Gadis itu bernama Kalista Aldara,dia biasa dipanggil dengan nama Kalista.Gadis yang sedikit tomboy dan senang bela diri sejak usianya masih belia.Karena ia terlalu fokus dengan kesenangannya itu,ia tumbuh menjadi gadis yang sedikit dingin.Kalista tak banyak bicara dengan orang lain,bukan karena tak suka bersosialisasi,tapi ia hanya tidak bisa memulai pendekatan terlebih dahulu.Tapi jika sudah menjadi teman dan dekat,Kalista merupakan gadis yang ceria dan baik.
Saat usianya masih lima tahun,Kalista mulai tertarik dengan bela diri.Ia meminta orang tuanya untuk memasukkannya kedalam klub bela diri dan sejak saat itu bela diri menjadi kesenangannya.
Saat memasuki sekolah dasar, Kalista merasa terasing. Bukan karena teman-temannya menjauhinya, melainkan karena kesibukannya dengan belajar beladiri dan akademik di sekolah. Hal ini membuatnya jarang memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Namun, sesekali ia masih menyapa mereka dengan hangat di lorong-lorong sekolah.
Suatu hari, kehidupan Kalista berubah ketika ia terlibat dalam perkelahian dengan seorang teman laki-laki. Melindungi diri sendiri dari serangan, ia membuat anak itu berdarah di hidungnya. Kejadian ini membuat murid-murid lain semakin menjauh dan membuat Kalista menjadi terkenal akan keganasannya. Akibat peristiwa tersebut, Kalista dihukum dan diskors selama tiga hari. Dalam hatinya, ia bingung. Ia hanya berusaha melindungi diri sendiri, dan tetap saja dipojokkan. Pemuda yang melukainya itu yang seharusnya mendapatkan hukuman.
Namun, Kalista melalui hari-hari sekolah dasarnya tanpa teman. Kepribadiannya yang semula hangat dan terbuka, kini berubah menjadi lebih dingin dan tertutup. Meskipun demikian, ia tetap fokus pada belajar dan bela diri. Baginya, kesepian bukanlah hal yang menyakitkan; namun, meninggalkan impian menjadi kuat dan cerdas, itu yang lebih tak terbayangkan.
Setelah berhasil lulus Sekolah Dasar, Kalista melanjutkan pendidikannya di salah satu Sekolah Menengah Pertama yang cukup terkenal di daerahnya. Berbekal prestasi bela diri, ia berhasil menggapai impian masuk ke sekolah tersebut. Namun, ketika masa orientasi dimulai dan hampir semua siswa bersemangat mencari teman baru, Kalista tetap berada dalam dunia imajinasinya dengan ditemani komik kesayangannya. Di saat anak-anak lain sibuk bertegur sapa dan memperkenalkan diri, Kalista tenggelam dalam setiap adegan yang tersaji dalam komiknya.
"Halo, gue Tasya," sapa salah satu teman sekelas yang hendak mengenal Kalista lebih dekat.
Kalista menoleh, komiknya ia singkirkan sejenak. Ia menatap Tasya yang mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. "Kalista," jawab Kalista ringkas, kemudian menjabat tangan Tasya dengan ragu-ragu, sebelum kembali membenamkan diri ke dalam komiknya.
Bisa ia dengar helaan nafas dari gadis itu,ia mengintip sebentar ke arah gadis bernama Tasya itu,dia sudah pergi dan kini tengah berkenalan dengan seseorang yang duduk di depannya.
____
Satu tahun kemudian..
Peraturan di sekolahnya,setiap tahun murid-murid yang naik kelas akan di rolling dengan kelas lain,jadi ada kemungkinan ia masih satu kelas dengan teman kelasnya yang dulu dan sebagian lagi adalah teman kelas dari kelas lain.
Seminggu pertama menginjak tahun kedua sekolah menengah pertama,Kalista belum memiliki teman.Yang ia kenal di kelasnya hanya beberapa,itupun karena mereka sempat satu kelas dengannya,salah satu dari mereka adalah Tasya,gadis cantik yang dulu memperkenalkan diri padanya.
Kalista memperhatikan sekitarnya,ia melihat teman-temannya sekarang tidak membaur seluruhnya seperti saat kelas satu,ia melihat mereka cenderung berkelompok dan ya hanya ia satu-satunya yang tidak masuk kedalam kelompok-kelompok itu.
Lagi,Tasya datang menghampirinya dan mengajaknya untuk bergabung dengan circle pertemanannya,ia sedikit memiringkan kepalanya ketika Tasya menunjukkan siapa saja yang menjadi teman-temannya.Kalista menghela napasnya,dari cara mereka menatapnya dan berpakaian saja,ia sudah tau teman-teman Tasya itu adalah gadis-gadis cerewet yang suka berbicara mengenai cowok-cowok tampan di sekolahnya.
Kalista bergidik sendiri,ia membayangkan jika ia masuk kedalam circle itu.
"Gak Sya,gue sendiri aja di sini,"tolak Kalista dengan halus,meski ia tak se-akrab itu dengan Tasya,tapi hubungan pertemanan mereka cukup baik.Karena ketika kelas sebelumnya,mereka sering berada di kelompok yang sama.
Tasya menghela napas lalu mengangguk."Yaudah gue ke sana ya,kalau Lo butuh temen bisa panggil gue,"ujar Tasya.
Kalista mengangguk,setelah itu Tasya kembali kepada teman-temannya.
____
Satu tahun kemudian...
Di tahun terakhirnya di SMP, Kalista dan Tasya akhirnya kembali bersatu di kelas yang sama, dan kali ini, Tasya lebih sering menghabiskan waktu bersama Kalista. Para teman Kalista di kelas sebelumnya kini berpencar di kelas-kelas lain, meninggalkannya merasa terisolasi dan sendirian. Situasi makin suram karena rekan-rekan barunya di kelas justru didominasi oleh siswa individualis dan ambisius, terlihat dari cara mereka yang lebih memilih menyendiri dan terfokus pada urusan pribadi daripada berinteraksi dengan orang lain.
Sementara itu, Tasya, gadis yang selalu ceria dan bersemangat itu, sama sekali tak cocok dengan lingkungan kelas yang penuh pening dan hening.
"Kal, pas istirahat nanti, anterin gue ke kantin ya," pinta Tasya, yang kini menjadi satu-satunya teman dekat Kalista di kelas itu.
"Kantin? Gue kan jarang ke sana, Sya," jawab Kalista dengan ragu. Mendengar jawaban itu, Tasya cemberut seketika.
"Yah, terus gue ke sana sama siapa? Lo liat kan, gak ada yang gue kenal di sini, mereka juga kayaknya pendiam banget, jadi gue bingung mau ajak siapa selain lo," keluh Tasya sambil merengek, wajahnya nampak murung.
Kalista menghela napasnya."Yaudah,tapi gue cuma nganter Lo beli makanan aja ya,kita makan di sini atau di taman aja.Gue gak suka rame-rame soalnya."
Tasya mengangguk senang."Oke,makasih,"ujar Tasya dan di angguki oleh Tasya.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba seorang laki-laki menghampiri mereka dan duduk di bangku depan mereka yang kosong.
"Halo,emm kenalin gue Alvaro,dua hari di kelas yang sama gue belum sempat kenalan sama kalian,"ujarnya sambil mengulurkan tangan kepada mereka.
Kalista menatap laki-laki bernama Alvaro itu,selama dua tahun lebih bersekolah di sini,ini pertama kalinya Kalista diajak kenalan oleh seorang laki-laki.
Tak jauh berbeda dengan Dara,Tasya juga menatap laki-laki di depannya ini dengan tatapan kagum.Bagaimana tidak, laki-laki di depan mereka ini memang tampan dan manis,apalagi saat melihat dia tersenyum sehingga terlihat lesung pipinya.Sangat manis bukan.
"Gue Tasya,ini temen gue namanya Kalista,"ujar Tasya langsung menjabat tangan laki-laki itu.
"Salam kenal Tasya,"ujar Alvaro dengan ramah.
Laki-laki itu melepaskan tangannya dari Tasya dan mengulurkan tangannya pada Kalista.Gadis itu nampak ragu,lalu sedetik kemudian ia menjabat tangan laki-laki itu.
"Kalista,"ujarnya singkat lalu kembali menarik tangannya.
"Istirahat nanti ke kantin bareng ya,gue mau lebih kenal sama kalian, soalnya ajak yang lain mereka sibuk sendiri sama urusannya,gue jadi gada temen ngobrol,"ujar Alvaro.
Dengan semangat Tasya mengangguk."Boleh."
Kalista mendelik ke arah Tasya, apa-apaan dia?
"Yaudah berarti nanti Lo ke kantin,temenin sama dia aja,"ujar Kalista pada Tasya
"Sama Lo juga,Kal."
"Engga,kalian berdua aja,"ujar Kalista menolak.
"Engga, pokonya harus sama Lo,"ujar Tasya sedikit memaksa.
Kalista menghela napas pasrah,meski ia bersikap dingin tapi sebenarnya ia orang yang tidak enakan."Yaudah."
Tasya tersenyum senang lalu memeluk Kalista.Harus Kalista akui,berteman dengan Tasya memang cukup melelahkan, gadis itu juga sedikit menyebalkan,tapi Tasya cukup baik padanya.
Alvaro yang melihat interaksi keduanya tersenyum simpul.
Hari demi hari, Kalista merasakan perubahan dalam hidupnya. Ia tak lagi sendirian di sekolah, berkat Tasya dan Alvaro, teman-teman barunya yang menyemarakkan kehidupannya. Sejak perkenalan tak terduga itu, ketiganya menjadi akrab dan tak pernah terpisahkan. Untuk pertama kalinya, Kalista merasa begitu nyaman dan bahagia bersama mereka, bagaikan menemukan oasis di tengah padang pasir kesendirian yang selama ini dihampirinya.
Tasya, meski sering kali membuat Kalista tertawa geli dan jengkel sekaligus, ternyata memiliki hati yang tulus dan hangat. Sementara Alvaro, pemuda ambisius yang ternyata tak se-egois rekan-rekannya, memberikan semangat baru dalam perjuangan Kalista. Berbeda dengan Tasya yang selalu riang dan gesit, Alvaro lebih cenderung tenang namun selalu menyenangkan untuk diajak berbicara. Meski demikian, kesamaan karakter mereka justru menjadi kekuatan yang menyatukan ketiganya.
Kalista menguncir asal rambut sebahunya menggunakan jepit,ia juga menggulung sedikit lengan kemeja seragamnya.
"Gerah banget,Sya.Lo gak panas apa rambutnya di gerai gitu?",tanya Kalista pada Tasya yang sedang asyik berkaca diri di cermin kecil yang selalu gadis itu bawa.
Gadis mengangguk kecil."Gerah dikit, lagipula aku udah biasa di gerai jadi gak gak terlalu beras panas,"jawab Tasya.
Kalista mengangguk, tangannya perlahan melonggarkan dasi yang terlilit di kerah bajunya. Sementara itu, Tasya hanya menggelengkan kepalanya, tersenyum sinis melihat kelakuan sahabatnya yang seperti laki-laki itu. Kalista bersandar pada meja, merasa gerah dan mengipasi dirinya dengan buku tulis yang ia pegang.
Saat ini seharusnya mereka tengah berada di tengah jam pelajaran, tetapi sudah lebih dari sepuluh menit guru yang seharusnya mengajar belum muncul. Kalau di kelas sebelumnya, saat-saat seperti ini biasanya digunakan oleh sebagian besar teman sekelas mereka untuk berhamburan ke kantin atau sekedar mengobrol. Namun hari ini, kebanyakan dari mereka masih duduk dengan tenang, fokus pada kegiatan masing-masing.
Dari sudut kelas, tampak sosok Alvaro yang tengah asyik dengan ponselnya. Sesekali, laki-laki itu menoleh ke belakang, melirik Kalista dan Tasya yang sedang berbicara. Gerah dengan suhu ruangan yang panas, Kalista tidak tahan lagi dan memutuskan untuk berdiri. Ia berniat pergi ke kantor guru, hendak bertanya apakah guru yang seharusnya mengajar hari ini hadir atau tidak.
"Mau kemana?",tanya Tasya ketika melihat temannya itu berdiri.
"Ke kantor,mau nanya Bu Meli sekarang masuk atau enggak,"jawabnya.
"Oh,yaudah gue di sini aja ya,"ujar Tasya.
Kalista mengangguk,ia lalu melangkah menuju keluar kelas.Alvaro menatap tubuh Kalista yang sudah menghilang di balik pintu,ia penasaran mau kemana gadis itu? Ia akhirnya ikut berdiri dan menyusul gadis itu.
"Kalista!",panggil Alvaro.
Kalista yang sudah berjalan cukup jauh dari kelas berhenti,lalu menoleh ke belakang,ia mengerutkan alisnya ketika Alvaro memanggilnya.Laki-laki itu berjalan tergesa menghampiri gadis itu.
"Mau kemana?",tanyanya.
"Kantor,kenapa?",tanya Kalista.
"Oh, gue kira mau kemana,yaudah gue anter deh tanggung juga udah keluar kelas,"ujar Alvaro.
Kalista mengangguk,mereka pun berjalan beriringan menuju kantor guru.Sepanjang koridor menuju kantor mereka hanya diam,tak ada yang berbicara.Keduanya shanya fokus menatap objek di depannya.
"Lo mau ikut masuk atau tunggu di sini?",tanya Kalista pada Alvaro.
Alvaro memiringkan kepalanya sedikit mengintip ke dalam kantor."Gue di sini aja deh,Lo yang kedalam sendirian,gak apa-apa kan?"
Kalista mengangguk,gadis itu lalu masuk ke dalam dan menanyakan keberadaan gurunya.Setelah selesai,ia segera keluar dari kantor.
"Gimana?",tanya Alvaro melihat Kalista yang baru saja keluar dari kantor.
"Bu Meli gak masuk,katanya anaknya sakit.Kita di suruh belajar mandiri aja katanya,"ujar Kalista.
Alvaro tersenyum senang, akhirnya ada jam kosong jadi ia bisa sedikit bersantai hati ini.Keduanya lalu kembali ke kelas dan akan memberikan informasi yang ia dapat pada teman-teman kelasnya.
"Al,Lo aja deh yang bilang ke anak kelas kalau Bu Meli gak masuk hari ini,"ujar Kalista.
Al melirik sebentar ke arah gadis itu "Kenapa gak Lo aja? Lo udah beberapa bulan tapi gak pernah kenalan sama teman-teman yang lain."
Kalista berdecak."Gue males,yaudah kalau Lo gak mau,gue suruh Tasya aja,"ujar gadis itu.
Mendengar nada bicara Kalista yang terkesan dingin membuatnya sedikit merasa panik,takut jika gadis itu marah."Eh,iya gue aja yang bilang,"ujarnya.
Kalista menaikkan sebelah alisnya."Yakin?",tanya ya dan diangguki oleh Alvaro.
Sampai di kelas Alvaro berdiri di depan kelas untuk memberitahu informasi mengenai guru mereka yang tak hadir,sedangkan Kalista langsung duduk di bangkunya.
"Bu Meli masuk gak?",tanya Tasya ketika Kalista baru saya duduk.
"Engga,"jawabnya.
"Yess!! Akhirnya ada jam kosong,mumet gue belajar mulu,"ujar Tasya bahagia.
"Gak usah sekolah kalau gak mau belajar,"sindir Kalista.
Tasya mengerutkan bibirnya."Ya gak gitu juga,ke kantin yuk mumpung jam kosong,"ajaknya.
Kalista menggelengkan kepalanya."Gak ah,nanggung abis jam ini selesai juga istirahat kok."
"Hem,bener juga.Tapi gue bosen,Kal."
"Ke perpustakaan aja yuk,Lo bisa tidur di sana,"usul Kalista.
Tasya tersenyum sumringah,ia mengangguk dengan semangat, menyetujui usulan Kalista."Boleh tuh,ajak Alvaro juga sekalian ya."
"Hmm,"Guman Kalista.
Keduanya lalu berdiri dan berjalan menuju ke luar kelas.
"Al,mau ikut ke perpustakaan gak?",tanya Tasya pada Alvaro yang sedang fokus pada ponselnya.
Laki-laki itu mendongak ke arah Tasya."Ikut dong,bosen gue di sini."
"Yaudah ayok,"ajak Tasya.
Ketiganya lalu keluar kelas dan berjalan menuju ke perpustakaan yang letaknya berada di sudut sekolah.Cukup jauh dari letaknya dari kelas Kalista.
"Lo suka baca buku,Al?",tanya Tasya pada Alvaro.
"Lumayan,kenapa?"
"Engga,cuma nanya aja.Lo suka buku apa?"
"Emmh, gue lebih suka komik si,novel juga gue suka tapi yang genre horor.Kalau romance gak terlalu suka."
"Kenapa? Padahal seru tau,kalau aja cowok yang ada di novel-novel bisa jadi nyata,udah gue gebet,"ujar Tasya.
Alvaro mendengar itu hanya terkekeh."Novel kan kebanyakan fiksi,kalau Lo mau cowok kayak di novel sampai kapanpun juga gak akan nemu,Sya."
Tasya menganggukkan kepalanya."Bener juga."
Tatapan Alvaro lalu tertuju pada Kalista yang sedari tadi hanya diam."Lo Kal,suka baca buku?",tanya Alvaro membuka pembicaraan pada Kalista.
"Suka,"jawab gadis itu.
"Lo suka buku apa?",tanya Tasya.
"Apa aja si,asal menurut gue menarik pasti gue baca."
"Termasuk buku pelajaran?",tanya Alvaro.
Kalista terdiam sebentar lalu mengangguk."Ya,kalau memang menarik ya gue baca,kenapa?"
Alvaro menggeleng."Pantes aja Lo pinter,liat penampilan Lo yang seperti ini,orang gak akan nyangka kalau Lo kutu buku."
Kalista menatap Alvaro sebentar."Penampilan seseorang gak selalu mencerminkan segalanya.Yang berpenampilan kayak preman aja belum tentu dia preman.Sama kaya Lo,liat wajah Lo orang-orang pasti akan ngiranya Lo cowok cool dan pendiem,nyatanya sebaliknya kan?",ujar Kalista.
Alvaro mengatupkan bibirnya,Kalista ini jarang sekali berbicara panjang lebar.Tapi jika sudah berbicara selalu selalu sesuai fakta dan jelas,tanpa memikirkan apakah yang ia ucapkan bisa menyinggung lawan bicaranya atau tidak.Makanya jika orang yang tidak paham dengan sikap gadis itu,mungkin orang itu akan langsung tersinggung jika mendengar ucapan Kalista.
Setelah berada di perpustakaan,mereka bertiga masuk.Saat masuk suasana perpustakaan begitu sepi,mungkin hanya ada beberapa orang di sana.
Tasya melangkah penuh semangat menuju rak buku dan mengambil sebuah buku tanpa berpikir panjang. Tak lama, ia kembali ke meja baca yang terletak di sudut ruangan, tempat di mana ia akan bersembunyi dan tidur di sana.
Kalista mengamati gerak-gerik temannya yang cantik itu dan menggelengkan kepala, merasa yakin bahwa Tasya hanya akan tidur di sana. Sesuai dugaan, Tasya duduk di meja, menempelkan kepalanya pada buku itu sebagai bantal, dan menutupi wajahnya dengan buku lain. Di sudut ruangan itu, ia berhasil menyembunyikan kelelahannya, bersembunyi di balik jajaran rak buku.
Sementara itu, Kalista memilih berkeliling ruangan, mencari buku yang menarik hatinya. Ia berjalan pelan, menelusuri setiap judul dan menggenggam buku-buku yang menggugah rasa ingin tahunya.
Tak jauh dari Kalista, Alvaro juga melakukan hal serupa. Mata mereka terbuka lebar, berharap menemukan sebuah karya yang akan menambah wawasan dan membuat waktu yang mereka habiskan di perpustakaan ini menjadi tak terlupakan. Dalam suasana yang penuh keingintahuan ini, hati mereka merasa lebih hidup dan lebih terhubung dengan dunia pengetahuan..
Keduanya bergegas ke rak buku yang berbeda. Kalista mengambil salah satu buku dari rak, lalu menyelam dalam tulisan di lembar demi lembar kertasnya. Setelah beberapa halaman, ia menghela napas pelan dan meletakkan buku itu kembali ke tempatnya, kehilangan minat pada cerita yang menurutnya kurang memikat.
Ia melangkah menuju rak lain, menelisik buku-buku yang berjejer, membaca sejenak lalu kembali memasukkannya. Hal itu ia lakukan berulang kali. Di saat mata Kalista terhenti pada rak dengan label "kumpulan novel", ia tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
Ternyata, perpustakaan sekolah ini lebih lengkap dari yang diperkirakannya. Meskipun koleksi novel tak sebanyak buku-buku lainnya, tetapi tetap mengesankan. Ia tak sering mengunjungi perpustakaan, terkendala oleh jarak dan keengganan untuk bertemu banyak orang. Matanya terpaku pada sebuah novel yang terpajang di rak paling atas. Dengan sedikit berjinjit, ia meraih novel itu—seolah di antara sekian banyak buku, hanya novel itu yang layak mendapatkan perhatian penuh dari Kalista.
"Ini gue yang pendek atau raknya yang tinggi sih?" gerutu Kalista, frustrasi karena kesulitan meraih novel yang ingin ia baca.
Pandangannya berkeliling, mencari bangku kecil yang biasa digunakan untuk mengambil buku yang terletak di rak paling atas. Matanya segera menemukan bangku yang dicarinya di rak sebelah, ia berjalan dan membawanya ke rak tempat novel itu berada.
Dengan hati-hati, Kalista naik ke bangku yang tingginya hanya sekitar tiga puluh sentimeter. Setelah menjangkau, ia menggenggam erat novel impian itu dan perlahan turun dari bangku. Namun nasib malang menimpanya, ia tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri dan kehilangan keseimbangan. Seiring detik-detik menjelang tubuhnya terhempas ke lantai, Kalista memejamkan matanya, membayangkan rasa sakit yang akan ia rasakan saat menghantam permukaan keras.
Kalista menutup rapat matanya, merasa tubuhnya seolah-olah melayang. Namun, seketika itu ia membuka matanya lebar-lebar ketika menyadari bahwa Alvaro lah yang menopang tubuhnya. Waktu seakan-akan terhenti, dengan tatapan takjub Kalista memandang wajah Alvaro yang begitu dekat dengannya.
Dia terpaksa mengakui betapa tampannya laki-laki ini dari jarak seintim ini. Mata cokelat Alvaro yang menarik itu membuat detak jantung Kalista semakin memburu. Apakah mungkin ada sesuatu yang salah? Bisik hatinya, takut bahwa jantungnya terganggu secara tiba-tiba.
"Kal, bangun! Tangan gue udah mulai pegel nih," gumam Alvaro dengan wajah yang mulai merah.
Kalista terkejut dan buru-buru melepaskan diri dari genggaman Alvaro, turun dari kursi. "Maaf," katanya dengan wajah yang memerah karena malu.
Alvaro hanya tertawa ringan, "Ternyata lo berat juga ya."
Memang, satu hal yang lupa Kalista ceritakan tentang Alvaro: dia adalah tipe laki-laki yang bicaranya selalu terus terang. Tanpa menyaring perkataannya terlebih dahulu, laki-laki itu hanya mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Entah apa kata-katanya akan menyinggung perasaan orang lain atau tidak, ia hanya ingin jujur.
"Biarin," ujar Kalista dengan dingin, lalu memalingkan wajahnya, berniat meninggalkan laki-laki itu. Namun, Alvaro segera menahan pergelangan tangan Kalista, mencegah langkahnya.
"Jangan ngambek, gue cuma ngomong, nggak bermaksud menyinggung Lo," ujar Alvaro, mencoba meyakinkan.
Mata Kalista menyipit, tatapan tajamnya menembus Alvaro. "Siapa yang ngambek? Gue cuma mau duduk dan baca buku ini," ujarnya tegas sambil mengangkat novel yang ia pegang.
Merasa kalah, Alvaro akhirnya melepaskan genggaman tangannya. "Oh." Suasana menjadi canggung, dan angin seakan membawa kebekuan di antara mereka berdua.
_____
Beberapa hari berlalu sejak peristiwa di perpustakaan itu, Kalista mulai sedikit menjaga jarak dengan Alvaro. Bukan karena dia merasa marah atau jengkel, melainkan karena jantungnya kerap berdebar ketika berada di dekat pemuda itu. Ia tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?
"Kal," panggil Alvaro tiba-tiba, membuyarkan lamunan Kalista yang tengah menikmati makan siangnya.
Ia mendongak, mencoba menutupi rasa gugup yang melanda. "Kenapa?"
Namun, Alvaro tak langsung menjawab. Alih-alih, ia malah duduk di bangku Tasya yang kosong. Tasya hari ini memang tidak masuk sekolah karena ada acara keluarga, sehingga bangku di sebelah Kalista kosong dan siap diduduki.
"Gue cuma nanya, bukan nyuruh lo duduk," ujar Kalista, mencoba untuk bersikap biasa.
Alvaro tersenyum jahil, "Emang gak boleh kalau gue duduk di sini?"
"Boleh," jawab Kalista setengah enggan.
"Yaudah, gue jadi gak masalah dong duduk di sini," sahut Alvaro, merasa kemenangan kecil dalam hati.
"Iya," Kalista menyerah, lalu kembali melahap makanannya, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh debaran jantungnya yang kian kencang. Dia menahan napas, berharap kegugupan ini cepat berlalu.
Gadis itu merasa kesal, jantungnya berdebar kencang tiap kali ia berada di dekat laki-laki itu.
"Kal, beberapa hari terakhir ini, gue merasa lo agak menjauh dari gue. Apa lo masih marah soal gue yang mengomentari berat badan lo di perpustakaan beberapa hari yang lalu?" tanya Alvaro dengan rasa ingin tahu.
Kalista menoleh ke arah Alvaro lalu menggeleng, matanya menatap kosong. "Gue nggak marah, kok."
"Terus, kenapa?" desak Alvaro, masih belum puas dengan jawaban Kalista.
Kalista menghela napas, mencari kata-kata yang tepat untuk mengelak. "Gak ada, lo aja kali yang merasa kalau gue menjauh," kilahnya sambil menutup hatinya erat-erat. Tak mungkin ia mengungkapkan perasaan berdebar dalam dadanya tiap kali berdekatan dengan Alvaro.
Laki-laki itu berdecak, matanya mengerling tajam. "Enggak kok, bukan cuma perasaan gue aja . Emang, lo agak menjauh, Kal." Alvaro menghentikan langkahnya sejenak, napasnya tersengal.
"Padahal, gue senang punya teman kaya lo. Walaupun irit bicara, tapi setiap kali kita bahas sesuatu, kita selalu punya kesamaan pandangan."
Dalam diam, hati Kalista terus bergumul dengan perasaan yang tak bisa terucapkan. Ketika waktu tak terasa semakin berlalu, pertemuan mereka seakan menjadi api yang mempercepat laju jantung Kalista yang terus berdebar kencang.
Kalista mengecup bibirnya, berupaya keras untuk menyembunyikan senyum yang hendak terlukis di wajahnya akibat ucapan Alvaro. Di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, ini adalah pertama kalinya ia merasakan kebahagiaan karena pujian seorang laki-laki. Akankah tanpa sadar ia mulai jatuh hati pada pemuda di sampingnya itu?
Kalista menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran tersebut yang berkecamuk di benaknya. Suka? Tidak mungkin. Sejak kapan ia tertarik untuk mencintai seseorang? Kalista memang tetap normal; dia menikmati melihat laki-laki tampan. Namun untuk merasakan cinta di usianya yang masih remaja ini, rasanya sangat mustahil.
Selama ini, ia tidak pernah memiliki kedekatan emosional dengan laki-laki manapun, bahkan sekadar berteman pun ia tidak pernah melakukannya. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa yakin apakah perasaan yang muncul ini adalah rasa cinta atau bukan?
"Kal." Ucapan Alvaro menghentikan lamunan Kalista, membuatnya tersadar dari lamunannya
"Kenapa?"
"Nih,buat Lo.Anggap aja sebagai permintaan maaf kalau gue punya salah sama Lo.Kalau gue punya salah,bilang aja jangan ngejauh gini.Yaudah,gue keluar ya,"ujar Alvaro.
Laki-laki itu meletakkan sekotak susu rasa strawberry di mejanya.Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu juga sempat mengusap kepalanya sebentar. Kalista menatap tubuh Alvaro yang mulai menjauh, tangannya lalu memegang dadanya yang berdebar kencang.
Tuhan,kalau kaya gini terus, bisa-bisanya jantungnya copot.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!