Hallo,
Nama saya Tiyah Citanin. Saya lulusan S1 PGSD, jika orang berpikir saya akan menjadi Guru dan sangat lembut pada anak-anak, mereka sangat salah! Karena saya tidak menjadi seorang guru, walaupun saya tamatan pendidikan guru.
Saya tidak lembut pada anak-anak, saya juga tidak pemarah pada anak-anak, hanya saja... Saya tidak bisa menenangkan mereka, melihat saya saja, semua anak-anak itu menangis dan tidak menyukai saya! Padahal, saya telah mencoba membuat mereka tersenyum dan menyukai saya.
Umur Saya sudah 28 tahun, saya belum menikah. Jangan tanya kenapa saya belum menikah! Tentu saja, karena belum ada laki-laki yang melamar, siapa juga yang mau melamar wanita sejelek dan tidak stylish seperti saya.
Saya juga tidak pintar, huh! Apalagi memasak, biasa saja! Cuma bisa memasak alakadar saja. Saya anak pertama dan mempunyai 4 orang adik.
Dandan? Jangan di tanya! Sudah wajah pas-pasan, saya tidak tertarik dandan dan tidak bisa dandan, saya cuma pakai bedak tabur dan sedikit sentuhan lipstik, itu sudah cukup keren untuk saya.
Adik pertama dan kedua saya perempuan, mereka telah menikah beberapa tahun yang lalu, sekarang adik ketiga saya juga perempuan, ia bertunangan hari ini dengan anak tetangga di sebelah rumah saya, mereka saling suka dari kecil.
Sekarang tersisa saya si perawan dewasa yang belum laku, huh!
Adik bungsu saya seorang laki-laki yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di pusat kota karena mendapatkan beasiswa, berbeda dengan saya yang tidak pintar ini.
Cemburu? Tentu saja! Saya sangat cemburu, rasanya melihat adik-adik saya dan orang lain memiliki pasangan, saya juga berharap agar segera datang seorang pria yang akan mengucapkan janji suci kepada Tuhan untuk menikahi saya.
Itu cuma angan saya, karena kenyataannya tidak ada laki-laki yang tertarik kepada saya, apalagi setelah umur saya 28 tahun, tentu saja laki-laki suka mencari wanita muda yang cantik.
Seumur hidup saya cuma punya pacar satu orang, dan itu pun hanya satu hari! Apa yang harus saya banggakan? Jangan tanya pengalaman satu hari itu kepada saya! Bahkan jika mengingat nya saja saya malu.
Waktu itu saya kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP), seorang pria gemuk menyatakan cinta pada saya, tanpa pikir panjang saya menerimanya. Itu semua karena teman-teman telah mempunyai kekasih, akirnya saya menerima cinta nya.
Waktu itu jam istirahat sekolah, seorang siswa tampan, tinggi, berkulit hitam manis, tentu saja saya terkesima dengan simanis itu! Kemudian ia mengajak kesamping kelas, lalu ia berkata ada yang ingin bertemu dengan saya.
“Ahahahahaha.” Saya menertawakan diri saya sendiri. Laki-laki itu hanya perantara, karena dia teman si pria gendut itu.
Pria gendut itu gugup, ia mengatakan kalau ia sangat menyukai saya mulai dari pertama kali bertemu, saat itu saya memakai baju berwarna merah, rambut terurai panjang, membawa surat-surat untuk mendaftar sekolah di sekolah menengah pertama ini.
Ia berkata, sangat menyukai saya dan tidak bisa menahan untuk menutupi perasaannya, saat mendengar itu saya kaget dan langsung segera berlari, pergi meninggalkan dia sendiri.
Saya gemetaran, seumur hidup hari itu pertama kalinya saya mendengar ungkapan cinta dari seseorang, apalagi pria yang tidak pernah saya kenal, bahkan namanya saya tidak tau! Yang saya tau, sigendut yang mengatakan cinta dan terlihat gugup, tapi cukup gantle kalo saya ingat-ingat kembali.
Setelah itu, temannya simanis tadi menemui saya, dan meminta jawaban saya. Teman-teman saya yang mendengar, mendesak agar saya menerima, minimal “Untuk ban serap” kata mereka.
Saya pun juga mengikuti mereka, walaupun saya tidak suka, saya akirnya menulis di kertas, saya mau menerimanya menjadi pacar saya. Sigendut itu senang banget tentunya, dan saya tentu saja malu saat itu, apalagi melihat wajahnya yang bersemu merah.
Si gendut itu berkulit putih, ia tinggi besar dan tentu saja jika dibandingkan dengan saya yang pendek kurus ini, dia terlihat seperti Sumo. Tapi, sebenarnya wajahnya cukup manis kok! Dia punya hidung mancung, bibir merah berisi.
“Ahahahaha.” Saya sangat ingat hidung dan bibir nya, saat dia mengucapkan kata cinta untuk saya.
Saya malu pacaran dengan si gendut, keesokan hari nya saya menjauhinya, dan tidak ingin berbicara lagi dengannya sampai kami tamat sekolah, bahkan saya tidak pernah melihat dia hingga hari ini.
Apa kalian penasaran, kenapa saya malu? Saat itu, saya menerima cintanya melalui surat yang saya titipkan kepada si manis temannya itu. Ia akhirnya membalas surat melalui si manis itu juga, kalau ia ingin bertemu dengan saya, karena nanti malam itu malam minggu.
“Huh, siapa juga yang mau malam mingguan sama si gendut sumo itu.” pikir saya.
Malam itu ia pergi ke rumah saya. Entah dari mana ia bisa menemukan alamat rumah saya, mungkin karena ia begitu suka dengan saya kali ya? Jadi, dia tau semua tentang saya.
Tentu saja, saya tidak ingin dia berkunjung ke rumah saya, saya malu dong! Saya segera keluar dan bertemu dengannya di luar, di sekitar jalan dekat rumah saya. Saya berbicara beberapa kalimat disana dengan dia.
Dia berdandan sangat rapi dan wangi. Sedangkan saya hanya keluar dengan baju tidur, rambut berantakan. Tapi lucu nya, dia malah bilang saya sangat cantik pakai baju tidur.
“Dasar gendut! Sudah gila apa?” gerutu saya dalam hati.
Gendut itu mencoba memegang tangan saya, tentu saja saya terkejut dan reflek menarik tangan saya kembali, walaupun dia mengucapkan maaf! Tapi saya masih saja kesal.
“Boleh kah aku membelai rambut panjangmu yang indah?” tanya nya kepada saya.
Membuat saya semakin jengkel, gendut itu tidak tau diri dan mesum dalam pikiran saya. Si gendut itu tersenyum dan mencoba mendekat, kemudian memegang ujung rambut saya yang panjang dan mencium rambut itu.
Saya merasa jijik sekali, ingin rasa nya saya tampar, tapi saya masih menahan. Kami tidak terlalu lama bicara disana, saya membuat alasan ngantuk dan tidak ingin pergi keluar karena takut di marahi orang tua saya.
Apa kalian tau? Si gendut itu bilang mau minta izin kepada orang tua saya! Membuat saya semakin muak, akirnya saya dengan kesal pergi, masuk kedalam rumah tanpa menoleh kepadanya lagi.
Besok paginya, saya menulis surat putus, dan saya mengirimkannya kepada si Manis teman si Gendut itu.
Jika saya pikir-pikir sekarang, saya sangat malu karena jahat kepada si Gendut itu. Apakah ini hukuman dari Tuhan? Karena saya menghina sigendut dan menolak orang yang menyukai saya? Sehingga sekarang saya menjadi si perawan dewasa yang tidak di lirik laki-laki.
Sejak saat itu, saya tidak pernah melihat si gendut lagi. Walaupun begitu, kenyataannya saya terkadang rindu dengan si gendut yang tidak pernah saya ketahui namanya itu! Namanya siapa? Apalagi hal-hal lain.
Sedangkan si gendut itu mengetahui tentang saya, apakah dia sungguh menyukai saya? Saya masih ingat waktu umur 17 tahun, ada sebuah hadiah di kirim kerumah saya.
Sebenarnya, seumur hidup itu adalah hadiah pertama ulang tahun saya. Saya tidak pernah merayakan apalagi dirayakan ulang tahun. Hadiah itu dari si gendut, saya sangat senang dan sedih juga, bagaimana saya akan mengucapkan terimakasih padamu Gendut?
Oh ya, ngomong-ngomong nih, apa kalian gak penasaran sama saya secara detail? Saya kasih tau sedikit tentang visual saya ya! Waktu saya mendaftar masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA), saya mengukur dan menimbang berat badan saya.
Tinggi saya saat itu 150 cm, dan berat badan saya 45 kg, setelah itu saat saya kuliah bahkan sampai kemarin saat saya menemani adik saya membeli gaun pertunangannya tinggi saya masih 150 cm, tidak bertambah sedikitpun, ingin rasanya saya tendang pengukur badan itu!
Eitz... Tapi jangan salah, saya tetap ada yang bertambah kok! Hebat nya berat badan saya bertambah sampai menjadi 60 kg sekarang, udah wajah pas-pasan, kulit kuning langsat hampir gelap, gendut lagi.
Sepertinya, gara-gara saya sombong waktu remaja sama mantan saya yang gendut itu, akirnya sekarang saya menjadi gendut dan tidak ada yang melirik.
Saya sudah diet, dan olahraga, hanya turun 2 kg selama sebulan dan itu saya sudah mati-matian diet dan olahraga, tapi naik nya cepat banget, kalau saya sampai lupa diet makan, timbangannya langsung menjerit.
“Apakah ini karma?!” Pertanyaan itu menghantui pikiran Saya selama ini.
“Maafin saya ya Ndut, udah putusin kamu secara sepihak, begini kah rasanya?!” Dengan lirih saya berkata dalam hati.
Akhir-akhir ini, saya sering sekali memikirkan mantan saya yang Gendut itu, bagaimana ya kabarnya sekarang? Udah menikah belum? Sama siapa?
“Hm....”
•••
Begitulah sedikit cerita awal dari saya, semoga semua reader suka💖 dan akan membaca setiap kisah saya, si perawan dewasa yang mendapatkan suami dadakan🌹 jangan lupa like,vote dan koment positifnya ya 🤗
Cerita di mulai...
Hari ini adalah hari pertunangan adik ke tiga Tiyah Citanin, ia memakai baju kurung batik berwarna hijau tua dengan hijab berwarna hitam kehijauan.
Dia sibuk dengan Ibunya menerima tamu dan bersalaman dengan mereka, dua orang adik perempuannya yang sudah menikah juga sibuk mengurusi anak mereka yang rewel, membuat Tiyah hanya bisa menghela nafas lelah seharian ini meladeni tamu.
“Kak...” panggil seorang pemuda remaja pada nya. Tiyah menoleh ke arah pemuda itu, lalu tersenyum dan memeluknya.
“Kamu sudah sampai? Kenapa tidak menelpon Kakak? Biar Kakak jemput di terminal.” ucapnya.
“Gak usah, Kak. Ngerepotin! Kakak aja repot gini. Oh ya Kak, aku bawa teman sekolah ke sini, gak apa-apa kan?”
“Iya gak apa-apa, bawa temannya masuk dan makan gih!” ucap Tiyah sambil tersenyum ke arah mereka.
Pemuda itu adik ke 4 Tiyah, ia sibungsu yang sangat ia manja. Sekarang sibungsu itu kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia sekolah di pusat kota, baru saja 8 bulan yang lalu, namanya Khairul.
Acara pertunangan pun selesai dengan lancar dan bahagia, sekarang mereka sedang membereskan dan membersihkan rumah.
“Nama kamu siapa dek?” tanya Tiyah kepada teman adiknya itu.
“Giandra, Kak.” jawab nya.
“Oh, di kota tinggal di kost yang sama dengan Khairul juga?”
“Enggak, Kak. Aku tinggal di rumah orang tua ku.” jawabnya.
“Oh, kirain.”
Mereka hanya berbincang-bincang sebentar, Khairul membawa Giandra bermain ke rumah teman-temannya setelah membantu mengangkat kursi dan meja ke dalam rumah kembali.
Sedangkan, Tiyah menyapu dan memungut sampah-sampah yang berserakan, membuangnya ke dalam tong sampah di depan rumahnya.
Saat ia membuang sampah, sebuah mobil Bugatti Veyron berhenti di depannya, seorang pemuda tampan, tinggi putih, rambut tebal hitam, memakai baju kemeja, turun dan menghampirinya.
“Artis kah? Ganteng banget?” batin Tiyah.
“Permisi, apakah ini rumah orangtuanya, Khairul?”
“Iya. Mari silahkan masuk, Pak.” ucap Tiyah sopan.
Tiyah mempersilahkan pemuda ganteng itu duduk di kursi di teras rumahnya, ia segera masuk kedalam rumah memanggil Khairul. Tapi, Khairul sedang keluar dengan Giandra sehingga orang tua Tiyah lebih dulu keluar menemui pemuda itu di teras.
“Ibu, lihat Khairul gak? Ada yang nyari tuh!”
“Siapa?”
“Gak tau, Bu. Mungkin Guru nya dari kota kali, aku suruh nunggu diteras tu, aku mau bikin minum dulu.” jelas Tiyah.
“Ya sudah, Ibu sama Ayah kedepan deh, kali aja ada yang penting di sampaikan pada Khairul.”
Orangtua Tiyah ke depan duduk menemani pemuda ganteng itu, kemudian disusul Tiyah yang membawa minuman dan menghidangkannya. Pemuda itu tersenyum dan beberapa kali melirik Tiyah.
Beberapa kali pemuda itu masih melihat Tiyah dan tersenyum sangat manis kepada nya, membuat Tiyah salah tingkah. Begitu pula dengan orang tua Tiyah jadi salah sangka.
“Dasar ni cowok! Gak sadar apa dia ganteng banget, bisa-bisanya dia senyum-senyum lagi ke arahku, jantungku ingin rasanya keluar melompat melihat senyumannya yang manis itu!” Tiyah berkata dalam hati.
Orang tua Tiyah mulai membuka pembicaraan, mereka sekarang berpikir laki-laki di depan bertamu untuk menemui Tiyah bukan Khairul, karena terbukti pemuda itu melihat Tiyah terus menerus.
Dan tidak membahas Khairul sama sekali, jadi mereka berpikir Tiyah malu memperkenalkan pemuda ini kepada mereka, sehingga mereka berinisiatif sendiri untuk menanyakan langsung.
“Oh ya lupa, namanya siapa Nak?" tanya Ibu Tiyah.
“Nama Saya Gibran tante."
“Oh sudah lama, kenal sama putri kami Tiyah?”
Pemuda itu tersenyum dan menatap ke arah Tiyah, tentu saja membuat Tiyah terkejut. Bukan terkejut karena tatapan pemuda ganteng itu, tapi terkejut karena pertanyaan ibu nya.
“Ibu apaan sih kok tanya begitu, aku sama dia....." ucapan Tiyah terpotong.
“Sudah cukup lama kenal nya, Tante," jawab pemuda itu.
Ibu dan ayah Tiyah tersenyum mendengar nya. Mereka semakin yakin sekarang, kalau Tiyah malu memperkenalkan pacarnya kepada mereka, mungkin Tiyah kurang percaya diri karena pacar nya sangat ganteng, pikir mereka.
“Hah?! Kenal aku cukup lama? Dimana? Gak mungkin aku bisa lupa kalau pernah lihat cowok seganteng ini, mana bisa di lupain?” pikir Tiyah dalam hati.
“Baguslah Nak, kami sebagai orang tua tidak kawatir lagi jadinya, selama ini dia tidak punya pacar dan tidak pernah membawa teman laki-laki ke rumah, dia sibuk belajar dan bekerja dari dulu, kami senang akhirnya dia membawa teman laki-laki ke rumah ini.” ucap sang Ibu.
“Kalian jangan lama-lama ya, soalnya Tiyah sudah berumur, adik-adik nya juga sudah menikah, kalau masalah rezki nanti juga datang dengan sendirinya, rezki menikah pun juga akan datang.”
“Bu!!” ucap Tiyah dengan sedikit meninggikan suaranya sambil mengernyitkan kening.
Ia tidak bisa lagi mendengarkan obrolan aneh ini, ia tau pemuda yang sebagai tamu itu hanya sopan dan menghargai orangtua nya, tapi orang tua nya sudah salah tanggap, membuat dia kesal dan menatap pemuda tampan itu dengan kesal, bukan lagi dengan senyum lembut yang ia balas seperti tadi.
“Iya, Om.” jawab pemuda itu.
“Kapan Nak Gibran akan berniat datang melamar putri kami, Tiyah?” tanya Sang Ayah.
“Ayah, tanya apa sih?! Dia itu...” ucap Tiyah dengan marah dan malu, tapi sayang ucapannya terpotong kembali.
“Secepatnya Om, saat Tiyah siap dan menyetujui untuk saya nikahi.” jawab Gibran serius.
“Gila! Apa yang Dia ucapkan?!” Tiyah memaki dalam hati.
“Alhamdulillah.” ucap kedua orang tua Tiyah lega.
“Kamu dengar,Tiyah! Nak Gibran sudah siap menikah dengan kamu, kamu tunggu apa lagi? Tunggu sampai perawan tua?” tegur ayah Tiyah.
“Kalian menikah barengan saja sama Dilla adik mu, 1 bulan lagi.” sambung Sang Ayah.
“Apa kamu bersedia menikah dengan Tiyah 1 bulan lagi, Nak Gibran?” tanya Ayah Tiyah.
“Saya bersedia, Om. Saya harap Tiyah juga bersedia.” jawabnya pasti.
“Tentu saja Tiyah akan bersedia, cuma kamu seorang teman laki-laki yang dia bawa datang ke rumah ini, tenang saja.” tegas Ayah Tiyah.
Apa dia gila?! Menikahi saya? Emang dia kenal sama saya? Tiyah berkata dalam hati.
“Ayah, Ibu, tolong deh! Apa yang kalian pikirkan? Menikah dengan dia? Yang benar saja! Kenal juga enggak. Barusan aku jumpa didepan rumah saat membuang sampah, dan dia datang ke sini untuk mencari Khairul.” jelas Tiyah kesal.
“Kamu jangan bercanda begitu deh! Kamu mainkan hati kedua orang tua saya, kita itu gak kenal! Aku tau kamu kaya, lihat dari mobil mu yang keren itu dan lihat ketampanan mu seperti ini, sedangkan aku hanya gadis remahan kerupuk, itu gak lucu!” ketusnya pada Gibran.
“Aku gak bercanda kok, aku bersedia menikahi kamu Tiyah.” tegas Gibran.
Tiyah melotot dan langsung berdiri dari duduknya, mengusir pemuda ganteng itu.
“Pergi kamu dari sini, pergi!”
“Tiyah, kamu apa-apa-an kayak gini? Mana ada laki-laki yang mau menikahi kamu kalau kamu usir begini? Kamu sudah mau 30 tahunan jangan banyak bicara lagi, kamu harus bersyukur dia mau menikah denganmu, atau kamu mau jadi perawan tua!” bisik sang Ibu.
Kemudian Ibu Tiyah membawa Tiyah pergi, membiarkan Ayah Tiyah dan Gibran berbicara berdua.
“Maaf ya Nak Gibran, Tiyah tadi bersifat tidak sopan.” ucap Ayah Tiyah sungkan.
“Tidak apa-apa kok, Om. Aku mengerti, aku akan datang melamar nanti, saat Tiyah bersedia.”
“Oh ya, Om. Aku sebelumnya ingin bertemu dengan Khairul dan Giandra, apa mereka ada di sini?”
Ayah Tiyah langsung terkejut.
Jadi benar dia ke sini ingin ketemu Khairul bukan untuk Tiyah? Ayah Tiyah berpikir dalam hati.
“Iya mereka lagi di luar, mungkin sebentar lagi pulang, ada perlu apa dengan mereka Nak Gibran?”
“Tadi aku di minta menjemput Giandra oleh Kakak saya.” jelasnya.
“Oh, teman Khairul itu?”
“Iya Om, Giandra keponakan saya.”
“Hm... jadi tadi sebenarnya kamu ingin bertemu dengan Giandra ya, bukan Putri saya?” tanya Ayah dengan selidik.
“Awalnya, aku ingin bertemu Khairul untuk menjemput Giandra, Om. Dan masalah melamar itu aku serius, Om. Aku cuma kawatir Tiyah gak mau menikah denganku, karena itu aku belum berani datang ke sini melamarnya.”
Ayah Tiyah ternganga, melihat dari ujung rambut sampai kaki pemuda di depannya ini. Bagaimana mungkin dia kawatir Tiyah tidak bersedia menikah dengannya?
Beliau sekarang sangat yakin, Tiyah pasti kenal dekat dengan Gibran, sehingga ia memutuskan 1 bulan lagi Gibran bisa melamar dan menikah dengan Tiyah, ia menegaskan kalau Tiyah tidak akan menolak pernikahan itu.
“Kalau begitu, Nak Gibran jangan kawatir! Tiyah pasti bersedia. Namun, Nak Gibran harus berjanji tidak akan menyakiti apalagi mengecewakan Putri saya!”
“Pasti, Om. Saya berjanji.”
Setelah kesepakatan keluarga Tiyah dengan Gibran, beberapa hari kemudian lamaran Gibran datang. Ia membawa beberapa seserahan untuk keluarga Tiyah, mereka disambut dengan suka cita di keluarga Tiyah tentunya.
Lamaran ini hanya di datangi oleh kakak perempuannya, suami kakak perempuan nya dan sepasang suami istri dari paman Gibran, mereka memakai 2 mobil yang membuat ibu-ibu bawel bungkam untuk sesaat karena gadis perawan yang sudah berumur itu akirnya ada yang melamar, bahkan di luar ekspektasi mereka.
Lamaran itu berjalan dengan lancar, Ayah dan Ibu Tiyah begitu bahagia, mereka segera menerima pinangan itu, dan mereka memutuskan akan menikahkan mereka berbarengan dengan Dilla adiknya Tiyah.
Gibran dan keluarga Gibran menyetujuinya, keluarga Tiyah mengusulkan agar menikah dan resepsi terlebih dahulu di rumahnya, baru disusul di tempat Gibran.
Keluarga Gibran hanya menurut saja, menyetujui semua keinginan dari keluarga calon mempelai perempuan.
°°°
Beberapa hari setelah lamaran, rumah Tiyah kembali di datangi 2 mobil yang tidak kalah bagus juga, walaupun tidak sebagus mobil calon suaminya, mobil itu berwarna hitam dan merah.
Di mobil merah itu turunlah 3 orang wanita, dan di mobil hitam turun juga 2 orang pria yang memakai pakaian berjas. Mereka keluar hampir bersamaan, para wanita-wanita itu membawa banyak barang dan tas-tas serta kotak bersama mereka.
Mereka semua di sambut hangat oleh Ibu Tiyah, mereka berbincang sebentar dan di persilahkan masuk menuju kamar Tiyah.
“Mari masuk, Putri saya Tiyah ada di dalam kamar.” ucap sang Ibu.
Ibunya mengetuk pintu, dengan segera Tiyah membukanya, ia melihat nanar ke arah 3 wanita yang bersama ibunya. Tapi tidak menunggu lama sampai Tiyah tersadar dari lamunannya, sang Ibu sudah membawa mereka bertiga masuk ke dalam kamar.
“Keluarkan semua gaun yang sudah di pilih Tuan dan cocokkan dengan Nyonya Muda.” perintah wanita paruh baya itu kepada 2 wanita muda yang bersamanya.
“Apa ini, Ma?! Banyak banget gaunnya?”
“Ini? Calon menantu Mama yang baik hati lagi tajir itu, mau yang terbaik untuk Istrinya.” jelas Ibu sambil senyum menggoda.
“Tapi, Ma? Ngapain sampai begini? Boros banget!” protesnya.
“Udah deh, jangan banyak protes.” tukas Ibunya.
Akhirnya, Tiyah tidak ingin berdebat lagi, ia mempersilakan mereka untuk memperkenalkan gaun-gaun yang mereka bawa, dan akan mencoba semua gaun ini, pikirnya.
Mereka membawa 5 gaun yang cantik, mewah dan elegan, semua gaun yang ia coba entah kenapa semua gaun itu sangat pas dengan tubuhnya yang berat 60 kg itu. Ia berdecak kagum akan kehebatan para desainer yang merancang baju kusus untuknya itu.
Tiyah masih mematung di depan kaca, menatap bayangan tubuhnya yang berbalut dengan gaun pernikahan yang akan dipakai di hari H, gaun ini adalah gaun ke 5 yang ia coba.
“Bagaimana Nyonya, apakah Nyonya suka?” Wanita paruh baya itu bertanya sopan penuh hormat.
“Iya aku suka, ini sangat bagus.” balas Tiyah.
“Makasih Nyonya, kalau begitu tugas kami sudah siap, kita akan bertemu beberapa hari lagi, saat pernikahan Nyonya dan Tuan Muda.” jelasnya.
“Jaga kesehatanya, Nyonya. Kalau begitu kami permisi.” sambungnya kembali.
Tiyah tersenyum manis membalasnya, dan membiarkan mereka kembali membantu membuka gaun itu dan mereka segera merapikan barang-barang itu kembali.
Setelah itu mereka pergi keluar dari kamar meninggalkan Tiyah sendirian. Tubuh Tiyah tiba-tiba bergetar, ia tertunduk dalam. Pernikahannya akan dilaksanakan beberapa hari lagi, terhitung dari hari ini ia harus menyiapkan dirinya untuk menikah dengan pria dadakan yang datang kerumahnya beberapa hari lalu.
Seperti ada sesuatu yang menyeruak di dalam dadanya, mungkinkah itu bahagia karena ia tidak menyandang status jomblo yang tidak laku lagi, atau bahagia karena akan menikah dengan pria ganteng lagi kaya, ia merasa seperti dapat durian runtuh.
Ia tersenyum, ia tidak bisa merubah apapun, mungkinkah ini yang disebut jodoh? Walaupun datangnya dadakan. Tidak akan merubah apapun tentang pikirannya yang kacau sekarang, bertanya alasan kenapa pria itu bersedia menikahinya yang jelas jauh dari kata cantik.
“Terimakasih.”
Apakah kata ini cukup untuk di lontarkannya, karena telah bersedia menikahinya? Ibu-ibu tetangga yang bergosip tentang dia gadis tua yang tidak laku mulai berhenti menggosip, sehingga Ayah dan Ibu Tiyah setiap saat akan menanyakan kapan ia akan membawa pria yang akan menikahinya, kini sudah tersenyum bahagia sekarang, tampak wajah mereka berbinar bahagia.
Setelah 3 wanita itu keluar dengan membawa kembali baju yang telah di coba Tiyah, Ibu Tiyah kembali mengetuk pintu kamar dan mengejutkan Tiyah yang baru saja menghayal menjadi Nyonya.
Ibunya masuk tanpa dipersilahkan masuk, karena pintu itu memang terbuka.
“Uluh uluh... Sebegitu senangnya ya, akirnya akan menikah dengan pujaan hatinya, sampai senyum-senyum sendiri nih...” goda Sang Ibu.
Tiyah tersenyum kikuk, pipinya merah merona karena malu.
“Ayo kita keluar, itu sopir dan Sekretaris Gibran sedang menunggu di luar.” ajak Ibu.
“Menunggu? Emangnya mau ngapain lagi?” tanya Tiyah.
“Mau bawa calon istri Tuannya pergi lah!” balas Ibunya.
“Kemana?” bertanya lagi.
“Katanya sih, beli cincin.”
“Cincin?”
“Iya, tentu saja cincin kawinlah!” jelas Sang Ibu.
Sontak Tiyah mengangkat tangannya, melihat jari jemarinya, mengingat pria yang bernama GIBRAN yang akan menjadi calon suaminya, dia laki-laki yang datang mendadak bersedia menikah dengannya.
“Hadeeh... Malah melamun!” seru Sang Ibu membuyarkan lamunan Tiyah.
Tiyah menggaruk daun telinganya yang tidak gatal karena terciduk sedang memikirkan Gibran kembali di depan Ibunya.
“Ayo, keluar.”
Ibu Tiyah mendahului Tiyah berjalan keluar dan kemudian di ekori oleh Tiyah dibelakangnya. 2 laki-laki itu telah setia menunggunya dari tadi disana, mereka kemudian dengan segera mengajak Tiyah pergi karena Gibran telah menunggu.
Dia berjalan mengikuti langkah kaki utusan itu, tanpa banyak bicara lagi. Ia memasuki mobil yang telah di bukakan oleh utusan itu tanpa suara, bahkan saat mobil melaju di jalanan pun dia masih tetap membisu.
Kendaraan lalu lalang di jalanan yang mereka tempuh begitu ramai, Tiyah memandang nanar ke arah luar dari dalam kaca mobil yang ia duduki. Entah memikirkan apa.
Dia terjaga dari lamunannya saat Sekretaris pribadi Gibran itu memanggilnya, dia telah berdiri di luar mobil dengan membukakan pintu.
“Kita sudah sampai Nyonya, mari.” ucap Sekretaris itu.
Tiyah segera turun, dan berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat bodoh, ia mengedarkan pandangannya di sekeliling dan melihat bangunan Mall yang besar, kemudian berjalan mengikuti langkah Sekretaris tanpa mengeluarkan suara atau pun bertanya.
Beberapa saat kemudian, Tiyah telah sampai di depan laki-laki yang akan menikahinya itu. Pria itu memakai baju kemeja, ia masih sibuk dengan laptop di depannya, sesaat Tiyah terpukau memandangi wajah tampan itu.
Gibran menutup laptopnya, dan memberikan sorotan mata dan jari agar utusannya meninggalkan mereka.
“Silahkan duduk, mau pesan minum atau makan dulu?” tanya Gibran.
“Gak usah, aku sudah kenyang.” balas Tiyah sekenanya.
“Kalau begitu, apa kita mulai memilih cincinnya sekarang?” Gibran tersenyum hangat kepadanya.
Deg! Jantung Tiyah berdebar. “Ya Allah, setiap bertemu dengannya jantungku sepertinya sakit.” gumam Tiyah dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!