"Bel Kalo bokap lo tau gue bisa mati!" kata Ode sedikit panik.
"Ssst tenang! Semuanya aman terkendali!"
Abela Anais Mahendra akan melakukan hal paling gila dalam hidupnya kali ini. Gadis piyatu yang belum genap 18 tahun dan hanya tinggal bersama ayahnya itu, sudah lama sekali jatuh cinta dan bahkan terobsesi dengan rekan kerja ayahnya yang berusia jauh sekali di atasnya itu.
Pria itu adalah Auriga Sean Anderson berusia 30-an tahun dan memang bukan seumuran ayahnya yang sudah 47 tahunan. Abel baru saja kemarin merayakan hari kelulusan SMA-nya dan dia akan berangkat ke negara tetangga untuk melanjutkan pendidikannya minggu depan.
Beberapa hari lalu Abel mendapatkan kabar bahwa Auriga teman ayahnya yang lama tinggal di Singapura itu akan datang bersama para kolega mereka, biasanya sang ayah akan membuat sebuah pesta untuk menyambut tamu-tamu pentingnya itu usai mereka melakukan pertemuan penting.
Kali ini Abel dengar ayahnya akan membuat sebuah pesta di sebuah lounge n bar yang berada di sebuah hotel ternama dan biasanya disana akan ada wanita-wanita seperti model yang di datangkan untuk menemani para tamu mereka.
Abel lantas segera meminta bantuan Ode yang merupakan sekretaris ayahnya tersebut untuk memasukkan dia ke dalam daftar wanita-wanita yang akan menjadi pendamping tamu dari sang ayah.
Abel yakin dia tidak akan kalah dari para model yang di seleksi ketat untuk menemani para tamu penting ayahnya itu, Abel merasa dia cukup cantik, punya tubuh ideal dan pasti jika memakai pakaian dewasa dia akan terlihat seumuran dengan para model itu. Abel memang selalu percaya diri, dia merupakan sosok anak yang periang dan juga pemberani.
Beberapa hari kemudian setelah melakukan persiapan yang cukup matang akhirnya hari ini waktu yang sangat di nantikan Abel tiba, dia baru saja sampai di sebuah hotel tujuan bersama Ode si laki-laki feminim tapi bersetelan Macho itu.
Abel meminta Ode untuk membuat dia dan sang ayah tidak bertemu apalagi berada di meja yang berbeda. Suasana yang tamaram disana pasti akan cukup mudah mengelabui sang ayah.
Jantung Abel berdegub kencang dengan mudah Ode sudah membuat susunan meja dan formasi isi orang-orang dalam ruangan sesuai dengan yang Abel minta.
Ode juga sudah lama tahu anak bos-nya itu menyukai Auriga. Semuanya di awali sejak gadis itu duduk di bangku kelas 1 SMA dan dia bersama ayahnya pergi berlibur sekaligus menghadiri acara pernikahan kembaran Auriga yaitu Aurora di sebuah pulau Pribadi milik keluarga Auriga di perbatasan Vietnam itu.
Abela terpesona oleh ketampanan Auriga, sikap dinginnya, cara dia berpenampilan dan juga saat berinteraksi dengan orang lain. Selain itu Auriga juga seorang yang pekerja keras, dia sudah bekerja dari usianya masih muda. Auriga pernah menyapa gadis itu di acara pernikahan kembarannya dulu. Ya. Dia hanya menyapa tapi Abel malah jatuh cinta.
Mulai hari itu Abela selalu mencari tahu tentang pria itu, mengikuti dia di semua social medianya, mencari tahu tentang kehidupan Auriga, pasangannya, lingkungannya apa yang Auriga suka dan hal-hal yang tidak di sukai.
Abel juga mendengar kabar bahwasanya Auriga pernah di tinggal menikah oleh Sahara kekasihnya, mereka sudah pacaran cukup lama lalu Sahara menikah bersama orang lain. Tidak tahu apa penyebabnya Abel tidak peduli itu, kabar baiknya saat ini Auriga sedang sendiri tanpa pasangan hingga membuat Abel berani melakukan hal gila ini untuk bisa duduk bersama Auriga lalu menikmati malam indah bersamanya dan yang pasti dia akan berpenampilan berbeda agar Auriga tidak sadar Abel adalah putri temannya.
Kedua telapak tangan Abel berkeringat dingin, dia sudah memasuki ruangan dimana Ode bilang sebentar lagi Auriga dan tamu-tamu lain sebentar lagi akan tiba. Di sebuah ruangan exclusive itu Abel bersama enam wanita seksi lain sudah duduk disana, para pelayanan sudah menghidang botol-botol minuman lengkap dengan snacknya.
Sepertinya di dalam sini akan ada penampilan khusus lain yang juga sudah di persiapan oleh Mahen ayah dari Abel itu seperti penari striptis atau mungkin penyanyi yang di sewa secara pribadi
Abel melirik para wanita-wanita cantik disana, mungkin mereka semua tidak saling kenal terlihat semuanya sibuk pada diri mereka masing-masing. Penampilan mereka begitu menawan, pakaian mereka cukup seksi namu bukan yang murahan dan terbilang berkelas dari atas hingga bawah, Ode menyebut mereka Ani-ani kelas atas. Seperti biasa Abel selalu percaya diri dia membandingkan dirinya sendiri pada mereka.
"Tapi aku rasa aku paling cantik natural disini, huh ani-ani kenapa wajah kalian seperti menggunakan satu template aplikasi. Hasil rekayasa plastiknya mirip semua jangan-jangan kalian mengkiblati satu satu model yang sama astaga." Umpat Abel berbicara sendiri.
Abel juga mengumpat sang ayah yang dia panggil Papa itu. "Lo ya Mahendra, main-main beginian! Ganjen banget! Katanya ngga mau nikah lagi tapi apa coba? Koleksi Ani-ani!"
Abel yang duduk di ujung akhirnya mendengar suara berisik dari pintu yang terbuka sedikit oleh penjaga disana. Seketika dia bangkit seperti apa yang sudah di intruksi Ode. Ode sudah membriefing Abel tentang bagaimana cara menyambut mereka, melayani dan cara bersikap juga berbicara.
Beberapa pria yang tampak berusia tidak muda lagi masuk ke dalam ruangan, meskipun mereka tidak muda namun penampilan mereka bisa menutupi itu. Mereka menjadi terlihat menawan dan gagah tentu saja dan menjadi incara semua wanita yang butuh dana.
Ode sudah memastikan Mahendra tidak masuk ke ruangan yang ini dan bersyukur sekali itu benar, para wanita sudah menggandeng tamu mereka dan membawa setiap laki-laki yang mereka gandeng untuk duduk.
Tapi dimana Auriga, ini bukan hanya ayahnya saja yang tidak ada namun Auriga laki-laki yang menjadi incarannya juga tidak ada disana. Abel masih berdiri kebingungan sebab tinggal dia sendiri yang tidak menggandeng tamu, dia menoleh ke kanan dan kiri tidak tahu harus bagaimana dan melakukan apa sebab Ode tidak menginformasikan tentang ini.
"Jangan bilang dia ngga datang!" Abel mendadak panik dia terus melihat ke arah pintu sembari sesekali membenarkan push up branya yang terlalu tinggi guna membuat dadanya terlihat besar dan naik.
Abel masih duduk di sudut ruangan di salah satu meja yang di tempati para wanita-wanita yang di sewa untuk menemani para pengusaha itu menikmati hiburan, Abel terus mengamati setiap gerak tamu-tamu yang datang.
Di sekelilingnya, wanita-wanita berpakaian mewah dan pakaian yang cukup menggoda itu mulai mendekati para pria berpengaruh yang mulai sibuk dengan gelas minuman di tangan mereka. Suara tawa dan nyanyian mulai memenuhi ruangan yang temaram, menciptakan suasana yang begitu hidup namun tetap terasa eksklusif. Tapi, di tengah keramaian itu, hati Abel mulai diliputi kegelisahan.
Auriga belum juga muncul.
Sudah lebih dari satu jam sejak tamu-tamu itu tiba, namun tak ada tanda-tanda pria yang selama ini mengisi pikirannya. Abel menegakkan punggungnya, berusaha tampil tenang meski hatinya mulai dipenuhi dengan rasa kecewa yang semakin kuat.
Ode sudah memastikan semua rencana berjalan sesuai keinginannya, namun mengapa Auriga belum datang? Apakah rencananya akan gagal begitu saja?
Sesekali Abel memandang ke arah pintu, berharap pintu itu terbuka dan sosok yang dinantikannya masuk ke dalam ruangan. Tapi yang masuk hanya para pelayan yang membawa nampan minuman dan makanan. Para wanita lain tampak mulai menikmati perannya melayani tamu dengan penuh tawa dan canda, sementara Abel hanya duduk di sudut, berusaha menjaga sikap agar tetap tenang.
Beberapa kali dia sudah di dekati para pria hidung belang, tua bangka yang dia benci rekan-rekan sang papa tapi dia mengatakan sedang menunggu seseorang sebaiknya dengan yang lainnya saja.
“Apakah dia benar-benar tidak akan datang?” gumam Abel pelan, matanya masih terpaku pada pintu yang seolah tak pernah membuka untuk Auriga.
Perlahan, rasa kecewa mulai menjalari tubuhnya. Harapannya yang semula begitu besar, mulai pudar. Ia sudah melakukan segalanya memakai gaun dewasa yang menonjolkan lekuk tubuhnya, memoles wajahnya dengan riasan yang membuatnya terlihat lebih matang, dan memastikan tubuhnya memancarkan pesona seorang wanita dewasa. Namun, apa gunanya semua itu jika Auriga tidak datang?
Saat Abel mulai berpikir untuk menyerah dan meraih ponsel untuk meminta Ode mencari tahu apa yang terjadi, pintu ruangan itu akhirnya terbuka. Napasnya tercekat.
Auriga Sean Anderson masuk dengan langkah tenang, matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan sejenak sebelum dia melangkah masuk lebih dalam.
Sosoknya begitu berbeda dibandingkan para pria lain di ruangan itu. Tidak ada tawa keras, tidak ada sikap terlalu ramah yang dibuat-buat. Auriga adalah pria yang pendiam dan misterius, tetapi justru itulah yang membuatnya begitu memikat.
Abel menelan ludah, rasa gugup mulai merayapi dirinya. Auriga berdiri di dekat bar, memesan minuman dengan sikap dinginnya yang khas. Belum ada wanita yang mendekatinya mungkin mereka merasa pria itu melengos saja berjalan melewati mereka tanpa mau menyapa, lalu intimidasi dari auranya terlalu kuat.
Ini kesempatan Abel.
Abel mulai mengumpulkan keberanian yang tersisa, Abel berusaha bangkit dia merapikan dress pendeknya perlahan melangkah mendekati Auriga. Setiap langkah terasa berat, namun tekadnya sudah bulat bukan? Di balik gaun mewah dan riasannya yang cukup dewasa, Abel sedang tampil sebagai sosok wanita lain, wanita yang berbeda dari gadis muda yang pernah Auriga lihat bertahun-tahun lalu.
“Selamat malam, Pak,” sapa Abel dengan suara yang ia buat serendah mungkin, mencoba meniru nada bicara wanita-wanita elegan di sekitarnya. “Bolehkah saya menemani Anda?”
Auriga menoleh, menatap Abel dengan mata tajamnya yang dingin. Untuk beberapa detik, Abel merasa seolah dunia terhenti. Pria itu menatapnya dengan begitu intens, seperti sedang menilai setiap inci dari dirinya. Jantung Abel berdebar kencang, tetapi dia berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya.
Auriga akhirnya mengangguk kecil, “Silakan.” Suaranya rendah, nyaris tanpa emosi. Pria itu mempersilakan Abel duduk di kursi di sebelahnya.
Abel tersenyum tipis, perasaan gugup mulai sedikit mereda meski belum sepenuhnya hilang. Ia mengambil tempat di samping Auriga, dan mereka berdua terdiam sejenak. Abel tahu bahwa ini adalah momen langka, dia harus memainkan peran ini dengan sempurna. Ia bukan lagi Abela, gadis muda yang hanya mengagumi dari kejauhan. Malam ini, ia adalah wanita dewasa yang bisa berada di samping pria dewasa seperti Auriga.
“Anda tidak seperti tamu lainnya,” Abel membuka percakapan, suaranya tetap lembut namun penuh percaya diri. “Anda terlihat... Tidak menyukai tempat ini.”
Auriga menatapnya lagi, kali ini lebih lama. “Apa maksudmu?”
Abel tersenyum, kali ini lebih berani. “Kebanyakan pria di sini terlihat terlalu menikmati suasana. Tapi Anda... terlihat seperti seseorang yang tidak terlalu terpengaruh oleh hal semacam ini.”
Auriga tidak langsung menjawab. Matanya seakan menelisik lebih dalam, seperti sedang mencoba menebak siapa wanita di depannya ini. Namun, Abel tetap tenang, menatap balik dengan tatapan penuh percaya diri.
“Saya tidak terlalu menyukai keramaian,” akhirnya Auriga menjawab singkat, lalu menyesap minumannya.
Abel merasakan sedikit kemenangan kecil dalam dirinya. Setidaknya, Auriga tidak menolaknya begitu saja. Meskipun percakapan mereka masih minim, Abel bisa merasakan ada celah yang bisa dia manfaatkan. Dia hanya perlu waktu, dan lebih banyak keberanian.
“Kalau begitu,” Abel berkata pelan, suaranya hampir berbisik, “Bagaimana kalau saya yang menemani Anda malam ini, tanpa harus terlibat dalam semua ini?”
Auriga menatapnya dalam-dalam, seperti sedang mempertimbangkan tawaran itu. Abel tahu dia sedang bermain dengan api, tetapi dia siap untuk mengambil risikonya.
Di balik segala ketegangan dan kegugupan, Abel hanya punya satu tujuan malam ini mendekat kepada Auriga dan membuat pria itu melihatnya sebagai sosok yang berbeda, sosok wanita dewasa yang pantas diperhitungkan.
Abel bersumpah dia akan melakukan apa pun untuk mencapai itu.Kini, di sebuah Bar n lounge hotel mewah itu Abel bersiap menjalankan rencana gilanya yaitu menyamar sebagai salah satu wanita penghibur yang disewa untuk menemani tamu-tamu penting sang papa tanpa mengungkapkan identitas aslinya.
Abel telah mempersiapkan segalanya dengan matang penampilannya, sikapnya, hingga bagaimana cara mengelabui papanya. Namun, demi apapun, jantungnya berdebar semakin kencang, karena dia tahu, tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana malam ini akan berakhir.
Apakah ini akan menjadi malam yang mengubah segalanya, atau justru merusak seluruh hidupnya?
Namun Kewarasan Abel seakan sudah hilang dia hanya bisa melihat Auriga dan Auriga pria dewasa yang sudah sangat membuat dia tergila-gila sejak lama. Ini sudah satu langkah yang sangat baik dia hanya perlu memainkan lebih baik.
Abel Anais? Ya gue Abel dan dia pria tampan dan dingin di sebelah gue ini, kenalin 'calon suami gue'
Sial, Abel mengutuk dirinya sendiri belum apa-apa dia sudah begitu girang sekali.
Tidak ada suara selain gerakan bahu kecil ke arah atas setelah tawaran Abel untuk menemaninya, Auriga tetap lurus ke depan dan membiarkan Abel duduk di sebelahnya. Sesaat, Auriga memang mempersilakannya, namun sejujurnya dia tidak terlalu peduli dengan siapa yang duduk di sampingnya.
Semua keadaan di sana baginya terasa seperti sebuah ritual kosong acara sosial yang hanya dipenuhi basa-basi dan gemerlap yang tak ada artinya. Ia lebih suka menyendiri, menikmati minumannya tanpa ditemani siapa pun.
Auriga menghela napas pelan. Wanita di sebelahnya ini mungkin salah satu dari mereka wanita-wanita yang dipilih untuk menghibur dan melayani tamu pikirnya. Tapi dia tidak tertarik untuk terlibat dalam semua itu. Dia hanya di sini untuk menjaga relasi bisnis, menjaga penampilan di hadapan rekan-rekannya. Andai tidak ada keperluan bisnis, Auriga pasti sudah berada jauh dari tempat ini, menikmati kesendirian yang selalu dia sukai.
Abel, di sisi lain, masih berusaha menjaga sikapnya tetap tenang meski suasana canggung mulai terasa. Meski dia sudah mendapatkan tempat duduk di sebelah Auriga, ternyata hal itu tidak membuat semuanya berjalan mudah. Auriga, pria yang selama ini memenuhi pikirannya, tampak tak tertarik untuk berinteraksi. Bahkan sejak Abel duduk, pria itu tak lagi menoleh kepadanya, seolah kehadirannya sama sekali tak ada di sana.
“Ya Tuhan dingin sekali,” pikir Abel dalam hati. Meskipun sikap Auriga dingin, Abel tidak ingin menyerah begitu saja. Dia telah menunggu momen ini terlalu lama, dan tidak akan membiarkan semua usahanya sia-sia. Namun, semakin lama Auriga terdiam, semakin kuat perasaan bahwa pria itu tak ingin diganggu.
Auriga menyesap minumannya sekali lagi, matanya memandangi gelasnya, terkesan lebih tertarik pada cairan di dalamnya daripada wanita yang duduk di sampingnya. Abel mulai merasakan ketegangan menjalari tubuhnya, namun dia tahu bahwa harus ada cara untuk membuka percakapan, meski Auriga tampak tidak peduli.
“Anda tampak tidak terlalu menikmati acara ini,” Abel mencoba memulai percakapan lagi, kali ini suaranya lebih halus. “Sepertinya Anda lebih suka sendirian.”
Auriga menatapnya sekilas, lalu mengangguk pelan tanpa memberi jawaban lebih. Respons itu tidak memberi Abel banyak ruang untuk melanjutkan, namun dia berusaha untuk tetap tersenyum.
“Saya juga sering merasa lebih nyaman sendirian,” tambah Abel lagi, mencoba mencari kesamaan di antara mereka. Namun, sekali lagi, tidak ada respons berarti dari Auriga. Pria itu hanya meletakkan gelasnya di meja dan menatap kosong ke arah bar.
Bagi Auriga, keberadaan Abel di sampingnya terasa seperti sebuah gangguan kecil yang terpaksa harus dia toleransi. Dia memang tidak terbiasa mengusir orang dengan kasar, namun dia juga tidak merasa perlu terlibat dalam percakapan basa-basi. Pikiran Auriga sudah terlalu sibuk dengan urusan bisnis dan kepentingan yang lebih besar.
Malam ini, dia hanya ingin melewati acara ini dengan cepat, lalu kembali ke rumahnya yang sepi tanpa harus berurusan dengan wanita-wanita yang datang untuk memenuhi keinginan para pria tua yang haus akan hiburan.
Abel menatap Auriga sejenak, mencoba membaca ekspresi wajahnya. Abel merasa frustrasi, tapi juga tertantang. Ini bukan seperti yang dia bayangkan tidak ada sambutan hangat atau percakapan menggoda. Auriga terlalu dingin, terlalu tertutup. Tetapi justru itulah yang membuat pria ini begitu menarik bagi Abel.
Saat Abel tengah bergulat dengan kekecewaannya satu sisi Auriga ingin malam ini berakhir. Tidak ada yang memikatnya di sini, persetan wanita-wanita cantik, tidak ada basa basi sampah yang berujung check-in bersama. Semua ini hanyalah bagian dari dunia yang harus dia hadapi untuk alasan yang tidak pernah sepenuhnya dia sukai.
***
Sudah hampir setengah jam Abel duduk di sebelah Auriga, namun tidak ada percakapan yang berarti terjadi. Auriga terus terdiam, fokus pada minumannya, seolah kehadiran Abel tak lebih dari bayangan.
Di kejauhan, Ode, yang mengawasi situasi, mulai merasa frustrasi. Melihat betapa tidak ada kemajuannya interaksi mereka, dia dengan cepat mengirim pesan pada Abel.
Ode: ”Action! Apa kek! Lo matung doang gimana mau ada hasil. Tumpahin minuman lo!”
Abel menatap pesan itu, merasa ragu. Tumpahkan minuman? Bagaimana jika Auriga marah atau bahkan pergi? Tapi tanpa ada pilihan lain dan ingin sesuatu terjadi.
Abel akhirnya menghela napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. Dia mengangkat gelasnya dengan tangan yang sedikit gemetar, dan dengan satu gerakan cepat, “tak sengaja” menumpahkan isinya ke arah lengan Auriga.
Cairan dingin mengalir deras di sepanjang lengan jasnya, membuat Abel tersentak dan buru-buru bereaksi dengan kepanikan pura-pura. “Oh tidak! Maaf, maaf sekali!” serunya dengan suara cemas, matanya melebar seolah terkejut.
Auriga menoleh perlahan, menatap lengan jasnya yang basah sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah Abel. Ekspresinya tetap dingin dan tenang, sama sekali tidak menunjukkan emosi yang Abel harapkan entah marah atau kaget.
Abel merasakan kegugupannya meningkat. “Saya benar-benar tidak sengaja… biar saya bantu,” katanya cepat, tangannya bergerak mengambil serbet di meja.
Namun, Auriga mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat bahwa dia tak perlu bantuan. “Tidak apa-apa,” ucapnya datar. “Saya saja.”
Abel menahan napas. Meski Auriga tidak terlihat marah, pria itu tetap menempatkan dirinya dalam jarak yang terasa dingin dan tidak terjangkau. Dia mengeringkan lengan jasnya dengan tenang menggunakan serbet, lalu kembali meneguk minumannya tanpa mengucapkan lebih banyak kata.
Sementara itu, Abel merasa semakin gugup, merasa rencananya tidak berjalan sesuai harapan. Ode jelas memintanya untuk bertindak, namun tidak ada yang berubah Auriga tetap dingin dan sulit didekati.
Tetapi sebelum rasa frustasi itu benar-benar menguasainya, Auriga tiba-tiba membuka mulut.
“Jangan khawatir,” katanya tanpa melihat ke arah Abel. “Hal seperti ini biasa terjadi.”
Abel sedikit lega mendengar suaranya, meski nada Auriga masih tetap datar. Setidaknya dia bicara, pikir Abel. Tapi tetap saja, Abel merasakan bahwa jarak antara mereka masih begitu besar. Auriga tampaknya lebih tertarik dengan minumannya daripada percakapan atau interaksi apapun. Namun, Abel tahu dia tidak bisa menyerah sekarang.
Dia hanya butuh satu langkah lagi, satu momen yang tepat untuk benar-benar menarik perhatian Auriga.
***
Pranggg.....
Saat Abel masih asyik memikirkan cara menarik perhatian Auriga, tiba-tiba saja hiasan botol-botol yang biasanya tergantung di langit-langit bar terlepas.
"AAAAAAUH! SAKIT!" Teriak Abel kencang.
Botol itu jatuh dengan cepat belakang kepala Abel lalu jatuh menghantam meja bar membuat serpihan kacanya berderai mengenai tubuhnya, menyebabkan goresan kecil di beberapa bagian pundak Abel.
Auriga langsung bergegas bangkit menghampiri Abel. "Hey! Apa ini, anda baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir sambil memeriksa kondisi Abel. Melihat jelas benda itu mengenai kepala belakang Abel dan menyisakan goresan darah di pundaknya, wajah Auriga berubah serius.
"Jatuh!" Panik beberapa orang di sekitar Bar.
"Tolong dia!"
Tidak hanya khawatir, Auriga langsung memarahi pihak lounge. "Bagaimana bisa ini terjadi? Seharusnya kalian memeriksa peralatan dan memastikan semua aman! Ini kelalaian, dan kalian bisa dituntut atas kejadian ini," ucapnya tegas, membuat manajer dan bartender yang berada di sekitar panik.
Keadaan di ruangan pun berubah menjadi kacau. Beberapa bartender dan staf lounge bergegas membersihkan serpihan kaca dan mencoba menenangkan suasana. Untungnya, Mahendra, ayah Abel, tidak berada di ruangan itu, sehingga situasi masih bisa terkendali tanpa perhatian yang lebih besar.
Auriga memastikan Abel mendapatkan perawatan sementara, menatap gadis itu dengan campuran rasa khawatir dan kesal atas kejadian yang tidak terduga ini. Namun, di balik itu semua, Abel merasakan kehangatan dalam perhatian yang Auriga tunjukkan, meskipun situasinya tidak sesuai dengan rencana awalnya, ini sakit sungguhan sial, kepala hingga pundaknya yang di hantam botol benar-benar pening sekali rasanya gelap.
Sial. Abel mengumpat dalam hati dia menahan rasa sakitnya demi semua rencana gila ini.
Saat Auriga sedang berbicara dengan manajer lounge, Abel tiba-tiba merasakan kepala terasa ringan. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, dan kegelapan menyelimuti pandangannya. Sebelum ia bisa berbuat apa-apa, tubuhnya limbung dan ia jatuh ke lantai, kehilangan kesadaran.
"Ode... Ode....." Gumam Abel berpikir nyawanya di cabut dan mendadak dia sudah hilang kesadaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!