Hujan mengguyur bumi dengan deras, membasahi jalanan dan membuat suasana kota terasa dingin. Di dalam minimarket yang ramai, para pengunjung berteduh dari hujan, mencari kehangatan di antara tumpukan barang dan minuman. Sementara Karin, dan Cakra duduk berdampingan di sebuah meja yang ada di pelataran minimarket, menikmati secup kopi instan yang masih mengepul. Aroma kopi yang menyengat sedikit meredakan rasa dingin yang tengah menyelimuti tubuh keduanya.
"Sepertinya kita harus menunda pernikahan kita, Rin," ujar Cakra tiba-tiba dengan suara yang terdengar berat.
Karin terkejut, tangan yang hendak kembali meraih cup kopi terhenti di tengah jalan. Kopi yang sedari tadi sudah dia minum, kini terasa begitu pahit di tenggorokannya.
"Apa maksudmu, Mas?" tanya Karin dengan nada suara yang mulai gemetar.
Cakra meraih punggung tangan Karin, dan berusaha menenangkan. "Kamu dengar dulu penjelasan Mas, ya. Mas punya alasan kenapa ngomong seperti ini."
Karin menelan ludah, dan degup jantungnya mulai berdebar kencang. "Apa alasannya Mas? Bukannya ibu, dan bapakmu sudah memberi kita restu?"
Cakra menghela napas dengan berat, matanya tampak sendu saat menatap sang kekasih. "Sebenarnya ... Mas sudah ditipu sama teman, Rin. Semua tabungan untuk biaya pernikahan kita raib. Diambil teman Mas yang penipu itu."
Seketika rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam diri Karin. Mimpi indah yang sudah terukir jelas dalam benak, tiba-tiba terasa rapuh dan tak menentu. Bahkan rencananya hari ini Karin juga akan menemui wedding organizer, dan membayar uang muka rumah. Namun, ternyata semua tak berjalan sesuai dengan harapannya.
"Kok bisa sih Mas?" tanya Karin.
"Kok bisa kamu ditipu? Dan bisa-bisanya kamu kepikiran pakai tabungan kita? Padahal pernikahan kita itu sudah didepan mata!" Karin bertanya lagi dengan nada suara yang lebih tinggi.
Melihat Karin marah, Cakra sontak menyodorkan air mineral miliknya ke hadapan Karin. "Minum dulu, Rin. Kamu tenang dulu ya."
Karin menolak tawaran Cakra dengan kesal. "Kok bisa kamu ditipu? Temanmu itu kan orang yang kamu kenal baik. Kenapa kamu bisa percaya begitu aja, sih?"
Cakra menunduk dengan wajah yang tampak lesu. "Mas minta maaf Rin, tadinya Mas hanya ingin membuat uang kita semakin banyak. Teman Mas bilang bisnisnya itu bisa untung tiga kali lipat dalam sebulan ... makanya Mas tergiur untuk investasi di bisnisnya itu."
Karin tak bisa berkata apa-apa, dan dia tak mengerti jalan pikiran Cakra saat itu. Bisa-bisanya laki-laki 30 tahun itu tergiur penipuan seperti itu. Mana ada bisnis yang menghasilkan keuntungan berkali lipat dalam waktu singkat. Setahunya Cakra bukan orang yang mudah dibodohi.
"Mas minta maaf Rin ... tolong maafin Mas," ucap Cakra lirih.
"Mas tau kan kita ngumpulin uang itu butuh waktu bertahun-tahun. Ibu sama Bapakmu enggak merestui kita, kalau kita enggak bisa menggelar pesta hajatan, dan punya rumah sendiri sebelum menikah," kata Karin, suaranya begitu bergetar menahan emosi.
"Harusnya Mas itu ngomong dulu sama aku sebelum ngambil keputusan bodoh itu!"
Cakra menggeser kursinya lalu merangkul bahu perempuan berambut panjang itu. "Maafin Mas Rin ... Mas udah ceroboh banget, tapi beneran Mas enggak bermaksud bikin kamu kecewa."
Karin menepis tangan Cakra. "Lepas Mas! Enggak usah peluk-peluk aku segala. Kita ini lagi ditempat umum."
Cakra menjauh, dia menunduk lalu tiba-tiba memukuli kepalanya sendiri. "Bodoh! Mas bener-bener bodoh, Rin! Mas bodoh karena tergiur janji penipu itu!"
"Mas berhenti!" Karin merasa tidak nyaman dengan tingkah Cakra.
Cakra mengabaikan perkataan Karin, dan terus saja memukuli kepalanya, serta dadanya. "Biarin Rin! Mas harusnya mati aja. Mas udah bikin kamu kecewa Rin."
Karin menahan tangan Cakra. Perempuan berkemeja maroon itu menghentikan kelakuan Cakra karena orang-orang mulai memandang ke arah mereka. "Mas ini ngapain sih kayak gitu? Malu tau diliatin banyak orang!"
Cakra masih tertunduk. "Mas pantas Mati, Rin. Mas udah bikin kamu kecewa."
Karin melihat air mata di sela pelupuk kekasihnya, dan dia merasa Cakra sungguh menyesali perbuatannya.
"Mas sudahlah ... aku enggak kecewa atau marah kok sama kamu. Aku tahu kamu juga pasti enggak mau semua ini kejadian." Karin mencoba ikhlas, dan berusaha menenangkan Cakra.
"Beneran kamu enggak marah sama Mas?" tanya Cakra, masih dengan nada sedih.
Karin mengangguk. "Iya Mas, aku enggak marah kok. Kamu jangan bilang mati-mati kayak gitu ya. Lagipula setelah kupikir-pikir kita bisa..."
"Kita bisa menunda dulu kan? Kamu setuju kan kalau kita menunda lagi setahun?" Potong Cakra sebelum Karin menuntaskan ucapannya.
Karin terdiam, matanya menatap Cakra penuh selidik. Dia merasa aneh dengan nada bicara Cakra yang tetiba berubah menjadi lebih bersemangat, dan wajahnya juga tampak lebih cerah. Karin bahkan tak sempat mengutarakan idenya tentang menyelenggarakan pernikahan sederhana saja di KUA.
Karin mengangguk pelan, dan tak mampu berkata apapun lagi. Sementara laki-laki yang mengenakan jaket varsity itu mulai menegakkan posisi duduknya. Dia terlihat baik-baik saja kini, dan sesekali tersenyum sendiri, membuat Karin jadi curiga. Namun perempuan itu berusaha menepis kecurigaannya. Dia tak mau berburuk sangka kepada kekasihnya sendiri.
Karin memilih larut dalam kebisuan, hingga tak terasa hujan pun mulai mereda.
"Hujannya sudah reda Rin. Sekarang Mas antar kamu pulang ya. Mas mau jelasin semuanya sama ibu kamu," ujar Cakra.
Karin menggeleng sambil menahan tangan Cakra yang akan menempelkan helm di kepalanya. "Aku pulang sendiri aja Mas, kita jelasin sama ibuku nanti aja."
Karin tak bisa membayangkan bagaimana reaksi ibunya, dan adiknya kalau mendengar penundaan pernikahannya. Ibunya ingin segera menimang cucu. Sementara adiknya ingin Karin segera menikah, agar bisa segera melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya.
"Baiklah kalau menurut kamu baiknya begitu," jawab Cakra.
Karin sebenarnya masih ingin mengutarakan idenya tentang menikah sederhana, tapi melihat sikap Cakra membuat Karin ragu untuk mengucapkannya.
"Ya udah Mas duluan ya, takut keburu hujannya turun lagi," pamit Cakra sambil mengelus pucuk kepala Karin.
"Hati-hati dijalan Mas, kalau sudah sampai kabari aku," kata Karin.
"Iya kamu juga," jawab Cakra.
Cakra menaiki motor maticnya lalu meninggalkan Karin, dan Karin pun memutuskan memesan sebuah taksi online karena takut hujan akan turun kembali.
"Taksinya dekat, kayaknya sebentar lagi datang," gumam Karin.
Karin berlari ke pinggir jalan, lalu menunggu taksi online yang dipesannya. Tak lama sebuah mobil berwarna hitam yang bertipe sama dengan yang dia pesan berhenti tepat di hadapannya. Tanpa melihat plat nomornya Karin masuk begitu saja ke dalam mobil tersebut.
"Halo Pak," sapa Karin.
"Eh!" Sang supir tampak terkejut saat melihat Karin masuk. Dia bahkan menatap Karin cukup lama.
"Tujuannya sesuai aplikasi ya Pak," kata Karin sambil berusaha tersenyum pada supir itu.
Supir itu terdiam, lalu menatap Karin dari balik spion. "Tujuannya kemana ya Mbak?"
"Tujuannya kan sudah tertera di aplikasi Pak," jawab Karin.
"Bisa sebutin aja enggak Mbak. Kebetulan aplikasi saya lagi error."
Tak ingin ambil pusing Karin pun menyebutkan alamatnya, lalu supir itu mulai melajukan mobilnya ke arah rumah Karin.
Tak sengaja Karin mengamati penampilan sopir yang mengemudi, dan dia baru sadar kalau penampilannya sedikit berbeda dengan driver yang biasanya dia temui. Penampilannya terlalu rapi untuk seorang supir online. Baru kali ini Karin melihat supir memakai jas dan kemeja. Atau mungkinkah supir ini baru selesai mendatangi pesta pernikahan?
Karin menggelengkan kepala, berhenti memikirkan hal yang menurutnya tak penting itu. Karena saat ini yang lebih penting adalah memikirkan nasib sedih yang tengah menimpanya. Lalu sontak dia teringat kalau dia seharusnya juga memberi tahu pembatalan pernikahan ke pihak wedding organizer.
"Pak kita ubah tujuannya, saya enggak jadi pulang," kata Karin cepat.
Supir itu menghela nafasnya. "Baik, jadi kita mau kemana mbak?"
"Kita ke Valencia Wedding Organizer yang di jalan lumbung," jawab Karin.
Sopir itu mengerenyitkan keningnya mendengar nama tersebut, lalu tak lama mengangguk.
Mobil pun berputar arah ke tempat wedding organizer. Dalam perjalanan hujan kembali turun. Karin terus memandang keluar jendela. Perasaannya terasa semakin galau karena hujan yang turun juga alunan musik patah hati tahun 2000-an dari pemilik mobil.
Karin terus memandang keluar jendela, hingga tak sengaja saat terjebak kemacetan di depan sebuah cafe, dia melihat sesuatu kendaraan yang tak asing terparkir di sana.
"Itu kan motor..." gumam Karin.
Takut salah mengenali, Karin pun mengelap kaca di sampingnya agar pandangannya lebih jelas, dan matanya semakin terbelalak saat melihat ke sebuah meja yang ada di pelataran cafe. Sebuah pemandangan yang tak bisa dia percaya.
"Pak berhenti. Saya mau turun disini!" teriak Karin spontan.
Karin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Mungkin saja itu hanya halusinasinya saja atau orang yang dilihatnya hanya sekedar mirip.
"Pak tolong buka pintunya!" kata Karin pada supir.
Supir itu mengangguk, lalu membukakan kunci mobil.
"Makasih ya Pak, ongkosnya udah saya bayar via e-wallet," ucap Karin tergesa.
"Iya mbak," jawab supir berjas itu.
Karin keluar dari mobil dengan terburu-buru, lalu berlari menerobos hujan ke arah pelataran cafe. Dengan keadaan basah kuyup dia mendekat ke arah sejoli yang sedang duduk berhadapan di sebuah meja, dan berpegangan tangan dengan mesra. Karin sangat berharap mereka bukanlah orang yang dia kenal.
"Kamu suka cincinnya kan?" tanya laki-laki yang suaranya tak asing lagi di telinga Karin
"Ih, aku suka banget Mas. Ini bagus banget, pasti harganya juga mahal kan Mas," jawab perempuan berambut pendek di hadapan laki-laki itu dengan manja.
"Iya itu berlian asli loh sayang, tapi kamu enggak usah permasalahkan soal harganya. Kan Mas mu ini banyak uang," ujar laki-laki yang tak lain adalah Cakra, calon suami Karin.
"Mas juga sudah siapin rumah bagus buat kita tinggali setelah menikah nanti loh," tambah Cakra sambil membelai rambut perempuan itu.
Karin terpaku saat mendengar, dan melihat percakapan keduanya. Hatinya sesak dan remuk. Dia benar-benar tak menyangka ternyata dibelakangnya Cakra berani menduakan cintaku, dan mengobral janji manisnya ke perempuan lain. Padahal beberapa waktu yang lalu laki-laki yang bekerja di kantor kelurahan itu menangis di hadapannya, dan mengatakan bahwa dirinya pantas mati karena sudah membuatnya kecewa.
Karin tak bisa tinggal diam, dan membuat Cakra merasa menang karena sudah membodohinya.
"Mas Cakra!" Karin meneriakkan nama Cakra dengan keras.
Cakra dan perempuan itu sontak menoleh, dan mereka sama-sama terkejut melihat kehadiran Karin.
"Ka-karin ... kamu kok bisa disini?" tanya Cakra sambil berdiri dari tempat duduknya, suaranya terdengar begitu gugup.
Karin mendekat ke arahnya. Dia berusaha tegar walau tangannya mulai gemetar. "Aku yang seharusnya tanya sama kamu Mas. Kenapa kamu bisa ada disini? Kamu lagi selingkuh ya sama perempuan ini?"
Mata Karin menatap tajam ke arah perempuan itu. Namun, perempuan itu tampak tak takut, dan malah balik menatap tak suka pada Karin.
"Dia siapa Mas?" tanyanya sambil bergelayut di lengan Cakra.
"Di-dia ...." Cakra tergagap, tak mampu menjawab pertanyaan Karin, atau perempuan selingkuhannya.
"Aku Karin calon istrinya Mas Cakra," ucap Karin dengan lantang.
Karin pikir dengan mengaku perempuan itu akan terkejut, merasa malu, dan kesal karena sudah ditipu oleh Cakra. Namun tak disangka perempuan itu malah tersenyum simpul lalu membulatkan mulutnya.
"Oh, jadi kamu yang namanya Karin. Calon istri Mas Cakra yang payah itu," jawabnya dengan nada mengejek.
"Kenalin aku Nadia pacar barunya Mas Cakra." tambahnya sambil mengulurkan tangannya dengan tak tahu malu.
Karin sontak menampik uluran tangan itu dan meluapkan amarahnya. "Bisa-bisanya kamu jadi pacar Mas Cakra padahal kamu tahu kalau Mas Cakra sudah punya calon istri? Dan maksud kamu barusan apa? Kenapa berani menyebut aku calon istri yang payah?"
Bukannya menyahut, Nadia malah menggerakan mulutnya dengan tak jelas seolah mencibir Karin. Karin lantas beralih menatap Cakra yang setengah menunduk.
"Kenapa kamu tega khianati aku seperti ini, Mas?Dan kamu udah cerita apa aja soal aku sama dia Mas? Kenapa dia menyebut aku calon istri yang payah?"
"Jawab aku Mas!" teriak Karin sambil mengguncang lengan Cakra.
"Lepasin! Bukan Mas Cakra yang cerita, tapi Ibunya Mas Cakra yang cerita sama aku ... katanya dia enggak suka sama kamu, soalnya kamu itu payah sebagai wanita. Enggak bisa bersih-bersih dan masak," jawab Nadia sambil mendorong Karin menjauh dari sosok Cakra.
"Apa! Jadi Ibu kamu juga udah kenal sama perempuan gatal ini, Mas?"
"Jangan bilang ibu kamu juga yang menjodohkan kamu dengan perempuan gatal ini?" tanya Karin sambil menahan sakit di hatinya.
"Karin!" Cakra sontak membentak Karin.
"Berhenti sebut Nadia seperti itu! Ibu dan Nadia benar kamu itu hanya perempuan payah!" Cakra mulai berani bersuara. Laki-laki berkulit putih itu tampaknya tak suka Karin memaki selingkuhannya.
"Kamu harus tahu Nadia itu lebih bisa merawat dirinya. Dia juga pandai merawat rumah dan membuat makanan enak. Enggak seperti kamu yang cuma tau bekerja dan cari uang!" tambah Cakra sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Karin.
Karin lantas mengamati Nadia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Nadia memang sangat seksi dengan hotpants dan kaos ketat yang membuat kedua gunungnya semakin terlihat besar. Juga wajahnya yang putih dan glowing seperti orang korea. Sedangkan dirinya ... selama ini dia memang jarang memperhatikan penampilannya, karena dirinya terlalu sibuk mencari uang untuk ibu dan adiknya, dan juga menabung untuk pernikahannya dengan Cakra.
Karin kira selama ini Cakra tak keberatan dengan kekurangan yang dimilikinya. Namun, ternyata Karin salah menilai Cakra. Laki-laki itu ternyata pandai berbohong, dan menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Jangan-jangan soal penipuan yang dibicarakannya beberapa saat lalu itu juga bohong? Batin Karin.
"Jangan bilang soal penipuan itu cuma alasan kamu saja ya, Mas? Sedari awal kamu memang berniat membatalkan pernikahan kita kan?" Suara Karin mulai bergetar menahan air mata.
Cakra mengangguk. "Iya benar! Penipuan itu hanya alasanku saja. Aku sebenarnya enggak tega ngasih tau kebenarannya sama kamu."
"Cuma karena sudah terlanjur ketahuan aku akan memperjelas semuanya sekarang. Aku enggak akan menikahi kamu Karin! Aku akan menikahi Nadia. Perempuan yang lebih baik segalanya dari kamu!" jawab Cakra lantang sambil merangkul bahu Nadia.
Karin mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan sakit, tangis, dan amarah yang akan meledak.
"Kamu udah dengar kan apa kata Mas Cakra. Jadi mending sekarang kamu pergi dari sini," ujar Nadia merasa menang dari Karin.
"Dasar perempuan enggak tahu malu, perebut calon suami orang lain," desis Karin penuh amarah.
Bukannya paham, Nadia malah terkekeh mendengarnya. "Heh aku tuh enggak merebut Mas Cakra ya dari kamu. Ibunya Mas Cakra sendiri yang ngenalin aku sama Mas Cakra."
Karin kembali menatap Cakra. Dia tahu dari awal ibunya Cakra tak suka dengannya, dan mengajukan begitu banyak syarat pada dirinya. Namun, Karin bertahan karena perasaannya yang tulus kepada Cakra, dan dia berpikir Cakra juga berperasaan yang sama dengannya.
"Kamu harusnya bisa menolak keinginan ibu kamu Mas. Kamu harusnya ikuti kata hati kamu," ucap Karin lirih.
"Sudahlah Rin! Hubungan kita udah selesai. Aku enggak mau menjalani sebuah hubungan yang tak direstui oleh Ibu," jawab Cakra sambil membuang muka.
Saat membuang muka tak sengaja Karin melihat air mata di sudut mata sang mantan kekasih. Karin jadi bingung apakah hati Cakra benar-benar sudah berpaling darinya? Atau dia hanya terpaksa menuruti kemauan ibunya.
"Dengar kan apa jawaban Mas Cakra. Mending sekarang kamu pergi dari sini!" Nadia mulai mendorong tubuh Karin kembali.
"Urusan kamu sama Mas Cakra itu sudah selesai!" Dia terus mendorong dada Karin.
Mendengar ucapan Nadia, Karin jadi teringat akan sesuatu hal.
"Aku enggak akan pergi dari sini!" Karin pun berteriak sambil menolak dorongan dari Nadia.
"Aku enggak akan pergi sebelum kamu balikin uangku Mas! Kamu harus ingat kalau sebagian dari tabungan pernikahan kita itu adalah uangku Mas!" teriak Karin.
Jika memang Cakra sudah tak punya perasaan padanya tak apa, tapi Karin tak rela laki-laki itu mengambil hasil kerja keras yang susah payah dia simpan selama bertahun-tahun.
"Kembalikan uangku Mas!" Karin berteriak sambil menunjuk hidung laki-laki buaya darat itu.
Karin tak peduli dengan tatapan dan bisik-bisik para pengunjung yang mengarah ke arahnya. Bahkan dia tak peduli jika ada yang merekam pertikaian yang terjadi.
"Iya nanti aku kembalikan, lagian uang kamu itu hanya 20% dari tabungan. Itu kebanyakannya milikku Rin!" jawab Cakra dengan nada meremehkan.
"Iya tetap saja kembalikan uangnya! Aku enggak ikhlas kamu mengambil uang milikku, dan memakainya untuk perempuan jalang ini!" Karin memaki Nadia. Amarahnya meledak tak terbendung.
"Karin!" bentak Cakra tak terima, tangannya terangkat hendak menampar Karin.
Namun, sebuah tangan dengan sigap menahan tangan itu ... dan ternyata yang menahan tangan Cakra adalah supir online yang tadi mengantar Karin.
"Tolong jangan pakai kekerasan sama perempuan," ujar supir itu sambil menghempaskan tangan Cakra.
"Kamu siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" bentak Cakra.
Supir itu tak menjawab pertanyaan Cakra. Dia malah memandan Karin. Matanya menatap Karin yang terlihat basah dan menyedihkan. Lalu tak diduga dia tiba-tiba mengandeng tangan Karin begitu saja.
"Ayo kita pergi dari sini. Enggak ada gunanya kamu habisin tenaga buat laki-laki buaya macam ini," ucapnya membuat Karin melongo.
"Buaya? Kurang ajar banget kamu ngatain aku buaya!" bentak Cakra sambil berusaha menahan lengan supir berjas itu.
Namun, supir itu menendang tulang kering Mas Cakra hingga membuat Cakra terjungkal, dan mengaduh kesakitan.
"Awww .... kurang ajar kamu! Berhenti kamu!" teriak Cakra.
Supir itu tak peduli dengan teriakan Cakra. Dia terus menggandeng tangan Karin, dan menarik perempuan itu menjauh dari area tersebut. Dia menuntun Karin ke arah mobilnya yang sudah terparkir di bahu jalan.
"Ayo masuk," katanya.
"Enggak usah Pak, saya enggak mau merepotkan Bapak. Saya --"
Ucapan Karin terhenti karena tiba-tiba kedua tangan laki-laki itu memegang bahunya, dan matanya menatap Karina dengan hangat, membuat Karin terhenyak.
"Ayo masuk, hujannya makin deras ... saya enggak mau kamu jatuh sakit."
"Kenapa? Kenapa anda peduli sama saya?" Karin terpaku, tak mengerti kenapa laki-laki di hadapannya berkata dan bersikap seperti itu pada dirinya.
"Ah, bukan begitu maksud saya. Saya enggak mau kita berdua sakit dan kena flu. Kamu lihat kan baju saya juga sudah basah kuyup sekarang?" Laki-laki itu segera mengoreksi ucapannya, dan wajahnya tampak memerah.
Mata Karin tertuju ke arah laki-laki itu. Jas mewah yang dikenakannya basah kuyup, seperti hatinya yang terendam duka. Menyadari hal itu Karina pun mengangguk lemah, dan menurut masuk ke mobil, dan duduk di tempat yang dia duduki sebelumnya.
"Ini punya kamu kan? Tadi saya lihat itu tergeletak disana. Makanya saya susul kamu ke kafe barusan," kata laki-laki itu sambil menyodorkan ponsel milik Karin.
Karin terhenyak, dia baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal. "Ah, iya ini ponsel saya, terima kasih ya Pak."
"Iya sama-sama ... panggil saja saya Tara, atau Mas Tara. Kayaknya umur saya tidak beda jauh dari kamu," jawab laki-laki bernama Tara tersebut.
Karin mengangguk, dan mengamati wajah Tara melalui spion. Wajah Tara memang terlalu muda untuk dipanggil bapak oleh Karin. Dan dia juga terlalu tampan untuk menjadi supir online. Potongan rambutnya yang mirip oppa Korea membuatnya tampak lebih mirip seperti seorang aktor.
"Oh iya Mas, bisa turunkan saya didepan situ saja. Takutnya ada orderan dari pelanggan lain yang masuk," ucap Karin.
"Tenang saja aplikasinya sedang error. Jadi takan ada orderan yang masuk," jawab Tara dengan senyum tipis yang menghiasi bibirnya.
"Baiklah kalau begitu anggap saya menyewa offline saja. Tolong antar ke alamat rumah saya ya Mas." Karina berharap bisa segera pulang, dan menenangkan dirinya.
"Baik Karin," jawab Tara.
Seketika Karin terkesiap mendengar Tara memanggil namanya.
"Bagaimana dia bisa tahu namaku?" batin Karin.
"Ah, dia pasti tahu namaku karena Mas Cakra sempat meneriakkan namaku," batin Karin sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Karin kembali menatap wajah Tara dari balik spion, dan tak sengaja mata keduanya bertemu, dan Tara tersenyum lagi. Senyum yang sedikit bisa menenangkan hati Karin.
Kedua mata itu terus saling berpandangan melalui kaca, hingga Karin ingat kalau dirinya belum mengucapkan terima kasih, karena Tara sudah repot-repot mau menyelamatkannya dari tamparan Cakra.
"Oh iya Mas, terima kasih ya sudah menolong saya tadi ketika di cafe. Kalau Mas enggak ada mungkin saya sudah kena tampar laki-laki itu."
Tara mengangguk. "Iya sama-sama Karin ... saya hanya enggak suka melihat seorang perempuan dikasari oleh laki-laki."
"Sekarang kamu sudah--," ucapannya terhenti karena dering ponsel yang berbunyi.
Dia menepikan mobilnya lalu meminta izin mengangkat telepon.
"Halo, kenapa?" tanyanya pada seseorang di balik telepon.
Karin tak bisa mendengar percakapan orang di balik telepon, tapi dia bisa melihat raut wajah Tara berubah drastis.
"Iya sebentar lagi aku nyampe kok disitu," jawabnya.
Tara menutup teleponnya, lalu menoleh ke arah Karin. "Sepertinya saya enggak bisa nganterin kamu sampai rumah deh, Rin."
"Oh yaudah enggak apa-apa saya turun disini saja," sahut Karin.
Karin merogoh uang di dompetnya, lalu mengulurkan ke arah Tara. "Ini buat ongkosnya Mas."
Tara menolak halus. "Kamu enggak usah bayar Karin."
Dia menolak uang dari Karin, dan malah mengulurkan sebuah paperbag ke arah Karin. "Di depan sana ada pom bensin, sebaiknya kamu ganti baju dulu biar tidak terkena flu."
"Ini buat saya? Ini kelihatannya mahal loh Mas?" tanya Karin, saat melihat sebuah kemeja dan rok cantik dalam paperbag pemberian Tara.
"Enggak apa-apa, mungkin itu baju memang rejekinya kamu," jawab Tara.
Karin tak mengerti dengan ucapan Tara, tapi dia merasa terharu dengan apa yang dilakukan Tara kepadanya.
"Terima kasih, kalau ketemu lagi saya akan membalas semua kebaikanmu Mas," kata Karin.
Tara mengangguk, lalu Karin pun turun dari mobil hitam itu. Sesuai sarannya Tara, dia pergi ke toilet pom bensin terdekat, lalu mengganti baju disana. Karin semakin terkejut saat melihat label yang terdapat di baju pemberian Tara.
"Ya ampun seumur-umur baru sekarang aku bisa beli baju bermerk asli, biasanya aku cuma bisa beli baju biasa via online."
Karin berdiri di depan cermin toilet pom bensin, mengamati dirinya yang kini mengenakan kemeja cantik berwarna biru muda, dan rok pendek hitam.
"Wah, bajunya pas banget dipake buat kerja nih." Karin kembali tersenyum.
"Ngomong-ngomong dia beli setelan ini buat siapa ya? Kok malah sukarela gitu dikasih ke aku?" Karin merasa heran dan penasaran.
Tak ingin berpikir rumit, Karin pun menggeleng pelan, mencoba menepis rasa penasaran di kepalanya. "Ah, sudahlah seperti Mas Tara bilang mungkin ini memang sudah rejekiku. Lebih baik sekarang aku pesan taksi online yang lain."
Karin membuka ponselnya, lalu seketika jantungnya berdebar kencang. Layar ponselnya menampilkan notifikasi panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak dia kenal. "Ini siapa yang nelpon ya? Ada apa ya?"
Matanya tertuju pada pesan yang tertera di layar. Seketika tubuhnya menegang membaca pesan tersebut. "Ya ampun jadi ternyata Mas Tara bukan supir online yang aku pesan. Pantas aku kok ngerasa heran dengan penampilannya dari tadi."
Karin menghela napas, rasa malu dan bingung bercampur aduk. "Tapi kenapa dia enggak bilang apa-apa dari tadi? Malah manut-manut aja pas aku minta antar."
Karin memukul kepalanya berulang kali, dan dia merasa sangat bodoh. "Ya ampun kok bisa salah sangka gini sih? Semoga aku enggak ketemu dia lagi."
Karin terus bergumam berharap tak akan bertemu dengan Tara lagi. Rasa malu begitu menyergap perasaannya. Dia sudah salah menyangka Tara sebagai supir taksi online. Namun, di balik rasa malu itu, terbersit sedikit rasa lega. Pertemuan singkat dengan Tara, walau diwarnai kesalahpahaman, mengurangi sedikit beban kesedihan yang Karin rasakan.
..................
Keesokan harinya, mentari pagi menyapa kediaman Karin dengan hangat. Ibu sudah tampak sibuk di dapur untuk menghidangkan sarapan.
"Rin, gimana pertemuan kamu sama tim WO? Lancar kan? Sudah bayar semua biaya dan uang muka rumah kan?" tanya Bu Puspa saat melihat Karin masuk ke dapur.
Karin menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. Dia belum siap memberitahu kenyataannya, dan terpaksa dia memilih berbohong.
"Iya sudah Bu ... semua lancar kok," jawab Karin berusaha agar suaranya terdengar tenang.
Widuri, adik Karin yang sedang duduk di meja makan, mengangkat wajahnya. "Baguslah kalau Mbak Karin sudah menikah, aku jadi bisa langsung menjalankan pernikahanku dengan Mas Bagas."
"Iya kalau kamu mau nikah sekarang-sekarang juga enggak apa-apa kok," ucap Karin berusaha untuk bersikap biasa.
"Serius nih Mbak?" tanya Widuri dengan mata berbinar.
"Iya Mbak serius, takutnya kalau nunggu Mbak kelamaan," jawab Karin mencari alasan. "Pernikahan Mbak masih beberapa bulan lagi."
"Boleh ya Bu aku nikah duluan? Lagian aku sama Mas Bagas cuma mau nikah sederhana. Kita mau buka usaha dan nyicil rumah Bu," ujar Widuri penuh semangat.
"Enggak boleh, pamali. Kamu enggak boleh melangkahi Mbak-mu Wi," jawab Ibu Puspa tegas sambil menggeleng. "Sabarlah cuma menunggu berapa bulan kok."
"Lah Mbak Karin juga enggak keberatan kok aku nikah duluan," ujar Widuri pelan mencoba membujuk Ibu Puspa.
Ibu Puspa mengangkat sendok panci di tangannya, membuat Widuri terdiam. Karin jadi merasa bersalah kepada keduanya. Dia tak tahu bagaimana reaksi keduanya jika tahu pernikahannya telah batal, dan bagaimana jika keduanya juga tahu kenyataan bahwa Cakra sudah mengkhianatinya.
Ibu Puspa menatap Karin yang sedari tadi berdiri di dekat meja makan. "Kamu kenapa melamun begitu Rin? Apa kamu lagi ada masalah?"
Karin menggeleng lalu segera duduk di kursi. "Enggak ada apa-apa kok Bu. Semua baik-baik aja."
"Syukurlah kalau semua baik. Nanti siang kamu antar Ibu belanja ya. Ada pesanan katering buat besok sore," ujar Ibu Puspa sambil menghidangkan makanan di meja.
"Baik Bu," jawab Karin.
Sesuai permintaan Ibu Puspa saat sarapan, Karin pun pergi menemani sang ibu berbelanja ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Namun, sebelum ke pasar, tiba-tiba Ibu Puspa mengajak Karin singgah ke sebuah butik. Karin melihat banyak gaun pengantin modern terpajang di sana. Melihat gaun-gaun cantik itu membuat mata Karin berkaca-kaca, dan hatinya kembali merasa sedih.
"Kita mau apa kesini Bu?" tanya Karin mulai merasa tak enak hati.
"Baju pengantin disini bagus Rin. Kamu pasti cocok pakai yang model seperti itu pas resepsi nanti," jawab Ibu Puspa dengan mata yang berbinar penuh harap.
"Ah, itu ...." Karin terdiam, menelan ludah. Rasa bersalah dan takut bercampur aduk di dadanya. Diantak ingin melihat gaun-gaun pengantin itu. Dia tak ingin membayangkan hari bahagia yang tak akan pernah terwujud.
"Ayo kita masuk!" ajak Ibu Puspa menarik tangan Karin dengan penuh semangat.
"Enggak usah Bu, soal gaun pengantin sudah diurus tim WO kok Bu," jawab Karin berusaha menghindar.
"Oh begitu ya?" Ibu Puspa terlihat sedikit kecewa.
"Iya, lebih baik kita sekarang segera pergi belanja Bu. Takut bahan makanannya keburu habis," kata Karin mencari alasan.
Karin mencoba mengalihkan perhatian ibunya. Dia menggandeng tangan ibunya, lalu mengajaknya beranjak dari depan toko tersebut, tapi tiba-tiba langkah sang ibu terhenti.
"Rin yang didalam itu bukannya Cakra ya?" tanya Ibu Puspa, matanya tertuju ke arah butik.
"Mas Cakra?" Dada Karin bergetar mendengar nama itu disebut.
"Iya itu Cakra dan Ibunya Rin. Mereka juga sepertinya lagi memilih baju pengantin. Kita samperin mereka ya," ujar Ibu Puspa bersemangat sambil berjalan ke arah pintu butik.
"Enggak! Ibu enggak boleh ketemu mereka!" batin Karin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!