NovelToon NovelToon

Bayang Perang Di Ujung Senja

Senja di Desa Arvyn

Bab 1: Senja di Desa Arvyn

Langit memerah keemasan, menandakan senja yang hampir berakhir. Di atas bukit kecil di sisi timur desa Arvyn, Kael Ardyn berdiri memandang hamparan ladang gandum yang bergoyang diterpa angin. Matanya tajam menatap cakrawala yang jauh, seperti mencari sesuatu yang tidak kasatmata. Angin membawa aroma tanah basah dan jerami, mengingatkannya pada masa kecilnya yang penuh dengan kehangatan keluarga dan canda tawa. Namun, kini, semua terasa berbeda.

Kael menyandarkan pedang kayu buatan sendiri di bahunya. Pedang itu sederhana, dengan bilah yang sedikit retak di ujungnya akibat latihan bertahun-tahun. Ayahnya, seorang pandai besi, mengajarinya cara membuat pedang sejak ia masih kecil. Ayahnya selalu berkata, “Senjata bukan hanya alat untuk berperang, tetapi juga simbol tanggung jawab.”

“Kael! Kau mendengar aku, tidak?” Suara lembut namun tegas itu memecah lamunannya. Liora Faye, sahabatnya sejak kecil, berdiri dengan tangan di pinggul, memandangnya dengan ekspresi setengah jengkel.

Kael tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku mendengar, Liora. Kau selalu berbicara dengan suara yang cukup keras untuk membuat burung-burung terbang.”

Liora mendengus, tetapi tidak bisa menyembunyikan senyum di wajahnya. Ia melangkah mendekat, membawa sekeranjang apel yang dipetiknya dari kebun belakang rumah. Rambutnya yang cokelat panjang tergerai, berkilauan dalam cahaya senja.

“Kau terlalu banyak melamun akhir-akhir ini,” kata Liora sambil duduk di samping Kael. “Apa yang sebenarnya kau pikirkan?”

Kael menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku tidak tahu, Liora. Hanya saja… ada sesuatu yang tidak beres. Aku bisa merasakannya.”

“Kael, kau selalu seperti ini setiap kali senja tiba. Kau tahu, desa ini sudah aman sejak perang terakhir. Kita punya penjaga di setiap perbatasan. Kau tidak perlu khawatir.”

Kael menggeleng. “Kedamaian seperti ini tidak pernah bertahan lama. Aku tahu itu.”

Liora menatap Kael dengan penuh perhatian. Ia tahu sahabatnya tidak pernah berbicara sembarangan. Pengalaman pahit di masa kecil telah membentuk Kael menjadi seseorang yang selalu waspada. Namun, kali ini, ia berharap Kael salah.

Kehidupan di Desa Arvyn

Desa Arvyn adalah tempat yang sederhana, namun penuh kehangatan. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu ek yang kokoh, dengan atap jerami yang tebal untuk melindungi dari angin musim dingin. Setiap pagi, penduduk desa akan berkumpul di alun-alun untuk bertukar kabar dan menjual hasil panen. Anak-anak berlarian di antara kios-kios, bermain sambil tertawa riang.

Kael dan Liora berjalan menuruni bukit, menuju desa yang mulai diterangi cahaya lentera. Aroma roti panggang dan sup daging yang dimasak perlahan menguar dari setiap rumah, membuat perut Kael berbunyi pelan.

“Ibumu pasti sudah menyiapkan makan malam,” ujar Liora sambil tersenyum. “Ayo, sebelum kau kena marah lagi.”

Kael tertawa kecil. “Kau benar. Ibuku bisa lebih galak daripada prajurit di medan perang.”

Saat mereka melewati jalan utama desa, beberapa penduduk menyapa Kael dengan ramah. Ia dikenal sebagai pemuda yang rajin membantu, terutama setelah ayahnya meninggal.

“Ibumu akan bangga padamu, Kael,” kata seorang tetua desa, Pak Thalion, sambil menepuk bahu Kael. “Kau menjaga warisan ayahmu dengan baik.”

Kael hanya mengangguk sopan. Setiap kali mendengar nama ayahnya disebut, hatinya terasa berat. Ayahnya adalah seorang pahlawan, tetapi juga korban perang yang tidak perlu.

Malam yang Sunyi

Malam itu, setelah makan malam, Kael duduk di teras rumahnya, memandang langit berbintang. Suara jangkrik dan hembusan angin malam menjadi satu-satunya pengiring keheningan. Ibu Kael, seorang wanita dengan wajah lembut tetapi penuh keteguhan, keluar membawa secangkir teh hangat.

“Kau tidak bisa tidur lagi, Kael?” tanyanya lembut.

Kael menggeleng. “Aku hanya merasa ada yang tidak beres, Bu. Seperti sebelum perang terakhir.”

Ibunya duduk di sampingnya, menatap bintang-bintang. “Ketakutan tidak akan mengubah apa pun, Kael. Yang bisa kita lakukan adalah bersiap dan berdoa.”

Kael mengangguk pelan, tetapi hatinya tetap gelisah. Ia merasa bahwa sesuatu yang besar sedang mendekat.

Pertanda Bahaya

Saat malam semakin larut, Kael terbangun oleh suara gemuruh di kejauhan. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya dan keluar rumah. Dari puncak bukit di belakang desa, ia bisa melihat cahaya merah di cakrawala. Api.

“Liora!” Kael berlari ke rumah sahabatnya, mengetuk pintu dengan keras. Liora muncul dengan wajah bingung.

“Ada apa?” tanyanya panik.

“Musuh. Mereka datang,” jawab Kael singkat.

Belum sempat Liora bertanya lebih lanjut, suara terompet perang menggema di seluruh desa. Penduduk mulai keluar dari rumah mereka, panik dan kebingungan.

Kael meraih pedang kayunya, meskipun tahu itu tidak cukup. Perang telah datang ke Arvyn.

Kobaran Api dan Awal Perjalanan

Bab 2: Kobaran Api dan Awal Perjalanan

Malam itu, desa Arvyn berubah menjadi neraka yang membara. Asap hitam mengepul ke langit, dan suara jeritan bercampur dengan dentingan senjata. Kael berdiri terpaku sejenak di alun-alun desa, memandangi pemandangan yang mengerikan di hadapannya. Api menjilat-jilat rumah-rumah kayu, dan penduduk berlari panik mencoba menyelamatkan diri.

Di sampingnya, Liora menggenggam busur kecilnya erat-erat. Mata gadis itu membelalak, namun wajahnya berusaha tetap tenang.

“Kael, apa yang harus kita lakukan?” suaranya bergetar, meski ia berusaha menyembunyikan ketakutannya.

Kael menelan ludah, berusaha meredam rasa paniknya sendiri. “Kita harus mengevakuasi penduduk yang tidak bisa bertarung. Bawa mereka ke bukit. Aku akan mencari jalan keluar.”

Pak Thalion, pria tua yang dihormati di desa, muncul dengan wajah penuh peluh. Ia membawa kapak tua yang tampak terlalu berat untuk diayunkan. “Kael, anak muda, kau tahu jalan pintas. Bawa mereka ke tempat aman. Aku dan beberapa orang akan mencoba menahan mereka di sini.”

Kael mengangguk meski hatinya berat meninggalkan desa. Ia tahu ini bukan saatnya membantah. Menyelamatkan nyawa penduduk adalah prioritas utama.

“Semua orang, ikuti aku!” Kael berteriak, mencoba mengendalikan kekacauan. Ia memimpin sekelompok wanita, anak-anak, dan orang tua ke jalan setapak di belakang desa yang menuju bukit kecil.

Pelarian ke Bukit

Mereka berlari secepat mungkin di bawah bayang-bayang malam, diterangi hanya oleh cahaya bulan yang suram. Suara jeritan dan dentingan pedang masih terdengar di belakang mereka, membuat beberapa anak kecil menangis ketakutan.

“Tidak apa-apa, terus berjalan,” Kael berkata sambil membantu seorang ibu muda yang membawa bayinya. “Kita hampir sampai.”

Liora berlari di samping Kael, matanya terus waspada mengawasi sekeliling. “Kael, aku melihat sesuatu di sana!” katanya, menunjuk ke arah semak-semak yang bergoyang aneh.

Kael segera mengangkat pedang kayunya, siap melindungi kelompok mereka. Namun, dari balik semak-semak itu, hanya seekor rusa kecil yang melintas, ketakutan seperti mereka.

“Ayo lanjutkan,” Kael menghela napas lega.

Akhirnya, mereka mencapai puncak bukit. Dari sana, mereka bisa melihat desa Arvyn yang kini hanya tinggal bayangan. Api membakar hampir seluruh desa, dan sosok-sosok prajurit musuh tampak bergerak seperti bayangan hitam di bawah sana.

Kehilangan yang Menyakitkan

Saat fajar tiba, Kael berdiri di tepi bukit, memandangi desa yang pernah menjadi rumahnya. Arvyn kini hanya puing-puing hangus, dengan asap yang masih mengepul ke langit. Hatinya terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menekan dadanya.

“Kita harus pergi,” suara Pak Thalion membuyarkan lamunan Kael. Pria tua itu tampak lelah, tetapi matanya masih menyimpan tekad yang kuat. “Tidak ada yang tersisa di sini. Ibu kota adalah satu-satunya harapan kita sekarang.”

Kael mengangguk, meski hatinya masih enggan meninggalkan desa. “Baik. Kita akan pergi ke ibu kota. Tapi kita harus bergerak cepat. Musuh mungkin masih mengejar.”

Liora menepuk bahu Kael, mencoba memberinya semangat. “Kau melakukan yang terbaik, Kael. Kita masih hidup. Itu yang terpenting.”

Kael tersenyum tipis, meski senyum itu tidak sampai ke matanya. “Ya. Tapi aku berjanji, Liora. Aku akan melindungi kalian. Apa pun yang terjadi.”

Perjalanan yang Berat

Mereka mulai berjalan menyusuri hutan lebat yang mengelilingi Arvyn. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi akar pohon yang mencuat dan dedaunan tebal yang menutupi pandangan. Suara burung dan binatang liar mengisi keheningan, menciptakan suasana yang anehnya menenangkan, meski bahaya masih mengintai di setiap sudut.

“Apa kau tahu berapa lama perjalanan ke ibu kota?” tanya Liora saat mereka berhenti sejenak untuk beristirahat.

“Dua hari jika kita bergerak cepat,” jawab Pak Thalion. “Tapi dengan kondisi seperti ini, mungkin lebih lama.”

Kael memandang sekeliling, memastikan tidak ada ancaman yang mendekat. “Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus terus berjalan.”

Saat malam tiba, mereka beristirahat di sebuah gua kecil yang tersembunyi di antara pepohonan. Kael duduk di dekat pintu masuk, berjaga sementara yang lain tertidur.

Liora duduk di sampingnya, membawa sepotong roti kering. “Kau perlu makan sesuatu.”

Kael mengambil roti itu tanpa banyak bicara. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Liora, kau tahu apa yang paling aku takutkan?”

Liora menggeleng. “Apa?”

“Bahwa aku tidak cukup kuat. Bahwa aku tidak bisa melindungi kalian.”

Liora menatapnya dengan serius. “Kael, kau lebih kuat daripada yang kau kira. Kami percaya padamu. Aku percaya padamu.”

Kata-kata itu memberi Kael kekuatan baru. Ia tahu perjalanan mereka masih panjang, tetapi dengan Liora di sisinya, ia merasa tidak sendirian.

Pertemuan Tak Terduga

Bab 3: Pertemuan Tak Terduga

Matahari pagi menyelinap di antara dedaunan, menciptakan pola cahaya yang bergerak lembut di tanah hutan. Kael bangun lebih awal dari yang lain, memastikan sekeliling aman. Bau tanah basah dan suara burung-burung yang berkicau membuat suasana terasa sedikit lebih damai, meski ancaman musuh masih membayangi.

“Kita harus bergerak sebelum mereka menemukan jejak kita,” Kael berkata kepada Pak Thalion yang sedang mengatur perbekalan.

Pak Thalion mengangguk. “Benar. Kita tidak bisa berlama-lama di satu tempat.”

Kael membangunkan Liora yang tidur bersandar di dinding gua. Gadis itu mengusap matanya dan segera berdiri, siap melanjutkan perjalanan.

“Apakah kau yakin tidak apa-apa?” tanya Kael, memperhatikan Liora yang tampak pucat.

“Aku baik-baik saja,” jawab Liora sambil tersenyum tipis. “Ayo pergi.”

Mereka melanjutkan perjalanan melewati hutan yang semakin lebat. Jalan setapak semakin sulit dilalui, dengan semak-semak berduri dan akar pohon yang menjalar di mana-mana. Namun, mereka terus berjalan, dipandu oleh tekad yang kuat untuk mencapai ibu kota.

Suara Misterius di Hutan

Saat matahari mulai terbenam, mereka tiba di sebuah sungai kecil. Airnya jernih dan mengalir tenang, memberikan kesempatan bagi mereka untuk beristirahat sejenak. Kael membasuh wajahnya di sungai, menikmati kesegaran air yang dingin.

Tiba-tiba, Liora menghentikan aktivitasnya dan memasang telinga. “Kau dengar itu?”

Kael mengangkat kepalanya. Suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak. Kael meraih pedangnya dan berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang muncul.

Dari balik semak-semak, muncul seorang pria muda dengan rambut hitam acak-acakan dan pakaian compang-camping. Wajahnya dipenuhi luka kecil, dan ia tampak kelelahan. Namun, yang paling mencolok adalah tatapan matanya—penuh kewaspadaan dan ketakutan.

“Tolong… aku bukan musuh,” kata pria itu dengan suara serak.

Kael tidak menurunkan pedangnya. “Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan di sini?”

Nama pria itu adalah Finn, seorang pengembara yang mengaku berasal dari desa yang juga hancur akibat serangan musuh. Ia menceritakan bagaimana ia berhasil melarikan diri dan bersembunyi di hutan selama berhari-hari.

“Mereka… mereka tidak akan berhenti sampai semua desa ditaklukkan,” kata Finn dengan nada putus asa. “Aku melihat mereka. Pasukan itu… mereka membawa sesuatu. Senjata aneh yang bisa menghancurkan apa saja.”

Pak Thalion mengerutkan kening. “Senjata seperti apa?”

“Aku tidak tahu pasti,” jawab Finn. “Tapi itu bukan senjata biasa. Aku melihat mereka menggunakannya di desa tetangga. Dalam hitungan detik, seluruh desa lenyap.”

Kael mengepalkan tangan. “Kita harus memperingatkan ibu kota. Mereka harus tahu tentang ini.”

Finn menatap mereka dengan penuh harapan. “Jika kalian menuju ibu kota, aku ingin ikut. Aku tidak punya tempat lain untuk pergi.”

Kael ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan coba-coba melakukan sesuatu yang mencurigakan.”

Finn tersenyum tipis. “Kau tidak perlu khawatir.”

Perjalanan Berlanjut

Dengan Finn bergabung, perjalanan mereka menjadi lebih lancar. Finn tampaknya mengenal hutan dengan baik dan membantu mereka menemukan jalur yang lebih aman. Ia juga berbagi beberapa buah dan tanaman liar yang bisa dimakan, sesuatu yang sangat membantu mengingat persediaan mereka mulai menipis.

Namun, suasana tetap tegang. Setiap langkah terasa seperti perjudian, dengan kemungkinan musuh mengintai di setiap sudut.

Saat malam tiba, mereka berkemah di bawah pohon besar. Kael duduk berjaga bersama Finn, sementara yang lain beristirahat.

“Kael, aku bisa melihat kau punya beban besar di pundakmu,” kata Finn tiba-tiba.

Kael menatap Finn dengan curiga. “Apa maksudmu?”

“Kau bertindak seperti seorang pemimpin, tapi aku bisa lihat kau masih muda. Kau seharusnya tidak perlu menanggung semua ini sendirian.”

Kael menghela napas. “Aku tidak punya pilihan. Mereka mengandalkan aku.”

Finn tersenyum samar. “Terkadang, berbagi beban bisa membuat perjalanan lebih mudah.”

Kael tidak menjawab, tetapi kata-kata Finn terus terngiang di kepalanya.

Jejak Musuh

Saat fajar menyingsing, Kael dan kelompoknya melanjutkan perjalanan. Namun, mereka segera menemukan tanda-tanda yang tidak menyenangkan—jejak kaki besar yang mengarah ke arah yang sama dengan mereka.

“Ini bukan jejak manusia,” bisik Liora dengan wajah tegang.

Pak Thalion memeriksa jejak itu dengan hati-hati. “Ini jejak Troll. Mereka sering digunakan pasukan musuh sebagai penjaga.”

Kael merasakan bulu kuduknya meremang. “Kita harus lebih berhati-hati.”

Dengan setiap langkah, ketegangan semakin terasa. Mereka tahu, pertempuran berikutnya mungkin lebih dekat dari yang mereka kira.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!