Seorang gadis kecil hanya bisa menatap foto kedua orang tuanya dengan penuh kerinduan. Air matanya mengalir deras di pipi, menandakan kekosongan besar di dalam hatinya. Gadis berusia sepuluh tahun itu menangis sesegukan, berusaha menahan rasa sakit yang terus menghimpit dadanya.
"Mulai sekarang, kau tanggung jawabku."
Suara berat seorang pria memecah kesunyian. Wajahnya tampan, tapi sorot matanya dingin, nyaris tanpa emosi.
Reixa Rheantari mendongak, menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian.
"Kalau nggak berniat merawatku, nggak usah sok-sokan mau ngurus!" bentaknya sambil bangkit berdiri. Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar kamar, meninggalkan pria itu dalam diam.
Pria itu menghela napas panjang, wajahnya tetap tanpa ekspresi meski ada kerutan tipis di dahinya.
"Reixa!" teriaknya sambil menyusul. "Jangan membuatku kerepotan dengan tingkah kekanak-kanakanmu itu!"
Reixa berlari menyusuri trotoar, napasnya terengah-engah. Kebenciannya kepada pria itu membakar semangatnya untuk menjauh sejauh mungkin. Dia membenci paman angkatnya, Alarick Mareha.
Bagaimana bisa ia menyerahkan hidupnya pada pria yang tidak pernah peduli? Ingatan masa lalunya membanjir: Alarick yang selalu abai, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak pernah hadir ketika ia sangat membutuhkan seseorang.
Reixa tahu betul bagaimana kisah ini akan berakhir. Ia pernah menjalani hidup bersama pria itu, hanya untuk mendapati dirinya meninggal seorang diri di rumah sakit pada usia sembilan belas tahun. Tidak ada yang peduli, bahkan Alarick sekalipun.
Namun kini, ia kembali hidup. Dan kali ini, ia bersumpah tidak akan membiarkan dirinya terluka lagi oleh pria yang sama.
"Alarick bangsat! Alarick janchuk! Babi! Anjing! Kali ini gue nggak bakal biarin lo ngancurin hidup gue lagi, asu!!!" Teriak Reixa sambil berlari kencang, menghilang diantara kerumunan pejalan kaki.
✨
Reixa berdiri di pinggir jembatan, tubuh kecilnya tampak kaku, seolah menahan beban yang tidak terlihat. Senja yang seharusnya menenangkan malah membuatnya semakin tertekan, sementara pikirannya penuh dengan kenangan pahit yang terus menghantuinya.
Dia mengingat betapa Alarick, paman angkatnya, hanya memanfaatkannya demi keuntungan bisnis. Pria itu memaksanya menjalani perjodohan yang tidak diinginkannya, hingga akhirnya menemui ajal dengan cara yang mengenaskan di tangan orang-orang berkuasa.
"Ini kehidupanku yang ke dua puluh," bisiknya lirih, suaranya hampir tidak terdengar di tengah deru angin. "Aku harap kali ini aku bisa mati dengan tenang."
Dengan langkah kecil, Reixa mulai mengambil ancang-ancang untuk melompat. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sebuah tangan kekar mencengkram lengannya dengan erat. Dia terkejut dan menoleh, menemukan seorang pria berdiri di dekatnya. Tatapan pria itu dingin, penuh ketegasan, namun wajahnya yang tampan memancarkan aura yang tidak biasa.
Reixa mengerutkan kening, mencoba mengenali sosok ini. Mata ungunya yang tajam, rambut hitam yang sedikit berantakan, dan caranya menatap seolah membawa ingatan masa lalu yang samar-samar kembali ke permukaan.
"Nak, seberat apa pun masalahmu, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri!" tegur pria itu dengan nada tegas.
Reixa terdiam sejenak, suara itu terdengar familiar. "Dia... Suaranya mirip dengan seseorang di masa lalu," pikirnya.
"Jangan ikut campur, Om! Kalau cuma mau nasehatin, mending pergi aja sana!" balasnya ketus, berusaha menutupi getaran dalam hatinya.
Pria itu menghela napas panjang, lalu jongkok sehingga matanya sejajar dengan Reixa. "Nak, dengarkan aku. Hidup itu penuh pilihan. Ada banyak cara untuk bahagia, meski sekarang kau belum melihatnya," ucapnya, suaranya menjadi lebih lembut dan menenangkan.
Mata Reixa mulai berbinar, seolah menemukan harta karun yang sudah lama hilang. "Ah, dia! Dia pria itu!" batinnya berseru.
Dia teringat, pria ini pernah hadir dalam kehidupannya sebelumnya—dua kali, untuk lebih tepatnya. Di salah satu kehidupan, pria ini merawatnya dengan penuh kasih sayang, namun sayangnya dia ditemukan tewas dengan luka tusuk di tubuhnya. Sementara di kehidupan lainnya, pria ini meninggal kelaparan setelah kehilangan pekerjaannya akibat fitnah yang keji. Dan akhir hidupnya selalu tragis.
Air mata Reixa mulai menggenang. Tapi sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata, suara lantang memotong pikirannya.
"Reixa!" panggil Alarick, suaranya penuh otoritas.
Reixa berbalik dan melihat pria itu mendekat. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memeluk pria asing di hadapannya, tangisnya pecah. "Om, hiks... hiks... Aku nggak punya ayah dan ibu... Aku sendirian... hiks... Om mau jadi ayahku, ya? Mau, ya? Ya, Om? Om ganteng, deh, pliss~ Aku nggak mau tinggal sama Paman yang wajahnya mirip babi hutan itu!"
"Reixa! Apa yang kau lakukan?! Pulang sekarang!" bentak Alarick, suaranya cukup keras hingga menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Bisik-bisik mulai terdengar, beberapa orang berhenti untuk menyaksikan keributan itu.
"Nggak mau!!" teriak Reixa sambil menangis. "Paman jahat! Aku benci Paman! Kalau Paman nggak ngijinin aku sama Om ganteng ini, aku akan lompat ke sungai sekarang juga!"
Pria asing itu, yang sampai sekarang hanya menjadi penonton, akhirnya buka suara. "Nak, sudah, ya. Jangan bertindak seperti ini. Aku yakin pamanmu menyayangimu," bujuknya dengan nada lembut, mencoba meredakan situasi.
Namun, Reixa menggeleng keras. "Nggak mau! Aku nggak mau pulang kalau bukan sama Om ganteng ini! Paman cuma tahu marah-marah! Aku baru kehilangan ayah dan ibu! Aku kesepian, hiks... hwaaa!!!"
Tangisannya semakin menjadi-jadi, membuat suasana semakin canggung di antara mereka bertiga. Saverio, pria asing itu, merasa terjebak dalam drama keluarga yang tiba-tiba melibatkan dirinya. "Apa salahku sampai harus terjebak dalam situasi seperti ini?" pikirnya sambil menatap ke arah senja, berharap ada jawaban.
🐾
"Aku Saverio Archandra," pria itu memperkenalkan dirinya dengan canggung, wajahnya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. Bagaimana tidak, kini ia berdiri di dalam mansion mewah dengan dua orang yang memperhatikannya dari dua sudut pandang berbeda: seorang pria dewasa menatapnya tajam seolah menghakimi, sementara seorang gadis kecil dengan rambut ash green menatapnya penuh binar kekaguman yang nyaris berlebihan.
"Sudah kuduga! Dia pria itu dalam versi muda! Om Saverio~ Kau benar-benar tampan! Sangat berbeda dengan di beberapa kehidupanku yang dulu! Aku akan menjadi anakmu dan memastikan kau hidup layak kali ini!" Dalam hati, Reixa memekik kegirangan, meskipun wajahnya berusaha tetap tenang.
Saverio menghela napas berat, mencoba memahami kekacauan yang menimpanya. "Oh, Tuhan. Apalagi ini?" pikirnya dengan pasrah. Gara-gara gadis kecil ini—yang baru saja dicegahnya bunuh diri di jembatan—ia malah terjebak dalam drama keluarga yang terasa seperti skenario picisan.
Bocah itu dengan mata berbinar penuh tekad, mengancam akan melompat ke sungai jika ia tidak mengikutinya pulang. Dan sekarang, ia harus berurusan dengan pria dewasa yang terlihat seperti singa penjaga, seolah-olah siap menerkam jika ada salah gerak.
"Tidak ada yang masuk akal," gumam Saverio dalam hati. Ia tidak bisa melihat masa depan yang pasti dari anak kecil ini—sesuatu yang jarang terjadi dalam hidupnya. Biasanya, ia selalu memiliki firasat tentang setiap orang yang ia temui. Namun, gadis ini seperti anomali.
"Jadi, kenapa kau bisa bertemu dengan Reixa?" Alarick membuka percakapan dengan nada dingin, sorot matanya menusuk.
Saverio tidak gentar. Ia melipat kedua tangannya dan menjawab dengan nada tegas, "Itu pertanyaan yang harusnya aku ajukan padamu. Kenapa anak sekecil ini berpikir untuk bunuh diri? Kau pamannya, bukan? Harusnya kau tahu apa yang dia butuhkan."
Kalimat itu membuat Alarick terdiam sejenak, rahangnya mengeras.
"Karena dia suka memarahi aku, Om," Reixa tiba-tiba angkat bicara, nada suaranya terdengar polos, tapi juga penuh sindiran. "Dia bilang tangisanku ini berisik."
Saverio melirik gadis kecil itu, sementara Alarick tampak kehilangan kata-kata.
Reixa melanjutkan, suaranya terdengar lebih tajam, "Memangnya kalau melihat orang tua mati, aku harus tertawa dan bahagia, ya, Om?"
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Saverio bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti ruangan, membuat suasana semakin tegang. Ia mengalihkan pandangannya pada Alarick, yang kini terlihat terpojok oleh kejujuran kejam dari seorang anak kecil.
Saverio menghela napas lagi. "Ini akan menjadi perjalanan yang panjang," pikirnya, setengah menyesal karena menyerah pada ancaman bocah kecil itu di jembatan tadi.
Malam hari, di kediaman Alarick
"Nggak mau! Aku tidurnya sama Om Saverio!" seru Reixa keras sambil memeluk erat pria yang masih berusaha memahami situasi aneh ini.
"Dia hanyalah orang asing, Reixa! Jangan kekanak-kanakan seperti ini!" balas Alarick, frustrasi dan lelah menghadapi sikap keponakannya yang sulit diatur.
Reixa tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Matanya yang berlinang air mata justru menatap Alarick penuh tantangan. "Pelukannya mirip ayah aku, Paman! Ayah aku yang nggak boleh aku tangisi!" jeritnya penuh amarah.
Saverio, yang berada di tengah drama ini, hanya bisa menghela napas. "Ini bukan hidupku lagi. Aku sudah masuk ke dimensi lain," pikirnya dalam hati. Pelarian tidak mungkin dilakukan; gadis kecil itu memeluknya sekuat tenaga, seolah takut kehilangan.
Alarick mencoba melunak. Suaranya berubah lembut, berusaha meredam emosi Reixa. "Tapi, ayahmu mempercayakan aku untuk merawatmu, Reixa. Aku hanya berusaha memenuhi permintaan terakhir mereka," ucapnya dengan penuh kesabaran.
Namun, bukannya tenang, Reixa malah berteriak lebih keras. "Nggak!! Pesan orang hidup aja sering diabaikan, apalagi pesan orang yang udah mati. Pokoknya aku mau Om Saverio!!!" serunya keras, membuat suasana semakin tegang.
Saverio akhirnya berbicara, suaranya penuh usaha untuk tetap tenang meskipun di dalam hati dia sudah ingin melarikan diri. "Nak," panggilnya lembut, "darimana kau mendengar kata-kata seperti itu?"
Reixa menatapnya dengan polos, seolah pertanyaan itu benar-benar penting. "Dari sinetron yang tante dan nenek tonton. Itu, loh, yang selingkuh-selingkuhan itu," jawabnya tanpa ragu.
Saverio terdiam, nyaris tidak percaya dengan jawabannya. Sebelum sempat bereaksi, Reixa dengan riangnya memperbaiki posisi duduknya. Dia duduk di pangkuan Saverio dengan santai, lalu bersandar di dadanya seperti menemukan tempat paling nyaman di dunia.
Alarick hanya bisa memijat pelipisnya dengan frustrasi, sementara Saverio yang kini menjadi "sandaran hati" mendadak ini, hanya bisa pasrah. "Aku harus melapor ke polisi atau psikiater?" pikirnya, mencoba memahami logika di balik kejadian malam ini.
Alarick menatap keduanya dengan tatapan penuh tekanan. Di satu sisi, ia bertanggung jawab atas keselamatan Reixa sebagai wali sah. Namun, melihat gadis kecil itu bersikeras seperti ini membuatnya merasa seperti menghadapi benteng baja.
“Reixa, kau harus mengerti. Pria ini punya kehidupan sendiri. Tidak adil menyeretnya ke dalam masalah kita,” ujar Alarick, suaranya tegas namun penuh ketegangan.
“Kalau Paman tahu nggak adil, kenapa Paman selalu ngatur hidup aku?! Aku mau hidup sama Om Saverio! Paman nggak boleh larang!” Reixa menjawab, kali ini dengan lebih banyak air mata.
Saverio yang mendengar percakapan itu hanya bisa menarik napas panjang. Ia menatap Alarick sejenak, mencoba menenangkan situasi. “Pak... Alarick, ya? Kita bisa bicara baik-baik. Saya yakin gadis kecil ini hanya sedang emosional. Biarkan dia tenang dulu,” katanya pelan sambil sedikit menepuk punggung Reixa yang terus memeluknya erat.
Namun, Alarick tidak merespons. Ia malah menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat dan berlutut sejajar dengan Reixa. “Kau tahu, kan, aku hanya ingin yang terbaik untukmu? Aku bukan ayah kandungmu, tapi aku sudah berjanji pada mereka untuk merawatmu. Kau pikir aku tidak sedih melihatmu seperti ini?” katanya dengan suara yang mulai melembut.
Reixa mendongak sedikit, menatap wajah pamannya. “Kalau Paman peduli, kenapa Paman nggak pernah peluk aku? Ayah selalu peluk aku waktu aku sedih. Tapi Paman nggak pernah,” katanya dengan nada getir.
Alarick terdiam. Perkataan itu seperti pukulan telak baginya. Di sisi lain, Saverio menatap keduanya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarga ini, tapi jelas, ada luka yang dalam di antara mereka.
“Baiklah,” kata Alarick akhirnya, suaranya penuh kelelahan. “Untuk malam ini, kau boleh tidur di kamar bersama... Om Saverio ini.”
“Apa?!” Saverio langsung tersentak, hampir bangkit berdiri. Namun, Reixa sudah bersorak kecil dan semakin erat memeluknya.
“Paman yang terbaik! Aku janji, aku nggak akan menangis lagi malam ini. Terima kasih, Paman!” seru Reixa senang.
Alarick menggelengkan kepala, lalu berdiri dengan gerakan lambat. “Tapi hanya malam ini. Dan kau
Tuan Saverio, jangan coba-coba kabur. Aku akan memastikan kau tetap ada di sini sampai aku yakin Reixa tenang.”
Saverio hanya bisa mengangguk pasrah. Dalam hati, ia tahu situasi ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat. Dan yang lebih buruk, ia mulai merasa terjebak dalam keluarga yang penuh kekacauan ini.
🐾
Setelah memenangkan perdebatan dengan Alarick, Reixa menatap Saverio dengan binar bahagia yang sulit diabaikan.
“Makasih, Om, udah mau bantu aku. Aku Reixa Rheantari. Om bisa panggil aku Rei,” katanya ceria, seolah lupa pada drama yang baru saja terjadi.
Saverio hanya mengangguk kecil, terlalu lelah untuk memberikan respons lebih. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, gadis kecil itu sudah merebahkan tubuhnya di pangkuannya, membuatnya terpaksa menyesuaikan posisi agar gadis itu tidak terjatuh.
“Eh, tunggu, jangan seenaknya begitu…” Saverio mencoba protes, tapi Reixa malah menyeringai puas sambil memejamkan mata.
“Om harus nyaman sama aku. Aku udah pilih Om jadi ayahku, jadi Om harus terima semuanya. Mulai sekarang, aku bakal sering begini,” ucap Reixa dengan nada penuh keyakinan.
Saverio memijat pelipisnya. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya kenapa hidupnya yang biasa-biasa saja kini berubah menjadi telenovela absurd.
“Rei, kau tahu, kan, aku ini cuma orang asing? Kau nggak bisa sembarangan mempercayai orang baru begini,” katanya, mencoba menyuntikkan sedikit logika.
“Tapi Om nggak berbahaya. Aku tahu. Aku bisa lihat dari mata Om,” jawab Reixa ringan sambil memiringkan kepala, posisinya semakin nyaman di pangkuan Saverio.
Saverio menghela napas panjang. “Kalau begitu, bisakah kita istirahat? Hari ini sudah terlalu panjang, dan aku ingin malam ini cepat berlalu.”
Reixa tersenyum kecil. “Baiklah, Om. Tapi aku nggak akan jauh-jauh dari Om. Aku aman di sini.”
Saverio hanya bisa mengangguk pasrah. Malam itu, sambil menatap langit-langit ruangan yang megah namun terasa menyesakkan, ia berharap waktu berlalu lebih cepat. Sayangnya, di sampingnya terdapat seorang gadis kecil sudah tidur dengan nyenyak, tanpa sedikit pun rasa bersalah atas kekacauan yang telah terjadi.
...
Alarick duduk di ruang kerjanya, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Cahaya lampu temaram membuat bayangannya memanjang di lantai kayu, menciptakan suasana yang penuh tekanan.
Di belakangnya, Yudha, asisten setianya, berdiri dengan tangan terlipat, menatap atasannya yang tampak tenggelam dalam pikirannya.
"Selidiki pria bernama Saverio Archandra, yang dibawa pulang oleh Reixa," perintah Alarick akhirnya, suaranya datar namun tegas.
Yudha mengerutkan kening, bingung. "Kenapa, Tuan? Bukankah pria itu justru membuat Nona Reixa lebih tenang?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Alarick mendesah, lalu mengusap wajahnya dengan lelah. "Dia hanya orang asing, Yudha. Orang asing yang tiba-tiba saja dipercaya Reixa, sementara aku, pamannya sendiri, dianggap seolah tak berarti. Kakakku mempercayakan aku untuk merawat anaknya, tapi dia..." Alarick menghentikan ucapannya, mengendalikan emosinya. "Aku harus tahu siapa pria itu. Tidak ada ruang untuk kesalahan."
Yudha terdiam sejenak, lalu memberanikan diri untuk berbicara. "Mungkin Anda terlalu keras terhadap Nona Reixa, Tuan. Anak seusianya perlu lebih banyak kasih sayang, bukan hanya aturan yang ketat."
Wajah Alarick mengeras, tetapi ia tidak menanggapi. Ia hanya melirik sekilas ke arah Yudha, memberi tanda bahwa pembicaraan selesai.
Yudha membungkuk hormat. "Kalau begitu, saya akan segera menyelidiki pria itu. Sekarang, izinkan saya undur diri," katanya sopan sebelum berbalik meninggalkan ruangan.
Ketika pintu tertutup, Alarick kembali memandang keluar jendela. Pikirannya penuh dengan berbagai kekhawatiran yang membebani hatinya. "Reixa, apa yang sebenarnya kau pikirkan?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Sinar matahari menyelinap melalui celah jendela, menciptakan pola-pola lembut di ruangan. Di atas tempat tidur besar, terlihat dua sosok—seorang pria dewasa dan seorang gadis kecil—tertidur lelap. Kaki kecil milik gadis itu bertumpu di perut pria tersebut, seolah dia sengaja mengklaim tempat tidurnya.
Reixa menggeliat pelan, tubuh mungilnya meregang, lalu matanya yang hijau teduh terbuka, menangkap cahaya pagi. Dia berguling, tanpa sengaja berhadapan langsung dengan pria di sampingnya yang masih terlelap. Dengan penasaran, Reixa mendekat, mengamati wajahnya.
Pria itu tampak damai dalam tidurnya, rahangnya tegas, kulitnya halus tanpa cela, dan ekspresinya menenangkan. Reixa mengulas senyum kecil sambil memandangi sosok yang kini begitu dekat dengannya.
"Aku nggak tahu apa yang sudah atau akan kau alami," pikirnya sambil menggenggam tekad kuat. "Tapi kali ini, aku pastikan kau nggak akan mengalami hal mengerikan itu lagi, Om."
Ingatan tentang dua kehidupan sebelumnya membayangi benaknya. Reixa bertemu dengan Saverio di usia lima belas tahun setelah kabur dari rumah, dan saat itu pria ini menjadi tempatnya bersandar. Namun, takdir tragis merenggut pria itu tiga tahun kemudian. Bayangannya tewas dengan darah membasahi tubuhnya masih menghantui Reixa.
Seolah mendengar pikirannya, Saverio membuka matanya perlahan. Manik ungu indah itu langsung bertemu dengan tatapan cerah gadis kecil di hadapannya.
"Pagi, Om~ Tidurnya nyenyak?" sapanya ceria, senyum lebar terpampang di wajah mungil itu.
Saverio menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Kesadaran yang perlahan masuk ke pikirannya membuatnya ingin menertawakan nasibnya sendiri. Jadi, yang terjadi kemarin benar-benar nyata.
"Pagi. Berkatmu, tidurku jadi 'sangat' nyenyak," jawab Saverio dan senyum tipis yang jelas dipaksakan menghiasi wajahnya.
Reixa tertawa kecil, tak menyadari sindiran halus pria itu. Dia malah semakin menempel pada Saverio, mengabaikan tatapan lelah pria tersebut. Saverio hanya bisa pasrah, menyadari dirinya kini menjadi "tahanan" gadis kecil itu—si perangko yang selalu menempel erat. Namun, melihat senyum cerah Reixa, ada secercah rasa hangat yang mulai menyelinap di hati Saverio, meski dia enggan mengakuinya.
🐾
Sarapan pagi itu penuh dengan ketegangan. Di meja makan yang megah terdapat hidangan mewah terhampar rapi, tetapi atmosfer di antara penghuni rumah ini jauh dari kata nyaman. Alarick, dengan wajah dinginnya, duduk berhadapan dengan Reixa yang menyimpan bara amarah di matanya. Saverio, di sisi lain, hanya bisa menyibukkan diri dengan makanannya, berharap tidak tersedak di tengah perdebatan yang semakin memanas.
"Reixa, bagaimanapun juga aku adalah walimu sekarang," ucap Alarick dengan suaranya tegas, mencoba mengakhiri konflik ini dengan sebuah ultimatum.
Reixa langsung memutar bola matanya, wajah gadis kecil itu menampilkan ekspresinya penuh ketidakpuasan. "Paman itu wali nggak guna, tahu nggak?! Sekolah aku pernah ngundang orang tua wali, tapi Paman nggak pernah datang! Paman cuma bisa bilang sibuk kerja! Memangnya sekolah aku nggak sepenting itu buat Paman?!" serunya, nada marahnya tak bisa ditahan lagi.
Saverio mengunyah perlahan, berusaha mengabaikan drama yang terjadi. Namun, intensitas perdebatan itu membuat setiap suapan terasa seperti menelan batu.
"Aku benar-benar sibuk, Reixa," Alarick mencoba membela diri, suaranya mulai melembut.
"Sibuk?! Kesibukan Paman itu selalu bikin aku dituntut jadi anak sempurna! Aku nggak pernah merasa Paman peduli sama aku! Coba deh, lihat kamar aku. Semua penghargaan ada di sana, tapi Paman cuma tahu nuntut lebih! Aku nggak peduli alasan Paman lagi!" Reixa membalas, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan.
"Reixa!" Alarick mendesah panjang, suaranya terdengar lelah.
Tanpa berkata lagi, Reixa membanting sendok garpunya ke atas piring, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Gadis kecil itu berlari ke arah Saverio, memeluknya erat sambil menangis tersedu-sedu.
"Paman itu cuma adik angkat Ibu aku! Aku nggak suka sama Paman!" tangisnya pecah. Lalu, dengan mata berkaca-kaca, dia mendongak dan menatap Saverio dengan ekspresi memelas. "Om, mau nggak jadi ayah aku? Aku buka lowongan buat cari ayah baru."
Saverio tersentak. Hampir saja dia menyemburkan minumannya, matanya membelalak kaget tak percaya dengan perkataan gadis kecil di hadapannya. "Nak, nggak segampang itu menjadi seorang ayah. Dan nggak semua pria dewasa yang kau temui cocok jadi ayah. Termasuk aku," jawabnya sambil menolak dengan suara lembut, mencoba menenangkan situasi.
Namun, Reixa tak mau menyerah. "Pokoknya aku maunya Om yang jadi wali aku! Bukan Paman Babi Hutan jelek itu!" serunya keras sambil menunjuk Alarick dengan penuh emosi. Sayangnya, tanpa sadar jari tengahnya terangkat membuat Saverio nyaris tersedak lagi, kali ini oleh udara.
Alarick yang melihat gestur itu langsung mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Reixa! Dari mana kau belajar hal seperti itu?!" bentaknya, wajahnya campuran antara terkejut dan marah.
Saverio hanya bisa menutup wajahnya dengan satu tangan, menghela napas panjang. "Tolong, biarkan aku makan dengan damai sekali saja," gumamnya dalam hati, merasa seperti terjebak dalam drama keluarga yang tak ada habisnya.
"Kenyataannya benar, kok," sahut Reixa ketus, menatap Alarick dengan tatapan penuh perlawanan. "Paman itu kerjanya cuma marah-marah nggak jelas. Kalau memang Paman nggak suka sama aku, kenapa nggak langsung usir aku aja dari rumah ini?" lanjutnya dengan nada enteng, seolah apa yang dia katakan adalah hal biasa.
Alarick menatap Reixa tajam, tapi di balik amarahnya, ada kilatan rasa bersalah yang berusaha dia sembunyikan. "Jangan bicara sembarangan, Reixa! Kau tahu betul ini rumah orang tuamu. Aku hanya berusaha menjalankan tanggung jawabku sebagai wali!" suaranya meninggi, mencoba mempertahankan otoritas.
Namun, Reixa hanya mendengus, ekspresinya mencemooh. "Tanggung jawab? Apa itu berarti cuma marah-marah dan nuntut aku jadi anak sempurna? Kalau itu tanggung jawab, aku nggak butuh!" jawabnya tegas, nadanya penuh kebencian yang membuat suasana semakin memanas.
Saverio yang mendengar semuanya, hanya bisa memijat pelipisnya. Dalam hati, dia berpikir, "Kalau begini terus, mungkin aku yang akan minta diusir dari rumah ini duluan."
✨
"Reixa, apa-apaan ini? Aku dengar dari pamanmu kalau kau sedang membuat keributan. Tapi, kenapa kau memungut pria miskin yang nggak jelas asal-usulnya?" tanya seorang wanita paruh baya dengan nada merendahkan, sambil menatap Saverio dari atas ke bawah seolah-olah dia adalah barang usang yang tak berguna.
Reixa mengerutkan kening, mata hijaunya menatap neneknya dengan tajam. Wanita itu selalu menuntut kesempurnaan darinya, mencampuri setiap aspek kehidupannya, dan selalu membandingkannya dengan sepupu-sepupunya. Dalam benaknya, Reixa sudah lelah dengan perlakuan neneknya yang tak pernah berubah, baik di kehidupan ini maupun sebelumnya.
Saverio hanya menunduk sopan, berusaha mengabaikan tatapan menghina dari wanita itu. Dalam hati, dia bergumam, "Sepertinya keluargamu sudah lama menggali lubang kehancurannya sendiri."
Pikirannya terbayang-bayang akan masa depan keluarga ini. "Enam tahun lagi, akan ada keributan besar. Wanita ini, terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anak-anaknya. Obsesinya dengan kontrol dan harta hanya mempercepat kehancuran keluarga ini. Stroke yang dia alami nanti adalah akibat dari kesepian dan kehilangan, ketika semua kekayaan lenyap." Saverio melirik sekilas ke arah wanita itu, lalu kembali menundukkan kepala.
"Nenek bicara apa, sih? Dia ini manusia, bukan barang. Nenek buta, ya?" balas Reixa tajam tanpa rasa takut. Gadis kecil itu sudah kehilangan rasa hormat pada neneknya yang selalu mendikte hidupnya. Bahkan, Reixa ingat bagaimana wanita ini menjadi dalang atas penderitaannya di kehidupan sebelumnya.
"Kau! Nggak sopan sama orang tua! Lihat sepupumu, mereka semua jauh lebih baik daripada kau!" sembur sang nenek dengan marah, menunjuk Reixa seolah-olah dia adalah aib keluarga.
'Mulai lagi, deh.' batin Reixa dengan kesal. Dia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi sebelum membalas dengan nada yang tak kalah tajam, "Aku nggak buta, kok, Nek. Lagipula cucu Nenek yang lain kan selalu membanggakan. Nggak kayak aku yang nggak guna ini, seperti kata Paman Babi Hutan."
"Reixa!" hardik Alarick, mencoba memutuskan perdebatan. Namun Reixa, dengan penuh rasa drama, memeluk Saverio erat-erat sambil menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.
"Om, benar kan aku bilang? Paman angkatku mirip babi hutan!" serunya dengan nada sedih yang dibuat-buat, sambil melirik ke arah Alarick dengan senyuman penuh ejekan.
Saverio menatap Reixa dengan ekspresi campur aduk antara kaget dan pasrah. Dalam hati, dia hanya bisa berdoa, "Tuhan, tolong bantu aku keluar dari situasi ini. Kalau bisa, keluarkan aku dari rumah ini sekalian."
Sementara itu, Reixa menunduk, membenamkan wajahnya di lengan Saverio sambil berpikir, "Ayo dong, usir aku sekarang. Kalau mereka mengusirku, aku bebas dari semua aturan menjijikkan keluarga ini. Ini harapan terakhirku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!