Seorang pria berusia 37 tahun dengan kulit coklat dan cenderung gelap sedang berjalan sembari memanggul sebuah cangkul dipundaknya menuju kebun.
Pria itu bernama Adjie. Diusianya yang sudah sangat matang, namun ia masih saja menjomblo. Bukannya ia ingin terus melajang, akan tetapi nasibnya yang belum saja beruntung untuk mendapatkan tambatan hati.
Sebenarnya ia tidak memilih, jika tidak mendapatkan seorang gadis, yang janda juga tak masalah baginya, yang penting jangan tua renta apalagi yang sudah stroke.
Ia memiliki paras yang manis, otot tubuhnya menyembul dan kulit jemari serta telapak tangannya sangat kasar, itu menandakan ia seorang pekerja keras.
Rambutnya ikal bergelombang, dengan hidung bangir serta bibir tebal dibagian bawahnya, tentu saja sebenarnya ia adalah pria yang
Hidupnya sebatang kara. Kedua orangtuanya telah lama meninggal dan ia hanya mendapatkan warisan sebuah rumah gubuk. Dalam kesehariannya, ia menjadi kuli serabutan dan akan senang hati jika ada warga yang meminta tolong jasanya dan itu membuat ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Beberapa hari ini, ia sedang menaruh hati pada seorang janda muda yang baru saja ditinggal minggat suaminya karena kecantol wanita lain dikota yang merupakan rekan kerja suami sang janda dipabrik tempat mereka bekerja.
Janda itu bernama Wati. Wajahnya lumayan cantik, dengan body menggoda, dan itu juga membuat orang-orang merasa bingung, mengapa suaminya meninggalkannya, sedangkan ia terbilang memiliki kecantikan yang standar.
Adjie tampak bersemangat untuk berangkat bekerja pagi ini. Sebab ia akan menggarap kebun milik pak Wahyu yang mana letaknya tepat dibelakang rumah Wati.
Kebun itu sangat luas, dan akan ditanami singkong yang mana Adjie dipercaya untuk mengerjakannya.
Ia tiba disana sangat pagi. Saat bersamaan, ia melihat sang janda yang menjadi incarannya sedang menyapu halaman rumahnya. Kulit kuning langsat dan betisnya bak padi bunting tua membuat Adjie harus menelan salivanya berulang kali.
Usianya yang sudah sangat dewasa, tentu mendambakan pasangan hidup untuk dapat melepaskan hasratnya yang selama ini selalu dituntaskan oleh sabun mandi.
Mentari yang bersinar membuatnya harus sadar ia harus mulai bekerja.
Ia mengayunkan cangkulnya untuk membuat gulutan singkong dan itu harus tepat waktu sesuai perjanjian. Baru beberapa cangkulan, ia mengjentikan pekerjaannya.
Fikirannya tak tenang saat melihat sang pujaan hati barusan. Otaknya terus berfikir bagaimana caranya ia mengungkapkan perasaannya pada wanita itu.
Hal yang paling membuatnya merasa ngenes, yaitu sesuatu yang ada dibalik celananya merangkak naik karena tak tahan membayangkan tentang Wati yang mana tadi hanya menggunakan rok panjang dibawah lutut saja.
Tak berselang lama. Sang janda keluar dari dapurnya. Ia sepertinya akan mencuci pakaian ke kali yang tak jauh dari rumah dan juga kebun milik pak Wahyu.
Sepertinya Adjie akan mengambil kesempatan ini untuk mengungkapkan isi hatinya pada wanita tersebut.
Melihat suasana yang sangat sepi, karena rumah Wati sedikit terlindung oleh lebun warga, membuat nyali Adjie sedikit bangkit untuk mendekati sang punaan hatinya.
Ia mengekori Wati dari arah belakang, dan hal itu disadari oleh sang wanita, sehingga membuatnya harus menghentikan langkah dan menoleh le arah Adjie yang hanya berjarak tiga meter saja dari tempatnya berdiri.
"Kenapa kamu ngikuti saya, Kang?!" tanya Wati dengan wajah ketus. Ia terlihat tak suka dengan sikap Adjie yang sangat menjengkelkan.
"Dik Wati mencuci-kah?" Adjie terlihat gugup karena wanita itu tiba-tiba saja menegurnya.
"Sudah tau pake nanya! Emang mau nyuciin baju saya!" Wati semakin kesal. Entah mengapa ia sungguh tak suka dengan Adji, meskipun pria itu sesungguhnya memiliki tubuh proposional dengan tinggi 178 cm dan BB 73 kg, ia dapat disebut pria macho.
Bahkan dibagian perutnya terlihat sixpack, namun aura yang dipancarkan oleh Adjie membuat para wanita tak menyukainya, apalagi tergoda.
Adjie semakin gugup dengan ucapan yang dilontarkan oleh sang janda, hal ini membuat kepercayaan dirinya menurun, akan tetapi ia tak memiliki waktu untuk menunda mengutarakan isi hatinya.
"Em, Dik Wati, akang mau melamar kamu, jika kamu bersedia, akang akan usahakan uang lamarannya," Adjie mencoba mengumpulkan keberaniannya, berharap sang pujaan hati menerima cintanya.
Wati mengangakan mulutnya. Ia meletakkan ember berisi pakaian diatas tanah dengan kasar, dan lebih tepatnya membanting, hingga terdengar suara keras saat benda plastik itu menyentuh tanah.
Sang wanita mengacakkan pinggang sembari menengadahkan wajahnya beserta tatapan tajam merendahkan lawan bicaranya. "A-apa? Tadi kang Adjie ngomong apa?" Wati menghadapkan telinganya kearah sang pria.
"Akang ingin melamarmu? Apakah kamu mau menjadi istri akang?" ungkapnya dengan begitu penuh harapan.
Wati terkekeh, dan ia memandang wajah pria tersebut dengan sangat lucu. "Eh, Kang! Kamu itu nyadar diri! Udah miskin mau dekati aku! Kamu bukan levelku!" wanita itu mencebikkan bibirnya. "Yang ada kamu itu cuma numpang hidup denganku nantinya, karena rumahku lebih bagus dari rumah kamu!" Wati kembali menimpali ucapannya.
Adjie menatap kosong pada sang wanita. Ia tak mengira jika sang janda akan sesadis itu. Ia sudah berapa kali mendapatkan penolakan dari beberapa gadis yang ia cintai, akan tetapi kali ini yang paling sadis, bahkan dari seorang janda.
"Akang hanya menyatakan cinta, mengapa kamu jawabannya seperti itu?" Adjie masih mencoba bersabar dan tak ingin terpancing emosinya.
"Cuuuih! Najis tau!" Wati meludah dan meraih ember berisi pakaiannya, lalu kembali ke rumah dan membatalkan niatnya yang hendak mencuci.
Adjie terhenyak dalam diam. Ia menatap punggung Wati yang berjalan menuju kerumahnya dengan langkah yang cukup cepat.
Hatinya benar-benar hancur. Ia hanya ingin menghalalkan wanita untuk menjadi pendamping hidupnya, tetapi mengapa penolakan itu terlalu kasar, tidak dapatkah Wati menolaknya dengan halus, atau setidaknya tanpa meludahinya.
"Bu, maafkan aku yang tak pernah bisa mewujudkan keinginanmu untuk mendapatkan menantu apalagi cucu," gumamnya dengan nada miris.
Ia menarik nafasnya dengan berat, lalu menghelanya kasar, dan tatapannya kembali pada rumah yang mana tempat Wati tinggal.
Dari kejauhan ia mendengar suara mesin motor pak Wahyu datang untuk meninjau pekerjaannya, dan hal itu menyadarkannya pada pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Ia mempercepat langkahnya dan pria pemilik kebun itu tak terlihat, dan hal itu membuat Adjie penasaran, sebab ia dengan jelas mendengar suara mesin motor pak Wahyu.
Adjie memilih untuk kembali kepekerjaannya dan ia ingin segera menyelesaikannya agar tak lagi bertemu dengan sang janda yang telah memberikan lula cukup dalam pada hatinya, bahkan itu adalah hinaan yang menyakitkan baginya.
"Aku akan membuatmu bertekuk lutut suatu saat nanti, hingga kau yang datang sendiri padaku untuk menghiba dan liur yang sudah kau ludahkan akan kau jilat kembali!" Adjie berguman dengan nada dendam dan kembali pada cangkulnya.
Hari terlihat hampir petang. Adjie menyudahi pekerjaannya. Ia memastikan jika seminggu lagi pekerjaannya akan selesai, dan ia hanya tinggal proses menanam batang singkongnya, maka ia akan mendapatkan upah yang cukup lumayan besar.
Adjie menyeka keringat yang mengucur dikeningnya. Pakaiannya basah oleh cairan asin tersebut dan hal itu membuat tubuhnya yang berotot terekspose dengan jelas, bukan karena ia berolahraga,akan tetapi karena pekerjaan kasar yang ia lakoni setiap saat membuat otot tubuhnya terbentuk dengan sendirinya.
Ia melirik dapur Wati yang sudah terang, sepertinya wanita itu tadi keluar rumah menggunakan sepeda motor, mungkin saja ia ke warung.
Adjie beranjak menuju kali, ia ingin membersihkan cangkulnya ditepi sungai, sekaligus mandi, sebab ia ingin pergi ke warung sehabis maghrib untuk sekedar bercengkrama sembari memesan secangkir kopi dan bercengkrama melepas lelah.
*****
Hari sudah sangat gelap. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Adjie bersiap untuk pergi ke warung sekedar melepas lelah dan juga rasa sepi yang dialaminya karena hidup sebatang kara.
Pakaian sederhana berupa kaos oblong yang berkualitas rendah dengan harga murah yang sapat dibeli obral dipasar mingguan menjadi pilihannya.
Ia berjalan kaki menuju warung Inah yang tak begitu jauh dari rumah gubuknya.
Saat bersamaan, dua buah sepeda motor melaju dengan keceptan yang sedang, sebab jalanan kampung yang belum teraspal.
Ketika mereka berada disisi Adjie, kedua pengguna sepeda motor itu berhenti.
Mereka adalah Rama dan Sarno yang merupakan pemuda paling sok cakep dan sok kerena karena memiliki sepeda motor bagus hasil dari merengek kepada orangtuanya yang mana salah satunya anak ketua RT yang gajinya tidak seberapa, tetapi memiliki harta kekayaan melimpah setelah menjabat dalam waktu setahun saja.
Desas-desus yang santer terdengar ialah ketika dana desa yang seharusnya dipakai untuk pembangunan jalan, tetapi masuk ke kantong pribadi masing-masing.
"Eh, Kang Adjie. Kok jalan kaki, sih? Minimal punya motor-lah meskipun butut!" ejek Rama, sembari menepuk stang motor matic gedenya.
"Iya, pantesan aja nge-jomblo sampai karatan, sepeda motor saja gak punya, gak modal!" Sarno menimpali yang diiringi dengan suara cekikikan.
Meskipun terkesan bercanda. Tetapi ucapan mereka telah menggores hati Adjie yang sebenarnya memang jomblo.
Ia tak ingin menggubris ocehan kedua pemuda yang mana umurnya jauh dibawahnya, akan tetapi tak memiliki etika dan adab saat berbicara dengan yang lebih tua.
Adjie menyalakan sebatang rokok, lalu menghi-sapnya dengan sangat dalam dan menghembuskan asap yang mengandung monoksida tersebut ke udara ditengah malam yang pekat.
Kedua pemuda itu masih mentertawakannya, dan mereka melaju mendahuluinya sembari memberikan ejekan yang sebenarnya sungguh melukainya.
Adjie kerap kali mendapatkan cemoohan dan juga cacian karena kejombloannya dan juga kemiskinannya.
Akan tetapi, mengapa hal itu harus menjadi ejekan banyak orang? Bukankah itu tak masalah? Sebab jika ia pun jomblo dan miskin, toh ia tak pernah menyisahkan siapapun, dan ia menganggapnya jika itu adalah takdir hidupnya.
Setibanya diwarung. Suasana sudah mulai ramai. Seorang pria paruh baya bernama Muji dan ia memiliki tiga orang istri, sedangkan wajahnya biasa saja, bahkan terkesan sangat jelek, akan tetapi entah mengapa ia dapat dengan mudah menikah sebanyak tiga kali dengan istri yang cantik rupawan, sedangkan ia satu orang pun tak didapatnya. Pria itu memandangnya dengan datar.
"Eh, Kang Adjie.mau pesan apa, Kang?" sapa Inah dengan ramah. Wanita itu seorang janda bohay yang ditinggal mati suaminya, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia terpaksa membuka warung kopi.
"Kopi susu satu, Mbak," pesan Adjie, sembari mencari tempat duduk dibagian sudut. Ia berniat ingin bermain catur dengan kang Sofyan yang juga sudah datang terlebih dahulu.
"Mau ditambah susu yang ini gak, Kang?" goda Inah, sembari menggoyangkan dua buah susu cap gantung miliknya yang berukuran jumbo.
Hal tersebut membuat Adjie harus menelan salivanya. Jujur saja sebagai pria normal ia sangat tergoda dengan hal seperti itu. Akan tetapi ia sadar diri. Karena penolakan Wati pagi tadi telah membuatnya sedikit patah hati.
Seketika suasana warung menjadi riuh. Bahkan Muji yang sudah memiliki istri tiga saja sampai melotot matanya karena merasa tergoda.
Adjie hanya mengulas senyum miris, lalu menuju bangku panjang yang terbuat dari dua buah keping papan tersebut umtuk bergabung dengan kang Sofyan.
"Ya ampun, Adjie. Ditawarin susu enak kok cuma diam. Gimana mau laku kalau gitu, gak ada nyalinya!" cibir salah satu pelanggan warung.
Adjie mencoba menahan rasa sabarnya. Ia menoleh kearah pria yang bernama Joni. Pria itu sudah kerap kali mengejeknya, akan tetapi ia masih mencoba untuk sabar.
Adjie mencoba mengabaikan segala ocehan dan hinaan dari para orang-orang yang ia anggap terlalu kepo akan hidupnya.
Ia memilih untuk bermain catur bersama kang Sofyan yang selama ini ia anggap care dalam berteman dengannya.
Inah mengantarkan kopi pesanannya. Akan tetapi kali ini ia wajahnya terlihat berbeda saat menggodanya barusan, sebab wanita itu tampak gusar dan gelisah, sedangkan baru saja ia mencoba menggoda dirinya.
Hari mulai larut. Sofyan berpamitan untuk pulang. Sebab akan bekerja esok pagi. Begitu juga dengan yang lainnya.
Adjie celingukan, sebab ia belum membayar kopinya dan mencari keberadaan Inah yang tidak ada diwarung.
"Kemana mbak Inah?" Adjie tampak penasaran.
Ia beranjak menuju dapur. Pria itu beranggapan mungkin saja Inah ketiduran karena kelelahan berjualan seharian.
Akan tetapi. Ia dikejutkan suara de-sahan yang terdengar begitu bergai-rah dan membakar hasrat.
Karena rasa penasaran. Ia mencoba mencari sumber suara tersebut, dan alangkah kagetnya ia saat mendapati Muji yang sudah beristri tiga itu menggumuli Inah dengan begitu rakusnya.
Adjie seolah syok dengan pemandangan yang ada dihadapannya. Bagaimana mungkin Muji yang buruk rupa dengan begitu mudahnya mendapatkan wanita yang manapun ia inginkan. Sedangkan dirinya, untuk mendapatkan Wati saja ia tak mampu.
Adjie melihat pergumulan itu hingga selesai. Lalu mengendap pergi saat keduanya telah mengenakan pakaian masing-masing.
Ia begitu jelas melihat tubuh molek milik Inah yang digagahi oleh pria buruk rupa tersebut.
Dengan langkah gemetar, ia meninggalkan warung dan menuju pulang. Pemandangan yang sangat mengkontaminasi otaknya dan itu sangat sulit dilupakan. Ia berfikir bagaimana jika saja para wanita yang ia inginkan begitu mudahnya menyerahkan dirinya untuk ia tiduri, maka itu akan menjadi sesuatu yang sangat beruntung hidup didunia ini.
Adjie tiba dirumahnya. Ia bergegas menuju bilik kamar mandi untuk menuntaskan hasrat khayalan kotornya yang membuat ia merasa seolah terbang dalam imajisasi tubuh molek Wati.
Seketika ia tersentak dan menghentikan gerakan tangannya. Ia mencoba menghadirkan wajah Inah, akan tetapi wajah Wati yang terus datang memenuhi otaknya.
Adjie merasakan sakit pasa kepalanya. Ia tak dapat membuang wajah Wati yang terus hadir diingatannya.
Akan tetapi, sang janda sangat begitu angkuh dan kasar padanya, bahkan sudah merendahkannya.
Pemuda itu bergegas menyudahi khayalan kotornya dan menuju teras rumah dengan balai-balai bambu yang menjadi tempat untuk mengkhayal akan kesendiriannya.
Meski hampir larut malam. Ia tak jua merasakan kantuk. Otaknya terlalu penat akan beban hidup yang begitu berat, bukan tentang ekonomi, tetapi tentang menemukan jodoh untuk pendamping hidupnya.
Udara malam yang semakin dingin, membuat Adjie merasakan hidupnya semakin nelangsa, dan ia menyulut sebatang rokok untuk mengurangi beban fikirannya.
Kepulan asap diudara seolah membentuk gambaran seseorang yang sedang mentertawakan ke jomblo-annya.
"Sialan!" makinya pada kepulan asap yang tak bersalah tersebut dan mengibaskannya dengan kasar.
Tak berselang lama, suara guntur menggelegar dengan begitu dahsyat dan diiringi dengan kilatan cahaya halilintar yang seolah membelah kegelapan malam-pun seolah ikut memperkeruh suasana hatinya yang sedang galau.
Adjie merasa jika hidupnya tidaklah adil. Mengapa ia yang mengapa ia yang memiliki wajah terbilang tidak jelek-jelek amat, tetapi sulit mendapatkan tambatan hati. Sedangkan Muji yang wajahnya buruk rupa dapat dengan mudah memiliki tiga orang istri sekaligus.
"Amalan apa yang dimiliki Kang Muji?" gumamnya dengan lirih.
Baru saja selesai ia bergumam, pria yang sedang ia fikirkan melintas dari arah depan rumahnya, tentu saja ia baru dari warung Inah yang merupakan wanita selingkuhannya.
Adjie menatap pria tersebut. Tanpa diduga sebelumnya, Muji justru menghentikan sepeda motornya, dan berjalan menuju ke teras rumahnya.
"Sial, panjang juga umur si playboy tua ini. Baru saja aku sebut, udah pake nongol!" Adjie menggerutu, lalu melemparkan puntung rokonya.
Muji tiba dibalai bambu miliknya. Lalu duduk tanpa ia persilahkan, dan lebih sialnya lagi, pria berwajah buruk itu mengambil sebatang rokok milik Adjie, lalu menyulutnya dan menyesapnya tanpa merasa bersalah karena mengambil milik orang lain tanpa permisi.
Adjie menatap pria itu dengan perasaan tidak senang. Jujur saja ia merasa jengah dengan sikap pria tersebut.
"Kamu belum menikah?" tanya pria itu, sembari menatap Adjie dengan sangat dalam.
"Ya," jawab Adjie malas. Ia merasa jika pria itu sama saja seperti yang lainnya, mentertawakan nasibnya yang masih terus membujang.
Terlihat Muji tersenyum mengejeknya. Andai saja memukul orang tidak masuk pidana, maka ia akan melakukannya detik ini juga.
"Kau tidak akan pernah menemukan jodohmu, jika auramu tertutup begini!" cibir Muji dengan gamblangnya.
Seketika Adjie mengerutkan keningnya. Ia tidak faham akan apa yang diucapkan oleh pria pendatang tersebut.
"Apa maksud Kang Muji?!" ia bertanya sembari menyelidik. Raut wajah penasaran yang kini begitu kentara diwajahnya, membuat pria itu terkekeh.
"Kau tidak bisa berpangku tangan pada nasibmu, kau harus menjemputnya!" pria itu tampak mulai memprovokasi.
Adjie yang tadinya sangat kesal pada pria buruk rupa tersebut, kini mulai tertarik pada untuk mengulik lebih jauh.
"Aura apa yang Kang Muji maksud-kan?" Adjie semakin merasa penasaran.
"Kau ingin aku ajarkan sesuatu?" Muji menawarkan. "Sebuah ajian yang dapat membuatmu dengan mudah mendapatkan wanita manapun yang kau inginkan," Pria itu mengulas senyum licik.
Seketika Adjie tercengang. Apakah ini yang menjadi rahasia bagi Muji dalam menaklukkan wanita yang ia inginkan.
"Seberapa ampuh sesuatu yang Kang Muji maksudkan?" tanya Adjie semakin merasa penasaran.
Muji kembali terkekeh. Lalu membuang puntung rokoknya dengan asal.
"Bukankah kau sudah jelas melihat bagaimana Inah takluk padaku. Bukan hanya kenikmatan tubuhnya yang ku dapatkan, akan tetapi harta dan juga uangnya akan ia berikan." Muji merogoh saku celananya dan memperlihatkan segepok uang yang ia dapat dari wanita yang sudah ia zinahi barusan.
Adjie terperangah dan mulai terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh Muji. "Aku mau," jawabnya tanpa ragu.
Muji terkekeh kembali sembari memperlihatkan barisan giginya yang ompong. Lalu beranjak bangkit dari balai bambu dan menatap pada seped motornya. "Datanglah esok kerumah, ku tunggu sebelum Maghrib," ucapnya tanpa menoleh pada Adjie dan ia melangkah menuju sepeda motornya, lalu meninggalkan Adjie yang seolah tak sabar untuk mendapatkan ajian darinya.
Sepeninggalan Muji, Adjie merasakan menemukan secercah harapan untuk mendapatkan wanita dan pastinya ia sangat beruntung malam ini.
*****
Pagi ini Adjie tampak begitu bersemangat. Ia pergi menuju kebun juragan Wahyu untuk menanam singkong.
Sepanjang jalan, ia berkhayal dan berandai-andai jika memiliki ajian yang masih menjadi rahasia tersebut, maka ia akan sangat bahagia.
Bayangan wanita cantik terlintas dalam imajinasinya seperti para gadis cantik dalam dunia fantasinya, tak jarang ia tersenyum sendiri saat membayangkannya.
Tanpa terasa ia sudah tiba didepan rumah Wati sang janda super galak yang telah menghinanya semalam.
Tiba-tiba saja ia merasakan sebuah dendam yang membara pada wanita tersebut.
Ia menatap rumah Wati yang masih tertutup meski sudah pukul delapan pagi , dan itu tak seperti biasanya.
Adjie terus melangkah, dan ketika ia melintas dari samping rumah sang janda, terdengar suara yang khas orang sedang bercinta.
Seketika jantungnya merasa berdegub lebih kencang. Semua hal itu karena suara de-sahan yang keluar dari mulut Wati membuat ia seolah gagal fokus.
Rasa penasaran yang lebih dominan, membuat Adjie ingin mengintip tentang apa yang terjadi, sebab tidak mungkin Wati bercinta karena ia sudah menjadi janda.
Rumah sang janda yang terbuat dari papan kayu, memberi celah untuknya menemukan rasa penasarannya yang cukup kuat dan menggebu.
Adjie menempelkan mata sebelah kanan untuk melakukan pengintaian pada sang janda.
Seketika jantungnya seolah berhenti saat ia menemukan objek yang menjadi incarannya.
Alangkah tersentaknya Adjie saat melihat Wati sedang ditunggangi oleh juragan Wahyu yang terlihat bersemangat dalam berolah raga sembari bercocok tanam.
Adjie memundurkan langkahnya. Ia seolah merasakan langit runtuh dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Ia mengira jika Wati adalah janda terhormat yang tidak mudah untuk tergoda pada pria manapun sehingga menghinanya semalam.
Akan tetapi, wanita itu begitu rendah dan murahannya hingga menyerahkan tubuhnya untuk bermaksiat, dibanding harus ia nikahi untuk menjadi pasangan halal, dan lagi-lagi ia merasakan jika uang merupakan salah satu ajian yang termasuk ampuh dalam meluluhkan hati wanita.
Adjie mempercepat langkannya untuk menuju kebun singkong, sebab tak ingin ketahuan akan aksinya barusan.
Setibanya dikebun, ia mempercepat pekerjaannya dan merasakan kegalauan yang sangat tinggi karena Wati telah digarap oleh Wahyu dan ia akhirnya kecolongan juga.
Adjie tak sabar untuk segera mendapatkan ajian dari Muji agar dapat membalaskan dendamnya pada wanita yang sudah menghinanya dan merendahkannya yang mana ternyata lebih hina dan juga rendah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!