"Anin tidak mau menikah dengan pria yang tidak Anin kenal Yah," ujar Anin dengan wajah yang terkejut mengetahui dirinya dalam waktu enam bulan kedepan akan di nikahkan dengan seorang pria bernama Adam Dharmawan.
"Anin, ini adalah surat wasiat dari almarhum kakekmu dan juga kakeknya. Ayah tidak bisa berbuat apa apa selain melaksanakan isi surat wasiat yang ditulis Kakekmu," ujar Pak Salim.
"Tapi Anin tidak mau Ayah, apa Ayah tidak kasihan pada Anin." ucap Anin dengan wajah yang memelas pada Ayahnya.
"Ayah mohon kau mengertilah Nak, Aku yakin almarhum Kakek tidak akan mungkin membuat keputusan yang salah untuk cucu kesayangannya," Pak Salim mengelus rambut putri kesayangannya itu dengan lembut.
Anindita hanya terdiam mendengar ucapan Ayahnya, sekeras apa pun dirinya menolak perjodohan itu. Ayah nya tetap akan melaksanakan apa yang sudah menjadi wasiat dari Kakeknya.
Pak salim pun meninggalkan kamar putrinya dengan hati yang berkecambuk di dadanya, hatinya merasa tidak tega dengan apa yang di alami oleh putri kesayangannya itu.
"Sudahlah Pak, jangan terlalu dipikirkan. Aku yakin Anin pasti mau mengikuti kemauan terakhir dari Kakeknya." ucap Ibu Tika.
"Iya Yah, lagi pula waktu enam bulan itu masih lama. Alya yakin Anin pasti akan berubah pikiran," ucap Alya sambil tersenyum pada Ayahnya.
Anindita yang mendengar pembicaraan antara Ayah, Ibu tiri, dan saudara tirinya yang berada diruang tengah. hanya bisa menghela nafasnya dengan dalam.
Anindita sangat tahu tujuan pembicaraan yang sebenarnya antara Ibu dan saudara tirinya itu, yang hanya mengingingkan dirinya cepat keluar dari rumah Ayahnya.
Anindita langsung masuk kembali ke dalam kamarnya merebahkan tubuhnya di atas kasur, Anin mengingat kembali kejadian dua tahun lalu di mana Ibu yang sangat disayanginya meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya.
Dan setelah dua bulan kematian Ibunya, Ayah nya memutuskan untuk menikah kembali dengan sepupu Ibunya. yang seorang janda beranak satu dan anak itu bernama Alya.
Usianya hanya berbeda satu tahun denganya, dan setiap hari sejak pernikahan kedua orang tua mereka. Anin selalu berbagi kasih sayang Ayahnya dengan Alya.
Alya dan Ibu tika memang tidak pernah berbuat jahat padanya, tapi entah mengapa dirinya selalu merasa sikap dan kebaikan Ibu Tika dan juga Alya tidaklah sebaik yang mereka perlihatkan padanya. Dan itulah yang menyebabkan dirinya tidak pernah mau terlalu terbuka pada Ibu Tika dan juga Alya.
..............
Lima bulan kemudian.
Anindita yang berada di kamarnya tengah bersiap menyambut kedatangan calon suaminya, hari ini adalah pertama kalinya dirinya akan bertemu dengan calon suami yang dijodohkan dengannya.
Selama ini yang Anin tahu calon suaminya itu bernama Adam Dharmawan, seorang pria yang mempuanyai perusahaan di bidang tekhnologi komputer. Selebihnya Anin tidak tahu apa pun tentang calon suaminya itu, bahkan Anin hanya tahu wajahnya dari foto yang diberikan Ayahnya lima bulan yang lalu. dan entah foto itu sekarang berada di mana, karena Anin sendiri malas untuk menyimpan foto pria yang tidak dikenalnya.
"Anin cepatlah, calon suamimu sudah datang" ujar Alya yang langsung masuk kedalam kamar saudara tirinya itu. "Waw, kau sangat cantik sekali" ucap Alya melihat Anin yang mengenakan dress panjang berwarna coklat susu.
"Sudahlah tidak usah memujiku," ujar Anin dengan wajah malasnya. Alya hanya tersenyum mendengar ucapan saudara tirinya itu.
Alya pun langsung menggandeng lengan Anindita, dengan beriringan turun dari tangga menuju ruang tengah di mana calon suami dan keluarganya sudah menunggu dirinya.
Anin yang berjalan menuruni tangga, menatap sekilas pada wajah calon suaminya itu. wajah yang tampan putih bersih, dan hidung mancung serta rahang yang terlihat keras membuat semuanya tampak sempurna dimata Anindita.
"Ini dia putri saya Anindita," ujar Pak Salim.
"Anindita, panggil saja Anin." Anin mengulurkan tangannya pada kedua orang tua calon suaminya.
"Saya Adam Dharmawan, panggil saja Adam." ujar Adam mengulurkan tangannya kepada Anin. Anin pun membalas uluran tangan calon suaminya tersebut.
Di hari itulah Awal pertemuan, dan Awal kehidupan seorang Anindita yang tidak pernah menyangka kehidupan yang akan dijalani kedepannya akan menguras semua emosi di hatinya.
Satu bulan kemudian.
Disinilah Anindita berada disebuah pelaminan bersama dengan pria yang baru satu kali dia temui, Anindita hanya bisa diam tidak berbicara sama sekali saat acara pernikahan itu berlangsung.
Entah mengapa hati Anindita masih tidak bisa menerima Adam, sebenarnya tidak ada yang kurang sama sekali pada diri pria yang ada sebelahnya yang kini sudah sah menjadi suaminya dimata hukum dan agama. Adam pria yang tampan dan mapan, justru dirinya harus bersyukur mendapatkan Adam. Melihat dirinya yang hanya berwajah pas pasan tidak seperti Alya saudara tirinya yang mempunyai paras cantik putih dengan rambut panjangnya.
"Selamat ya Anin," ucap Alya memeluk dengan penuh kasih pada saudara tirinya itu. Anin pun hanya menganggukan kepalanya tanpa menjawab ucapan dari Alya.
"Selamat ya kakak Ipar," ucap Alya mengulurkan tangannya pada Adam.
"Terima kasih," jawab Adam dengan suara datarnya.
"Wuih, yang sudah jadi pengantin baru" seru teman teman Anin yang langsung berebut memeluk Anindita.
"Terima kasih," ucap Anin menahan rasa harunya karena semua temannya datang ke acara pernikahannya.
"Kita... kita bakalan kangen berat nih," ucap Mita memeluk Anindita dengan erat.
"Aku juga bakalan kangen kalian," ucap Anindita.
Anindita harus berpisah dengan teman temannya karena setelah acara pernikahan ini, keesokan hari nya dirinya akan ikut bersama dengan Adam ke kota jakarta. dirinya akan berpisah dengan Ayah dan juga teman temannya di tempat kerjanya yang dulu.
Setelah semua acara selesai, kini Anindita berada didalam kamarnya. duduk di depan meja riasnya, menatap wajahnya yang masih menggunakan make up.
Terdengar suara pintu dibuka dari Luar, membuat jantung Anindita berdetak dengan cepat. dirinya merasa sangat takut melakukan malam pertama dengan pria yang baru saja dikenalnya.
Melalui cermin yang berada di depannya, Anindita bisa melihat wajah suaminya yang sudah berdiri di belakangnya. menatap Anindita dengan wajah serius.
"Bisa kita bicara?" tanya Adam menatap Anindita yang duduk didepannya.
"Tentu saja bisa," jawab Anindita membalikkan tubuhnya masih dengan duduk di atas kursi.
Adam pun kini duduk diatas sofa kecil yang ada di kamar Anindita. "Aku ingin berbicara jujur padamu," ucap Adam dengan menundukan kepalanya.
Melihat sikap Adam yang seperti orang bersalah, membuat perasaan Anindita tidak nyaman. entah mengapa perasaan tidak enak sejak pertama kali bertemu dengan Adam kini semakin kuat.
"Aku sudah menikah dengan wanita lain, sebelum aku menikahimu." ucap Adam dengan suara yang berat menatap pada anindita.
"Deg... !" jantung Anindita serasa berhenti berdetak mendengar pengakuan dari suaminya itu.
Bisa kalian bayangkan bagaimana perasaan seorang Anindita, dimalam pertamanya yang seharusnya menjadi kenangan indah sekali dalam seumur hidupnya. Justru dirinya mendapatkan kenyataan pahit dari mulut suaminya, yang mengatakan bahwa suaminya itu sudah menikah dengan wanita lain sebelum dirinya.
"Bagaimana bisa," lirih Anindita dengan rasa tidak percaya dengan apa yang di ucapkan oleh suaminya itu. suami yang baru saja menikahinya beberapa jam lalu.
"Aku menikahinya seminggu yang lalu, dan aku menikahi denganya sah secara agama." ucap Adam masih menatap Anindita.
"Maksudmu, kau menikahi siri dengan nya?" tanya anindita dengan suara yang bergetar menahan emosi di hatinya.
Anindita memang tidak mencintai atau belum mencintai Adam, tapi mendapati kenyataan bahwa suaminya sudah menikah dengan wanita lain tetap saja membuat hatinya terluka.
"Aku mencintai kekasihku, sudah lima bulan ini aku menjalin kasih dengannya. Aku memang tahu tentang perjodohan ini, tapi aku tidak bisa membohongi diriku yang sangat mencintainya," ucap Adam tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun pada Anindita atas pengakuannya itu.
"Kalau kau mencintainya, kenapa kau meneruskan pernikahan ini," bentak Anindita merasa tidak terima telah dibohongi oleh suaminya itu.
"Aku sudah berkata jujur pada kedua orang tuaku, tapi Ibu ku justru masuk rumah sakit karenanya. Ibuku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku mencintai wanita lain, karena Ibuku sangat menginginkan pesan terakhir ayahnya sekaligus kakekku terlaksanakan." ujar Adam.
"Dan kau egois yang hanya mementingkan perasaanmu dengan menikahi wanita itu sekaligus menikah dengan ku," ucap Anindita berusaha tetap mengatur emosinya untuk tidak berteriak lebih kencang.
"Aku bukan egois, tapi ini semua karena surat wasiat sialan itu. aku tidak ingin kehilangan kekasihku, tapi aku pun tidak ingin membuat Ibu ku kecewa. dan untungnya kekasihku itu mengerti dengan keadaanku dan mau aku nikahi walaupun secara agama."
"Lalu apa aku harus mengucapkan terima kasih pada kekasihmu itu," sindir Anindita dengan senyum sinisnya.
Adam hanya diam tidak menjawab perkataan wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu. Dalam persekian menit Adam dan Anindita saling terdiam tidak ada yang berkata sama sekali.
"Kau tahu satu hal, aku paling membenci yang namanya poligami, dan aku tidak akan pernah mau bahkan dalam mimpi sekalipun menjalani pernikahan poligami," ujar Anindita dengan berapi api.
"Jadi lebih baik kau ceraikan aku sekarang juga," ucap Anindita membuat Adam terkejut.
"Aku tidak akan menceraikan mu, tidak dalam waktu dekat ini. Aku tidak ingin membuat kedua orang tua ku terluka hanya karena pernikahan konyol ini." Adam kini menatap Anindita dengan tajam. "Dan aku yakin, kau pun sangat menyayangi Ayahmu dan tidak ingin membuatnya malu karena putri kesayangannya menjadi janda hanya dalam hitungan jam."
Anindita tersentak dengan semua perkataan Adam, "Menjadi janda dalam hitungan jam," gumam Anindita dalam hati. Anin tidak bisa membayangkan perasaan malu Ayah nya jika itu terjadi pada dirinya.
"Aku---" Anindita pun ragu untuk mengucapkan tetap berpisah dengan Adam.
"Kita harus tetap menjalani pernikahan ini suka atau tidak suka, karena kini status kita adalah suami istri. Aku akan tetap melakukan kewajibanku sebagai suami, menafkahimu secara lahir tapi,------"
"Aku tahu, tidak perlu kau jelaskan" ucap Anindita dengan ketus. "Lagi pula siapa juga yang mau tidur dengannya, laki laki yang sudah beristri. dan aku termasuk istrinya juga," gumam Anin dalam hatinya, menghela nafasnya dengan berat.
"Baguslah jika kau mengerti," ucap Adam. lalu membaringkan tubuhnya diatas sofa.
"Lalu sampai kapan semua ini," tanya Anindita.
"Sampai waktu yang tepat bagi kita menyampaikan semuanya pada kedua orang tua kita," ujar Adam lalu tidak ada suara sama sekali, kini yang ada hanya suara dengkuran halus dari atas sofa.
"Apa aku sanggup menjalani ini semua," gumam Anin dalam hati. "Ya tuhan, ujian macam apa ini. Dimalam pengantin ku, aku menjadi istri pertama suamiku yang sah dimata hukum dan negara. tapi aku pun menjadi istri kedua suamiku secara agama, lelucuan macam apa ini," gumam anindita dan tak terasa dirinya langsung tertidur karena kelelahan fisik dan hatinya.
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan. Adam pun membawa Anindita ke Jakarta, jauh dari Ayahnya dan juga jauh dari kedua orang tua Adam.
Ayah Anin menangis melepas kepergian putri satu satunya itu, Anin pun melihat Ibu Tika dan Alya yang ikut menangis mengantarkan kepergian Anin ke Jakarta.
Selama di dalam perjalanan tidak ada yang bersuara sama sekali antara dirinya dan juga Adam, setelah menempuh perjalan sekitar empat jam mereka pun sampai di sebuah rumah yang terlihat sangat besar dengan tampilan minimalis membuat rumah itu terlihat mewah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!