lanna, gadis itu langsung bangkit dari ranjang dan melangkahkan kakinya menuju cermin di sudut ruangan kamar. Cermin besar berbentuk persegi panjang dengan ukiran seperti akar pohon di tepinya. Di sana, Lanna berdiri menatap pantulan dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki dan mulai terperangah. Lanna menatap pantulan wajahnya di cermin dan meraba cermin tersebut kemudian meraba wajahnya sendiri. Menggeleng pelan Lanna merasa ini bukanlah dirinya, bukan juga wajah miliknya.

"Dan kenapa dengan wajahku? Kenapa berubah? Aku tidak pernah menjalani operasi bedah plastik sekalipun, ini kenapa?" Tanya Lanna lagi namun kali ini nada suaranya terdengar lebih rendah.

Xavier datang menghampiri, berdiri di belakangnya ikut menatap pantulan dirinya serta pantulan gadis di depannya dengan tinggi sebatas lehernya. Xavier masih diam hanya memperhatikan. Belum menyahuti apapun yang di lontarkan Lanna.

Lanna membalikkan tubuhnya menghadap Xavier. Sorot matanya seolah meminta jawaban. "Aku, ini bukan aku. Ini bukanlah diriku. Aku tidak mengenal tubuh ini, wajah ini. Tolong... Tolong jelaskan padaku sebenarnya ada apa... "

Ucapan Lanna lagi-lagi terhenti. Samar-samar teringat akan satu hal. Menundukkan kepalanya Lanna menatap kedua telapak tangannya yang masih terlihat pucat pasi. Dan Lanna ingat sekarang.

Jika memang ini adalah akhir dari segalanya, akhir dari takdir hidupku yang menyakitkan, tidak mengapa. Setidaknya sebelum kematianku dan dengan cara seperti inilah aku di jemput, tidak mengapa. Setidaknya aku mengakhirinya setelah melakukan kebaikan dengan menolong manusia lainnya. Ayah, ibu... Akhirnya kita akan bersama lagi.

Adalah kata-kata terakhir sebelum kematiannya. Lalu Lanna teringat dengan tanda di lehernya. Kembali menatap cermin, menatap lehernya untuk memeriksa di balik rambut panjangnya itu kemudian matanya melebar.

"Ini, tanda ini. Sekarang sudah terlihat jelas. Tapi bagaimana?" Seru Lanna melihat sekali ke arah Xavier dan cermin bergantian.

Tanda di lehernya itu menampilkan bentuk seperti cakaran kecil, seperti cakaran hewan. Lebih mirip tanda lahir.

"Lanna Xevellyn,"

Lanna terdiam. Dengan jelas Lanna mendengar namanya di panggil oleh Xavier. Menolehkan kepala pada Xavier, menatap lelaki di hadapannya itu.

"Lanna Xevellyn," Panggil Xavier lagi.

"Kau tahu aku? Kau tahu siapa aku? Kau tahu namaku? Kau ta–tahu... "

Mendadak penglihatan Lanna menjadi kabur dan perlahan-lahan menggelap setelah itu pertahanan tubuh Lanna pun runtuh.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!