Aduh, haus sekali.
Lelah rasanya berbaring sepanjang waktu dan berteman dengan debu di setiap hariku. Aku berjalan ke luar kamar. Ayah dan ibu tengah menonton televisi dan aku melewatinya. Seketika, televisi itu mati. Siapa yang akan disalahkan?
“Fauuuuu!” Ayahku berteriak kencang dan berdiri dari tempatnya. “Televisi ini baru saja aku perbaiki!” tunjuknya pada bangkai elektronik itu.
Ya, ini adalah kejadian ke sekian kalinya. “Televisi itu sudah tua," ucapku, sambil minum dan kembali ke hadapannya. "Lihat apa yang aku lakukan untuk memperbaiki rongsokan ini!"
Kutekan tombol Power on/off-nya untuk mematikan televisi tersebut. Demi kesialan yang ada di hidupku! Tombolnya malah tenggelam dan tak keluar lagi. Televisi itu bergetar dan meledak.
Eh eh! Berhenti! Fauziah, hentikan waktu sebentar! Kalian harus tahu siapa aku!
Kurentangkan tangan agar waktu mengikuti kehendakku dengan kekuatan super yang aku miliki. KEKUATAN SUPER SIAL!
Deg~
Oke—tempelkan Kartu Tanda Pendudukku di depan kamera!
...***...
Namaku Fauziah. Satu-satunya anak perempuan yang lahir di keluarga terkutuk ini. Harusnya aku tak lahir ke dunia.
Leluhur dari keluarga ayah adalah keluarga terkutuk itu. Turun temurun pesan sekaligus ancaman menghantui Ayahku agar tak memiliki anak perempuan.
Inilah akibatnya saat aku dilahirkan. Tangan, kepala, tubuh, bahkan ujung rambutku adalah biang masalah. Tidak, aku tidak menyentuh apa pun, tetapi pandangan terkutuk ini membuat banyak kekacauan di sekitarku.
Rumahku selalu hancur dan diisi dengan keributan. Bahkan, saat ada cecak jatuh ke lantai dan membuat heboh seisi rumah. Siapa lagi yang akan disalahkan, kalau bukan aku. Padahal aku tak pernah keluar kamar sama sekali. Apa aku menyentuhnya? Tidak. Apa aku melihatnya? Tidak. Aku bahkan berada jauh darinya. Tetap saja kesialan itu terjadi.
Hidup bersama dengan kesialan selama 20 tahun membuat orang tuaku naik pitam setiap harinya. Apa salahku? Ya, aku memang sial. Silakan salahkan aku. Aku menerimanya sebagai penghargaan. Tidak ada orang yang bisa menjadi biang kesialan, selain aku.
Oke—masukan KTP-ku kembali ke dalam dompet. Waktu akan berjalan kembali. Lanjut!
Deg~
...***...
“FAUZIAAAAAH!” Ayahku mendesah berat. Napasnya tersendat-sendat.
“Ayah! Ayah kenapa?” Aku mencoba menyentuhnya karena panik. Namun, ia segera tersadar.
“Jangan sentuh aku!” Ayahku kembali normal untuk menghentikanku. Dia pria dengan sembilan nyawa di tubuhnya, titisan kucing bermarga Jinchuriki. “Apa kau juga akan membuatku mati?!”
Mati? Jika memang tangan ini sebegitu sialnya. Mungkin kau sudah mati sedari dulu bapak tua.
Kuhempas langkahku. Mengunci diri kembali di kamar beraroma debu. Biarkan saja pria tua itu mati ketakutan dengan kesialan yang aku miliki.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Fau?!” teriak Ayahku.
Ah, dia mulai lagi. Apa aku harus melawan Jinchuriki itu? Seolah aku yang salah karena kesialan ini.
“Mana kutahu. Jika saja aku tak dilahirkan seperti ini!” bantahku di hadapan pintu. Berharap agar dia mendengar aksi protesku itu.
“Apa kau menyalahkan aku?! Harusnya ibumu tak melahirkan anak sepertimu!” teriaknya lagi.
“Ini adalah kesalahan Ayah! Mengapa harus memiliki keluarga dengan kutukan semacam ini?! Uh! Apa aku mengemis untuk dilahirkan dengan keadaan seperti ini?!” Sial, air mataku malah ke luar. Kuusap dengan kasar agar ia tak menetes. Jika dia menetes, mungkin saja semut akan terpeleset karena lantainya menjadi licin dan aku akan disalahkan lagi.
“Apa kau kira aku mengemis untuk dilahirkan dari keluarga seperti itu?!” Dia terus membalas kalimatku.
“Ya, aku dan ayah adalah korban dari leluhur. Tetapi, ayah tak sial sepertiku!”
“Aku sudah cukup sial memiliki anak sepertimu!”
“Buang saja aku! Atau bunuh saja! Agar sialnya tak ada lagi. Akulah biangnya!”
“Baik, aku akan membuangmu. Jika itu memang keinginanmu!”
Sialan, aku malah menangis.
...***...
Setelah kejadian malam itu, ayahku berusaha untuk mengusirku dari rumahnya. Ia mencarikanku pekerjaan-pekerjaan yang berada jauh dari rumah. Agar aku tak usah kembali lagi ke sana. Bahkan, ia menyebarkan sesuatu di internet yang bertuliskan bahwa ia mencari seseorang untuk mengadopsiku. Sungguh, aku seperti peliharaan saja.
Dalam hitungan hari. Berangsur-angsur rumahku mulai didatangi oleh banyak orang. Kasihan sekali aku melihat orang-orang ini. Bagaimana nasibnya jika terkena kesialan dariku?
Ayahku duduk di kursi dan melakukan interview kepada orang-orang itu. Aku duduk di sampingnya. Lihat! Bahkan bunga di sampingku mendadak layu. Lampu secara tiba-tiba rusak, mati dan mengeluarkan asap. Mereka semua panik. Namun, ayahku menjelaskan bahwa itu adalah efek dari kesialanku.
Menyaksikan kesialanku secara langsung. Mereka semua kalang kabut keluar dari rumahku dan pergi begitu saja. Tersisa satu pria di hadapan ibuku. Sepertinya ia tak mengetahui apa yang terjadi. Melirik semua orang yang berlari di belakangnya dan melanjutkan pendaftaran kepada ibuku. Lalu berjalan menuju ayahku.
“Apa hanya aku yang tersisa?” tanyanya.
Pria ini terlihat sangat kaya raya. Jasnya begitu bersih. Sepatunya juga mengkilap sempurna.
Ayahku menatapnya bingung. Mungkin ia menganggapnya sebagai mukjizat yang terlihat nyata di depan matanya. Bagaimana tidak? Sebentar lagi dia akan terlepas dari kesialan yang kuperbuat.
Ayahku menghela napasnya. “Mari kita mulai.”
“Apakah ini putri Anda?” tanya pria itu membuat aku dan ayahku melongok menatapnya. Apa ini. Siapa yang meng-interview siapa. Kenapa dia yang bertanya?
“Hmm.” Ayahku mengangguk, masih dengan ekspresi melongoknya.
Pria itu menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki lalu kembali ke ujung rambut dan ujung kaki lagi. Begitu seterusnya sampai lehernya hampir putus.
“Sedikit kampungan, tetapi aku bisa mengatasinya,” ucapnya. Hampir saja tanganku yang cantik ini menampar mulut sialannya itu.
Ah? Kampungan? Kenapa dia yang menilaiku. Harusnya ayahku yang menilai dia. Aku melotot kesal pada Ayahku.
“Kapan jadwal pernikahannya?” Bagai tersambar kesialan 10.000 volt. Untungnya aku tidak mati tersetrum.
“Apa?! Pernikahan? Bukankah ayah mengatakan hanya mengadopsi!” bantahku.
“Jika dia ingin menikahimu, aku menyetujuinya. Apa pun asal kau tidak lagi mengacau di rumah ini,” gerutu Ayahku.
Brag!~
Kugebrak meja dan terjatuh ke arah pria itu. Untungnya ia bisa menghindar. Aku terdiam, Ayahku diam, dia juga diam. Ya, diam saja, jangan lanjutkan apa pun. Hanya akan ada kesialan.
“Baik, nikahi saja dia! Cepat bawa dia keluar dari rumah ini!” desah Ayahku, frustrasi. Apa?! Sialan! Malah diberikan begitu saja.
“Ayah!” bentakku.
“Apa?! Lihat itu! Berapa uang yang harus aku habiskan karna ulahmu! Lampu, televisi, meja,” tunjuknya pada barang-barang yang telah kurusakkan.
“Saya akan mengganti semua kerusakan yang ada di rumah ini.” Pria gila itu malah menyombongkan hartanya di saat-saat seperti ini.
“Ah?! Ayah!” bantahku lagi dan lagi.
“Iya, bawa saja dia! Bawa sekarang juga. Aku tak ingin ada kerusakan lain!” Ia mendorongku ke arah pria itu.
“Kau tak usah khawatir. Dia Tuan Raka. Putra Tunggal Aesh Group. Jabatannya CEO di sana. Kau pasti bahagia menikahi pria kaya seperti dia,” celetuk Ibuku sambil merapikan kertas-kertas di hadapannya.
“Ibu!” teriakku.
Apa yang ada di pikiran kedua orang tuaku. Bisa mati dia jika bersamaku setiap hari. Mereka sendiri, tak sanggup hidup bersamaku.
Geram sekali aku melihat mereka berdua. Kuhempas badanku melawan niat orang tuaku dan berteriak, "Apa dia siap mati dengan kesialanku ini?!"
...***...
.
.
Gimana tuh kesannya baca bab pertama? untuk semua orang siapa pun yang membaca pesan terakhir di bab ini. Jangan lupa like dan komen, wkwk. Semoga kita semua sehat selalu, amin.
Orang tuaku memang sudah kehilangan akalnya. Bagaimana bisa aku diberikan begitu saja pada pria yang baru mereka jumpai. Apa alasan pria itu ingin menikahi gadis pembawa sial seperti aku?
...***...
Di meja makan. Ayah dan Ibu menjamu Tuan Raka untuk makan siang di rumah kami. Ibu memasak makanan dengan sangat banyak hingga meja terasa sesak. Menaruh tangan pun sudah tak muat lagi.
“Bisa Anda ceritakan, mengapa Anda ingin menikahi putri kami?” Ayah menaruh nasi di piring Tuan Raka. Mereka semua bersikap santai. Aku? Bagaimana dengan aku? Wajahku seperti mangga muda hasil maling. Masam, kecut dan dipenuhi banyak dosa. Bisa-bisanya mereka memberikanku kepada orang segampang itu.
“Izinkan saya mengobrol dengan Fauziah, selesai makan nanti," ucap Tuan Raka penuh sopan dan santun. Padahal baru beberapa menit yang lalu, ia mengatakan bahwa aku ini kampungan.
Huek, ingin aku muntah di piring makannya.
“Silakan!” Ayah langsung menjawab saja tanpa bertanya terlebih dahulu kepadaku. Entah aku mau atau tidak. “Silakan, silakan-silakan Tuan. Bawa pulang juga boleh, silakan.” Ayahku mempersilakan dengan antusiasme yang melambung jauh ke angkasa, menembus Galaxy Andromeda dan jajaran angkasa lainnya. Aku tak tahu ada apa di atas angkasa sana.
“Ayah!” Lagi-lagi ia seperti itu.
Memangnya aku ini apa?
“Soal pernikahannya—" Ibu terdiam, mendengar suaraku.
“Ibu!” bentakku.
Ia menghela napas dan mengusap dadanya yang terkejut akibat bentakanku. “Apa? Apa?! Kau bahkan membuat komporku rusak hanya dengan berjalan di dapur ini! Lihat dispenser itu! Sudah tidak berfungsi karena kau mengambil air minum semalam!” Bahkan ia menepuk dispenser yang sudah diwajibkan untuk mengendarai gerobak rongsokan.
“Aargs!” Geram sekali aku. Tidak perlu kau beberkan semuanya di hadapan pria sombong ini.
“Apa aku harus menaruhmu di tengah hutan, agar tidak ada yang rusak lagi?” gerutu Ibuku.
“Jadi begini Fau. Kau sudah dewasa—" Ayah menoleh ke arahku.
“Baru 20.” Kali ini kalimat ayah yang kupotong.
“20 itu sudah dewasa," bentaknya.
“Terserah kalian saja!” teriakku. “Berikan aku nasi!” perintahku mengangkat piring. Menyodorkannya kepada ibu.
Plak~
Sikutku mengenai sendok sayur. Terpental ke wajah Ayah yang berada di hadapanku. Tepat di jidatnya. Membuat tanda sebesar bakso. Bakso beranak.
“FAAUUU!” Wajah ayah menjadi basah dan berminyak. Tuan Raka tersenyum menahan tawanya.
“Kenapa Ayah tidak menghindar?!” ucapku menutupi segala dosa yang aku perbuat.
“Ini sudah ke 3 kalinya Fau!” bantah Ayahku membersihkan wajahnya.
“Jika sudah 3 kali, harusnya ayah bisa mengantisipasi.” Balas terus dan lawan tanpa kata bersalah.
“Kau menyalahkan aku?!” teriak Ayahku.
“Tidak! Biar aku mengelapnya.” Aku berdiri mengambil tisu. Meja itu terlalu penuh hingga tanganku susah menggapainya.
Brag~
Aku berenang bersama tumpukan lauk di atas meja. Tanganku terasa melepuh. Menyentuh nasi panas. “Aaaaaaarghhhh!”
Semua piring dan alat makan berhamburan cuma-cuma di lantai. “FAUZIAAAAH!” Ibu mengiringi teriakanku.
...***...
Aku didorong ke dalam kamar bersama Tuan Raka. Pintu itu dikunci oleh Ibu.
Sialnya aku! Kenapa harus di hadapan pria ini. Astaga, bagaimana ekspresiku saat berenang di atas meja tadi. Memalukan sekali.
Aku duduk di meja belajarku yang sudah lama tak digunakan lagi. Menopang wajah sambil menutup mata dengan tangan kiriku. “Cepat katakan apa yang ingin kau katakan. Jika sudah selesai, silakan ke luar. Aku akan tidur!”
“Aku akan mengganti semua peralatan yang rusak di rumah ini.”
Kubuka mataku, memutar tubuh, menatapnya. “Jika kau hanya ingin menyombongkan diri..."
“Tidak.” Ia memotong kalimatku. “Aku membutuhkan seorang istri.” Mataku terbelalak mendengar kalimat itu.
“Ah?! Apa kau gila. Berapa umurmu?!” jeritku.
“22 tahun.”
“Menikah di umur 22 tahun. Apa kau gila?!” Terus menjerit di hadapannya.
“Itu adalah permintaan dari nenekku. Nenekku sakit-sakitan. Ia ingin melihatku menjadi pengantin,” jelasnya.
“Nikahi saja nenekmu!” bantahku.
“Apa kau bodoh?” Dia terkekeh seolah aku ini sedang melawak.
“Kau sudah 2 kali mengatai aku. Bersiaplah terciprat kesialanku!” Berani sekali dia mengejek Fauziah Sekar Sari. Mau mati dia hari ini?
“Aku tidak peduli. Bagiku kau hanya ceroboh. Tidak ada manusia sial.” Wah wah, benar-benar ingin mati dia.
“Iya terserah kau saja! Jangan salahkan aku jika nanti nenekmu mati setelah bertemu denganku!” tegasku menepuk meja.
Pria itu membulatkan matanya. “Apa kau pernah melakukannya?”
“Tidak.” Tuan Raka menghela napasnya mendengar hal itu. “Tetapi, ayahku selalu takut mati jika kusentuh.”
“Hmm.” Ia tersenyum. “Apa kau sering bertengkar dengan ayahmu?”
“Setiap hari! Bisa kau lihat betapa sialnya aku. Orang tuaku saja sudah tidak tahan merawatku.”
“Baiklah, jika mereka tak tahan merawatmu. Biar aku yang merawatmu.”
“Ah?! Gila!” Apa yang dia inginkan dariku?
“Aku akan merawatmu. Memberi apa yang kau inginkan. Mengganti semua kerugian yang telah kau perbuat di rumah ini.”
“Untuk apa kau melakukan itu semua?”
“Menikahlah denganku. Demi nenekku.”
“Apa aku gila? Menikah dengan pria yang baru aku temui.”
“Besok aku akan membawamu ke rumah sakit. Bertemulah dengan nenekku.” Dia Berjalan membuka pintu. Sialnya pintu itu masih terkunci.
“Ibu! Ayah!” Aku turut menggedornya. Bukan aku yang sial. Merekalah yang sialan. Orang tua itu ... benar-benar ingin membakar isi dadaku!
“Keluarlah dari jendela!” perintahku.
“Ah?” Ia mengernyitkan keningnya.
Kubuka jendela kamar. “Keluarlah lewat jendela Tuan Raka!”
“Apa kau yakin?”
Astaga, kenapa? Apa dia tak pernah melakukan hal semacam ini?
“Kakimu cukup panjang untuk naik ke atas ini. Keluarlah!” perintahku. Perlahan-lahan ia mengeluarkan kakinya sesuai perintah.
Brag!~
Ia terjatuh dan mengotori jas serta sepatunya. “Hahaha. Rasakan itu! Itu adalah balasan karena kau mengejekku kampungan dan bodoh.”
“Tidak,” ia berdiri. Membersihkan telapak tangannya. “Ini adalah kesalahanku yang tidak berhati-hati.”
“Terserah kau saja Tuan Raka!”
“Baiklah. Aku pulang dulu. Sampaikan salam dengan orang tuamu,” ucapnya berjalan mendekati mobilnya yang terparkir di halaman rumahku. “Jangan lupa besok!”
“Terserah kau saja!" teriakku. Ia berlalu. Kututup kembali jendela itu dengan rapat. Kuperbaiki gordennya.
Astaga! Demit! Ayah dan Ibu berada di belakangku dengan ekspresi seperti ingin menerkamku. Kutepis tangan mereka. “Apa yang kalian lakukan?!” teriakku.
“Apa kau mengusirnya?! Atau kau mendorongnya ke luar dari jendela itu?! Atau kalian bercium hingga ia terjatuh ke jendela?!!” jerit mereka berdua. Memang orang tua gila ini ingin menularkan kegilaannya kepada gadis baik seperti aku.
“Argghh! Bisa pecah kepalaku menghadapi kalian. Keluarlah! aku ingin tidur." Kulentikkan jariku seolah mengusirnya.
“Apa?! Kau mengusir kami?!” bentak Ayahku.
“Iya! Sebentar lagi aku akan pergi dari rumah ini! Keluarlah! Biarkan aku menikmati malam-malam terakhirku di sini."
Ayah dan ibu saling bertatapan. Melongok. Alisnya bergerak-gerak.
Apa yang diakukan oleh mereka berdua? Seperti orang bodoh saja.
“Apa yang dia katakan padamu?" tanya Ibu.
“Besok aku akan pergi menemui neneknya dan membahas pernikahan. Apa kalian puas?!” tegasku.
“Ini adalah pertama kalinya kau berguna bagi kami." Ibu tersenyum girang. “Mari kita rayakan, ayah!” Ajak Ibu mengedipkan matanya.
“Mari kita rayakan di kamar!” teriak Ayah merangkul Ibu dan membawanya keluar dari kamarku.
Beraninya seperti itu di hadapanku. Dasar tidak waras! Kuhempas tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit dan berpikir.
Bagaimana jika aku benar-benar membunuh Neneknya bila bertemu besok?
.
.
...***...
.
.
Nah loh gimana kalo mati beneran? Jangan lupa like dan komen ya. Auhtor ga banyak nuntut kok. Cuma ngemis aja. ngemis like, wkwk. See you to next bab.
“Fau! Astaga anak sialan itu! Kenapa dikunci pintunya?!"
Indahnya hidupku, serapah itu sudah kutelan dan kujadikan sarapan di hari se-pagi ini. “Fauziah! Ada Tuan Raka!”
Aku berlari membuka pintu. Plak!~ Satu pukulan mendarat di pundakku.
“Ibu!” teriakku menahan sakit.
“Cepat mandi dan ganti bajumu!” Ibu menyeretku ke dalam kamar mandi. Ia terpeleset. Siapa yang akan disalahkan? Tentunya—
“Fauziah!” teriak Ibuku. Dia memukulku, menyeretku, dan terjatuh sendiri. Aku yang salah. Bagus sekali. “Aku berharap kau cepat-cepat menikah dengan Tuan Raka!” Dengan kesal ia keluar dari kamar mandi.
Terserah kau saja ibu!
Aku dan Tuan Raka pergi menuju rumah sakit. Sumpah demi apa pun, aku bergetar sepanjang jalan. Mungkin saja aku mendapat kesialan semacam bertabrakan atau tertimpa roket?
Kukeluarkan wajahku dari jendela mobil dan menatap langit. Cerah, tidak akan ada roket yang bisa menimpaku. Bagaimana dengan yang lainnya?!
Benar! Hal itu benar-benar terjadi. Untungnya Tuan Raka memutar setirnya dan singgah di toko perhiasan. Sehingga mobil yang berada di sebelah kami yang menjadi target kesialanku. Mobil itu ditabrak oleh mobil yang hendak menyeberang.
Aku terdiam menatap mobil itu terpental ke depan, terbakar lalu meledak. Bagaimana jika Tuan Raka tak memutar setirnya? Mungkin aku sudah mati saat ini.
“Itu bukan salahmu. Itulah yang disebut takdir.” Tuan Raka menarikku keluar dari mobilnya dan menyeretku ke dalam toko perhiasan. “Sudah jangan dipikirkan,” ucapnya.
Bagaimana bisa aku tak memikirkannya? Jika saja ia melaju lurus. Pastinya aku sudah tak bernyawa sekarang.
“Aku akan membeli perhiasan untuk nenek. Bantu aku memilih.” Ia melihat-lihat perhiasan yang ada di etalase. “Pilihlah mana yang kau suka. Itu hadiah dariku.”
Untuk menjenguk neneknya? Pastinya nenek ini bukan sembarang nenek. Cucunya saja sudah sekaya ini. Apa lagi neneknya?
Jangan biarkan aku memilih, Tuan. Aku bisa membuatmu bangkrut dalam sekejap.
“Ini bagus!” jeritku menunjuk kalung permata berwarna putih. Dengan bulir-bulir berlian di sepanjang talinya. Pelayan itu mengeluarkannya. Kutunjukkan kepada Tuan Raka.
“Kau suka yang itu?” tanyanya. Tentu saja. Tidak ada wanita yang membenci perhiasan. Aku mengangguk. “Ambillah sebagai hadiah.”
“Tidak Tuan. Berikan ini kepada nenekmu.”
“Kenapa?”
“Harganya terlalu mahal untukku.” Berpura-pura menolak. Itulah ciri khas wanita. Bukan berarti aku munafik. Karena memang seharusnya wanita bertingkah seperti itu. Agar tak terlihat Matre.
“Ambilkan 2 kalung seperti ini!” perintahnya pada pelayan toko.
Apa? Dua? Satu untuk nenek dan satu untukku. Humm, merepotkan saja. Tetapi aku suka merepotkan yang menguntungkan.
Pelayan itu memberi 2 Tote bag. Tuan Raka membayarnya. “Ini untukmu.” Ia memberikan salah satu Tote bag kepadaku. Aku sudah menduga itu. Kuambil alih tote bag-nya. “Apa kau ingin aku memasangkannya untukmu?”
Aaaaa boleh boleh, lakukan hal semacam ini lebih sering di tempat umum. Agar semua orang tau bahwa pria kaya sepertimu adalah calon suamiku.
Aku mengangguk. Tuan Raka mengeluarkan kalungnya dan memasangkan kalung itu di leherku.
Aww! Apa lagi ini. Kalungnya susah dikaitkan. Tuan Raka menariknya lebih kuat, namun tetap sulit terkait.
"Aaaaaww!” Demi kesialan yang ada di hidupku! Kalungnya terputus dan melukai leherku. Tuan Raka terjatuh karena kaget.
“Awww.” Kupegangi leherku yang terluka. “Maafkan aku!” ucapku membungkuk.
Astaga, aku tidak peduli kau terjatuh atau apa pun. Tetapi, kalungnya. Aaa permata itu putus!
“Maafkan aku Tuan.” Aku terus membungkuk.
“Tak apa.” Ia berdiri dan memasukkan kalung tersebut ke dalam tote bag. Berjalan hendak membuangnya ke tong sampah.
“Tuaan!” Kuhentikan gerakannya dengan teriakan itu. “Biarkan aku menyimpannya.” Mungkin saja kalung ini bisa dijual lagi. “Aku ingin menyimpannya.” Terus aku beralibi.
Dia bergeming. Ayo keluarkan jurus lidah peletmu Fauziah.
“Akan kusimpan. Itu adalah hadiah pertama yang kau berikan untukku.” Kena kau!
“Baiklah.” Ia memberikan tote bag itu kepadaku. Kupegang dengan erat. Bagaimana tidak, isinya adalah barang berharga.
Kami kembali melaju ke rumah sakit. Kakiku tak henti-hentinya bergetar. Rasanya seperti ditodongkan pedang di seluruh urat leherku. Salah bergerak sedikit saja. Kematian sudah pasti terjadi.
Mataku terbelalak. Satu mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Brag!~ Ia menabrak tiang pembatas jalan. Tepat di hadapan kami. Kuputar pandanganku ke belakang. Mobil itu terbakar. Untungnya tiang itu menyelamatkan nyawaku.
Kuputar kembali pandanganku. Mataku kembali terbelalak. Truk yang mengangkut drum minyak di depan kami, secara tiba-tiba drumnya berhamburan ke luar. Aneh, tak satu pun drum itu mengenai kami. Tuan Raka cukup lihai mengendarai mobil.
Akhirnya, kami sampai di rumah sakit. Sangat mewah. Hanya itu yang bisa menggambarkannya. Aku baru pertama kali melihat rumah sakit ini. Mungkin saja rumah sakit ini berskala bintang 10. Ini rumah sakit, bukan hotel!
Tempat tidurnya dilapisi emas. Sterilisasi yang terjaga ketat. Uhhh, seperti ratu saja. Secara otomatis terbayang di benakku.
Kami masuk ke ruangan nenek. Humm, tak sesuai ekspektasi. Hanya bagus luarnya saja. Isinya sama seperti rumah sakit biasa.
Nenek yang sedang tertidur. Tiba-tiba terbangun karena suara berisik tapak kakiku. Ia menoleh ke arahku. Menatap dan terbelalak. Aku pun sama.
Nenek itu —Nenek—Sialan!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!