NovelToon NovelToon

Istri Shalihah Athalla

ISTALLA SATU

"Tak ape lah telat sikit, yang penting usah laju-laju bawak motornye, Khadijah!"

"Iye, Mah. Kejap je!"

Keseharian Khadijah menggunakan bahasa Melayu. Gadis keturunan Jawa Tengah yang sudah menetap di Kalimantan Barat sedari generasi neneknya menjadi transmigran.

Khadijah Khalifah, gadis yang satu minggu lagi melangsungkan pernikahan. Dengan lengkungan senyum manis di bibir, ia keluar bersama motor matic berwarna putih.

Sebelumnya, Inayyatus Sharifa menelepon, Adik perempuan Khadijah tersebut sudah tiba di perempatan jalan arah menuju desa. Dan sebagai Kakak satu-satunya, Khadijah yang menjemput kedatangan sang adik.

Sempat Mamah menolak mengizinkannya keluar rumah menjelang hari pernikahan, tapi, Khadijah lebih khawatir dengan kondisi Nayya dari pada ketakutan pada mitos pamali.

Khadijah yakin, di pukul delapan malam begini, sudah tidak ada angkutan umum yang mau mengantarkan Nayya hingga desanya.

Bapak juga masih ada pekerjaan di kebun sawit juragan. Mau tak mau, Khadijah yang harus keluar menjemput Nayya, lagi pula Mamah tidak bisa mengendarai motor.

Ah, rasanya tidak enak meminta tolong pada tetangga. Sedari dulu keluarga Khadijah cukup dikucilkan karena kemiskinan yang seolah-olah sudah melekat pada mereka.

Rumah papan dengan lantai panggung, itu pun rumah warisan turun temurun. Satu motor yang Khadijah punya, hasil kredit selama tiga tahun dari hasil kerja sawit Bapaknya.

Memang hanya kesederhanaan yang melingkupi hari-hari Khadijah di provinsi Kalimantan Barat ini. Desa kecil dengan jalan aspal yang sudah mulai banyak lubang.

"Hayys ... gelapnya jalanan. Lampu jalan di sini sering sekali mati. Tapi, nggak ada yang berinisiatif mengganti."

Khadijah merutuk, bukan apa-apa, masalahnya lampu motor matic Khadijah sudah korslet. Sebentar hidup sebentar mati, Khadijah harus sering-sering menampar spidometer demi menyalakannya lagi.

Keluar dari gang, Khadijah menembus jalan yang lebih lebar. Di sisi-sisi jalan, terjajar rapi pohon-pohon nan rindang.

Suara motor bukan satu-satunya yang terdengar, angin kencang juga berdesir menggoyang daun-daun di pucuk-pucuk sana.

"Ya Allah. Bismillahi tawakkaltu alallah."

Brumm!!

Bak kalimat pepatah, usai gelap maka terbitlah terang, setelah jalanan tak berlampu, di depan sana muncul cahaya lampu tembak bersama derum motor membelah sunyi.

Tin-tin!! BRAK!!

Kejadiannya sangat cepat. Dalam ingatan Khadijah, ia dan motornya terlempar jauh oleh hantaman keras si pemilik lampu tembak.

"Aaaa!!"

"Mamaaah!"

Di reriuhan teriakan seseorang, Khadijah sempat berguling, terseret, tercampak hingga berakhir di semak belukar.

Sayangnya Khadijah tak mampu bangkit dari tempatnya saat ini. Sakit di sekujur tubuh yang Khadijah rasa, seakan-akan itulah akhir dari hidupnya.

"ATHALLA!!"

Suara terakhir yang bisa Khadijah dengar sebelum gelap menyertai. Tak ada yang Khadijah ingat selama seharian penuh, hingga tidur nyamannya disadarkan oleh tangisan yang cukup familiar di telinga.

"Khadijah."

Khadijah membuka mata, dari yang sempit hingga sengaja mengerjap untuk melebarkan netra hooded-nya. Lemas, raga Khadijah seperti tidak memiliki daya dan upaya.

"Yang sabar, Khadijah."

Khadijah langsung melirik pada lelaki tua itu, pria dengan postur tinggi sedikit kurus yang dia kenal sekali. "Bapak."

Bapak tersedu-sedu. Entah apa yang terjadi di sini, Khadijah tidak menemukan jawabannya bahkan setelah matanya menyisir seluruh wajah menangis yang berjajar di hadapannya.

Adiknya, Mamahnya, dan Bapaknya. Di sisi Bapak, telah duduk seorang pemuda dengan jaket jeans hitam. Di bagian inilah yang membuat Khadijah semakin tidak paham.

"Dijah di mana? Dijah kenapa? Kenapa kalian berkumpul di sini, Pak?" tanyanya.

Bapak duduk masih dengan tangisan sesenggukan. "Kamu di rumah sakit Dijah. Kamu dirawat setelah kemarin mengalami kecelakaan di persimpangan jalan."

"Iya kah?" Khadijah bahkan tak bisa menggerakkan sedikit pun badannya.

"Ehm." Pemuda tampan berkulit putih bersih dan sama sekali tidak pernah Khadijah lihat.

"Saya ... Athalla dari Jakarta. Dan maaf, saya yang menabrak kamu kemarin." Pemuda itu tampak menundukkan wajahnya.

"Tapi, Dijah baik-baik saja. Kenapa Bapak sama Mamah harus menangis?"

Khadijah mengernyit saat ibunya semakin mengeraskan tangisan. "Kemungkinan terburuknya, kaki kamu tidak bisa berjalan normal kembali, Nak."

"Apa?" Khadijah tercengang seketika. Ia terdiam untuk waktu yang cukup lama.

Awalnya perempuan itu bahkan tak mempercayai ucapan ibunya, sampai Khadijah sendiri sadar akan sesuatu, sadar bahwa kakinya tak memiliki rangsangan apa pun meski sekuat tenaga dia angkat.

Bapak terisak-isak. "Andre sudah membatalkan pernikahan kamu, Nak. Keluarga Andre tidak mau menerima gadis yang sudah dinyatakan tidak bisa berjalan."

"Apa?"

Tak ada yang lebih sakit dari pada berita ini, sungguh, Khadijah tak yakin jika Andre akan membatalkan pernikahan disaat dirinya tengah membutuhkan dukungan.

Kebetulan pria itu tiba dengan mata yang menatap lantai putih rumah sakit. Andre seperti tidak berani menatap calon istrinya.

Ibu Khadijah yang melihat keluarga calon besannya tiba. Wanita berhijab hitam itu segera keluar demi membicarakan baik-baik perihal pernikahan putri sulungnya.

Sementara Andre tampak tertunduk di ujung ranjang pasien. "Apa benar keluarga Abang mau membatalkan pernikahan kita, Bang?"

"Maafkan Abang, Dijah." Andre lirih.

"Lima hari lagi, Bang," sergah Dijah.

Andre menepuk tangan Khadijah yang masih dihiasi selang infus. "Kamu harus sembuh dulu. Baru kita bicarakan lagi."

Khadijah hancur, Khadijah pikir, Andre pria baik yang berbeda dari pria-pria lain. Sejauh ini, meski datang dari keluarga berada, Andre mau menerima wanita yang lahir dan dibesarkan dari keluarga miskin.

"Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik dulu, Pak Rasyid? Tunggu sampai Khadijah sembuh, tolong jangan batalkan."

Di luar sana, Mamah memohon-mohon pada calon besannya. Berharap, masih ada hal baik yang akan diberikan oleh mereka.

"Dewi, saya sudah mau merestui hubungan Andre dengan anak kamu saja sudah syukur, kemarin, saya sudah memberikan uang asap yang tidak sedikit. Rasa-rasanya tidak mungkin kalau satu-satunya anak laki-laki saya harus mendapatkan wanita lumpuh."

Khadijah semakin kecil sekarang.

"Bukan kami tidak mau menerima mantu lumpuh, tapi, sepertinya Andre tidak cocok disandingkan dengan putri sulungmu. Jadi, kalau kamu tidak bisa mengembalikan uang asap dari kami. Kami akan minta Nayya menggantikan Khadijah menikahi Andre."

"Nayya?" Sontak, mata lemas Khadijah menatap Nayya dan Andre secara bergantian.

Di sana, adik perempuan dan calon suaminya bahkan sudah bergandengan tangan tepat di depan ranjang pasiennya.

Nayya angkat bicara. "Dari pada Mamah sama Bapak disuruh mengembalikan uang asap yang sudah dipakai, lebih baik, izinkan Nayya sama Bang Andre menikah saja, Kak."

Sontak, Athalla mengernyit dahi kuat seolah-olah tak percaya dengan yang disaksikannya barusan. Seorang adik akan menikahi calon suami kakaknya?

"Hah???"

ISTALLA DUA

Kemarin, Khadijah akan menjemput Nayya yang baru pulang dari Jawa Tengah karena kebetulan liburan kuliah Nayya bertepatan dengan minggu-minggu pernikahannya.

Sayangnya, belum sampai di tempat tujuan, Khadijah mengalami kecelakaan. Naas sekali, Khadijah benar-benar naas setelah malam itu.

Rasa nyeri yang hebat menyeruak di bagian kaki yang patah. Beberapa area tampak bengkak memar dan mengalami deformitas.

Kaki kanan yang patah sudah diimobilisasi dengan gips. Dokter mengambil tindakan operasi pemasangan pen demi menyatukan patahan tulangnya.

Guncangan otak sempat mengakibatkan gangguan kesadaran sementara. Setelah diperiksa menyeluruh, Khadijah mendapati puluhan luka di sekujur bagian tubuhnya.

Selain di kaki kanan, pun wajah cantik di bagian kanannya mengalami goresan luka seretan aspal yang cukup serius. Dokter bilang proses regenerasi kulitnya tergantung bagaimana perawatannya nanti.

Namun, bukan perkara itu yang membuat Khadijah terpukul. Bukan!! Khadijah tidak masalah jika Allah memberikan cobaan, tapi untuk yang kali ini, entahlah, dia hancur.

Baru siuman dari koma singkat, Khadijah harus menyaksikan calon suami dan adik kandungnya bergandengan tangan. Dirinya sempat berpikir, kenapa tidak sekalian mati?

Kenapa dia harus hidup dengan kondisi kaki yang sudah tidak berfungsi? Kenapa dia harus menjadi bagian dari saksi pernikahan adik dan kekasihnya?

Tangis Khadijah pecah, Bapak Hariman dan Mamah Dewi bisa apa selain hanya sanggup ikut-ikutan menangisi putri cantik sulungnya.

Di Kalimantan Barat, tepatnya di desa yang dinaungi Khadijah, ada tradisi pemberian uang asap sebelum pernikahan. Yaitu, uang bantuan dari pihak calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita.

Uang asap yang diberikan memang tidak sedikit bagi keluarga miskin seperti keluarga Khadijah yang untuk makan sehari-harinya hanya bisa menghabiskan puluhan ribu saja di provinsi yang mayoritas pengeluarannya lebih besar dari daerah Jawa.

Pernikahan sudah satu minggu lagi. Jelas uang-uang itu sudah dipergunakan untuk memesan belanjaan jamuan para tamu, juga membeli perabotan kamar pengantin dari lemari, ranjang, sprei, dan lain-lain.

Kalau disuruh mengembalikannya, tentu saja Khadijah tak punya. Empat puluh juta bukan uang yang bisa didapatkan secara mudah oleh keluarga sederhana seperti Bapaknya.

Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan hanya menikahkan Andre dan Nayya. Di sini lah akhirnya Khadijah dituntut untuk ikhlas melepas kekasih menjadi ipar.

Meski sudah cukup berat bahkan hampir depresi dibuat oleh keadaan, tapi, hari-hari sedihnya telah dilalui bersama luka pasca operasi di kaki kanan Khadijah.

Khadijah kembali ke kediaman sederhananya, usai menjalani serangkaian perawatan di rumah sakit selama beberapa hari.

Rumah yang kemarin sempat ramai oleh pesta pernikahan Nayya dan Andre, sudah kembali sepi, kini. Ah, tinggallah Khadijah duduk di kursi roda seorang diri.

Dewi sang ibunda tengah mengambil cucian yang akan dicuci dengan tangan. Dewi memang hanya buruh cuci di rumah-rumah komplek desa sebelah.

Dari pada hidup menganggur, hasilnya lumayan juga untuk belanja kebutuhan sehari-hari sambil menunggu uang bayaran kerja sawit Bapak Hariman yang tidak pasti akhir-akhir ini.

Sebelumnya, Khadijah yang membantu Dewi mencuci pakaian pelanggan. Tapi, sejak kaki Khadijah menjalani perawatan, hampir tak ada yang bisa Khadijah lakukan di rumah.

"Ih, Abang jangan iseng ih."

Khadijah menoleh ke arah pintu, di mana Nayya dan Andre baru saja tiba. Ada kresek putih yang ditenteng adiknya, tampak juga buah-buahan segar dibawa di tangan satunya.

Senyum Andre dan Nayya mendadak redup seketika Khadijah tampak. Khadijah diam saja, sampai Nayya berjalan masuk ke dalam kamar pengantin yang seharusnya ditempati oleh Khadijah.

Andre meletakkan sebungkus makanan di kresek merah. "Mie ayam untuk mu, Dijah."

Khadijah hanya diam hingga Andre menyusul Nayya masuk kamar. Sungguh, pemandangan ini cukup meremukan kepingan hati Khadijah.

Baginya, tak ada yang lebih menyakitkan dari pada tawa cekikikan Andre dan Nayya yang terdengar gamblang dari dalam sana. Dari sini saja sudah jelas bahwa Andre begitu bahagia di pelukan hangat seorang Nayya.

"Ahh, pelan-pelan, Abang!!" Teriakan tiba-tiba setelah sebelumnya hening. "Ssst!!"

Ada derit yang terdengar dari dalam, bahkan rumah kayunya mengalami getaran. Dan Khadijah semakin dibuat nista oleh keadaan.

Khadijah ingin keluar dari sana, tak mau ia mendengar lebih jauh lagi suara-suara itu, sayangnya kursi roda yang dipakainya tidak bisa bergerak begitu saja di rumah dengan jenis papan panggung seperti rumahnya.

"Ehm, assalamualaikum."

Ketukan pintu mengalihkan atensi, di sana pemuda asing yang lagi-lagi datang untuk membetulkan kembali motornya datang.

"Waalikumsalam."

Kurang lebih, Khadijah menyalahkan pemuda berjaket bomber tersebut. Warga kota metropolitan yang bahkan tak bisa mengendarai motor dengan baik di jalanan Kalimantan.

Sampai hari ini, Khadijah masih tak mau bicara padanya, nama pemuda itu, Athalla katanya, Bapak bilang Athalla datang dari Jakarta untuk mengikuti KKN di desa sebelah.

Setelah semua pertanggung jawaban yang dilakukan mahasiswa semester enam itu, keluarga Khadijah sepakat untuk mengambil jalan kekeluargaan dan berdamai.

"Awh, Abang!!"

Athalla sempat terpaku mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar. Bagaimana tidak, rumah ini rumah dengan desain kayu panggung, yang jika dia berjalan saja akan ada efek getaran.

Apa lagi, di dalam sana sepasang pengantin baru tengah adu nikmat. Athalla semakin iba pada perempuan yang sebelah kanan wajahnya masih dibalut beberapa perban.

Athalla yakin Khadijah tidak hanya cemburu, tapi juga hancur. Makanya, tanpa izin lebih dulu, pemuda itu berinisiatif masuk bahkan langsung mengangkat Khadijah tiba-tiba.

Khadijah terbelalak, ini kali pertama dirinya digendong seorang pria, dan sialnya pria itu bukanlah suaminya. "Jangan kurang ajar kamu!!"

ISTALLA TIGA

Kedatangan Athalla ke tempat Khadijah hanya untuk memenuhi janjinya. Athalla sempat bilang pada Hariman, bahwasanya dia akan bertanggung jawab penuh atas Khadijah.

Termasuk menemani Khadijah saat Khadijah dirawat di rumah sakit kemarin. Sekarang, Khadijah sudah boleh pulang.

Satu minggu sekali, Khadijah diwajibkan datang ke rumah sakit untuk menjalani perawatan lanjutan secara berkala. Sambil menunggu ada jadwal chek up, Athalla akan betulkan motor matic Khadijah yang rusak.

Sebenarnya bukan rusak, lebih tepatnya sudah hancur bahkan bengkok pelek-pelek depan belakang. Maka dari itu, Athalla perlu waktu yang cukup untuk mengembalikan motor matic Khadijah kembali utuh.

Sudah pernah Athalla menawarkan motor besarnya untuk ganti rugi. Tapi, keluarga Khadijah menolak, mengingat pemuda itu hanya mahasiswa KKN yang sudah bisa dipastikan jika pemuda itu hanya mahasiswa yang masih meminta uang kuliah pada orang tua.

Membiayai kuliah tidak murah, Khadijah saja harus mengalah untuk tidak melanjutkan kuliah demi supaya Nayya adiknya bisa lanjut kuliah di universitas Jogjakarta. Maka, Hariman selaku orang tua korban, tidak ingin memberatkan pelaku yang bahkan sudah bersedia tidak lari dari tanggung jawabnya.

Hariman justru amat sangat berterima kasih kepada tanggung jawab Athalla. Entah apa yang terjadi jika malam itu Athalla pergi meninggalkan Khadijah begitu saja.

Nyatanya jalanan di desa ini selalu sepi di malam hari, sebenarnya bisa saja Athalla kabur tanpa ada yang mencurigai.

Athalla hanya orang asing di sini, malam itu Khadijah bukan hanya terlempar ke semak belukar, tapi rawa-rawa penuh ranting berduri.

Athalla yang saat itu juga terhempas dari motor, ia segera berlari menceburkan diri ke rawa demi menolong Khadijah. Mungkin Khadijah sendiri tidak menyadari, tapi cukup sulit Khadijah dievakuasi malam itu.

Satu temannya ikut membantu. Athalla juga langsung menelepon sepupu yang kebetulan ikut balap liar. Dengan ponsel pintar Athalla mengirim lokasi keberadaannya, tak ada lima belas menit Lucky tiba bersama ambulan.

Khadijah yang memang sudah koma, bergegas dibawa ke rumah sakit. Dan setelah indentitas korban diketahui, barulah keluarga Khadijah dihubungi.

Sampai hari ini, Athalla masih bolak-balik ke rumah papan panggung sederhana milik keluarga Khadijah. Bahkan, sudah tidak dianggap tamu asing bagi Hariman dan Dewi.

"Jangan kurang ajar kamu!!"

Meski dipukuli pundaknya, Athalla tetap membawa Khadijah keluar dari rumah. Tak peduli jika setelah ini mereka akan dipergoki warga, paling banter hukumannya dinikahkan.

Tak ada yang menakutkan dari pernikahan, bagi Athalla menikah itu ibadah yang terenak di sepanjang ibadah yang pernah dia lakukan.

"Kita akan jatuh ke kolong rumah kamu kalau kamu masih nggak mau diam, Khadijah!"

Sontak, Khadijah meraih kerah jaket pemuda itu, lalu diam sampai Athalla menuruni satu persatu anak tangga teras kayu yang bisanya memang cukup licin oleh hujan. Di saat yang sama, Athalla terkekeh bersama senyuman.

"Bagus diam kalau masih takut sakit. Kalau sudah sakit hati, setidaknya nggak bonyok."

Khadijah tak merespon apa pun sampai Athalla mendudukkannya di gazebo kayu dengan desain panggung, berjarak sekitar lima meter dari rumah utama.

Lingkungan di sekitar sini cukup asri, pedesaan, hijau, ada suara deburan ombak juga yang terdengar dari kejauhan, di sisi kiri rumah, area pesawahan milik warga.

Kokok ayam, kuwek bebek, cicit burung di pohon hingga lenguhan sapi di rerumputan nun jauh, pun ikut terdengar seolah angin kencang memang sengaja menyiarkan-nya.

"Maaf kalau terkesan kurang ajar. Tapi dari pada kamu di dalam terus denger ranjang berderit, mendingan nongkrong di sini kan sambil nemenin aku benerin motor kamu."

Walau, Khadijah tak suka dengan pemuda berisik asal kota ini, tapi, kali ini Khadijah setuju dengan usulannya. Dia memang perlu keluar dari pada mendengar desah adiknya.

Athalla mulai berjongkok di depan motor matic Khadijah. Tatapannya masih ditujukan pada gadis pendiam berhijab coklat susu.

"Tenang, motor kamu pasti bisa jalan lagi."

Khadijah tak pedulikan itu, sekarang meski motornya kembali bagus, dia tidak bisa lagi berkendara seperti sebelumnya. Dia sudah lumpuh, dan napas yang dihela hanya syarat sambil menunggu ajal tiba.

Masa depannya tergadai, kini. Tak ada yang bisa Khadijah lakukan setelah kecelakaan kemarin, dan jahatnya lagi, Khadijah masih menganggap jika semua naasnya disebabkan oleh pemuda kota ini.

"Banyak juga stock air di mata kamu." Athalla menegur karena barusan, Khadijah menyeka setitik ayar di sudut netranya.

Athalla kembali bangkit, kemudian meraih sapu tangan dari saku jaketnya. Dia ulurkan kain merah itu pada Khadijah yang membisu.

Wanita itu tak menolak, tidak pula menepis, hanya diam bergeming. "Mau aku yang sapu mata kamu, atau kamu sendiri?" tawarnya.

Segera, Khadijah mengambil sapu tangan itu secara impulsif sebelum pemuda itu lancang menyeka air matanya.

Lihatlah, bagaimana Khadijah tak memiliki sedikit pun daya dan upaya, meski dia ingin berlari sejauh mungkin dari semua orang.

Athalla hening, matanya lekat seolah tengah menjaga keberadaan gadis itu, sementara Khadijah berlanjut membasahi sapu tangan merah di tangannya dengan banyak air mata.

Athalla paham. Keadaan memang seolah tidak adil untuk Khadijah. Maka itu alasan kenapa Athalla masih berada di desa ini.

Athalla sengaja tak pulang lagi ke Jakarta bahkan setelah sukses memenangkan tantangan balap liar dari taman di malam yang sama ketika Athalla menabrak Khadijah.

Athalla ingin bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Kalau bisa, segala kerugian Khadijah akan dia ganti seluruhnya.

"Khadijah. Menurut kamu ... bagusnya, besok, apa malam ini kita nikahnya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!