Menunggu dan terus menunggu. Tiga tahun sudah berlalu saat kejadian memilukan itu terjadi. Tiga tahun penuh lara atas kehilangan yang tak kunjung usai. Radewa menghela nafas berat sekali lagi saat tak ada lagi penumpang yang tersisa dari penerbangan Canada-Jakarta. Mantan istri yang dicari tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Apa ini cara semesta bekerja? Saat sebuah hubungan kandas, maka tidak akan ada lagi kesempatan untuk dua manusia yang pernah sedekat nadi bertemu kembali sekalipun mereka berada dalam satu kota yang sama.
Canada, entah sudah berapa kali Radewa mengunjungi negara maple itu. Toronto si kota terbesar sampai Tilt Cove di Teluk Notre Dame yang hanya memiliki lima jiwa di dalamnya pun sudah dikunjungi, namun Amanda tidak kunjung ditemukannya.
Radewa sadar akan dosanya yang begitu besar, tapi apakah semesta setidakmau itu untuk memberikannya kesempatan menebus kesalahannya?
Hidup Radewa seakan mengambang di udara. Rasa bersalahnya membuatnya tak bisa lagi bebas tersenyum. Sedikit saja dia menarik bibirnya, maka dosa-dosanya akan kembali terputar di kepala. Berlarut pada kesedihan pun tidak membuahkan apa-apa. Dia masih harus menjalani harinya agar pundi-pundi uang yang dikumpulkan bisa membuatnya bahagia, nanti saat mantan istrinya ditemukan, karena Radewa akan segera menyerahkan segala yang dia miliki pada mantan istrinya itu sebagai penebusan, termasuk dengan dirinya sendiri.
Bahkan jika sebilah pisau menembus jantungnya sebagai permintaan Amanda atas tebusan dosa yang dia buat, dia akan tetap bahagia pada akhirnya. Perginya akan lebih tenang karena dia telah dimaafkan.
Kini pria yang kembali lesu setelah kehilangan harap itu melangkah lunglai menuju mobilnya yang terparkir tepat di pintu masuk bandara. Para petugas tak lagi memandang aneh, karena sudah paham untuk apa Radewa di sana. Mereka justru memandang iba dan kagum atas ketulusannya dalam penantian.
Andai saja mereka tahu seberapa besar dosanya, pasti kekaguman itu akan langsung berubah menjadi cemoohan.
"Hati-hati di jalan, Pak," kata satpam yang membukakan pintu mobil untuk Radewa.
Pria itu balas mengangguk, segera memakai seat bealt untuk kembali pulang. Mobil dinyalakan, tapi tunggu, Radewa mematikan kembali mesinnya untuk melihat lebih jelas dua puluh meter di depannya.
"Amanda!" Kaca mata hitamnya di lepas, lesu yang ada berubah seketika menjadi sumringah, "Benar itu Amanda!"
Hendak turun dan berlari sebelum terlambat, tapi Radewa sekali lagi menahan pergerakannya begitu dia melihat sosok gadis kecil datang dari arah belakang Amanda, berlari penuh tawa meminta perlindungan dari kejaran Baron yang rupanya juga bersamanya, juga Santika yang mengikuti di belakang.
Mata Radewa memicing, gadis kecil yang usianya diperkirakan kurang dari tiga tahun itu tampak menyebut kata mama pada Amanda yang dibalas dengan iya dan sayang oleh wanita itu. Meminta gendong, cium di pipi dan juga peluk. Mereka tampak akrab sekali, selayaknya seorang ibu dan anak.
Semakin urung niat Radewa untuk turun, saat dari sebuah mobil yang barusan melintas melewati mobilnya keluar lelaki yang ia kenal dia siapa. Justin, dia adalah seorang fotografer yang tiga tahun lalu sempat mendekati Amanda.
"Jadi kalian masih terus berhubungan selama ini?" guman Radewa merasa bodoh. Harusnya dia terus mengawasi Justin, bukan malah berhenti di tiga bulan pertama pencarian karena menyimpulkan sendiri bahwa tidak mungkin pria itu masih dan bisa berhubungan dengan Amanda kembali.
Dada Radewa naik turun, Justin bukan hanya segera keluar dari mobil, tapi dia juga mengambil alih gendongan gadis kecil itu. Mereka juga tampak sangat akrab hingga kata papa terucap.
Sontak rasa senang atas kembalinya Amanda bercampur kebingungan. Siapa sebenarnya gadis kecil itu? Hubungan apa yang terjalin antara Justin dan Amanda? Kepala Radewa seakan mau pecah memikirkannya.
"Tuhan, jangan sampai yang terlintas di pikiran saya adalah kebenaran. Mau dibawa sehancur apalagi jika benar terjadi. Saya tidak akan lagi sekuat dulu, dia hidup dan mati saya...."
***
tbc
Dukung author dengan like, komen dan follow. Terima kasih ❤️
"Jadi ini alasan mengapa kalian tidak pernah terlihat lagi di rumah itu. Kalian hebat bisa mengelabui saya." Di sinilah Radewa berada, di tepi jalan, lima meter sebelum masuk ke dalam kawasan perumahan elite dengan akses keamaan yang tinggi.
Tiga tahun lamanya Radewa menunggu di rumah lama milik keluarga Baron sebelumnya. Aktifitas di sana masih normal, masih ada satpam penjaga bahkan tukang kebun yang setiap pagi menyiram tanaman. Aktifitas para pekerjalah yang membuat dia menyimpulkan jika nantinya Amanda akan kembali ke sana. Namun kini dia sudah tahu, ke mana harusnya dia pergi.
"San, tolong kamu cari tahu siapa yang baru membeli rumah di perumahan ini. Temukan unit yang ditempati istri saya dan kabari secepatnya. Jika ada yang kosong, beli secepatnya berapapun harganya." Perintah yang mendapat jawaban tanpa bantahan. Radewa menghubungi Sandi, asistennya setelah dia mengirimkan foto tugu dan gerbang selamat datang dari perumahan yang ditempai Amanda.
Radewa tidak akan gegabah untuk memaksa masuk ke sana. Tidak akan membuyarkan rencana kembalinya Amanda yang jelas membutuhkan waktu panjang untuk memutuskannya.
Lega sedikit terasa, Radewa tersenyum setidaknya dia bisa melihat Amandanya sehat. Dia masih seperti dulu, masih sama cantiknya. Tentang rasanya, dia akan mengaturnya pelan-pelan, mengenai penasaran, dia akan menyelediki secepatnya. Radewa akan berkaca dari yang lalu-lalu, yang terpaksa dan buru-buru akan memberikan hasil yang buruk pada akhirnya.
Radewa memutuskan untuk pulang sebelum keberadaannya membuat curiga. Melajukan mobilnya dengan lebih santai, dengan wajah tenang.
***
"Bagaimana dengan rumahnya?" tanya Baron.
"Suka, interiornya sesuai dengan apa yang Amanda mau. Kamar Azura juga bagus, dia senang sekali sampai melompat-lompat di atas ranjang. Makasih ya, Pah."
Baron mengangguk, mengusap kepala Amanda. "Justin yang ikut membantu mengawasi pengerjaannya. Kamu juga harus berterima kasih pada dia. Bukannya dia mengajakmu makan malam, terimalah, nanti biar Azura Papa dan Mama yang menjaganya."
Santika yang berada di sana juga mengangguk. "Benar, Sayang. Mama bukan mau memaksa atau mengatur kamu, tapi Justin sudah membuktikan keseriusannya dengan beberapa kali menyusul kita di Canada. Sekali-kali terima ajakannya tanpa membawa Azura, dia pasti sebenarnya juga menginginkannya."
"Kamu kan dulu bilang sempat menyukainya, kenapa tidak meresmikan hubungan kalian saja. Apa ada sesuatu tentang Justin yang tidak Papa ketahui?"
Amanda tegas menggeleng. "Justin tidak berubah dan semoga saja tidak ada yang dia sembunyikan. Memang Manda saja yang sengaja menahan diri untuk tidak membiarkan perasaan yang dulu berkembang. Semenjak Azura lahir, yang Manda pikirkan hanya anak Manda. Jadi Amanda sebenarnya tidak tahu apa yang Manda rasakan sekarang. Tapi yang jelas, Manda nyaman bersama Justin, itu saja."
"Jangan sia-siakan yang sudah terlihat pengorbanannya. Papa dukung apapun keputusan kamu, tapi boleh Papa minta, buka hatimu kembali, jangan ditahan lagi. Azura juga sudah sangat dekat dan menganggap Justin adalah orang tuanya. Dia pasti akan senang sekali jika Justin nantinya tinggal di rumah ini juga."
"Entah apa hubungan kalian sebenarnya, Mama memang tidak berani bertanya. Tapi dari bagaimana kamu yang selalu bertukar pesan dengan dia setiap saat, melakukan panggilan setiap malam, bergandengan tangan saat pergi bersama, Mama pikir kalian jelas saling mencintai. Cobalah, tidak perlu takut."
Manda hanya tersenyum menanggapinya. Entah memang disebut apa hubungannya dengan Justin, tapi mereka sama-sama merasakan nyaman.
Justin sudah pernah mempertanyakan status mereka dan Amanda menjawab untuk jalani saja apa yang ada. Dan mereka benar menjalaninya dengan baik.
Manda pun berpamitan untuk menuju lantai dua, putrinya Azura berada di atas, sedang bermain bersama Justin, tidak mau dia meninggalkannya berlama-lama.
Terdengar tawa kencang bahkan saat Manda masih berada di tangga. Dia ikut bahagia mendengar kebahagiaan putrinya yang akhirnya bisa berada di Indonesia dan menetap di sini selamanya. Sudah cukup pelariannya selama tiga tahun, Amanda pun merasa begitu merindukan negara kelahirannya ini.
Sejak kepergian tiga tahun lalu, Amanda memang tidak pernah sekalipun kembali. Hanya orang tuanya saja dan bahkan bisa terhitung dengan jari.
Kamar Azura berada di sebelah kamarnya sendiri, bahkan dari ujung tangga dia bisa melihat kamar itu. Manda bisa melihat betapa lebar senyum putrinya yang bermain dengan Justin.
Sekelebat ingatan Amanda tertuju pada sosok lelaki yang tiga tahun lalu menyakitinya. Membayangkan jika posisi Justin sekarang dilakukan oleh Radewa.
"Kenapa aku harus memikirkannya, dia tidak pantas mendapatkan kebahagiaan ini. Justin lah yang pantas, dia yang terbaik Manda. Buka hatimu untuk dia." Manda segera menggeleng kencang, tidak akan dia biarkan nama Radewa menguasai pikirannya. Akan sia-sia usahanya bertahun-tahun mengabaikan lelaki itu.
Amanda kembali melangkah, masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda yang penuh keceriaan itu.
"Mama...." Azura berlari ke arahnya, meminta di gendong setelah puas diputar-putar oleh Justin.
"Sampai berkeringat gini. Semangat sekali kayanya."
"Harus dong, Mama. Di sini aku senang sekali, kamarku bagus, warnanya pink. Ada hello kittynya besar sekali. Dan mama tau aku juga sangat senang sekali karena apa?"
"Karena apa?"
"Mama tebak dulu dong."
"Hmmm apa ya. Mama tidak tahu sayang. Katakan saja ya, kamu kan lebih pintar dari Mama."
"Aku sangat senang sekali, karena Aku bisa ketemu Papa Justin kapanpun aku mau. Aku bisa bermain dengan Papa sering-sering."
"Azura, tidak boleh sembarangan memanggil Paman Justin Papa, Sayang. Kan, Mama sudah bilang."
"Tapi aku mau, Mama. Aku juga mau memanggil Papa. Di Canada tidak ada yang bisa aku panggil Papa."
"Nggak papa, Manda. Saya juga tidak keberatan."
"Tuh kan... Mama jangan larang-larang lagi ya."
Amanda tak berkutik lagi. Memang sudah lama Azura menginginkan seseorang untuk dipanggilnya Papa. Awalnya Baron menawarkan diri, tapi Manda menolaknya dengan tegas. Azura harus membiasakan dirinya memanggil siapapun sesuai posisinya.
"Kamu bau. Sana mandi sama, Sus. Nanti setelah mandi kita makan." Azura memang dibawakan pengasuh khusus dari Indonesia sejak kecil.
"Kata Papa boleh makan di luar, Ma. Zura mau jalan-jalan."
"Besok ya, Sayang. Kita kan baru sampai, semua orang cape sekali. Kamu juga pasti cape, nanti malah sakit kalau dipaksakan."
"Nurut, ya, Zura..." Justin ikut membujuk.
"Oke deh. Sekarang Zura mandi dulu. Bye Mama, Bye Papa!!"
Azura yang diturunkan berlari menuju Susternya yang telah menunggu.
"Maafin Zura yang banyak maunya, ya. Aku jadi merasa nggak enak sama kamu," kata Amanda pada Justin.
"Nggak perlu sungkan. Justru aku senang jika kamu dan Azura membutuhkanku."
Malu-malu, Manda memegangi ujung jari Justin. "Kamu masih menunggu jawabannya atau tidak?"
"Jawaban untuk pertanyaan yang mana?"
"Yang di taman waktu itu saat Azura baru pertama kali dibawa keluar untuk melihat daun maple berguguran."
"saya tidak akan memaksakannya. Tanpa perlu jawaban pun saya merasa menjadi milik kamu."
"Tapi aku mau memberikan jawaban itu. Aku mungkin masih merasa takut, tapi aku mau, Justin. Aku mau jadi kekasihmu. Tolong jangan kecewakan aku dan Zura."
"Ini benar, saya tidak salah dengar, kan?" Manda mengangguk.
Spontan Justin memeluk Amanda yang juga membalas pelukannya. "Saya senang sekali, terima kasih, Manda. Saya janji, saya tidak akan mengecewakan kalian."
Manda berdoa semoga keputusannya tepat. Dia memang ragu dan takut saat di Canada karena dia dan Justin berjauhan. Namun sekarang dia di sini, tidak perlu lagi ada yang ditakuti. Justin memang pantas mendapat pengakuan dengan segala usahanya selama ini.
***
Tbc
Dukung author biar makin semangat dengan like, komen, dan follow ya.
Jangan lupa juga tinggalkan penilaian pada cerita ini❤️
"Sudah cantik, tidak ada yang kurang sedikitpun. Kamu selalu sempurna sejak dulu sampai sekarang."
Amanda malu-malu, dia tengah berkaca untuk memastikan sekali lagi penampilannya dan rupanya Justin sudah berada di sana, melihatnya dari belakang, bersandar pada bingkai pintu. Ini adalah kencan pertama setelah tiga tahun tak menjalin hubungan dengan siapapun. Meski kerap kali pergi bersama, tapi dengan status yang berbeda, dekap jantung rasanya lebih berat.
"Sudah tau," sahut Manda mencegah pipinya semakin memerah.
"Inilah Amanda yang saya kenal, Amanda yang selalu percaya diri." Justin mengusap wajah Amanda. Terus menatap lekat wajah ayu wanita yang dia tunggu selama tiga tahun itu.
Mereka berdua saling beradu pandang, meromantisasi keheningan kamar yang dipenuhi wewangian. Pelan dan pasti, wajah Justin mendekat, matanya tertuju pada benda kenyal berona merah di atas dagu.
"Mama, Papa... kalian mau kemana. Kok pakai baju bagus!!" Buyar sudah keinginan Justin untuk mencium Amanda, Azura datang dengan berkacak pinggang. Amanda sendiri sebenarnya belum siap melakukannya, dia merasa sangat lega dengan kehadiran putrinya itu yang berhasil mencegahnya berciuman dengan Justin.
"Manda... maaf. Mama sudah bujuk dia untuk tetap di dalam kamar tapi gagal." Santika menyusul di belakang gadis kecil itu.
"Tuh kan... Mama sama Papa dan Oma pasti merencanakan sesuatu. Untung aku keluar. Zura nggak mau tau, Zura harus ikut!!"
"Sayang, Mama mau kerja. Kamu di rumah saja ya, nanti Mama pulang Mama bawakan mainan."
"Tidak mau. Aku mau ikut!!"
"Azura mau ikut, sana ganti pakaian." Justin membiarkan.
"Aku bujuk Azura sebentar ya. Aku nggak enak sama kamu." Rencana Amanda dan Justin adalah untuk makan berdua malam ini. Manda memang merasa tidak enak hati jika terus-terusan mengajak Azura saat Justin hanya meminta untuk berdua saja.
"Tidak apa. Lain kali kita bisa melakukannya. Saya tidak tega pada Azura. Dia pasti sedih sekali."
"Maaf ya."
"Tidak apa-apa." Justin menggendong gadis kecil pemilik senyum manis tersebut, "ayo Papa bantu pilih pakaiannya. Kamu harus sama cantiknya seperti Mama."
"Yeayy, terima kasih, Papa!" Satu kecupan pipi Justin dapatkan.
Inilah yang menjadi pertimbangan besar hingga akhirnya Amanda berani memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Justin. Pria itu selalu baik sejak awal. Dia lebih mementingkan orang lain dibanding egonya. Dan pria lain belum tentu juga akan menerima Azura seperti Justin menerimanya.
Menunggu lima belas menit kembali, akhirnya Azura siap. Dia memakai pakaian berwarna merah, senada dengan milik Amanda. Digendong Justin hingga ke mobil.
Justin diharuskan mengemudi lebih cepat agar waktunya tak terbuang sia-sia, dia hanya memesan meja dengan waktu satu setengah jam saja.
Di sebuah restaurant tengah kota, akhirnya mereka tiba. Berjejer puluhan mobil mewah di parkiran. Resto tersebut memanglah langganan para pengusaha dan konglomerat.
"Zura tidak boleh rewel ya. Di sini kalau berisik nanti diusir. Zura mengerti?" Amanda memberi pesan, harap putrinya akan mengerti dan terkendali seperti biasanya.
"Okay, Mama."
Azura kembali digendong Justin sementara Amanda digenggam tangannya erat-erat oleh pria itu. Mereka bertiga sudah selayaknya keluarga bahagia.
Pelayan langsung menyambut. mengarahkan pada meja yang di pesan lebih dulu oleh Justin. Seperti parkirannya, restaurant itu benar ramai. Sebenarnya ada ruang VIP agar makan malam mereka lebih privasi, namun Justin terlambat untuk memesannya. Semuanya penuh.
"Silahkan, Tuan dan Nyonya," kata pelayan begitu mereka sampai pada meja yang hanya memiliki dua kursi.
"Saya boleh meminta satu kursi lagi untuk anak saya?" Permintaan Justin dianggukan pelayan.
"Mama, aku tadi lupa ke kamar mandi dulu. Sekarang aku kebelet."
"Gara-gara Papa ya yang bikin buru-buru?"
"Tidak Papa, ini karena aku yang salah. Aku lupa."
Manda tersenyum melihat interaksi Justin dan putrinya. "Ayo Mama temani. Aku ke kamar mandi juga dulu ya."
"Hmm. Jangan lama-lama."
Azura digandeng menuju kamar mandi yang berada di ujung kanan, tersekat tembok juga taman air mancur buatan.
Azura pintar selalu mengatakan apa yang dia mau. Dia juga pandai mendepatkan diri berkat didikan yang Manda lakukan. Dengan cepat, gadis kecil itu mentuntaskan apa yang dia tahan sejak perjalanan tadi.
"Mama juga mau ke kamar mandi. Kamu sini saja ya, tunggu Mama." Azura yang sudah dibersihkan tangannya mengangguk.
Selayaknya anak kecil pada umumnya, anggukan bukan berarti dia akan melakukannya. Azura memang tidak akan pergi ke mana-mana, tapi dia penasaran pada air mancur yang sebelumnya dia lewati. Pikirnya jika dia ke sana, Mamanya tidak akan marah. Gadis itupun berlari kecil keluar dari ruangan itu.
Bugh!
Azura menubruk seseorang hingga terpental jatuh. "Maaf, Zura tidak sengaja."
"Tidak apa-apa." Pria yang ditubruk itu membantu. Dia adalah Radewa yang begitu menyadari siapa gadis yang menabraknya langsung terdiam.
"Om tidak apa-apa?" tanya Azura memastikan, dia merasa bersalah dan Radewa terus diam begitu selesai membantunya berdiri kembali.
"Eh, tidak apa-apa. Siapa tadi nama kamu?"
"Azura."
"Nama yang cantik. Azura, lain kali hati-hatinya. Jangan lari-larian apalagi di tempat umum seperti ini. Dan kamu kenapa nakal sekali, mana orang tua kamu, kenapa pergi sendirian."
"Azura, Sayang... kamu di mana?"
Radewa kembali diam. Suara Amanda, suara yang hampir dia lupakan itu kembali terdengar di telinganya. Suara yang indah, yang membuat matanya seketika berkaca-kaca.
"Zura.... Ya Tuhan sayang... Tadi Mama bilang apa?"
"Maaf Mama, tadi Zura mau melihat air mancur itu. Tapi Zura malah nabrak Om tadi." Zura menunjuk ke arah kamar mandi pria.
"Om siapa? Kamu tidak apa-apa kan?"
"Tidak apa-apa Mama. Tadi Zura juga sudah minta maaf pada Om. Kata Om tadi, Zura harus hati-hati, tidak boleh pergi sendirian lagi."
"Benar kamu sudah minta maaf?"
"Sudah Mama."
"Yasudah kalau begitu, ayo ke Papa. Papa pasti sudah menunggu." Amanda tadinya ingin bertahan dan kembali mengatakan maaf, tapi dia tidak mungkin terus berasa di sana, buku pesanan pasti sudah ada di meja, tidak enak rasanya terus membuat Justin menunggu. Pikirnya orang itu akan melewati mejanya dan nanti dia akan meminta maaf kembali.
Seperginya Amanda dan Azura, Radewa akhirnya keluar dari persembunyiannya. Di balik tembok dia mendengar lebih jelas suara Amanda yang begitu dia rindukan itu.
Sungguh tadinya dia ingin bertahan di tempat untuk kembali melihat Amanda dengan lebih dekat, tapi rasanya dia masih belum bisa. Jawaban atas rindunya sangat membahagiakan sampai dia tak bisa menahan air matanya lagi.
Radewa juga kehilangan keberanian. Dosanya di masa lalu membuatnya merasa tidak pantas untuk menunjukkan diri kembali. Dia takut akan merusak kebahagiaan Amanda. Padahal dia ingin mengutarakan maaf juga pertanyaan-pertanyaan yang sekarang semakin membuat kepalanya berisik. Tentang siapa anak bernama Azura itu dan apa hubungan Manda dan Justin sekarang.
Di balik sekat berlubang yang menjadi pembatas salah satu ruangan dan taman, Radewa berdiri. Dia pandangi dari jauh Amanda yang rupanya juga datang bersama Justin.
Radewa bisa melihat betapa harmonisnya hubungan mereka. Ternyata pilihan untuk menahan diri adalah benar, jika tadi dia memaksa untuk berhadapan dengan Amanda, bisa jadi acara makan malam mereka gagal begitu saja.
"Senyuman kamu manis sekali, Sayang. Saya merindukan senyuman itu."
"Maafkan saya yang pecundang ini. Saya akan temui kamu secepatnya. Saya harap masih ada ruang untuk saya mendapat senyuman kamu kembali."
Radewa tak kembali menuju tempat duduknya meski dia tak perlu melewati meja mereka. Dia hanya merasa tak sanggup jika harus melihat tawa mereka yang begitu bahagia, sementara dirinya masih dihanti beribu rasa bersalah dan penyesalan. Dia ingin lebih tenang sedikit saja, meski rasanya akan tidak mungkin. Sungguh dia ingin memeluk Amanda-nya kembali.
***
TBC
Dukung author dengan like, komen dan follow. Jangan lupa juga berikan penilaian pada cerita ini supaya author lebih semangat lagi updatenya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!