Di sebuah kota tinggal seorang wanita berusia lima puluh lima tahun, bernama Kinara Wirasti. Ia tinggal bersama putrinya dan menantunya.
"Mah, nanti malam kita diundang makan malam di rumah papahnya Niko," ucap Angela Renata putrinya Kinara Wirasti.
Kinara yang sedang merajut syal menghentikan kegiatannya, ia menatap sang putri. "Papahnya Niko pulang, ya?"
Angel tidak pernah bertemu dengan papah mertuanya, sejak menikah dengan Niko. Saat pernikahan mereka berlangsung, mertuanya masih berada di luar negeri.
"Iya, Mah. Papah mertua pulang dan akan menetap di sini," ujar Angel.
Karena akan ada pesta kecil-kecilan, Kinara menyiapkan gaun pesta buatannya sendiri untuk dirinya dan putrinya.
"Sayang sekali keluarga kita tidak lengkap, Mah. Tidak ada papah," kata Angel wajahnya terlihat murung.
"Maafkan Mamah, Sayang. Mamah sudah memutuskan tidak akan menikah, kecuali dengan seseorang," ucap Kinara mengusap lembut pundak Angel.
"Gak papa, Mah. Seharusnya Angel bersyukur, Mamah sudah mau merawat ku padahal ....
"Cukup, Angel! Selamanya kamu tetap anak mamah!" tegas Kinara.
Malam pun tiba, Kinara dan Angel sudah berpakaian rapi. Walaupun sudah berusia lima puluh lima tahun, Kinara masih terlihat cantik. Mereka berdua duduk di teras rumah, menunggu kedatangan Niko dari kantor.
Tak lama kemudian, Niko datang dengan mengendarai mobil mewahnya. Keluarga Niko memang kalangan orang berada, berbeda dengan Angel yang hidup dengan keterbatasan.
Kinara adalah wanita yang sangat mandiri, ia mampu memberikan nafkah untuk putrinya tanpa bantuan seorang suami. Ia juga belum pernah merasakan menikah, sejak hubungan asmaranya kandas tepatnya tiga puluh tahun yang lalu.
"Mamah cantik sekali, Angel," bisik Niko ketika berada di perjalanan.
Mata Angel melotot ke arah Niko, lalu berkata, "Terus aku gak cantik!"
"Bukan begitu, Angel. Aku takut papah ku jatuh cinta lagi," ucap Niko tersenyum tipis.
"Ah, kamu bisa saja." Angel memukul lengan suaminya.
"Kalian membicarakan mamah, ya?" Tiba-tiba Kinara mengeluarkan suaranya, membuat Angel dan Niko langsung terdiam.
Rumah Niko tidak jauh dari rumah Kinara, untuk kesana membutuhkan waktu tiga puluh menit. Setelah tiba di kompleks perumahan mewah, di depan rumah yang memiliki halaman luas serta bentuk rumah modern, Niko turun dari mobil lebih dulu. Ia membukakan pintu untuk istri dan mertuanya.
"Ayo kita masuk ke dalam!" Niko menggandeng tangan Angel.
Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, dimana keluarga besar Niko sudah menunggu kedatangannya.
Ketika membuka pintu, mata Kinara membelalak melihat seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di sudut ruangan. Laki-laki itu adalah Anggara, pria yang pernah mengisi masa mudanya dulu.
Tubuh Kinara bergetar, jantungnya berdetak kencang seakan lompat dari tempatnya. Ia terpaku melihat sang pujaan hatinya yang tidak pernah bisa dilupakan.
"Mas Anggara .... " lirih Kinara.
Begitu juga dengan Anggara, tak kalah terkejut. Ia seperti ingin memeluk Kinara, wanita cantik yang kini sudah menjadi mertua anaknya.
"Mah, kita perkenalkan diri ke papah," kata Angel membuat Kinara tersadar.
Kinara memaksakan senyum, walaupun dalam hatinya terasa perih. Ia berusaha bersikap profesional, berpura-pura tidak mengenal Anggara.
"Saya Kinara, mamahnya Angel," ujar Kinara sembari menjabat tangan Anggara.
"Anggara, papahnya Niko," balas Anggara.
Sebelum acara makan malam dimulai, mereka berbincang-bincang lebih dulu. Namun, raut wajah Kinara tampak sedih. Ia mengalihkan pandangannya dari Anggara yang selalu memperhatikannya.
"Pah, mertuaku cantik kan?" Niko menggoda Anggara.
"Niko, tidak sopan!" tegur Anggara.
"Bercanda kok, Pah." Niko tersenyum.
Anggara meninggalkan mereka, menemui kerabat lainnya yang kebetulan baru datang.
"Niko, mamah ke toilet sebentar," pamit Kinara.
"Toiletnya di lantai atas, Mah. Kebetulan yang di bawah sedang ada perbaikan." Niko menunjukkan jalan ke toilet itu.
Ketika Angel ingin mengantarkan, Kinara menolak. Ia ingin meluapkan air matanya yang sejak tadi ia tahan.
Kinara kebingungan mencari keberadaan toilet di lantai atas, ia tidak sengaja masuk ke ruangan yang kosong. Di dalam ruangan itu, Kinara menangis mengingat kenangan indah bersama Anggara.
Kretek ...
Suara pintu tertutup, ternyata Anggara masuk ke dalam ruangan. Laki-laki paruh baya itu melangkahkan kaki menuju ke arah Kinara.
"Mas Anggara!" kaget Kinara sambil menghapus air matanya.
"Apa yang kamu lakukan disini!" bentak Anggara menahan amarahnya.
"Aku ... hanya memenangkan diri," jelas Kinara.
"Tega kamu! Menghancurkan perasaanku, menikah dengan laki-laki lain. Sekarang kamu membiarkan putrimu menikah dengan putraku!" Kemarahan Anggara tidak terbendung lagi.
Anggara menyangka Kinara sudah menikah, dan mempunyai seorang anak. Ia tidak menyangka wanita yang dicintainya berbohong.
"Mas, aku bisa jelaskan," ucap Kinara dengan lembut.
"Sudah tidak ada yang perlu dijelaskan!" Anggara berkata tegas, seakan akan tidak ingin mendengar alasan dari Kinara.
Namun, Kinara terus berbicara. Ia tidak mau hatinya terbebani rasa bersalah yang selama sudah menghantuinya.
"Memang dulu orang tuaku tidak pernah setuju kita bersama, karena kamu orang berada. Mereka sengaja mengabarkan kalau aku sudah menikah, sejak itu aku hampir gila, Mas. Selama satu tahun, aku mengurung diri. Apalagi mendengar kamu pergi tanpa pamit, hatiku hancur! Saat aku berusaha bunuh diri, mereka memberikan restu. Tetapi, aku tidak tahu harus mencari mu kemana lagi." Kinara berusaha meyakinkan Anggara, kalau semua ini hanya kesalahpahaman.
"Siapa suamimu?" tanya Anggara dengan nada sinis.
"Aku memutuskan tidak akan menikah! Kamu puas!" Kinara kembali meneteskan air matanya.
"Bohong!" seru Anggara.
"Selama ini aku masih mencintaimu, Mas! Seandainya aku menikah dengan orang lain, aku hanya akan menyakitinya karena tidak bisa memberikan cinta. Cintaku habis di kamu, Mas." Tubuh Kinara melemas, ia mendudukkan diri di lantai. Air mata mengalir membasahi wajah cantiknya.
Anggara memijit pelipisnya, ia merasa sangat frustasi. Kabar pernikahan Kinara dulu membuatnya terluka, hingga memutuskan pergi ke luar negeri karena tidak mau menyaksikan kebahagiaan sang kekasih. Di luar negeri, ia tidak punya keluarga lagi sehingga kembali ke kota ini dan berencana tinggal di rumah baru yang selesai dibangun.
"Bangun, Kinara! Jangan bersedih di depanku!" pinta Anggara memalingkan wajahnya.
"Tega kamu, Mas! Ternyata kamu sendiri yang sudah mengkhianati cinta kita, menikah dengan wanita lain," ucap Kinara.
"Menikah! Kamu pikir aku sejahat itu, Kinara! Niko anak kandung adikku yang sudah ku anggap seperti anakku," ungkap Anggara membuat Kinara terkejut.
"Jadi, kamu ....
"Iya, Nara. Aku masih mengharapkan mu," kata Anggara.
"Mas, kamu masih ingat panggilan untukku." Kinara tersenyum tipis.
Anggara membantu Kinara berdiri, lalu memeluknya dengan erat. Ia mencium wajah cantik yang mulai mengkerut itu, dengan penuh kelembutan dan penuh kasih sayang.
Kinara tidak mau kehilangan moment itu, ia membalas pelukan Anggara. Keduanya tidak pernah menyangka, akan bertemu kembali dengan status besan.
"Nara, kita pacaran lagi, ya?" tanya Anggara menatap lekat wajah Kirana.
"Ingat usia, Mas," ucap Kinara dengan nada malu- malu.
"Jadi kamu menolak ku?" tanya Anggara tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
Kinara menggelengkan kepalanya, tangannya mengusap wajah tampan yang selama ini ia rindukan di setiap hari.
Anggara tidak kuasa menahan gejolak yang membara dalam dadanya, ia mulai mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Kinara. Sebuah ciuman lembut mendarat di bibir wanita paruh baya itu.
Kinara bukannya menolak, ia justru membalas ciuman itu membiarkan gairah mereka menyatu dalam keheningan.
"Nara, aku merindukanmu," bisik Anggara.
"Aku juga, Mas," Kinara menenggelamkan wajahnya di pelukan Anggara. Bau parfum yang masih sama, membangkitkan kenangan terpendam selama ini.
Kinara kini bisa tersenyum lebar, penantian panjangnya tidak sia-sia. Namun, hubungan mereka sekarang tidak bisa sebebas dulu diketahui banyak orang. Saat ini mereka ingin merahasiakan, sampai tiba waktunya untuk mengungkapkan.
"Mas, aku mohon jangan beritahu anak-anak. Kalau kita pacaran," pinta Kinara.
"Kenapa, Nara? Justru lebih bagus kita beritahu mereka," kata Anggara bersikap tenang.
"Aku takut membuat mereka kecewa, Mas," ucap Kinara wajahnya terlihat panik.
"Iya, aku mengerti. Kita temui mereka dulu," ajak Anggara.
Ketika mereka berdua hendak keluar dari ruangan itu, terdengar suara langkah kaki. Keduanya langsung bersembunyi di balik lemari besar.
"Mamah kemana lagi? Kenapa juga kamu suruh ke lantai atas, bukannya seluruh ruangan ini milik papah mu, Nik." Angel mengungkapkan kekesalannya pada sang suami.
"Sayang, jangan cemberut gitu dong. Toilet di bawah sedang diperbaiki, tadi ada yang tersumbat saluran airnya," jelas Niko sembari mencubit gemas pipi istrinya.
"Terserah! Toiletnya sebelah mana?" Angel mengerucutkan bibirnya.
Saat hendak berjalan menuju ke toilet, tiba-tiba Anggara memanggil mereka berdua memintanya untuk segera ke ruang makan.
"Niko, Angel, ibu kalian sudah datang. Lebih baik temui mereka." Anggara berusaha mengalihkan perhatian kedua anak itu.
"Kita cari mamah dulu, Pah," tolak Angel.
Namun, Anggara mencari alasan lain agar mereka cepat pergi dari ruangan itu dan Kinara bisa keluar dari persembunyiannya. Ia juga mengatakan kalau akan menyuruh pelayan mencari keberadaan Kinara.
Keduanya pun mengikuti Anggara, mereka bertiga berjalan menuju ke ruang makan menemui Miranda ibu kandung Niko.
"Kalian sudah lama datang?" tanya Anggara.
"Baru saja," jawab Miranda dengan nada ketus.
Miranda merapikan rambut pirangnya, berharap Anggara tertarik dengannya. Selain ibunya Niko, ia juga seorang janda karena adik Anggara sudah meninggal.
Niko sendiri tidak begitu akrab dengan Miranda, sejak kecil sering ditinggalkan dan dititipkan ke Anggara.
"Angel, mana mamahku yang miskin itu?" tanya Miranda.
"Ibu, bisa bersikap sopan tidak!" Niko tidak terima mendengar Kinara disebut miskin.
"Kenyataan, kan? Niko, sejak menikah dengan Angel kamu jadi pembangkang." Tatapan mata Miranda tertuju ke arah Angel.
Angel hanya bisa menundukkan kepalanya, hatinya terasa perih. Mertuanya selalu menghina dan mengatakan kalau miskin.
Tak lama kemudian, Kinara datang. "Maaf, aku terlalu lama di toilet."
"Dasar tidak tahu diri! Sudah miskin masih saja berulah, jangan- jangan tidak bisa menyalakan kran air." Miranda tersenyum mengejek.
"Cukup!"
Anggara berseru, ia tidak ingin suasana ini dirusak begitu saja oleh Miranda adik iparnya yang tidak tahu diri.
"Pah, kita mulai saja makan malamnya," ujar Niko memecahkan suasana hening.
Angel yang masih menundukkan kepalanya, menjadi pusat perhatian Kinara. Ia sangat yakin, kalau putrinya sedang tidak baik-baik saja.
"Tuan Anggara, sepertinya aku dan anakku tidak pantas berada di sini. Izinkan kita berdua pamit pulang." Kinara berbicara dengan nada lembut, membuat hati Anggara tersentuh.
"Nyonya, maafkan keluarga saya. Kembalilah duduk, kita mulai acaranya. Tolong kali ini saja, saya mohon jangan merusak suasana hati yang baru kembali berbahagia setelah puluhan tahun." Mata Anggara berkaca-kaca.
"Mulutmu lemas sekali, Mas," gumam Kinara dalam hati.
Acara makan malam akhirnya selesai dengan lancar, semua makanan sudah dinikmati sampai habis hingga tidak tersisa.
Kini tinggal Kinara, Angel, Niko, dan Anggara yang berada di rumah itu.
"Mamah, nginap di sini saja. Sepertinya Niko sama Angel mau nemenin papah," ujar Niko ketika Kinara hendak pulang.
"Tidak, Niko. Kalian menginap lah di sini, mamah bisa naik taksi," kata Kinara.
"Kata Niko benar, Mah." Angel menimpali.
Kinara terus berusaha agar diperbolehkan pulang, sampai Niko beralasan kalau taksi dilarang melintas di sekitar rumahnya. Namun, tidak mengurungkan niat Kinara untuk pulang ke rumah.
"Niko, Angel, kalian butuh waktu berdua. Biar papah yang mengantarkan Nyonya Kirana pulang," sahut Anggara.
"Tidak, Tuan. Saya bisa pulang sendiri," tolak Kinara khawatir anaknya mengetahui hubungan ibunya dengan sang mertua.
"Ehem ... Ide yang bagus, Pah." Niko menahan senyuman.
Anggara terus memaksa, ia tidak menerima penolakan apapun. Walaupun sebenarnya sangat lelah, demi kekasih hatinya ia rela tidak istirahat setelah perjalanan panjang.
Kinara sendiri hanya bisa pasrah, ia mengikuti kemauan Anggara yang begitu keras kepala.
"Sayang, kita kemana?" tanya Anggara ketika berada di dalam mobil.
"Langsung pulang ke rumah saja, Mas," jawab Kinara tersenyum malu.
"Kita baru saja bertemu, Nara. Apa tidak bisa menghabiskan waktu berdua, seperti dulu lagi? Kamu masih ingat kan?" Anggara tersenyum penuh arti.
"Di rumahmu yang sepi itu." Wajah Kinara memerah menahan rasa malu.
Anggara menganggukkan kepalanya, di rumahnya yang dulu banyak sekali menyimpan kenangan. Sejak lulus SMA sudah tinggal sendiri, membuat Anggara bebas mengajak Kinara pergi ke rumahnya bahkan pernah menginap.
"Kita sudah tua, Mas. Tidak pantas bersikap seperti anak muda, malu sama Angel dan Niko," Kinara berusaha menolak ajakan Anggara.
"Mungkin sekarang rasa sayangmu sudah pudar, Nara. Baiklah aku antarkan langsung ke rumah. Tunjukkan jalanya." Anggara memalingkan wajahnya, lalu menjalankan mobilnya.
Di perjalanan terasa hening, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut keduanya. Kinara menatap arah jalanan yang begitu padat kendaraan berlalu lalang, sedangkan Anggara fokus mengendarai mobilnya.
"Depan belok kiri, Mas. Rumah paling ujung, berhenti di situ." Kinara menunjukkan rumahnya yang terlihat sederhana, banyak tanaman hias di depannya membuat rumah itu terlihat sejuk.
Anggara tersenyum ketika melihat rumah Kinara bercat warna biru telur asin, warna kesukaan Kinara sejak muda dulu.
"Ternyata kamu tidak pernah berubah, Kinara," ucap Anggara.
"Mas, ini sudah malam. Besok lagi merayunya," kata Kinara tersenyum tipis.
"Aku ingin menginap di rumahmu." Anggara turun dari mobil. Ia lalu membukakan pintu untuk Kinara.
Kinara menyuruh Anggara pulang, ia merasa tidak enak jika ada tetangga yang mengetahui kedatangan Anggara di malam hari. Anggara tidak mempedulikan ucapan Kinara, ia menerobos masuk ke dalam rumah.
Anggara menutup pintu rumah Kinara, lalu mengunci pintunya.
"Mas, apa yang akan kamu lakukan?"
Anggara memeluk erat tubuh Kinara, ia benar-benar sangat merindukan wanita yang sangat dicintainya itu.
"Selama aku pergi adakah laki-laki lain yang menyentuhmu?" Anggara mengamati setiap inci tubuh Kinara.
"Kamu pikir aku wanita apa, Mas!" Kinara menghempaskan tangan Anggara yang mengusap lembut wajahnya.
Anggara tersenyum tipis, ia merasa kagum dengan Kinara. Kesetiaan dalam diri mereka berdua benar-benar ada, dan tidak perlu diragukan lagi. Namun, untuk saat ini mereka belum memutuskan ke jenjang yang lebih serius.
"Nara, aku pulang dulu. Besok aku kesini lagi," pamit Anggara.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan, jangan ngebut! Kamu sudah tua," ujar Kinara menatap Anggara.
Setelah Anggara pergi, Kinara masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil sebuah foto dari dalam laci meja, Kinara tersenyum melihat fotonya berdua dengan Anggara.
Malam ini adalah malam yang indah untuknya, bisa merasakan kehangatan kembali. Setelah puluhan tahun hidup tanpa kekasih.
***
"Pah, kok lama sekali antar mamah? Ngopi dulu ya," ujar Niko tersenyum menggoda.
"Jalanya macet, Nik." Anggara berbohong.
"Oh, Niko pikir kalian berdua adu nasib." Niko berkata asal-asalan.
Anggara memukul lengan Niko. "Papah mau istirahat dulu. Besok pagi bangunkan jam lima."
"Gak salah, Pah!" Niko terkejut.
Tidak ada jawaban dari Anggara, membuat Niko bertanya-tanya. Biasanya Anggara selalu keluar kamar jam delapan pagi, dan tidak suka dibangunkan orang.
Di dalam kamarnya, Anggara tersenyum membayangkan wajah cantik Kinara.
"Angel, kamu belum tidur?" tanya Niko baru saja masuk ke dalam kamarnya.
"Aku kepikiran mamah, Nik. Dia di rumah sendiri," jawab Angel merasa sangat khawatir.
"Mamah baik-baik saja, sekarang kamu tidur ya," ucap Niko sambil menutupi tubuh Angel dengan selimut.
"Kamu sudah memastikan?" Angel bertanya.
"Angel, mulai sekarang kamu harus percaya dengan suamimu ini. Kalau pikiranmu ke mamah terus, gimana sama aku? Sekarang tidurlah! Besok pagi kita ke rumah oma," ujar Niko.
"Aku tidak mau ikut! Pasti ada ibumu." Angel merasa takut dengan Miranda.
Niko menyadari sendiri kalau ibunya kurang baik, sehingga tidak menyalahkan Angel. Tetapi, ia tetap memaksa istrinya itu, karena di rumah omanya Miranda tidak bisa berkutik. Ia hanya menantu yang tidak diinginkan.
"Sekarang kita tidur saja," ajak Niko melingkarkan tangannya di perut sang istri yang tidur membelakanginya.
Keesokan harinya, tepat pukul lima pagi. Anggara sudah berdiri di depan rumah Kinara. Ia ingin mengajak Kinara jalan- jalan ke kebun teh sambil menikmati jagung bakar.
"Mas, pagi sekali datangnya. Aku baru bangun tidur," ucap Kinara sambil merapikan rambutnya yang memutih.
"Semalam aku tidak bisa tidur, kangen sama kamu," ungkap Anggara menyingkirkan sulur rambut Kinara yang sedikit menutupi wajah.
"Malu dilihat tetangga, kita masuk, Mas." Kinara mempersilahkan Anggara duduk di ruang tamu. Ia meminta kekasihnya itu untuk menunggu sebentar.
Anggara bukannya duduk di ruang tamu, ia mengikuti Kinara yang berjalan ke arah dapur untuk membuatkan kopi.
"Sayang, aku tidak mau minum kopi," kata Anggara.
"Terus maunya apa, Mas?" tanya Kinara menutup kembali wadah kopi yang telah dibuka.
"Kamu, Sayang," bisik Anggara.
Kinara tersipu malu, jiwanya seakan kembali muda. Ia menjadi salah tingkah sendiri, lalu meninggalkan Anggara di dapur sendiri.
"Mandinya jangan lama-lama, Nara!" teriak Anggara, lalu membuat kopi sendiri.
Anggara berjalan menuju ke taman belakang rumah sederhana Kinara, sambil membawa dua cangkir kopi yang sudah dibuatnya. Ia duduk di kursi yang sudah tersedia, di sudut ruangan terbuka.
Melihat bunga-bunga bermekaran, membuat suasana begitu tenang. Kinara memang wanita yang rajin, dan suka bertanam. Sambil menikmati kopinya, Anggara menyesap sebatang rokok.
"Mas, sejak kapan kamu ngrokok?" Suara Kinara membuatnya langsung mematikan api rokoknya.
"Gak tiap hari kok," jawab Anggara santai.
"Sudah tua jangan banyak ngerokok! Kesehatan lebih penting, kalau sakit siapa yang akan merawat mu!" Kinara duduk di sebelah Anggara.
Anggara tersenyum, hatinya berbunga-bunga karena Kinara masih begitu peduli dengannya. Sebenarnya Anggara tidak merokok, ia hanya ingin melihat kepedulian wanita yang disayanginya sampai dimana.
"Minum dulu kopinya," ucap Anggara menyodorkan secangkir kopi buatannya ke arah Kinara.
"Makasih, Mas." Kinara meminum kopi buatan Anggara yang ternyata rasanya sama sekali tidak berubah.
Tiba-tiba terdengar suara mobil Niko, membuat Kinara dan Anggara panik. Mereka berdua berlari ke kamar Kinara, lalu mengintip dari tirai jendela.
"Mas, gimana ini?" tanya Kinara dengan panik.
"Tenang, Nara. Kamu temui mereka, aku akan sembunyi disini." Anggara berusaha menenangkan kekasihnya.
Kinara menghembuskan napas beratnya, mencoba untuk menenangkan diri lebih dulu lalu berjalan keluar kamar.
Niko dan Angel sudah duduk di ruang tamu, mereka berdua saling menatap satu sama lain.
"Mah, kok di depan ada mobil papahnya Niko?" tanya Angel mengerutkan dahinya.
"Maksudnya? Tuan Anggara?" Saking gugupnya Kinara justru balik bertanya.
"Iya, Mah." Angel semakin curiga.
Kinara terpaksa berbohong, ia menjelaskan kalau tidak tahu menahu soal mobil yang ada di depan rumahnya. Walaupun agak gugup ketika berbicara, Kinara berusaha membuat mereka tidak curiga.
"Sebenarnya kita mau ajak Mamah jalan-jalan lho," ujar Niko menahan senyumnya.
"Mamah gak bisa ikut. Ada acara ... iya ada acara." Jantung Kinara berdetak kencang, khawatir kebohongannya terbongkar.
Angel dan Niko tidak memaksa Kinara, mereka berdua justru heran melihat Kinara seperti orang yang tidak tenang. Dari tadi mereka berdua memperhatikan Kinara selalu menengok ke arah pintu kamarnya.
Bruk ...
Terdengar suara benda jatuh dari dalam Kinara, membuat Niko dan Angel berdiri duduknya. Namun, Kinara berusaha mengalihkan perhatian mereka.
"Mah, ada apa itu?" tanya Angel.
"Mungkin tikus jatuh, Sayang. Kalian tidak usah pedulikan suara itu." Kinara berusaha tenang.
"Oh, yaudah. Aku takut ada apa-apa," ujar Angel.
Sementara itu, di dalam kamar Kinara. Anggara tidak sengaja menjatuhkan sebuah buku tebal yang diletakkan di atas lemari.
"Awas saja kamu, Nara! Beraninya mengatakan aku tikus." Anggara merasa geram mendengar ucapan Kinara.
Anggara berjalan ke arah pintu kamar Kinara, ia mengintip dari dalam memastikan kalau Niko dan Angel tidak mengecek kamar Kinara. Sialnya lagi, ada semut yang menggigitnya. Hampir saja Anggara berteriak, tetapi berusaha menahannya.
"Sial!" umpatnya.
Semakin lama merasa bosan terkurung di dalam kamar, Anggara mempunyai ide di luar nalar. Dengan sengaja mengirim pesan untuk Niko, ia mengatakan kalau butuh bantuannya dan meminta Niko segera datang ke rumah omanya.
"Aku tidak akan membiarkan kalian menganggu kencan pertamaku, setelah puluhan tahun menjomblo," gumam Anggara dalam hati.
Anggara menatap layar ponselnya, karena Niko tidak kunjung membalas hanya membacanya saja. Ia pun semakin kesal, lalu mengirimkan pesan ulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!