NovelToon NovelToon

Bloody Anna

Aurora Grand Hotel dan kisah lalu

Yogyakarta, 29 Mei 1978

Losmen Flamboyan.

Seorang lelaki tua bernama Pak Surya tengah sibuk membersihkan kebun untuk persiapan pesta ulang tahun cucunya.

Angin dingin berhembus pelan, meski matahari masih menggantung di langit. Pak Surya mendongak sejenak, mengusap keringat dari dahinya. Ia merapikan ranting dan daun kering yang berserakan di bawah pohon flamboyan, tempat yang konon menyimpan cerita menyeramkan. Tapi bagi pak Surya itu bukan masalah.

Bertahun-tahun tinggal dan mengurus losmen warisan keluarganya, tak satu kali pun ia bertemu dengan hal ganjil yang konon kabarnya selalu mengganggu para karyawan dan warga sekitar. Sayangnya tidak untuk hari ini.

Udara mendadak menjadi dingin, dan angin yang berhembus pelan membawa aroma anyir yang tak wajar. Pak Surya, yang tengah sibuk membersihkan kebun, tiba-tiba merasa tak nyaman. Punggungnya seperti ditusuk hawa dingin yang menyeruak entah dari mana.

Ia melirik pohon flamboyan tua itu, menghela nafas sejenak untuk membuang rasa tak nyaman. Bayangan pohon itu tampak lebih gelap dari biasanya. Pak Surya mengabaikan perasaan tak nyaman itu. Pak Surya tetap menyapu dedaunan yang berserakan.

Saat Pak Surya jongkok, merapikan pot bunga yang miring. Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar persis di belakangnya. Ia mendongak, mengernyit heran.

"Bu, bisa bantu aku? Tolong angkat pot ini, aku mau bersihkan dulu bagian sini.” Ucapnya sambil menunjuk deretan pot yang terlihat sedikit berantakan.

Tak ada jawaban. Hanya suara gemerisik dedaunan. Pak Surya berdiri dan membalikkan badan. Ia tertegun. Sosok seorang perempuan berdiri tak jauh darinya. Membelakangi dirinya. Dalam balutan gaun putih panjang khas zaman kolonial dan juga payung putih kecil yang digenggam erat di tangan kirinya.

Tanpa curiga sedikitpun, Pak Surya bertanya dengan ramah. “Oh ada tamu rupanya, mau menginap disini mbak?”

Perempuan itu tidak menjawab. Hanya berdiri diam, sesekali terlihat memutar tubuhnya ke kanan dan kiri. Setiap kali ia bergerak, suara angin menggema aneh, seperti bisikan halus yang menerobos telinga.

“Mbak …,” Pak Surya mulai curiga.

Perempuan itu bergerak perlahan, memutar tubuhnya.

Pak Surya mundur beberapa langkah, ia ketakutan. "Allahu akbar ... Astaghfirullah, jangan dekati saya!"

Tubuhnya membeku, nafasnya mulai berat. Perempuan bergaun putih itu menyeringai aneh, rambutnya yang kusut berwarna pirang, sebagian menutupi wajahnya. Ketika angin pelan menyibakkan rambut itu, wajahnya terbuka, memperlihatkan sesuatu yang mengerikan.

Kulit wajahnya pucat kehijauan, dengan bekas luka menganga di leher yang terlihat seperti bekas sayatan. Matanya kosong dan hitam pekat, memancarkan kemarahan yang menusuk. Bibirnya tersenyum lebar, tapi itu bukan senyum manusia—mulutnya robek hingga ke pipi, memperlihatkan gigi-gigi kuning yang mengerikan.

Payung putih kecil yang digenggam di tangannya berlumur noda merah gelap, meneteskan cairan yang jatuh ke tanah dengan bunyi pelan. Suara langkahnya, meski ringan, tapi menggema di telinga Pak Surya seperti dentuman keras.

Pak Surya berbisik gemetar. "Si-siapa kamu?”

Sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju dengan gerakan lambat. Setiap langkahnya membuat udara semakin dingin. Pak Surya mundur, jantungnya berdebar kencang, dan tubuhnya gemetar tak terkendali.

Anna suara pelan dan parau, seperti berasal dari lubang kubur. "Waar is hij ... Moordenaar!”

(Dimana dia .. pembunuh!)

Pak Surya ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Ia berbalik untuk lari, sayangnya kaki pak Surya tersandung dan ia jatuh terduduk di tanah. Sosok perempuan itu kini berdiri di depannya, wajahnya semakin dekat, hingga Pak Surya bisa mencium bau busuk seperti bangkai.

Pak Surya berteriak putus asa. Memejamkan mata agar tidak melihat kengerian nyata di depannya.

"Ampun! Tolong jangan sakiti aku!"

Wanita itu tertawa, suara tawanya melengking seperti jeritan yang menusuk. Dari matanya yang kosong, air mata darah mengalir perlahan, menodai pipinya yang pucat.

Sosok itu menggertak dengan suara parau. “Ik stierf... Verraden, vermoord! Breng de moordenaar naar mij!

(Aku mati … dibunuh, dikhianati! Bawa pembunuhnya padaku!)

Pak Surya mencoba merangkak mundur, tetapi Noni Belanda itu tiba-tiba membungkuk, hingga terdengar suara tulang yang berderak patah. Ia mendekatkan wajahnya yang menyeramkan ke wajah lelaki tua itu. Bibirnya bergerak, tapi suaranya berubah menjadi jeritan memekakkan yang membuat telinga Pak Surya berdenyut kesakitan.

Pak Surya menjerit dan terkulai lemas, pingsan di bawah pohon flamboyan. Sosok hantu itu perlahan menghilang ke dalam bayang-bayang, meninggalkan bau anyir dan suara bisikan samar yang terus terngiang di telinga. Pohon flamboyan itu kembali diam, tetapi malam di losmen itu tak akan pernah sama lagi. Anna telah kembali, membawa dendam yang tak akan pernah mati.

Malam itu, pesta di losmen kecil berlangsung dengan meriah, tapi Pak Surya tidak hadir. Ia hanya duduk di kamarnya, merapal doa-doa panjang. Bayangan hantu Noni Belanda itu terus melekat di pelupuk mata.

Di luar, pohon flamboyan bergoyang tertiup angin, seolah mengingatkan bahwa tanah itu menyimpan dendam dan kesedihan yang tak kunjung selesai. Tak ada yang menyadari kehadiran Noni Belanda yang menatap tajam ke arah pesta sambil mendendangkan lagu kesayangannya.

"Waar ben jij, mijn liefste schat,

De dagen voelen koud en mat.

Jouw glimlach mis ik in mijn dromen,

Kom terug, mijn hart blijft op je wachten."

("Di mana kamu, cintaku yang berharga,

Hari-hari terasa dingin dan hampa.

Aku merindukan senyummu dalam mimpi,

Kembalilah, hatiku terus menunggumu.")

*******

Yogyakarta, masa kini.

Februari, 2023

Hotel Aurora Grand tengah memasuki tahap akhir persiapan untuk soft opening yang dijadwalkan tiga bulan lagi. Anastasia, General Manager hotel, sibuk mengoordinasikan segala aspek agar semuanya sempurna.

“Masalah promosi sama branding gimana?” Tanya Anastasia ada salah satu staff ditengah meeting mereka.

“Tim pemasaran sudah mulai gencar mempromosikan hotel melalui media sosial, media cetak, dan digital. Kampanye teaser juga sudah diluncurkan. Kita menampilkan keindahan arsitektur, fasilitas mewah, dan pemandangan hotel yang eksklusif. Jadi semua sudah oke dan berjalan lancar, Bu.”

“Jangan lupa jalin kemitraan dengan influencer dan travel agent terkemuka. Kalau bisa ambil selebgram dengan viewer bagus tapi positive vibes.” Anastasia menambahkan catatan untuk timnya.

“Oke, pelatihan karyawan sudah, finalisasi interior oke … simulasi hotel, kita cek ulang lusa ya Nat?!” Serunya pada salah satu kepala bagian–Nathan.

“Siap, mbak!”

Anastasia tersenyum saat lelaki muda itu akhirnya memanggil “mbak” padanya. “Kenapa kalian nggak panggil saya begitu, seperti Nathan? Saya nggak suka kaku-kaku di pekerjaan.”

Yang lain mengangguk paham. Anastasia sengaja tidak ingin memberi jarak antara atasan dan bawahan. Ia ingin sinergi kinerja yang bekerja dua arah tanpa sekat kecanggungan.

“Ohya, untuk acara pembukaan gimana? Clear?”

“Delapan puluh persen clear mbak, tim event management sudah merancang gala dinner eksklusif untuk soft opening, yang mengundang pejabat lokal, investor, dan media. Dan kami akan memastikan kesan pertama yang luar biasa.” Jawab Nathan lagi.

Anastasia mengangguk, memastikan setiap detail dipantau dengan cermat agar Hotel Aurora Grand menjadi destinasi mewah yang sempurna sejak hari pertama dibuka. Saat Anastasia sedang memeriksa jadwal pelatihan staf di ruang meeting, tiba-tiba seorang pelayan berlari masuk dengan wajah pucat.

“Bu Ana, pantry … ada sesuatu yang aneh!” katanya tergagap.

Anastasia dan yang lainnya saling pandang. “Ada apa memangnya?”

“Duh, ibu liat sendiri aja deh!” Sahut pelayan itu panik.

Anastasia dan timnya segera menuju pantry, diikuti oleh beberapa staf lainnya. Di sana, kekacauan tak terduga menyambut mereka. Panci dan wajan berserakan di lantai, beberapa pintu lemari terbuka, dan sebuah pisau tergeletak tegak di atas meja, seolah-olah ditancapkan oleh kekuatan tak terlihat. Suara dentingan samar terdengar, meskipun tidak ada orang di dalam ruangan.

“Saya yakin tadi semuanya rapi!” ujar seorang koki dengan gemetar. “Saya hanya keluar sebentar, lalu ini terjadi.”

Beberapa staf mulai berbisik takut-takut, mengaitkan kejadian itu dengan cerita mistis yang konon beredar di sekitar hotel sebelum renovasi. Ada desas-desus bahwa lokasi hotel dulunya adalah bangunan tua dengan sejarah kelam.

Anastasia berusaha menenangkan situasi. “Mungkin ini hanya ulah tikus atau angin yang kuat,” katanya, meskipun dalam hatinya ia sendiri merasa ada yang janggal.

Saat ia mendekati meja untuk memeriksa, sebuah botol tiba-tiba jatuh dari rak dengan sendirinya. Seluruh staf terkejut, beberapa bahkan menjerit kecil. Anastasia merasa bulu kuduknya berdiri, tetapi ia tetap mencoba menunjukkan ketenangan.

“Baiklah,” katanya dengan suara tegas. “Kita selesaikan ini nanti. Untuk saat ini, semua kembali ke tugas masing-masing. Pantry akan saya kunci sampai diperiksa lebih lanjut.”

Rumor tentang “kehadiran tak kasat mata” mulai menyebar di antara staf, mengusik persiapan yang seharusnya berjalan lancar. Anastasia tahu, dia harus menemukan jawaban sebelum ketakutan ini semakin meluas.

Bersambung …,

Kekhawatiran Adam

Anastasia berdiri di sudut pantry, tubuhnya tegang dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Suasana di ruangan itu terasa berat, meski denting piring dan suara aktivitas dapur di luar masih terdengar samar. Kepala chef, seorang pria paruh baya dengan wajah serius, berdiri di dekat meja kerja sambil melipat tangannya. Pelayan terkait, seorang wanita muda yang terlihat gugup, sesekali mencuri pandang pada Anastasia.

Adam, manajer keuangan hotel, berdiri dengan raut wajah cemas, memegang tablet yang memutar rekaman CCTV.

“Ini nggak masuk akal,” gumam Adam sambil mengulang rekaman yang memperlihatkan gerakan aneh di salah satu sudut dapur.

Dalam video itu, laci tempat penyimpanan pisau tiba-tiba terbuka dengan sendirinya, diikuti suara barang jatuh. Beberapa pisau meluncur ke lantai tanpa sebab yang jelas. Dan yang paling mencengangkan, tiga pisau yang menancap sempurna seolah mengisyaratkan ancaman.

"Aku melihatnya sendiri," ujar pelayan wanita itu dengan nada bergetar. "Nggak ada satu orang pun dari kami disana. Aku nggak bohong, Bu Ana.”

Anastasia mengangguk pelan dengan berat hati. Ia tahu itu meski tidak dijelaskan. Saat kali pertama memasuki pantry, aura tak bersahabat sudah menyapanya. Kelebatan bayangan hitam berpindah tempat dengan cepat saat ia mendekati meja. Tapi Anastasia tak ingin banyak bicara, ia tak ingin menakuti karyawannya.

"Yah, dan sekarang kita semua tahu," tambah Adam, menunjuk layar. "Semua kejadian aneh ini terekam. Tapi bagaimana mungkin?"

Anastasia menatap layar itu dengan intens. Ada sesuatu di balik kejadian ini yang hanya dia pahami. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, tapi ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.

“Kalian yakin pintu dapur tadi terkunci saat insiden terjadi?” tanya Anastasia, suaranya dingin tapi tegas.

Kepala chef mengangguk cepat. “Ya, kami memastikan semuanya tertutup sebelum shift dimulai.”

Anastasia menghela nafas panjang. Ada sesuatu yang tak kasat mata tengah bermain-main, dan meski dirinya tidak ingin memicu kepanikan, Anastasia tahu kejadian ini bukan murni kebetulan.

“Aku akan menyelidikinya lebih lanjut,” ujar Anastasia akhirnya. “Untuk sekarang, anggap saja ini kesalahan teknis.”

“Masalah teknis? Apa kamu gila, An? Ini lebih dari sekedar masalah teknis! Hotel bakal buka tiga bulan lagi dan kejadian ini bisa jadi rumor buruk yang bakal berpengaruh sama kepercayaan investor!” Adam menyela, bingung membayangkan kegagalannya menarik dua investor besar yang baru saja di lobby-nya.

Pelayan dan chef kepala saling pandang, Anastasia menghela nafas berat. “Kalian boleh keluar.” Perintahnya pada keduanya.

Setelah keduanya keluar, Ana menoleh pada Adam. “Harus ya, ngomongin ini di depan mereka? Mereka baru shock lho, Dam? Jangan bebani pikiran mereka sama beginian juga kali!”

“Ya biarkan mereka juga mikir, bahwa rumor begini bakal bikin hotel kita rugi besar! Gimana kalau kita nggak jadi opening hanya karena rumor hotel berhantu?!”

“Kamu terlalu overthinking, Dam. Mana mungkin opening batal hanya karena rumor nggak jelas gitu? Semuanya bakal tetap berjalan sesuai rencana, on schedule and no cancelled.”

Adam meletakkan tablet di meja,melipat kedua tangannya didepan dada. “Jadi apa solusimu?”

“Nggak ada,” jawab Ana singkat.

“Nggak ada? Hei, jangan bercanda An! Ini serius loh masalahnya. Kamu nggak liat video itu? Dan aku juga nggak tahu apa ada karyawan yang sudah curi rekaman lalu up ke medsos!”

Anastasia memijat pelipisnya, Adam memang tipe perfeksionis tapi juga terlalu berlebihan. “Dam, please … jangan bertingkah layaknya kamu pemula deh. Di up di medsos kan malah kebetulan? Promo gratis jadi mereka penasaran sama hotel kita. Lagian masyarakat kita itu suka sama hal yang menyangkut misteri kayak gini. So masalahnya dimana?”

“Investor Ana … investor! Gimana kita bisa yakinin mereka kalau mereka aja nggak yakin hotel kita bakal rame dalam lima tahun kedepan hanya karena rumor hotel berhantu!” Adam berkata dengan berapi-api.

“Dam, come on! Ini cuma satu gangguan kecil lagian selama hotel ini beroperasi baru ini kan yang aneh? Lainnya nggak ada!”

“Kamu yakin?”

Anastasia ragu menjawab, karena dia sendiri baru saja dipindahkan dari kantor pusat ke Yogyakarta untuk mengurus hotel ini. “Ehm, mungkin.”

Adam tertawa sinis, “kamu tahu nggak, sejak awal aku sudah ada disini, sejak hotel ini dalam proses pembangunan, dan aku tahu persis apa yang terjadi disini, di hotel ini!”

“Ya udah, ngapain juga dibuat masalah Dam? Banyak lho hotel yang nawarin juga program kejar hantu, rame lho. Kita bisa jadi pemandu tur keliling hotel, lumayan kan?” Anastasia kembali berkata dengan santai membuat Adam kesal.

“Aku nggak ngerti cara berpikir kamu, An. Kamu beda sama kakakmu, Dewi nggak bakal mikir begitu.” Adam berdecak kesal dan berlalu keluar ruangan.

“Ngapain juga bawa-bawa nama mbak Dewi, aneh!” Sungut Ana tak terima disandingkan dengan kakak perempuannya.

Dewi adalah general manager di salah satu cabang hotel yang sama. Dewi dan Adam satu angkatan hanya saja beda keberuntungan. Kakak tiri Anastasia itu lebih cepat mendapat promo ketimbang Adam yang sampai saat ini harus cukup puas di posisi manager keuangan.

Anastasia terdiam untuk beberapa saat, ia menarik nafas dalam mengatur energinya yang kacau karena situasi tak terduga tadi.

“Baiklah, kita lihat apa yang sebenarnya terjadi disini,” ucapnya sambil membuka pintu ruangan dan kembali ke pantry.

Ruangan pantry sudah kembali kembali rapi dan semua orang sudah pergi. Anastasia memilih untuk tinggal. Cahaya dari lampu dapur yang redup menyisakan bayangan samar di sekitar ruangan. Ia berdiri di tengah pantry, menatap laci-laci penyimpanan yang tadi menjadi pusat kejadian ganjil itu.

Bayangan kejadian tadi masih segar di ingatannya—laci-laci yang mendadak terbuka sendiri, suara denting besi, dan tiga pisau besar yang meluncur secara vertikal, berhenti melayang tepat di hadapannya sebelum jatuh ke lantai. Itu bukan kejadian biasa.

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Indra keenamnya berdenyut, memberikan sinyal samar yang terasa seperti bisikan di sudut pikirannya. Anastasia memejamkan mata, membiarkan energi ruangan itu meresap ke dalam dirinya.

Suasana terasa hening. Saat ia memusatkan perhatiannya, udara di pantry berubah menjadi dingin. Ia merasakan kehadiran sesuatu—entitas yang tidak terlihat oleh mata biasa. Denyutan di pikirannya semakin kuat, hingga ia bisa melihat kilasan samar.

Bayangan seorang pria dengan tangan yang gemetar memegang pisau. Sosok itu tampak panik, seperti dikejar oleh sesuatu yang tidak terlihat, sebelum bayangan itu menghilang.

"Siapa kamu?" bisik Anastasia lirih, suaranya hampir tenggelam oleh keheningan ruangan. Tidak ada jawaban. Hanya dingin yang merambat, menyentuh kulitnya seperti belaian angin yang menusuk.

Tiba-tiba, salah satu laci di depannya bergerak sedikit, berdecit pelan. Anastasia membuka matanya, menghadap laci itu tanpa gentar. Ia menunduk perlahan, meraih pegangan laci dengan hati-hati. Saat ia membukanya, matanya menangkap sesuatu yang membuat dadanya berdegup kencang—sebuah ukiran kecil di bagian dalam laci. Ukiran itu membentuk simbol aneh, seperti lingkaran dengan garis-garis yang bersinggungan di tengah.

"Ini kan ..," gumamnya, menggenggam erat pegangan laci. Simbol itu terasa akrab, seolah pernah ia lihat di masa lalu, di tempat lain dengan misteri serupa.

“Roh yang marah, terjebak dalam ketakutan. Tapi … kenapa sekarang?”

Anastasia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi sebelum semuanya menjadi lebih buruk. Intuisinya mengatakan ini akan semakin buruk. Kilasan teror itu nyata dan sempat memberinya petunjuk tentang sebuah tempat.

“Pohon Flamboyan …,”

Bersambung …,

Pertemuan Pertama

Anastasia duduk termenung di luar kerjanya. Layar laptop yang terus berjalan memperlihatkan slide demi slide presentasi untuk grand opening hotel nyatanya tidak menarik lagi bagi wanita berusia 35 tahun itu. Begitu juga dengan lembaran-lembaran kertas yang berserakan di depannya.

Pikiran Anastasia tertuju pada simbol yang ditemukan samar di pantry saat melakukan rekognisi. Sudah sekian lama Anastasia tidak menemukan simbol itu. Sejak kepulangannya ke Indonesia tiga tahun silam.

“Ini mulai meresahkan,” ucapnya pelan kembali memijat pelipisnya.

Suara pintu ruangan terdengar diketuk, seraut wajah manis muncul setelah pintu terbuka. “Mbak belum pulang?”

“Oh kamu, Nath. Masuk deh!”

Nathan masuk dengan setumpuk pekerjaan di tangannya. Tatapan Anastasia langsung jatuh ke tangannya. “Apa itu? Buat aku lagi?”

“Oh, bukan mbak. Ini kerjaan mau saya revisi. Mau ijin sama mbak,” jawab Nathan meletakkan tumpukan file dalam map didepan Anastasia.

Anastasia memeriksa file terdepan, “heem, iya deh. Bawa balik tapi besok clear bisa?”

“Saya usahakan mbak.”

Wajah sumringah Nathan sedikit menghibur Anastasia. Lelaki berkulit putih bersih itu masih berdiri dihadapannya.

“Adalagi?” kening Anastasia berkerut.

“Ehm, saya mau …,” untuk sesaat Nathan ragu, tapi kemudian. “Kasus pantry, gimana mbak?”

Anastasia memundurkan punggungnya hingga ke sandaran kursi. “Aku udah urus itu. Kalian jangan khawatir.” Jawabnya pelan.

Nathan segera duduk didepan meja Anastasia. “Saya bukan mau kepo apalagi julid mbak, saya cuma mau kasih info penting!” Ucapnya dengan wajah serius.

“Apa?”

“Kasus di pantry sebenarnya sudah terjadi berkali-kali, cuma Chef Umar nggak mau blow up ini. Kejadian kemarin adalah yang terparah dan Siska akhirnya nggak kuat lagi buat nutupin rasa cemasnya.”

Nathan mulai bercerita tentang kejadian-kejadian aneh seputar pantry. Mulai dari bahan makanan yang cepat busuk, makanan siap saji yang tiba-tiba saja berantakan, gudang bahan makanan yang berantakan dan terburuk adalah Poltergeist yang terjadi belakangan. Chef kepala–Umar– nyaris saja celaka setelah pisau besar terbang dan melukai tangannya.

“Astaga …,” kepala Anastasia seketika berdenyut kencang mendengarnya. “Kenapa kalian nggak mau ngomong? Ini serius banget lho! Sampai ngeganggu keselamatan karyawan.”

“Maaf, mbak. Bukan pak Umar nggak mau kasih tahu, tapi … beliau berpikir jika ini resiko kerja, dan meminta yang lain untuk diam.”

Helaan nafas berat terdengar dari Nathan. “Kami sangat paham dan mengerti kekhawatiran mas Adam. Rumor hotel berhantu, sedikit banyak pasti akan berpengaruh pada kepercayaan. Itu sebabnya kami sepakat untuk diam.”

“Kalian … uuuugh!! Damn,” emosi Anastasia meluap sesaat. Ia memukul ringan meja dan memejamkan mata sesaat untuk mengontrol emosinya.

Ia menarik nafas panjang dan dalam sebelum kembali bicara. “Ok, makasih informasinya. Tapi boleh nggak aku minta tolong sama kamu, Nath?”

“Apa tuh mba, saya siap bantu.”

“Tolong untuk tiga bulan ke depan usahakan agar rumor ini nggak menyebar luas tanpa kendali. Kasih pengertian juga ke yang lainnya,” ucapnya pelan penuh penekanan.

“Ok mbak, siap! Kita juga paham kok mbak. Kalau nggak ada lagi, saya pamit pulang dulu ya mbak.”

Anastasia mengangguk dan membiarkan Nathan pergi. Ia teringat sesuatu, “Adam,”

Anastasia berdiri ragu di depan pintu ruang kerja Adam. Perdebatan keduanya beberapa jam lalu, masih membayang. Anastasia harus mengambil langkah pertama untuk memperbaiki hubungan. Setelah menghela napas panjang, ia mengetuk pintu.

“Masuk,” suara Adam terdengar, dingin dan tegas.

Anastasia membuka pintu perlahan, menemukan Adam sedang sibuk dengan laptopnya. Wajah pria itu tampak sedikit lelah, tetapi ia melirik Anastasia dengan tatapan datar.

“Sibuk Dam?” Anastasia memulai dengan hati-hati, tak ada reaksi dari Adam. Ia masih sibuk mengetik. “Aku mau minta maaf masalah tadi. Kamu benar, mungkin aku terlalu menyepelekan situasinya.”

Adam menghela napas dan menutup laptopnya. “Kamu tahu An, aku menghargai setiap pendapatmu. Tapi ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar ... rumor.”

“Ya, aku tahu itu,” Anastasia menjawab cepat. “Aku juga nggak mengira kalau ternyata, kejadian di pantry itu sudah berulang kali terjadi. Dan yah, kamu benar. Aku mungkin nggak seperti mbak Dewi dalam menyikapi permasalahan.” Akunya dengan tulus.

Adam memandangnya selama beberapa detik sebelum akhirnya melonggarkan sikapnya. “Kamu bukan Dewi. Duduklah,” katanya sambil menunjuk kursi di depan meja.

Anastasia duduk dengan patuh, tangan terlipat di pangkuannya, berusaha menurunkan egonya.

“Dengar,” Adam memulai dengan nada lebih lembut, “hotel ini sedang dalam tahap negosiasi dengan beberapa investor besar. Jika cerita-cerita ini sampai keluar, mereka mungkin akan menarik diri. Itu bisa menghancurkan bisnis kita.”

“Iya, aku tahu,” Anastasia menanggapi. “Tapi menurut ku, ada selling point yang bisa kita gunakan juga dari kejadian ini. Bukan sekedar rumor kosong. Aku yakin ada penjelasan di balik semua kejadian aneh ini.”

Adam menyandarkan tubuhnya ke kursi, tampak berpikir sejenak. “Baiklah, kamu mau tahu cerita sebenarnya? Aku bakal kasih tau, tapi hanya sejauh yang aku ketahui.”

Anastasia mengangguk, merasa lega karena Adam akhirnya mau berbicara.

“Sejak hotel ini dibangun,” Adam memulai, “pekerja konstruksi sering mengeluhkan hal-hal aneh. Alat-alat mereka sering rusak tanpa alasan, dan beberapa dari mereka bahkan melapor mendengar suara-suara aneh di malam hari. Saat itu, kami menganggapnya hanya paranoia.”

“Lalu?” Anastasia mendorong dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ketika hotel mulai beroperasi, masalah itu tidak hilang,” Adam melanjutkan. “Pintu yang terbuka sendiri, lampu yang padam mendadak, dan suara langkah kaki di lorong-lorong kosong. Bahkan aku pernah mengalaminya sendiri. Ada malam di mana aku lembur, dan aku mendengar suara pintu terbuka di lorong, padahal aku tahu aku sendirian di sini.”

Anastasia merasakan bulu kuduknya berdiri. “Apakah ini terjadi di area tertentu?”

Adam mengangguk. “Terutama di lantai tiga, dekat suite utama. Beberapa karyawan juga melaporkan melihat sosok wanita di sana. Tapi kami selalu mencoba mengalihkan perhatian mereka, mengatakan bahwa itu hanya bayangan atau ilusi optik.”

Aku tersenyum masam, “Ilusi optik? Dan mereka percaya?”

“Tentu saja tidak, tapi aku memaksa mereka untuk percaya.” Adam berkata dengan serius. “Aku harus mengendalikan situasi, An. Waktu kamu belum datang, semuanya baik-baik saja dan aku akan memastikan hal yang sama setelah kamu disini.”

“Ok, aku mengerti. Tapi menurutmu, apa yang menyebabkan semua ini?” Anastasia bertanya hati-hati. “Nggak mungkin kalau semua gangguan ini tanpa penyebab kan?”

Adam menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu pasti. Tapi ada cerita kalau sebelum hotel ini dibangun, tanah ini memiliki sejarah panjang yang ... kurang menyenangkan. Aku tidak yakin apakah itu hanya kebetulan atau ada sesuatu yang lebih dari itu.”

Anastasia terdiam, memikirkan semua informasi yang baru ia terima.

“Dengar, Anastasia,” Adam melanjutkan dengan nada serius, “kamu bisa melakukan apapun untuk mencari tahu lebih banyak, tapi jangan sampai membuat rumor ini semakin besar. Kita harus melindungi reputasi hotel.”

“Aku mengerti,” Anastasia menjawab. “Aku bakal berhati-hati. Apa menurutmu kita perlu memanggil paranormal atau semacamnya?”

“Lakukan apa yang diperlukan. Kamu nggak harus meminta ijin ke aku juga, An. Kamu Manager utamanya, kamu berhak melakukan apapun.”

Anastasia tersenyum tipis, Adam memang benar. Kedudukannya jauh lebih tinggi dari Adam, tapi setidaknya ia harus meminta pendapat pada senior.

“Baiklah, ini sudah larut. Aku rasa kamu juga mau pulang dan aku harus kembali menyelesaikan beberapa pekerjaanku.”

Adam mengangguk singkat. “Ok, aku sebentar lagi pulang. Dan Anastasia ... aku menghargai permintaan maafmu.”

Anastasia tersenyum kecil. Dengan pikiran yang penuh, ia meninggalkan ruangan Adam, bertekad untuk menggali lebih jauh misteri yang menyelimuti hotel itu tanpa membuat situasi semakin buruk.

Setelah perbincangan yang cukup intens dengan Adam, Anastasia kembali ke ruangannya. Pikirannya penuh dengan informasi yang baru saja ia dapatkan. Ia tidak ingin hanya berdiam diri sementara rekan-rekannya terus-menerus diganggu oleh kejadian aneh.

Koridor menuju ruangannya tampak sepi. Lampu-lampu di langit-langit memancarkan cahaya redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Anastasia melangkah dengan tenang, tapi sejurus kemudian, langkah kakinya tiba-tiba terhenti.

Dari sudut matanya, ia menangkap sosok seseorang berdiri di ujung koridor. Wanita itu mengenakan gaun putih panjang dengan desain yang tampak kuno, hampir seperti gaya busana dari abad ke-19. Rambutnya disanggul rapi, kulitnya tampak pucat, tak wajar.

Anastasia menelan ludah, terasa nafasnya tersangkut di tenggorokan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu mungkin tamu hotel yang kebetulan mengenakan kostum vintage.

“Permisi?” suara Anastasia terdengar gemetar saat ia mencoba memecah keheningan.

Sosok itu tidak bergerak apalagi menjawab. Ia hanya menatap Anastasia dengan tatapan kosong, dingin, dan menembus.

Ketika Anastasia mencoba melangkah maju untuk memastikan apa yang ia lihat, sosok tersebut tiba-tiba berbalik. Gaunnya melayang seolah tidak tersentuh gravitasi, dan ia berjalan perlahan ke arah tangga darurat.

“Hei nona, ada yang bisa saya bantu?” Anastasia mencoba bertanya lagi, meskipun rasa takut mulai menguasainya.

Tanpa menjawab, wanita itu menghilang di balik sudut tangga. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada bunyi pintu terbuka—hanya keheningan yang menelan sisa-sisa keberadaan sosok itu.

Anastasia berdiri terpaku, jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan di dadanya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mengumpulkan keberaniannya untuk berjalan mendekati tangga. Saat ia mengintip ke arah tangga darurat, yang terlihat hanya ruang kosong. Tidak ada jejak wanita tadi.

Dengan nafas terengah-engah, Anastasia memutuskan untuk tidak mengejar lebih jauh. Tapi saat ia berbalik, sosok wanita misterius itu sudah berdiri di belakangnya dengan seringai mengerikan.

“Waar is hij ... Moordenaar!”

(Dimana dia .. pembunuh!)

Bersambung ..,

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!