Mata wanita muda berusia 24 tahun bernama Agnia Indraprastiawan itu terbelalak lebar, ketika dia mendengar apa yang dikatakan oleh kekasihnya yang datang bersama dengan kedua orang tuanya.
Dia pikir, setelah 2 tahun menjalin kasih dengan Vino Candra, kekasihnya. Malam ini akan menjadi malam yang spesial dan penuh arti untuknya karena malam ini Vino akan melamarnya.
Namun, alih-alih melamar Agnia. Vino malah melamar sepupu Agnia yang tinggal satu rumah dengannya. Anak bibinya, adik ayahnya yang memang sejak kecil tinggal di rumahnya karena bibinya adalah seorang janda. Dan anaknya itu adalah anak yatim, satu-satunya anak dari adik ayahnya itu.
Nia berdiri dan menggelengkan kepalanya tak percaya, matanya berkaca-kaca dan sudah penuh dengan genangan air mata.
Ketika dia menggelengkan kepalanya, air matanya pun menetes di pipi mulus nan cantiknya itu.
"Gak bisa gitu dong, kamu pacaran sama aku dua tahun Vino. Gak ada angin, gak ada hujan, gimana bisa yang kamu lamar malah Audrey?" tanya Nia.
Gadis itu benar-benar butuh penjelasan dari kekasihnya yang sejak tadi terus main mata dengan sepupunya yang duduk dengan manis dan tampak seperti orang tertindas di sebelah ibunya itu.
"Maafkan Audrey, Nia. Maafkan Audrey!" kata bibinya yang langsung bersimpuh di depan Nia.
Ayah Nia langsung berdiri dan membantu adiknya, supaya bangun dan tidak bersimpuh seperti itu di depan semua orang yang ada di ruang tamu itu.
Nia masih tidak habis pikir.
"Aku hamil kak Nia"
Mata Nia langsung melebar, dia menoleh dengan cepat ke arah Audrey.
"Kamu hamil?"
Nia semakin tak bisa mempercayai apa yang terjadi. Dia melihat ke arah semua orang. Termasuk ke arah ayah dan ibunya. Tapi wajah semua orang seolah menjelaskan, kalau hanya dia saja yang tidak tahu kalau Nia hamil. Hanya dia yang tidak tahu hal ini. Sepertinya semua orang, termasuk ayah dan ibunya sudah tahu.
"Apa hanya aku yang tidak tahu?" tanya Nia dengan luka yang terasa begitu pedih di dalam hatinya.
Air mata yang mengalir deras di wajahnya, sungguh membuatnya tampak begitu kacau.
"Maafkan aku kak Nia"
Brukk
Audrey melakukan hal yang sama dengan ibunya. Wanita yang lebih muda dua tahun dari Nia itu bahkan bersimpuh di depan Nia, dengan membanting keras lututnya sendiri ke lantai marmer rumah ayahnya Nia itu.
Dan saat Nia baru terkejut akan hal itu, Vino cepat-cepat bangkit dari duduknya dan membantu Audrey berdiri.
"Bangun Audrey, kamu sedang hamil. Jangan seperti ini, ini akan menyakiti bayi kita"
Jegerr
Hancur sudah rasanya hati Nia. Dia adalah wanita yang sangat bucin. Dia mencintai Vino secara ugal-ugalan. Hanya saja meski sudah berpacaran selama 2 tahun. Nia memang tidak pernah mau memberikan apa yang dia miliki dan jaga pada Vino. Meski beberapa kali Vino memintanya, dengan alasan hubungan mereka sudah serius. Kedua orang tua sudah saling kenal. Sudah sangat dekat, Vino juga akan melamar Nia nanti kalau dia sudah jadi direktur di perusahaan ayahnya.
Ternyata, kepercayaan Nia tak cukup membuat Vino menjaga mata dan hatinya. Air mata Nia benar-benar tak terbendung lagi.
"Kak Vino, jelaskan pada kak Nia" kata Audrey yang terlihat seperti orang yang paling menjadi korban di sini.
Caranya bicara, caranya menyentuh Vino. Sungguh membuat Nia berpikir, kalau mungkin sebenarnya semua ini adalah rancangan Audrey sendiri.
"Maafkan kami Nia, kami khilaf. Saat perayaan ulang tahun kamu yang ke 24 itu, aku mabukk. Aku masuk ke kamarmu, aku kira itu kamu. Ternyata Audrey yang sedang membereskan kadomu. Maafkan aku!"
Mata Nia tambah melebar. Padahal jelas-jelas malam itu Audrey yang bicara padanya, menyarankan padanya supaya dia tidur di kamar tamu di bawah, karena kamarnya penuh dengan kado yang berantakan. Nia menjadi semakin yakin kalau ini adalah ulah Audrey yang sengaja mendekati Vino.
Karena emosi, Nia pun mendekati Audrey. Nia menarik tangan Audrey dengan kasar.
"Ini semua ulah kamu kan?" tanya Nia dengan mata merah.
Dia tentu saja marah. Kekasihnya di ambil dengan cara seperti itu.
Tapi melihat itu, Ineke tidak tinggal diam.
"Nia, jangan sakiti Audrey. Dia memang salah nak, tapi tolong jangan sakiti dia!" Ineke, ibunya Audrey langsung menangis sesenggukan dan berlutut di depan Nia.
Vino yang melihat itu langsung melepas tangan Nia dari Audrey. Makin hancur hati Nia.
"Jangan keterlaluan kamu, Nia!" bentak Vino.
Nia seperti di tampar oleh kata-kata itu. Jadi, sekarang dia yang keterlaluan di sini. Dia yang di khianati, dia yang di tipu oleh semua orang yang ada di ruangan ini. Dan Vino mengatakan dia yang keterlaluan sekarang.
"Aku keterlaluan?" tanya Nia tak percaya, Vino bicara seperti itu padanya.
"Ya, kamu menyakiti Audrey. Aku sudah bilang, aku yang salah. Aku yang mabukk. Saat dia terbangun, saat aku bangun, dia menangis bersujud padaku. Supaya jangan pernah mengatakan semua yang terjadi padamu. Dia takut kamu terluka, dia sangat sayang padamu, tapi takdir berkata lain. Dia hamil"
Nia terkekeh.
"Sangat sayang? Munafik!" pekik Nia.
Ineke kembali berlutut.
"Maafkan Audrey, Nia. Maafkan bibi juga. Sejak kecil kamu punya segalanya, tapi Audrey, dia hanya mengharapkan kasih sayang sisa darimu... "
"Jangan seperti ini?" kata Indra lagi.
"Mas, aku salah mas. Aku tidak bisa mendidik putriku"
"Nia, sudahlah nak. Semua ini juga bukan mau Audrey, semua terjadi begitu saja. Sekarang dia sudah hamil..."
"Jadi?" tanya Nia pada sang ayah.
Ayahnya Nia menghela nafas begitu berat. Sebenarnya dia tahu betapa cintanya anaknya pada Vino. Dia kerap membicarakan rencana masa depannya dengan Vino. Tapi kalau seperti ini, dia juga tidak bisa berbuat apapun.
"Biarkan mereka menikah, nak" kata Indra pada Nia.
Hati Nia sudah hancur. Di tambah ucapan ayahnya yang membuatnya hati Nia semakin hancur lagi rasanya.
Susanti, ibu Nia juga mendekati Nia dan membisikkan sesuatu.
"Pria yang sudah mengkhianati kamu, untuk apa di pertahankan nak. Keduanya sama-sama salah, rumah ini besar dan banyak orang. Bagaimana mungkin jika Audrey tidak menginginkannya, semua ini bisa terjadi. Dia tinggal berteriak saat itu terjadi, dan kita semua akan mencegah hal itu terjadi. Tapi tidak kan?"
Nia memandang ke arah ibunya.
"Biarkan saja mereka menikah. Sampah memang sepatutnya bersama dengan sampah" sejak tadi ibunya Nia diam, tapi sekali bicara, Santi membuat Nia memeluk ibunya dan menangis di pelukan ibunya itu.
Tampak Audrey dan juga ibunya saling lirik.
"Kita berhasil!" ucap Ineke tanpa suara, hanya gerakan mulut saja dengan senyuman menyeringai di wajahnya.
***
Bersambung...
"Hari ini kekasihmu menikah dengan sepupumu kan? kenapa kamu malah minum di sini?" tanya salah seorang teman Nia yang sudah mulai mabuk sepertinya.
"Parah si Angel mah, jlebb banget itu kata-kata mutiara" celetuk Karin, teman Nia juga.
"Eh, sorry ya. Udah mantan. Barang bekas orang aku gak mau pakai lagi. Cuihhh!"
Agnia sambil sempoyongan mulai terlihat menunjukkan rasa tidak senangnya. Karena apa yang telah Vino dan Audrey lakukan padanya. Pengkhianatan itu, Nia akan terus mengingatnya. Enak saja, dia di tikam seperti itu oleh sepupunya yang sejak kecil makan bersamanya, tinggal satu atap dengannya. Akhirnya kekasihnya di rebut oleh Audrey juga.
Seharusnya Nia menyadari hal ini sejak dulu. Kalau di ingat-ingat lagi, sejak kecil Audrey memang selalu menginginkan apapun milik Nia. Nia saja belum menyadari nya. Sekarang dia baru mengerti. Kalau sebenarnya dua orang wanita parasit di rumahnya itu memang tidak tahu berterimakasih dan tidak tahu diri.
"Ha ha ha"
Teman-teman Nia tergelak.
Tak lama dari itu, mereka mendengar beberapa wanita yang tengah bicara soal siapa yang akan bermalam dengan pria penghibur paling tampan di klub ini malam ini.
"Apaan sih tuh?" tanya Nia yang merasa penasaran.
Agnia memang tidak tahu hal seperti itu. Dia bahkan baru pertama kali pergi ke klub malam seperti ini. Itu juga karena dia merasa sangat jengah, dia sudah minta ijin ibunya. Ibunya bahkan memberinya kartu tanpa limit untuk mengobati sakit hati putrinya. Padahal Nia juga punya uang sendiri sebenarnya. Kan dia sudah bekerja. Dan teman-teman yang pergi bersamanya ini, adalah teman-teman kerjanya.
"Dih, kamu gak tahu? kudet amat!" sindir Angel lagi.
"Aku cekik, jumping kamu ya Angel" celetuk Nia kesal.
"Ha ha ha" Angel malah terkekeh lagi.
"Ada orang di cekik jumping, terbang iya... terbang ke alam lain" sahut Karin.
"Serius nanya gaess, itu tante-tante pada ngapain, ngomongin apa sih?" tanya Nia.
"Itu mah arisan berondong" jawab Angel.
Mata Nia membelalak kaget.
"Gilaa, ada arisan kayak gitu? berondong? serius?" tanya Nia yang memang baru pertama kali mendengar hal itu.
Agnia di besarkan ayah dan ibunya dengan baik. Selalu di pastikan oleh ayah dan ibunya berada di lingkungan yang baik pula, bergaul dengan teman-teman yang baik. Dan ayah juga ibu Nia, memang selalu mengajarkan hal baik. Makanya ibunya mewanti-wanti Nia, jangan mau di sentuh sebelum menikah. Makanya dia menjaga dirinya dengan baik meskipun Vino beberapa kali meminta Nia dengan segala bujuk rayunya.
"Tuh, yang itu tuh... itu pasti berbondong-bondong nya. Pria penghibur klub malam ini. Yang menang nanti, dia bisa pilih berondongnya, terus ekhem ekhem deh!"
Mata Nia membulat, dia benar-benar baru tahu ada hal semacam ini.
"Emang tante-tante ini pada janda gitu?" tanya Nia lagi.
Dia sungguh penasaran. Ya, seperti orang yang pertama kali mendengar hal seperti itu, banyak hal yang ingin Nia ketahui malahan.
"Ya, gak semua janda sih. Ada yang punya suami, tapi pengen coba sensasi baru gitu"
Nia malah terkekeh geli.
"Ya ampun"
"Ganteng-ganteng banget, aku mau ikutan ah" Karin malah tertarik ikut serta setelah melihat pria yang duduk di sofa di seberang mereka itu.
Nia pun mengikuti Karin, Angel juga. Tapi saat Nia memperhatikan satu persatu pria yang tengah duduk dengan pakaian sedikit terbuka, memperlihatkan ya ampun, roti sobek yang terlihat mengkilap dan keras itu. Ada seorang pria yang menatap ke arahnya dan membuat Nia menatap ke arah pria itu juga dengan mata melebar.
'Hah, itukan...' batin Nia terjeda.
Nia mengenal pria itu, pria itu adalah seseorang yang sempat dia kagumi di SMA dulu. Itu artinya sudah sekitar 8 tahun yang lalu.
Dan pria itu juga terus menatap ke arahnya. Pria yang sudah sering ke klub itu, lantas berdiri dan menghampiri Nia.
Nia terkejut bukan main, pria itu mengenakan kemeja dan celana panjang. Kemejanya juga tidak terkancing dengan rapi.
'Ya ampun, kok bisa. Crush se SMA dulu jadi berondong, pria penghibur di klub malam seperti ini?' batin Nia.
"Agnia?" tanya pria itu.
"Ka.. kamu Richard kan?" tanya Nia.
Takutnya karena dia sudah lumayan banyak minum tadi, dia salah. Makanya dia bertanya, apa benar pria yang ada di depannya itu adalah pria yang di kenal.
Pria itu mengangguk.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya pria itu lagi.
Tapi bukannya menjawab pertanyaan Richard. Nia malah penasaran dengan apa yang membuat Richard bisa berada di tempat seperti ini. Dan duduk di dekat para pria penghibur itu.
"Kamu tampan Richard, kamu tinggi, bukannya kamu juga salah satu murid paling pintar dulu? kenapa malah menjadi pria penghibur di tempat seperti ini?" tanya Nia merasa tidak adil saja kalau pria dengan spek nyaris sempurna seperti Richard bekerja sebagai pemuas hasrat tante-tante kesepian seperti itu.
Tapi mendengar apa yang dikatakan Nia, sebenarnya Richard malah tampak terkejut.
"Aku, pria penghibur?" tanya Richard sambil menunjuk wajahnya sendiri.
Setengah mabuk, setengah tidak terima juga mantan gebetannya saat di SMA dulu menjadi pria penghibur. Nia mengeluarkan kartu tanpa limit yang di berikan oleh ibunya dan memperlihatkannya pada Richard.
"Dengar Richard! ini adalah kartu tanpa batas. Berhenti dari pekerjaan ini, aku akan menafkahi mu. Sayang sekali kalau kamu harus menjadi penghibur mereka. Tiap malam, ihhh aku tak bisa bayangkan itu"
Mata Richard melebar. Sepertinya Nia salah paham padanya. Tapi juga sepertinya tak rela melepaskannya menjadi penghibur.
"Tapi aku butuh pelampiasan..." ucap Richard seolah dia bukan hanya butuh uang. Tapi butuh seseorang yang bisa menghangatkan malamnya.
Nia sungguh terkejut mendengar hal itu.
"Kamu..."
"Aku akan berhenti, kalau kamu mau menikah denganku!"
Mata Nia terbelalak lebar. Bukan hanya matanya, tapi mulutnya juga.
"Menikah?"
"Iya Nia, aku bukan hanya butuh uang. Aku juga butuh... "
Richard meraih pinggang Nia, membuatnya nyaris tak berjarak sama sekali dengan Richard.
"Tubuhmu" bisik Richard membuat Nia merinding.
Nia mendorong Richard.
"Mana bisa begitu?" tanya Nia.
"Ya sudah, simpan kartumu. Mungkin aku memang harus jadi mainan mereka malam ini!" kata Richard yang memberikan lagi kartu hitam itu ke tangan Nia.
Nia sampai melongo, ketika Richard akan berjalan ke arah Angel dan Karin yang sedang bersama tante-tante itu berada. Nia merasa tidak rela.
Nia menarik tangan Richard.
"Tunggu..."
'Apa yang aku pikirkan? tapi aku tidak rela, dia orang yang sangat aku suka saat SMA. Rasanya tidak rela membiarkannya menjadi mainan wanita-wanita kesepian itu' batin Nia.
***
Bersambung...
Antara sadar dan tidak sadar, Nia bahkan terlihat seperti orang bingung.
'Kenapa aku bisa berada di sini?' batinnya bingung.
Dia sepertinya sudah berada di sebuah apartemen. Dan sepertinya itu milik Richard.
"Kita mau apa? kenapa kita kesini?" tanya Nia bingung.
Richard pun menghampiri Nia, setelah pintu apartemen itu tertutup rapat dan mengunci secara otomatis.
"Kamu tidak mau Depe dulu?" tanya Richard padanya.
Nia yang kepalanya mulai pusing karena banyak minum. Semakin pusing dengan apa yang dikatakan oleh Richard itu.
"Depe gimana?" tanya Nia.
"Bukannya kamu bilang kamu mau menafkahi aku, aku butuh nafkah lahir dan batin. Jadi, bagaimana kalau kamu Depe nafkah batin dulu untukku?" tanya Richard.
'Ini konsepnya gimana sih? aku yang begoo apa dia yang terlalu pintar sih?' batin Nia bingung.
Cup
Mata Nia membelalak lebar, itu ciuman pertamanya selama 24 tahun dia hidup.
Richard bahkan tak hanya mengecup sekilas bibir Nia. Richard bahkan main kokop saja langsung. Membuat Nia bersusah payah mendorong dada Richard dengan keras.
"Hah hah..."
Nia berusaha mengambil nafas, dia merasa sudah mulai kekurangan oksigen.
"Kamu... kenapa main sosor saja sih?" tanya Nia yang masih terlihat tersengal-sengal.
"Ya sudah kalau tidak mau, aku cari yang lain saja. Mungkin sudah nasib, selamanya aku akan jadi mainan..."
"Hehh, jangan dong! ya ampun Richard, kamu itu tampan loh, kenapa gak cari kerjaan lain sih? model misalnya, casting-casting aja, pasti di terima. Aduh, aset bagus begini masa di mainin...."
Ucapan Nia terjeda. Richard sudah membuka kemejanya. Dan Nia benar-benar sangat sulit menelan salivanya sendiri. Roti sobek yang terpampang nyata di depan matanya. Membuat otaknya mulai tirai bisa berpikir dengan jernih. Mana dia habis minum lumayan banyak juga. Semakin oleng saja dia.
Apalagi ketika Richard meraih tangan Nia dan meletakkannya di roti sobeknya yang keras itu.
'Aduh, aduh... keras banget!' otak Nia sungguh telah terkontaminasi.
Nia yang sedang terlena, karena memang dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya. Di angkat oleh Richard begitu saja.
Richard membawa Nia ke aras tempat tidurnya.
'Aku tidak akan membiarkan mu pergi lagi, Nia. Kamu harus jadi milikku' batin Richard yang segara mencumbu Nia yang benar-benar telah terlena pada sensasi dan perasaan yang memang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Ciuman demi ciuman, kecupann demi kecupann semakin membuat Nia tak terkendali.
Mata Richard melebar, dan dia menghentikan apa yang dia lakukan, ketika dia merasakan sesuatu yang sulit di masuki di bawah sana.
"Kamu masih perawan?" tanya Richard berbisik di telinga Nia.
Namun Nia yang sudah semakin kehilangan kesadarannya tidak fokus pada pertanyaan Richard itu.
Richard semakin bersemangat. Sebenarnya Richard juga sangat menyukai Nia saat SMA. Hanya saja, gadis itu terlalu polos. Nia bahkan tidak mengetahui kalau Richard mendekatinya, malah mengira Richard mendekati teman sebangkunya. Nia memang sangat polos dulu saat SMA. Dia bahkan sangat gugup kalau di dekati pria.
"Eghhh"
Richard memejamkan matanya, ketika dia merasakan cakaran tajam di punggungnya. Tapi dia juga merasakan sensasi yang luar biasa karena berhasil memasuki Nia.
Dengan gerakan perlahan dan menyesuaikan, Richard berusaha memberikan rasa nyaman pada Nia.
Satu jam berlalu, Nia sudah tak sadarkan diri. Richard mengecup kening Nia dengan begitu lembut dan penuh cinta.
"Kamu masih sama Nia, masih sama polosnya dan suka salah paham padaku. Aku bukan salah satu dari pria penghibur itu. Aku pemilik klub malam itu, calon istriku" gumamnya yang sekali mencium kening Nia yang sudah entah sampai di mana di alam mimpinya.
Pagi menjelang...
Richard sudah menyiapkan sarapan untuk calon istrinya. Dia bahkan sudah mandi, dan membiarkan rambutnya setengah kering karena tidak mau menyalakan hairdryer yang akan mengganggu tidur Nia.
Richard duduk di samping Nia, tak bosan-bosan memandang wajah cantik wanita yang sebenarnya sudah dia sukai sejak 8 tahun yang lalu. Dulu wajah Nia itu mungkin dan menggemaskan, tapi sekarang benar-benar sudah semakin cantik dan mempesona.
Nia yang mulai terbangun membuka kelopak matanya perlahan.
"Selamat pagi sayang"
"Selamat pa..." Nia menjeda ucapannya.
Wajahnya langsung pias. Nia bahkan langsung bangun, setengah duduk dan mengintip ke bawah selimut yang menutupi tubuhnya.
Nia yang menyadari apa yang sudah dia lakukan segera menutup wajahnya dengan selimut itu.
"Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya merasa kecewa pada dirinya sendiri.
Kenapa dia bisa melakukan semua ini. Padahal dia kan belum menikah. Ayah dan ibunya pasti akan mencoretnya dari kartu keluarga.
"Tidak mau lihat lebih jelas, apa yang sudah ku lakukan padaku?" tanya Richard yang seolah memposisikan dirinya sebagai korban di sini.
Padahal semalam itu Nia kan diam saja, Richard yang berinisiatif, bekerja keras dan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menjeboll pertahanan Nia.
Nia yang mendengar Richard bicara, seolah keadaannya sangat menyedihkan. Dan Nia membuatnya merugi. Langsung mengintip sedikit dari sela-sela jarinya yang dia gunakan menutupi wajahnya.
Richard berdiri, lalu berbalik. Menunjukkan banyaknya cakaran kuku Nia di sana.
"Astaga! Aku melakukan semua itu? Aku sungguh tidak akan pernah mabuk lagi, ini benar-benar buruk!" gumamnya kebingungan, merasa bersalah dan tentu saja tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Sudah begini, bukankah seharusnya kamu bertanggung jawab?" tanya Richard dengan wajah memelas.
"Aku?" tanya Nia menunjuk ke arah hidungnya.
Richard mengangguk tanpa ada keraguan sama sekali.
Wajah Nia sudah tidak dapat di deskripsikan.
"Bagaimana caraku bertanggung jawab?" tanya Nia bingung.
"Kamu tentu saja harus menikahi aku, kamu kan bilang semalam. Kamu akan menafkahi aku lahir dan batin" jelas Richard mengingatkan Nia.
Nia masih tampak bingung. Dia antara sadar dan tidak sadar mengatakan semua itu. Kalau dalam keadaan sadar, mana berani dia mengatakan hal seperti itu pada Richard yang notabene nya adalah crush nya dulu.
"Aku harus menikahimu..." lirih Nia terjeda. Dia masih bingung.
"Tentu saja, kamu sudah melakukan semua ini padaku. Kamu harus tanggung jawab"
Richard kembali menegaskan apa yang seharusnya Nia lakukan.
Nia masih tertegun bingung. Dia bahkan merasa seluruh tubuhnya sakit. Rasanya remuk sekali, dia juga tidak merasakan kenikmatann apapun sebenarnya. Tapi kenapa dia yang harus bertanggung jawab.
'Kenapa aku merasa, ada yang tidak mengena di sini ya? tapi apa?' tanyanya bingung di dalam hati.
Nia sungguh merasa, sebenarnya yang korban itu kan yang merasakan sakit dan kerugian yang paling besar. Dan dia merasa itu adalah dirinya. Tapi kenapa semua yang di katakan Richard, membuat situasinya seolah Richard yang menjadi korban. Nia sungguh bingung.
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!