Junaidi yang biasa disapa Juna atau Juned itu merasa frustasi setelah malam lalu tak sengaja menabrak seseorang.
Teman satu kosnya, Rumi yang merasa terganggu dengan sikap temannya itu pun memukulnya menggunakan bantal, tepat di kepalanya.
Bluk!
"Apaan, sih. Ganggu aja!" gerutu Junaidi seraya menatap datar temannya itu.
"Tidur, gua ngantuk, kalau lu berisik terus, gimana gua bisa tidur!" sergah Rumi dengan sedikit melotot.
"Tidur, lu enak bisa tidur, gua kagak!" jawab Junaidi yang hampir menangis. Tentu saja, melihat seorang pria yang hampir menangis itu membuat Rumi tertawa lebar.
"Haha, dasar banci!" seru Rumi seraya menendang boko*ng Junaidi membuat pria yang sedang menungging di atas kasur lantainya itu sedikit tersungkur.
Junaidi semakin menarik sarungnya, menutupi seluruh anggota badannya. "Kata orang, kalau mau lihat hantu bisa pakai cara lihat dari bawah kaki, mungkin si Rumi kudu liat dulu, biar tau apa yang gua rasain!" kata Junaidi dalam hati.
Sekarang, pria tampan berkulit kuning langsat itu membuka sarungnya. Dia menatap Rumi yang sedang asik memainkan ponselnya. Merasa diperhatikan membuat Rumi berpikir negatif. "Apa liat-liat? Gua masih normal, ya!" ucapnya dengan lirikan tajamnya.
"Dih, naj*is! Siapa juga yang doyan sama lu!" jawab Junaidi seraya menaikan sudut bibirnya, lalu, pria penakut itu kembali melihat ke arah jendela kamar kosnya yang di dekat pintu yang mana di sana ada sesosok pocong berwajah hitam sedang menatapnya, matanya merah dan hampir lepas dari tempatnya.
"Aaaa! Pergi!" teriak Junaidi seraya menunjuk arah jendela.
Melihat temannya bertingkah aneh lagi, Rumi pun kembali melempar bantal. "Kenapa sih, lu? Kesambet?" tanya pria berambut sedikit gondrong itu.
"Mi, kata orang, kalau lu belum ngerasain gimana jadi orang tersebut, lu nggak bakal tau gimana rasanya tersiksanya dia!" jawab Junaidi dan kali ini dia benar-benar menangis karena sosok yang berdiri di depan jendela menengklengkan kepalanya ke kiri, matanya tetap melotot dan sebelah matanya tiba-tiba saja jatuh.
Tapi, ada satu pertanyaan di hati Junaidi yang belum bisa dia jawab. "Kalau matanya jatuh, terus siapa yang ngambilin dong? Kan, tangan dia ke iket, coooo!"
Astaga, Junaidi semakin merinding, tak mau merasakan kesialan ini sendiri, Junaidi pun meminta temannya itu untuk berdiri di dekatnya, lalu membungkuk badanya.
Tapi, Rumi uang berpikiran jauh kemana-mana itu menolaknya, dia menyingkirkan tangan Junaidi dari punggungnya. "Apaan, sih. Nggak jelas banget! Lu mau ngerasain ini, hah?" tanya Rumi seraya menunjukkan bogem mentahnya, memberikannya tepat di depan wajah Junaidi yang terlihat pucat.
"Heran gua sama lu, kenapa otak lu pikirannya kotor mulu? Perlu dicuci nih kayanya!" sergah Junaidi seraya menyingkirkan tangan itu dan perdebatan kali ini tak selesai sampai datang teman mereka, teman sekolah dulu sewaktu duduk di bangku SMA.
"Lu pada ngapain, dah?" tanya Sami yang baru saja datang, dia membuka pintu lebar dan saat itu Junaidi yang menoleh pun semakin kesal dibuatnya, bagaimana tidak jika sosok mengerikan yang terbungkus kain kumal itu sudah berdiri di belakang Sami, ikut masuk dengan cara melompat-lompat saat pintu terbuka lebar.
"Salah apa dah gua sama lu? Kenapa lu nggak pergi?" tanya Junaidi pada sosok yang berdiri di belakang Sami, pria berjaket parasut hijau lumut itu.
Mendengar itu, tentu saja membuat dua temannya menggeleng. Kemudian, Rumi memukul kepala Junaidi.
Plak! Junaidi pun hanya bisa menangis, dia memilih duduk di sudut, menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya diantara lutut itu.
Sami yang belum mengetahui apapun menjadi bingung, dia bertanya pada Rumi. "Rum, kenapa sih? Gue baru datang malah diusir, nggak mau ini martabak telur?" tanya Sami seraya mengulurkan tangannya.
"Kayanya dia lihat pocong, makanya nangis terus dari kemaren," jawab Rumi seraya bangun dan menerima bingkisan tersebut.
Mendengar celotehan itu membuat Sami menyadari sesuatu, dia pun mengusap lehernya yang terasa dingin, bahkan bulu kuduknya pun berdiri, merinding.
Lalu, Junaidi menimpali perkataan Rumi. "Itu lu tau, kenapa dari tadi pura-pura begok?"
"Heh, asal ngomong!" jawab Rumi seraya menggigit martabak telur tersebut. Tapi, Sami yang melihat keadaan sahabatnya yang terlihat serius itu menjadi khawatir.
"Lu seriusan?" tanya Sami seraya menatap Rumi juga Junaidi.
"Sini!" perintah Junaidi pada Sami dan yang panggil pun mendekat.
"Apa?" tanya Sami seraya sedikit mengangkat dagunya, sementara itu, Rumi tengah asik menikmati martabaknya seorang diri, memperhatikan mereka yang terlihat konyol.
"Bungkuk, terus liat belakang lu dari kolong kaki sendiri!" perintah Junaidi lagi dan pria berambut keriting itu menurut.
Deg! Betapa terkejutnya Sami, dia sampai tak dapat berkata-kata lagi, hanya bisa menatap Junaidi yang meringis. "Lu liat, kan?" tanya Junaidi dan Sami menjawab dengan mengangguk, matanya bulat sempurna dan pria bercelana levis itu hampir terkencing di celana.
"Terus, kenapa lu pada masih di sini? Bukannya keluar, bege!" geram Sami dengan sedikit menahan tangisnya.
"Gimana gua mau lewat kalau dia berdiri di tengah pintu!" jawab Junaidi dengan sedikit menangis, dia menghentakkan kakinya dengan begitu kesal.
Lalu, dengan tertatih, Sami mengulurkan tangannya pada pria yang masih duduk di sudut kamarnya itu dan Junaidi pun meraihnya. "Kita kabur, yuk!" ajak Sami dan Junaidi menjawab dengan mengangguk.
Sekarang, dengan gerakan pelan tapi pasti, mereka berjalan melewati pocong yang diam berdiri tegak lurus di tengah pintu dan saat itu, Junaidi merasa langkahnya terasa amat berat, sudah berusaha dengan susah payah, tapi kenapa kakinya seolah tak mau digerakkan.
Sementara Sami, dia kesal dengan Junaidi yang tak mau bergerak tepat di sisi makhluk tak kasat mata itu, walau Sami sudah tak melihatnya lagi, tapi dia tau di mana sosok tersebut berdiri dan membayangkan kalau sosok itu sedang memperhatikannya.
"Cepetan napa, lu, ah!" geram Sami pada Junaidi yang sekarang malah terkencing di celana.
"Hahahaha, heran gua, napa sih lu pada bersikap aneh gitu?" tanya Rumi yang mengikuti mereka di belakang dan karena Junaidi tak bisa bergerak, Rumi pun mendorongnya keluar membuatnya tersungkur tepat di depan pintu, kemudian tak lupa mengikuti Sami untuk melihat dari bawah kakinya dan seketika, pria yang masih mengunyah martabaknya itu langsung pingsan.
Sementara itu, Junaidi dan Sami segera pergi, mereka berlari menuruni tangga dan saat sampai di lantai paling bawah, ternyata sosok berwajah hitam lekat itu sudah menunggunya.
"Astaga, dia ngincer lu kali, Jun!" kata Sami seraya menepuk punggung sahabatnya.
"Gua nggak tau, perasaan gua, gua nggak punya salah sama dia, gua nggak kenal sama dia, Sam!" jawab Junaidi dengan sedikit berteriak.
"Terus, kenapa sekarang lu berhenti jalan?" tanya Sami dan Junaidi menjawab, "Dia udah berdiri di depan kita, Sam!"
"Apa?" Sami bertanya, tak percaya kalau diikuti oleh mahluk astral tersebut.
Dengan segera, Sami menarik tangan temannya dan tanpa dia ketahui karena ulahnya itu membuat Junaidi harus menabrak dan menembus sosok yang berdiam diri di tengah jalan itu.
Rasanya, tubuh Junaidi terasa amat sakit, seperti terasa berat dan seperti baru saja dipukuli massa. Tapi, se-keluarnya mereka dari kos-kosan sepertinya bukan ide bagus karena Junaidi melihat semakin banyak penampakan di depan matanya.
"Gila, Lama-lama gue bisa gila, Sam!" Junaidi menangis, dia melepaskan tangan Sami yang masih terus menariknya ke area parkir. "Apa lagi, Jun?" tanya Sami seraya menatap sahabatnya.
"Itu, ada dua bocah, tapi keliatan tua, mereka duduk diatas motor gua, Sam," jawab Junaidi terdengar lesu, kenapa sekarang dunianya menjadi kacau, Junaidi pun ingin mencari tau.
"Kayanya, mata batin lu kebuka dah, Jun," timpal Sami yang tak mau lagi penasaran dengan apa yang Junaidi lihat.
"Ayo, kita cari orang pinter," ajak Sami dan Junaidi mengiyakan. Dia juga menyarankan agar Junaidi tetap memejamkan mata sampai tujuan, demi kebaikannya, Junaidi pun hanya bisa menurut.
Sami yang sedang mengendarai motornya itu merasa aneh, bagaimana tidak jika motornya terasa amat berat seperti tak mau melaju pesat.
"Astaga, mana gua nggak hafal ayat kursi, lagi," kata Sami yang menyadari kalau mereka masih dalam gangguan mahluk astral dan memang benar karena di belakang Junaidi ada pocong yang sudah memboncengnya dengan cara berdiri.
"Sam, kenapa motor lu kaya siput, sih? Lelet bener," celetuk Junaidi yang memeluknya erat.
"Berisik lu, ini semua gara-gara lu, kalau lu turun pasti motor gua enteng!" jawab Sami dan Junaidi menoyor kepalanya.
"Tega lu sama temen sendiri!" protes Junaidi yang akhirnya membuka mata dan saat itu dia melihat banyak penampakan di sepanjang jalan, mereka yang bukan manusia itu melihat ke arahnya tepatnya memperhatikan mereka yang sedang membonceng sesosok pocong di belakang Junaidi.
Dengan segera, pria tinggi itu menyembunyikan wajahnya di punggung sahabatnya. "Cepet, Sam. Gua udah nggak karuan, nih!" Junaidi merintih.
Tidak lama kemudian, Sami sudah memarkirkan kendaraannya di depan halaman rumah Pak Joko, dia terkenal dengan sebutan orang pintar.
"Turun, kita udah sampai!" kata Sami dan Junaidi menurut, masih dengan mata yang terpejam dia berjalan, mengikuti Sami yang menggandengnya.
Tok... tok... tok, Sami mengetuk pintu kayu tersebut. Saat itu, Junaidi penasaran, dia pun membuka mata dan melihat rumah yang terlihat sepi, hanya ada lampu temaram untuk memberikan sedikit penerangan.
Kemudian, Kreket! Suara pintu terbuka tanpa ada orang yang membukanya, begitulah pikir Junaidi, dia pun memuji kemampuan paranormal tersebut. "Hebat banget pintunya kebuka sendiri, lu kenal dari mana, Sam?" tanya Junaidi dengan sedikit berbisik.
"Lihat ke bawah!" perintah Sami dan pria yang berdiri tepat di belakangnya itu sedikit terperanjat saat melihat orang yang mirip dengan tuyul tadi berdiri di tengah pintu, menatap mereka berdua dengan tatapan tajam.
Tapi, pria kecil itu berpakaian layaknya manusia, kakinya juga napak lantai, Junaidi pun mengusap dadanya. "Oh, manusia," gumamnya dalam hati, dia sedikit merasa lega.
"Bawa uang?" tanyanya secara langsung, menatap tajam Junaidi juga Sami.
Lalu, Sami menyikut sahabatnya, dia bertanya, "Lu bawa duit, kan? Di sini harus sedia, Ki Joko nggak mau nanganin pasien yang ujung-ujungnya ngutang atau depe dulu, makanya asistennya ini nanya di awal," kata Sami yang sepertinya sudah berpengalaman dan sangat mengenal Ki Joko juga asistennya.
"Duit mah bawa, Sam," jawab Junaidi tanpa memberitahu isi dompetnya yang sebenarnya sedang kritis.
Mendengar percakapan mereka, asisten Ki Joko pun menyuruhnya masuk. Sesampainya di dalam, ternyata mereka juga harus mengambil nomor antrian. Terlihat ada banyak orang di dalam, mereka duduk di lantai yang beralaskan tikar itu.
"Nomor 25, Sam," kata Junaidi seraya memperhatikan selembar kertas kecil yang diberikan oleh asisten Ki Joko.
Dan sekarang, pengambilan nomor antrian pun ditutup. Junaidi dan Sami pun lega, jika telat datang sedikit lagi, mereka pun harus menunggu besok untuk berobat di rumah orang pintar tersebut.
****
Sementara itu, di kos-kosan, seseorang yang merupakan tetangga kamar sebelah melihat kamar Rumi terbuka lebar dengan keadaan dia yang masih belum sadarkan diri.
"Wah, kesempatan, nih," ucapnya saat melihat ponsel juga ada laptop di kasur lantai kamar tersebut.
Pelan namun pasti, dia yang mengincar harta benda itu segera mengambilnya dan sebelum ada yang melihat, pria bermasker tersebut segera keluar dari kamar Rumi. "Rejeki nomplok!" ucapnya dalam hati.
Beberapa saat kemudian, Rumi mengerjapkan matanya, dia melihat ke sekelilingnya dan tidak melihat dua temannya. "Sial, mereka beneran ninggalin gua!" gerutu Rumi seraya mencoba bangun dari berbaringnya.
Rumi yang sudah berdiri itu melihat ke kasurnya dan berpikir seperti ada yang hilang. "Kira-kira apa, ya? Kok, kaya ada yang beda, ada yang kurang," gumamnya seraya meraba kasur tersebut dan saat melihat kabel charger, dia pun segera sadar ada sesuatu yang hilang yaitu ponsel juga laptopnya.
"Ah, elah. Apes bener, gua! Mana ada kerjaan gua di laptop itu," gerutu Rumi seraya memukul kasurnya yang lepek. Dia pun terduduk lesu seorang diri.
****
Di rumah Ki Joko, sekarang giliran Junaidi juga Sami yang masuk ke ruangan bernuansa gelap itu dengan seorang pria gondrong yang memakai blangkon khas Jawa sedang menatapnya datar.
"Silahkan duduk!" Ki Joko mempersilahkan tamunya duduk dan mereka pun segera duduk di tempat yang sudah disediakan.
Lalu, Sami menyikut lengan Junaidi yang selalu diam, seperti orang bingung bin linglung. "Apa?" tanya Junaidi seraya menatap Sami yang duduk di sebelah kirinya.
"Ngomong," jawab Sami seraya menatap sinis sahabatnya.
"Ehem." Ki Joko berdeham membuat mereka kembali fokus menatapnya.
"Keluhannya apa?" tanya Ki Joko seraya menatap mereka berdua.
"Pusing, Ki. Badan terasa berat, sakit juga pegel-pegel kaya habis digebukin orang se-rt," jawab Junaidi dengan begitu polosnya, sementara Sami menggeleng, dia menepuk jidatnya.
"Di kira lagi di klinik kali, ya," gumam Sami dalam hati.
Sementara Ki Joko, dia sebenarnya sudah sangat lelah dan segera ingin beristirahat, tapi sepertinya dia harus sabar menghadapi pasiennya yang terakhir di malam ini. "Udah pernah digebukin orang?" tanya Ki Joko seraya mengelinting rokoknya yang dia buat sendiri.
"Eh, hehe. Belum, Ki," jawab Junaidi dengan sedikit tersenyum, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu Sami yang tak sabaran pun segera mengatakan tujuannya datang.
"Ki, temen saya ini tiba-tiba bisa lihat hantu, bisa minta tolong buat nutup mata batinnya lagi, Ki?" tanya Sami dan Ki Joko mendengarkan dengan seksama seraya menyulut rokoknya yang sudah berada di mulut.
"Ko bisa, awalnya bagaimana? Kronologi?" tanya Ki Joko seraya menatap Junaidi.
Sami menatap Junaidi yang sepertinya sedang meriang membuatnya sampai tak konek, terlihat pria itu menggigil kedinginan, wajahnya terlihat pucat. Ya, dapat melihat mahluk menyeramkan adalah pukulan besar di hidupnya, apalagi ini semua terjadi dengan begitu tiba-tiba.
"Jun, lu mikirin apa?" tanya Sami seraya menepuk bahunya.
Junaidi menoleh, dia menggeleng.
"Gua lagi mikir, kenapa ini semua terjadi, Sam," jawabnya dengan suara lesu. Untungnya, Ki Joko begitu sabar, dia lebih memilih menikmati rokoknya dalam-dalam seraya menunggu pasiennya.
"Jadi, gimana awalnya? Udah inget?" tanya Ki Joko lagi dan Junaidi mengangguk, dia pun bercerita.
Flashback on.
Kemarin malam, Junaidi yang berprofesi sebagai tukang ojek online itu mendapatkan orderan, si costumer memintanya membelikan es kopi di kedai. "Om, jangan lama-lama, ya. Saya nggak mau esnya udah adem sampai di rumah!" pesan si costumer.
"Lah, kenapa lu nggak beli sendiri, minum di warung kopinya sekalian?" tanya Junaidi yang terlanjur menerima pesanan tersebut. Dan karena hari ini sudah cukup apes, Junaidi pun tak mau makin apes jika costumer ini nantinya memberikan bintang satu padanya.
Ya, Junaidi pun mengeluarkan seluruh tenaganya, dia yang ingat betul sang adik sedang membutuhkan biaya sekolah membuatnya harus rajin bekerja, walau sudah malam sekalipun Junaidi akan menerima orderan.
Dengan terburu-buru, Junaidi mengendarai sepeda motornya, tepat di jalanan gelap entah datang dari mana ada seorang nenek-nenek yang menyebrang jalan.
"Ciiiiiiiiiiiittt!" Junaidi menarik remnya, beruntung si nenek hanya sedikit tersundul, tapi walau begitu tetap membuatnya terjatuh.
"Aduh, nih pasti nenek pikun makanya malem-malem masih keliaran," gumam Junaidi seraya turun dari motor, pria berjaket ojol itu membantunya untuk berdiri, dia membawa si nenek ke tepi jalan.
"Nek, tunggu di sini, ya. Jun pasti tanggungjawab, tapi Jun harus kerja dulu, ntar selesai kerja Jun balik sini lagi," kata Junaidi yang kemudian berusaha pergi. Namun, si nenek sudah menahan jaket bagian belakang Junaidi.
"Mau kemana kamu?" tanya si nenek dengan begitu geram.
"Nenek nggak mau nunggu, nenek mau diantar pulang sekarang!" ucapnya dengan mata melotot pada Junaidi.
"Aduh, gimana dah ini. Apa gua bawa si nenek anter es? Tapi, kalau dia rewel gua bisa repot, mana pesenan esnya banyak lagi," gumam Junaidi dalam hati.
"Pokoknya nenek tunggu di sini!" kata Junaidi yang kemudian benar-benar pergi dari tempat gelap tersebut.
Tidak lama, setelah itu dia dapat melihat mereka yang tak kasat mata, terkejut dengan apa yang dilihatnya membuat sopir ojol tersebut nyusruk ke semak-semak. Lalu, Junaidi yang merasa pusing masih sempat melihat si nenek berdiri di dekatnya terjatuh.
Flashback off.
"Ini kutukan buatmu karena sudah mengabaikanku!" ucap Junaidi yang menirukan bagaimana si nenek bicara padanya kemarin malam.
Mendengar cerita tersebut membuat Ki Joko mengerti apa yang Junaidi alami, dia pun mulai melepaskan rokok yang diapitnya, lalu memejamkan mata dengan mulut yang kokat-kamit.
Junaidi dan Sami saling menatap, mereka menunggu cukup lama dan sekarang Ki Joko sudah membuka matanya, dia pun mengusap-usap jenggotnya yang tidak terlalu panjang itu. "Bagaimana, Ki?" tanya Junaidi dan Sami bersamaan.
"Begini, sebenarnya kutukan ini akan hilang dengan sendirinya, tapi setelah sembilan puluh sembilan hari," jawab Ki Joko.
Sami bersyukur, tapi tidak bagi Junaidi karena Sembilan puluh sembilan hari terlalu lama baginya.
"Apa lagi, nggak ada yang bisa saya lakukan, kutukan ini dapatnya dari nenek yang kekuatannya lebih kuat dari saya, silahkan bayar biayanya. Ingat, kutukan ini akan hilang dengan sendirinya," lanjut Ki Joko seraya menatap Junaidi juga Sami.
"Ki, dari mana Aki tau kalau kutukan ini akan hilang dengan sendirinya?" tanya Junaidi yang penasaran.
Lalu, Ki Joko tertawa terbahak-bahak, kemudian 'Brak!' Suara Ki Joko menggebrak mejanya yang penuh dengan peralatan perdukunannya. Dia menatap Junaidi tajam. "Anak muda, kamu meremehkan kekuatan saya, hah!" sergah Ki Joko.
"Maaf, Ki. Kami hanya penasaran, apa Ki Joko nggak bisa menutup mata batin Juna lagi, Ki?" tanya Sami, dia sendiri ikut takut dan masih berdebar karena tiba-tiba saja Ki Joko menggebrak mejanya.
Ki Joko mengangkat jari telunjuknya, dia menyuruh dua pemuda itu untuk mendengarkan alarmnya yang menyuruhnya untuk tutup dan istirahat. "Kalian dengar? Kalau dengar silahkan pergi! Jangan lupa bayar biaya administrasi dan konsultasinya!" jawab Ki Joko.
"Udah, ayo pulang! Terima nasib aja, lagian cuma tiga bulan, kok!" ajak Sami seraya membantu Junaidi bangun dari duduk.
"Lu enak banget bilang tiga bulan doang, gua yang ngerasain sehari aja serasa setahun, apalagi sembilan puluh sembilan hari, co!" jawab Junaidi dengan kesal, dia menatap datar sahabatnya.
Sekarang, Sami mengambil dompet Junaidi dan membayar semua tagihannya, tersisa hanya lima puluh ribu rupiah dan itu untuk bekal besok dia makan. "Mahal amat, Sam. Nanya gitu doang bayar dua ratus ribu."
Junaidi/Juna
"Mau gimana, kalau kita nggak ke orang pinter mana tau juga apa yang lu alamin, Jun." Sami segera berjalan ke arah motornya terparkir dan Junaidi memilih memejam makan membuatnya tersandung pot bunga yang berada di teras KI Joko.
"Astaga, kasian banget, sih!" Sami pun kembali untuk membantu sahabatnya.
Sementara itu, di dalam rumah, Ki Joko menemui kakaknya di kamar sebelah, dia bertanya pada wanita tua yang sedang menyisir rambut putihnya. "Mbak, nangopo sampean ngutuk cah kae? Ndeloke raine mesakne, hahaa," Ki Joko bertanya juga menertawakannya.
"Salahe sopo, aku jalok diterke bali malah ditinggal lungo, yo wis ben! Ben kapok sisan," jawab wanita tua yang semalam Junaidi serempet itu.
****
Waktu hampir subuh, Sami yang baru saja mengantarkan Junaidi ke kosnya itu langsung pulang ke rumahnya. "Gua nggak masuk, Jun. Hari ini Gua kerja, mau tidur dulu," kata Sami, dia menguap juga menggeleng untuk sedikit mengusir kantuknya.
Sementara Junaidi, dia berjalan dengan menundukkan kepalanya, sesampainya di kamar kos, dia langsung membereskan barang-barangnya. Melihat itu, Rumi yang terbangun dari tidurnya pun bertanya, "Mau minggat kemana lu?"
"Pulang kampung, nggak kuat gua di sini," jawab Junaidi tanpa menoleh.
"Yakin, bukannya lu tulang punggung keluarga? Ibu lu janda, adik lagi sekolah SMA, mau kerja apa lu di kampung?" tanya Rumi seraya bangun dari duduk, dia mengambil handuk dan segera meninggalkan Junaidi yang terdiam.
"Benar juga kata Rumi," gumam Junaidi dalam hati, kemudian, ponsel di saku celananya bergetar, Hana lah yang menghubungi.
"Mas," panggil adiknya.
"Iya, Han. Ada apa?" tanya Junaidi.
"Sepatu Hana udah rusak, Mas. Jempol Hana udah keluar dari tempatnya, Hana malu buat sekolah," jawab adiknya seraya menahan tangis.
Tes, seketika air mata Junaidi menetes, dia merasa tak berguna sebagai kepala keluarga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!