...•Benjamin Paul•...
Hi, rasanya waktu berjalan sangat cepat. Sejak Maret aku sudah menetap di Sitka, sampai dengan sekarang sudah bulan Agustus. Sudah banyak hal yang kutemui di sini. Dari sejak aku mengetahui Joseph manusia serigala, Damian yang dulunya sama seperti Joseph kini menjadi vampir, Marella yang sekarang menjadi kekasihku. Dan terakhir kali ketika Joseph masih tidak bisa berjalan dengan normal.
Semuanya seperti angin lalu begitu saja. Tidak terasa, dan begitu cepat.
Saat ini sudah bulan agustus, dan 2 minggu lagi kami akan menghadapi ujian Fall Semester. Pagi ini aku bersekolah seperti biasa, tapi aku tidak bersama Marella. Aku berangkat bersama Joseph, karena keadaannya belum benar-benar pulih 3 bulan lalu ketika ia sudah sadar dari koma.
"Woah, kau berbeda sekali" kataku ketika melihat Joseph yang dulunya memiliki rambut keriting yang sering ia atur dengan minyak, kini ia biarkan sedikit teracak. Tapi gaya itu tetap cocok padanya.
"Menarik perhatiannya" jawab Joseph usil. Ya, dia semakin tergila-gila pada saudari kekasihku yang super dingin itu. Siapa lagi kalau bukan Esmeralda.
Aku hanya bisa tertawa kecil mendengarnya. Sejak Joseph menyelamatkan Esmeralda, mereka terlihat semakin dekat. Tapi kedekatan itu tidak terlalu mencolok. Namun tetap dapat dilihat.
Kami akhirnya berangkat menuju sekolah. "Ben, kau siap menghadapi ujian?" tanya Joseph melamun. "Belum 100%, akan sangat sulit mengalahkan peringkat paralel di sekolah" jawabku segera.
Ya, aku punya ambisi menjadi salah satu murid di peringkat teratas di sekolah, mengalahkan Gerald bersaudara. Asal kalian tahu saja, Esmeralda dan Sharon selalu berada di peringkat pertama dan kedua. Jika Esme rajin, dia menjadi juara pertama dan Sharon kedua, sebaliknya jika Sharon rajin maka Esme akan menjadi nomor dua.
Mereka memang jenius, tapi faktor lainnya adalah karena mereka mengulang SMA selama bertahun-tahun lamanya.
"Mengalahkan peringkat paralel bukanlah hal mudah, sobat. Jennifer bahkan selalu berkunjung ke perpustakaan menjelang ujian, tapi dia hanya sebatas peringkat 11 atau 12" jawab Joseph terkekeh.
"Aku akan menggantikan posisi si nomor satu dan dua sekolah kita" jawabku percaya diri
10 Agustus 2004
"Silahkan buka buku kalian, kita akan mempelajari materi baru mengenai fisika. Saya harap kalian bisa lebih rajin lagi belajar, karena kita akan menghadapi ujian semester" Bill pagi itu mengingatkan mereka untuk belajar lebih giat.
"Yes, Sir" jawab murid-murid di kelas itu. Siangnya ketika kelas selesai, mereka semua kembali ke rumah. Kali ini, Joseph tidak mempermasalahkan Marella pulang bersama mereka. "Hari ini Mia pulang ke rumah. Dia dapat libur beberapa saat, untuk belajar di rumah" ujar Joseph duduk di belakang.
"Benarkah? Ayo kita ke rumah, Josh. Aku ingin bertemu dengan Mia" ujar Marella bersemangat. "Dia pasti lelah, besok saja kita berkunjung" jawab Benjamin terkekeh.
"Baiklah" gumam Marella lesuh. Mereka akhirnya tiba di rumah keluarga Gerald, "Aku pulang" gumam Marella melangkahkan kakinya menuju teras rumah.
"Selamat datang, nak" sambut Garon. "Kau tidak bekerja?" tanya Benjamin terkejut dan keluar dari mobil seraya membantu Joseph.
"Aku memilih cuti hari ini, karena ada yang harus kubicarakan denganmu. Joseph" jawab Garon tersenyum simpul.
......................
"Canis?" gumam Joseph terheran. "Kami sudah mengetahui identitas wanita, yang saat itu mencoba membunuh ayahmu. Dan dia adalah vampir biasa namun punya koneksi kuat dengan bangsawan" jawab Garon menunjukkan sebuah foto serta beberapa data.
"Siapa yang mendapatkan datanya?" tanya Joseph terkejut. "Sharon" jawab Patrick di sana. "Tujuannya melakukan itu apa?" tanya Joseph lagi.
"Dugaan kami adalah, melenyapkan Canis satu persatu" jawab Garon tampak serius. "Mengapa mereka melakukan itu? Kami tidak mengusik mereka sama sekali" gumam Joseph terheran.
"Mereka mengetahui adanya serigala salju, dan untuk kami, serigala jenis itu sangat amat merepotkan. Kedua, mereka tahu Marella punya hubungan dengan Benjamin dan jika dia lebih dulu dibunuh justru vampir lah yang akan kerepotkan melawan Canis. Kau memberinya tanda bukan?" tanya Patrick segera.
Joseph terkejut Patrick mengetahui hal itu.
Canis, adalah suku para manusia serigala. Mereka terbagi beberapa jenis. Serigala hutan, serigala bulan purnama, dan serigala salju. Di antara ketiganya, serigala salju adalah yang terkuat dan paling merepotkan.
Mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki serigala lain. Dan serigala salju, adalah serigala yang langka. Biasanya mereka hidup di habitat yang sangat dingin.
Joseph berbeda. Dia adalah serigala salju, namun darah serigala hutan juga mengalir di dirinya. Sehingga ia yang sudah lahir dengan kelebihan, semakin kuat.
"Kau menandainya seperti apa?" tanya Garon terheran. "Aku memberinya sebuah benda, agar aku tahu bahaya apa yang datang padanya" jawab Joseph jujur.
"Jika sesuatu yang kau tandai terluka, maka kau akan kehilangan kekuatanmu bukan? Itulah alasan beberapa kali Benjamin ditargetkan para bangsawan" ujar Patrick bersandar di dinding seraya menyilangkan kedua tangannya.
"Aku jadi ngeri melihatmu, kau mengetahui banyak hal" gumam Joseph terkekeh.
"Jadi solusi permasalahan ini apa?" tanya Joseph dibuat pusing. "Cabut penandamu pada Benjamin" saran itu membuat Joseph terbelalak kaget. "Apa maksudmu?" untung Joseph punya kepribadian yang berbeda dengan Benjamin.
Ia bisa berbicara dengan kepala panas. "Akibatnya mungkin buruk. Kau tidak bisa mengetahui marabahaya apa datang pada Benjamin. Tapi mereka tidak akan tahu di mana kau berada. Penanda yang kau berikan pada Benjamin, adalah sumber mereka bisa melacak keberadaanmu" jelas Patrick.
"Aku tahu. Tapi jika aku melepas penandanya, maka aku harus menjauhinya. Dan tidak ada kemungkinan aku bisa berkomunikasi dengannya" jawaban itu membuat Garon dan Patrick saling memberikan pandangan.
"Apa yang membuatmu ragu melepas penandanya? Selain dari kau takut dia dalam bahaya" Patrick tentunya terheran.
"Keluarganya. Bukan hanya dia yang akan menerima imbasnya. Bahkan keluarganya yang berada jauh dari Sitka menerima surat aneh. Ibunya sedang mengandung seorang adik yang ia impikan. Dia sudah terlalu hancur saat perceraian orang tuanya" Joseph menunduk.
"Ayah dan ibu egois. Mereka tidak memikirkan perasaanku" ucapan itu terus terngiang diingatan Joseph.
"Kau harus mulai membiarkannya menjaga diri, Josh. Dia tidak bisa bergantung padamu. Aku tidak bermaksud meremehkan persahabatan kalian" ujar Patricia menyajikan teh padanya.
Joseph terdiam mendengarnya.
Tanpa mereka sadari, Benjamin sedari tadi mendengar percakapan itu. Patricia benar. Benjamin tidak bisa bergantung pada Joseph.
Itu hanya akan membahayakan temannya sendiri jika ia terus bergantung.
Beberapa saat. "Kau memikirkan apa?" tanya Esmeralda menghampiri Joseph yang masih duduk di sofa melamunkan hal tadi.
"Aku bingung. Bagaimana mungkin aku harus melepas penanda pada Benjamin?" gumam Joseph namun bisa didengar Esmeralda.
"Bukankah seekor anjing itu punya otak yang bisa diandalkan?" ledek Esmeralda. "Kejam sekali" gumam Joseph terkekeh.
"Mereka berkata bukan, dia tidak bisa terus bergantung padamu? Kau harus cermati, kau juga tidak bisa bergantung pada pendapat mereka" Joseph yang mendengarnya menatap Esmeralda terheran.
"Maksudmu?" gumam Joseph terheran. "Aku terkejut Patricia sedang menggunakan otaknya tadi. Aku sependapat dengan mereka. Benjamin tidak bisa bergantung padamu. Tapi apakah kau juga harus bergantung pada saran kami? Serigala punya solusi mereka masing-masing" jelas Esmeralda santai.
Joseph terdiam mendengar itu. "Jadi menurutmu aku harus bagaimana?" tanya Joseph bingung. "Terakhir kali aku memberi solusi, seseorang sampai membentakku dan mengatakan bahwa aku penakut" jawab Esmeralda. Joseph terkekeh mendengarnya.
(Semua perempuan sama saja. Kesalahan lama akan terus diingat sampai 1000 tahun lamanya)
"Kau masih kesal padanya?" tanya Joseph terkekeh. "Setiap aku melihat wajahnya, yang tertanam di otakku adalah perkataannya yang menuduh aku penakut" jawab gadis itu dingin.
Joseph tertawa kecil mendengarnya. "Kau harus segera menjelaskan, dia sudah mendengar semuanya tadi" ujar Esmeralda berbalik hendak meninggalkan Joseph.
"Benarkah?" tanya Joseph terkejut. "Sejak kapan aku berbohong?" tanya Esmeralda balik. "Jadi bagaimana cara aku berbicara dengannya?" gumam Joseph masih pusing.
"Berbicaralah dengan kepala dingin. Dia pasti mengerti" jawab Esmeralda akhirnya berlalu.
......................
"Berhati-hatilah, kabari aku jika sudah sampai" pesan Marella pada Benjamin dan Joseph yang akan segera pulang.
"Tentu saja, cantik" jawab Benjamin tersenyum seraya mengusap pelan rambut gadis itu. Setelahnya mereka saling melambai, dan mengendarai mobil meninggalkan rumah keluarga Gerald.
"Dia seperti memiliki masalah" gumam Marella menyadari sesuatu yang berbeda dari raut wajah Benjamin. Esmeralda di samping gadis itu menatap lurus, "Wajahnya memang selalu terlihat sedih" jawab Esmeralda santai.
"Kejam sekali. Tidak Patri, Josh, atau Ben.. mereka semua akan ternodai oleh deskripsi darimu" jawab Marella terkekeh.
Di sisi lain, "Josh.." panggil Benjamin ketika mereka berada di pinggir pantai. Joseph meminta agar mereka menghirup oksigen gratis di pinggir pantai yang sejuk.
"Hmm?" gumam Joseph bersandar pada mobil. Sejenak, Benjamin di sampingnya terdiam. "Lepas saja penanda itu" Joseph yang mendengarnya menatap Benjamin terkejut.
"Apa maksudmu?" gumam Joseph terkejut. "Patricia benar, aku tidak bisa bergantung padamu. Justru sekarang yang sedang dicari oleh mereka adalah dirimu. Prediksi Damian tepat" Benjamin segera menjelaskan.
"Lalu kau bagaimana?" tanya Joseph tampak khawatir. "Aku akan baik-baik saja" jawab Benjamin tersenyum meyakinkan. "Aku tidak menyepelekanmu, sobat. Kau tidak ingat saat kau koma akibat serangan mereka?" tanya Joseph. Ekspresinya sangat serius.
"Aku akan baik-baik saja, Josh" jawab Benjamin tetap tenang. Joseph terdiam mendengarnya. "Aku sudah banyak merepotkanmu" ujar Benjamin lagi.
"Baik. Aku akan melepas penanda itu" jawab Joseph tampak berat hati.
Sepulangnya mereka dari tempat itu, Joseph memasuki kamar Benjamin dan mengambil sebuah gantungan yang pernah dengan sengaja ia gantung di pintu kamar Benjamin.
Joseph memandangi alat itu. "Itu penandanya?" tanya Benjamin penasaran. "Ya, aku sengaja meletakkannya di sini sejak kau sering mengeluh tertimpa masalah" jawab Joseph terkekeh.
"Dari mana kau mendapat liontin ini? Warnanya sama seperti bulumu ketika kau menjadi anjing serigala" tanya Benjamin penasaran. "Ini kalung milik kakek" jawab Joseph tertawa kecil.
"Sungguh? Kau meminjamkan kalung kakekmu padaku? Aku terkejut" gumam Benjamin tidak menyangka hal itu. "Aku dan kakek adalah serigala yang sama jenis. Sebelum beliau meninggalkanku, aku menerima benda ini" ujar Joseph teringat kakeknya.
"Sepertinya kau punya kenangan manis dengan kakekmu" tebak Benjamin tertawa kecil. "Kakek yang mengajariku bertarung. Itulah kenapa aku berani menghadapi vampir, walaupun mereka lebih kuat dariku" jawab Joseph membalas tawa itu seraya duduk di pinggir kasur Benjamin.
"Kakekmu pasti orang yang luar biasa" gumam Benjamin tersenyum. "Apa kakimu masih sangat sakit? Kau seperti sangat tersiksa ketika berjalan" tanya Benjamin khawatir.
"Tenang saja, ini sudah tidak semenyakitkan saat aku baru sadar koma" jawab Joseph terkekeh. Ketika ia baru saja berjalan beberapa langkah, "Kau sangat tidak meyakinkan, dude" ujar Benjamin meraih Joseph yang hampir saja terjatuh. Joseph tertawa kecil.
Ia membantu Joseph turun hingga ke bawah. Bernandez masih belum kembali. "Sepertinya aku harus membantumu berjalan sampai ke rumah" ujar Benjamin mengenakan jaketnya.
"Hey, aku bisa sendiri" jawab Joseph menolak. "Jangan berlagak sok kuat, sobat. Kau harus menyadari keadaanmu yang sekarang" ujar Benjamin. Joseph menghela nafas lesuh.
Mereka mulai berjalan kembali ke rumah Joseph. "Ketika malam begini, suasana benar-benar sepi" gumam Joseph memperhatikan sekitar.
"Biasanya juga seperti ini bukan?" tanya Benjamin terkekeh. "Percepat langkah kalian dan jangan lihat ke belakang" Benjamin yang mendengar suara itu terdiam kaget.
"Josh, kau bisa jalan lebih cepat?" tanya Benjamin memastikan. "Ada apa?" tanya Joseph terheran. Benjamin yang tidak menerima jawaban, menggendong Joseph menggunakan punggung sebagai tumpuannya.
"Hey, astaga" gumam Joseph terkejut. Benjamin melangkahkan kakinya lebih cepat. "Jangan lihat ke belakang" perintah Benjamin. "Memangnya ada apa? Apa yang akan terjadi?" tanya Joseph masih mengoceh.
"Aku tidak menyangka kau bisa mengetahui aku mengikuti kalian, anak manusia" ucapan itu membuat langkah Benjamin terhenti.
"Dia akan menyerang punggung, Joseph!!" Benjamin segera berbalik. Ketika orang itu hendak menusuk, ia terpaksa menghentikannya dan mencampakkan mereka.
"Josh, kau baik-baik saja?" tanya Benjamin khawatir ketika Joseph meringis kesakitan. "Merepotkan sekali, kau sepertinya memiliki sesuatu sampai-sampai kau bisa tahu kapan aku akan menyerang" gumam seorang pria tersenyum sinis dengan perasaan kesal.
"Larilah!!" perintah Benjamin pada Joseph.
"Kau-"
"Jangan pedulikan aku, larilah!!"
Joseph menatap Benjamin terkejut, dan akhirnya ia bangkit sambil menahan sakit. Ia mencoba berlari sebisanya.
Pria itu yang melihatnya tersenyum. "Aku tidak datang sendiri, tahu" ujar pria itu meledek. Benjamin mendengarnya panik. "Tenanglah, nak. Kelompok serigala itu akan segera tiba" suara itu berhasil menenangkan Benjamin.
"Dia akan segera terbunuh, jadi kami tidak akan memiliki banyak beban" ujar pria itu lagi mulai mendekat. Ia mulai menyerang Benjamin. "Titik lemahnya berada di perut" Benjamin segera menendang perut pria itu.
"Kurang ajar" gumam pria itu kesal.
Di sisi lain, "Malang sekali nasibmu anjing. Sayangnya kau harus mengucapkan kalimat terakhir," ujar seorang pria berhasil menahan Joseph. Ia mencekik leher remaja itu.
"Matamu ini sangat berharga, maka aku akan mengambilnya" gumam pria itu hendak mengambil mata Joseph. Namun sebelum hal itu terlaksana, "KURANG AJAR!!" teriak pria itu ketika ia tercampak.
Sekelompok serigala tiba. Salah satunya segera kembali ke wujud manusia, dan itu adalah Rain. "Naiklah, biar kami yang mengatasinya" pesan Rain membantu Joseph.
"Kau sungguh merepotkan, sepertinya aku harus mematahkan setiap bagian tubuhmu" ujar pria itu menyeringai. Benjamin berusaha bangkit berdiri menahan sakit pada kakinya.
Pria itu berhasil membuatnya pincang. "Merepotkan" gumam Benjamin memegangi kakinya yang mulai mengeluarkan darah.
"Sial-" gumam Benjamin ketika pria itu mencekiknya. "Dengan begini, kau akan mati" gumam pria itu tersenyum senang.
"Gunakan tipuan, nak. Jika kau melawan sekarang, justru kau akan mati" mendengar itu Benjamin mulai mencari cara.
Ia menemukan caranya. "Lemah sekali" gumam pria itu tertawa kecil, ketika mendapati Benjamin tidak lagi melawan. Ia mencari sebuah benda, untuk menusuk Benjamin.
Namun, "Sialan" gumam pria itu terkejut ketika Benjamin menusuk jantung pria itu. "Justru kau yang akan mati" ujar Benjamin segera merobek leher pria itu.
Benjamin mengeluarkan korek api, lalu ia segera melemparnya pada tubuh pria itu. Setelahnya, Benjamin menyusul ke tempat Joseph. Ketika Benjamin hampir sampai, "Mundur, nak. Mereka banyak, dan kelompok Canis sudah kabur" Benjamin terkejut.
"Joseph" gumam Benjamin khawatir. "Dia sudah di tempat yang aman. Tenang saja" Benjamin merasa lega. Ia akhirnya berbalik badan dan hendak pergi.
Namun, "Halo, nak" sapa seorang wanita pada Benjamin. Ia menghentikan langkahnya. "Dia vampir" Benjamin mundur perlahan.
"Sepertinya kau mengetahui aku siapa" ujar wanita itu tersenyum. Wanita itu mulai maju mendekati Benjamin. "Hati-hati, nak. Dia akan menyerangmu!" Benjamin segera menangkis tinjuan wanita itu ketika lawannya tersebut tiba-tiba memberikan serangan.
"Wah, kau sepertinya akan sedikit merepotkan untuk ditangani" gumam wanita itu terkesan. Wanita itu menyerang semakin cepat.
"Maaf sekali, nak. Kau terlalu ceroboh, aku jadi melukaimu sedikit" ujar wanita itu tersenyum misterius. Benjamin mulai merasakan perih di lengan kanannya.
"Apa ini?!" gumam Benjamin memegangi lengannya. Ia berlutut memegangi lengannya yang menerima rasa sakit yang hebat. Lengannya seperti digigit oleh binatang buas.
"Racunku sepertinya berfungsi dengan baik" gumam wanita itu menunjukkan senjatanya. Ia menjilat darah Benjamin yang ada di sana.
"Apa yang harus kulakukan?!" batin Benjamin panik. Wanita itu mulai mendekati Benjamin, hendak menghabisinya segera. Nafsu membunuhnya sepertinya tertunda sejak lama.
"Selamat menikmati penderitaan siksa ini, anak muda" ujar wanita itu hendak menusuk kepala Benjamin. Namun, "SIALAN" teriak wanita itu segera ketika seseorang berhasil mencampakkan dirinya menabrak pohon.
"Ben!!" seseorang memanggilnya. Benjamin mulai kehilangan kesadarannya akibat racun yang menggerogoti tubuhnya sekarang.
Rain tiba tepat waktu. "Apa yang terjadi?!" Rain menjadi panik ketika darah pada luka Benjamin tidak kunjung berhenti mengalir.
"Tanganku, rasanya seperti digigit" gumam Benjamin meringis kesakitan. "Kalian pikir ini sudah selesai?" tanya wanita itu kembali bangkit. "Menyebalkan sekali" gumam Rain kembali pada wujud serigala.
Wanita itu terkejut. Ia mundur beberapa langkah sejenak. Rain dengan cepat menerkam wanita itu dan mencabik-cabik leher lawannya. Ketika kepala wanita itu sudah terputus, Rain kembali pada wujud manusia.
"Ben, tenanglah. Apa kau bisa berjalan?" tanya Rain berlutut di hadapan Benjamin. "Kakiku bahkan tidak sanggup berdiri" jawab Benjamin memegangi tangannya.
"Ben.."
"Ben"
"Ben!!"
......................
"Astaga, aku.. di mana?" gumam Benjamin perlahan membuka matanya. "Akhirnya.. apa yang terjadi padamu, nak?" tanya Bernandez khawatir. "Ayah" gumam Benjamin mengubah posisinya menjadi duduk.
"Tanganku.." gumam Benjamin meringis kesakitan. "Kau baik-baik saja, nak? Untung saja Rain cepat-cepat membawamu kemari" tanya Justin seraya memberitahu apa yang sudah dilakukan Rain, demi menyelamatkannya dari kematian.
"Di mana wanita itu? Dia yang menyerangku dengan senjata yang dilumuri racun. Dia-" ucapan Benjamin terputus melihat Joseph.
"Dia sudah kubunuh, nak. Wanita itu punya hasrat membunuh yang luar biasa. Dia lebih dulu melukai kami, lalu mencarimu" jawab Rain bersandar di pintu masuk.
"Mengapa tiba-tiba saja mereka menyerangnya?" tanya Bernandez terheran namun raut wajahnya menunjukkan ia marah dan begitu kesal.
"Aku melepas penandanya" jawaban itu membuat Justin terkejut. "Penanda?" gumam Bernandez tidak mengerti maksud mereka.
"Sulit menjelaskannya, Bernan. Tapi yang pasti, dengan adanya penanda itu, jejak Benjamin di manapun ia berada tidak akan terdeteksi. Sebagai gantinya, serigala lah yang akan mudah dideteksi. Ketika dilepas, maka mereka bisa mengetahui keberadaan Benjamin dengan cepat. Dan sama halnya, serigala yang melepas penanda akan sulit ditemukan"
Penjelasan itu membuat Joseph menunduk dalam. "Kenapa kau melepasnya, nak?" tanya Justin terheran. "Karena aku sumber masalahnya" jawab Benjamin segera.
"Tidak. Kau bukan sumber masalahnya"
"Ayahmu bahkan sudah menjelaskan bagaimana cara kerja penanda Canis"
"Tapi kau bukan sumber masalah, Ben. Aku melakukannya karena-"
"Karena kau takut aku manusia yang lemah ini dan tidak tahu apa-apa, justru harus terlibat dengan urusan Canis dan Ruby lebih jauh bukan? Kau takut aku dibunuh karena kelemahan yang kumiliki bukan?"
Pertanyaan itu membuat Joseph terdiam. "Jangan bertengkar, bocah" saran Rain dengan santai seraya menikmati sebatang rokok.
"Kau tidak mendengar apa kata mereka? Mereka menjelaskan semuanya padamu, Josh" ujar Benjamin dengan tenang.
"Aku tahu akibatnya, Ben. Karena itulah aku enggan melepas penandanya, lihat sekarang. Kau berkali-kali hampir mati" jawab Joseph.
Benjamin menatapnya teduh. "Aku memang harus mendengarkan saran orang lain. Tapi aku Canis, aku juga punya pilihan dan keputusan yang bisa aku buat sendiri" gumam Joseph.
"Jadi kau merasa tidak berguna sekarang setelah kau melepas penandanya, dan mengetahui apa yang terjadi pada Benjamin?" tanya Justin mencoba menenangkan suasana.
"Ya!" jawab Joseph tegas. "Aku tidak bisa bergantung pada kekuatanmu, Josh" ujar Benjamin lagi. Joseph tertegun mendengarnya.
"Kita tidak sama. Kau harus patuh pada aturan sukumu, dan aku juga harus menjalani kehidupanku sebagai manusia. Kau penerus selanjutnya bukan? Jika aku terus menerus bergantung padamu, kau bisa saja dengan cepat menemui ajalmu. Justru aku yang akan terlihat menjadi sampah dan beban yang tidak berguna untukmu" Joseph semakin terdiam.
Setelahnya, Joseph memilih pergi dari ruangan itu. "Josh!!" panggil Justin namun nihil, putranya tidak lagi melanjutkan perdebatan itu. "Aku yang akan berbicara padanya, tenang saja" ujar Rain menyusul Joseph segera.
Benjamin terdiam melihat situasi itu. "Apa aku salah mengatakannya?" gumam Benjamin menunduk dalam. "Kau mengatakannya dengan baik. Biarkan Rain berbicara padanya" jawab Justin segera.
Di sisi lain, "Hey, sobat" sapa Rain segera duduk di samping Joseph yang melamun di teras.
"Kau sudah 18 tahun?" tanya Rain meletakkan sekaleng bir di antara mereka. "Jikapun aku sudah berusia 18 tahun, sepertinya aku tidak akan menyentuh minuman itu" jawab Joseph seraya terkekeh.
"Kau tidak harus merasa keras pada diri sendiri, nak" ujar Rain masih menikmati sebatang rokok yang belum habis. "Ini hanya soal keselamatannya saja, Rain" jawab Joseph tertawa kecil.
"Lalu keselamatanmu?" tanya Rain bersandar. Joseph tidak segera menjawab. "Aku bisa menjaga diri" jawab Joseph lagi. "Selamanya? Kau pikir kau tidak bisa mati?" tanya Rain lagi menatap Joseph santai.
"Hey, dude. Dia terlalu naif untuk menghadapi masalah seperti ini. Dia manusia dan tidak tahu apapun" jawab Joseph lagi. Rain tertawa mendengarnya. "Apa yang lucu?" tanya Joseph kesal. Rain menatapnya lalu tersenyum tenang.
"Justru kau yang naif, nak" jawab Rain segera. Joseph terdiam mendengarnya. "Walaupun dia seorang manusia, dia juga bisa menghadapinya. Bernandez pasti mengajarinya cara mempertahankan diri sejak kecil" ujar Rain.
"Tapi lihat, dia berkali-kali hampir mati bukan?" tanya Joseph segera. "Hampir bukan?" tanya Rain balik. Joseph terdiam lagi. Berbicara dengan Rain harus mampu memutar otak.
"Aku yakin kau begitu ingin melindunginya, karena kau tidak ingin apa yang terjadi pada Damian terjadi lagi padanya. Kejadian masa lalu yang buruk, karena kau gagal melindungi sahabatmu" ujar Rain menatap lurus.
"Menjadi beban itu hal menyedihkan" gumam Joseph tanpa sadar seraya menunduk. "Kau mau melihat sesuatu yang tidak pernah aku tunjukkan?" tawar Rain tersenyum.
Joseph menatapnya sejenak lalu mengangguk-angguk kecil. "Tunjukkan saja" perintah Joseph yang penasaran.
Rain membuka bajunya, Joseph segera memberikan jarak. "Apa yang kau lakukan?" tanya Rain terheran. "Aku normal" jawab remaja itu. Rain tertawa kecil mendengarnya.
Ketika pria itu benar-benar telanjang dada, "Luka apa itu?" tanya Joseph terkejut. Ada sebuah luka panjang di punggung Rain. Titik awalnya dari leher sampai ke pinggang.
"Ini kudapat sekitar 10 tahun yang lalu. Aku pikir bisa hilang, ternyata ini jadi kenanganku ketika aku masih menjadi sampah" jawab Rain tertawa kecil.
"Apa yang terjadi?" tanya Joseph penasaran. "Sama seperti kau dan Damian. Bedanya, walaupun aku mencoba menyelamatkannya, dia tetap tidak selamat" jawab Rain menatap lurus seraya menyunggingkan senyum berbeda.
Joseph mendengarnya tidak percaya. "Kenapa?" tanya Rain terheran. "Dia?" gumam Joseph penasaran. "Sahabatku" jawab Rain.
"Aku memanggilnya Ed, dia serigala bulan purnama" Rain mulai menjelaskan. "Lalu apa yang terjadi padanya?" tanya Joseph semakin penasaran. Rain terkekeh.
"Kami berdua sering bekerja sama ketika ayahmu memberikan tugas. Ed orang yang sangat baik dan mudah tersenyum. Hari itu kami masuk di wilayah Ruby, setelahnya kami mendapat serangan. Dia lebih dulu terluka dan terkapar. Aku meraihnya dan melindunginya, dan itulah latar belakang lahirnya luka ini. Namun walaupun aku berhasil membawa Ed, dia tidak bisa diselamatkan"
Joseph yang mendengarnya tertegun. "Aku merasa tidak berguna saat itu. Aku sempat kehilangan arah dan berpaling dari aturan yang dibuat oleh Canis. Sampai-sampai aku pernah berurusan dengan Ruby untuk kedua kalinya" tambah Rain terkekeh mengingat hal-hal buruk yang pernah ia lakukan.
"Jadi maksud dari cerita lamamu?" gumam Joseph menunduk bingung. "Semua akan bertemu kematian. Bahkan sekalipun kau melindungi Benjamin dengan kekuatanmu, dia juga bisa mati" jawab Rain segera.
"Kuharap pertemananmu dengannya tidak rusak karena hal ini" ujar Rain kembali menikmati bir itu. "Sama seperti kekasihnya, keluarganya tidak akan bisa melindunginya seumur hidupnya. Pada dasarnya, semua mahluk akan menemui kematian dan kita tidak bisa memilih harus mati dengan keadaan apa" pesan Rain di akhir.
...****************...
"Tidak masuk sekolah?" Benjamin terkejut mengetahui Joseph tidak bersekolah hari ini. "Dia mengirimkan surat izin tidak masuk" jawab Carla yang kebetulan mendapat jadwal kelas yang sama dengan Joseph.
Benjamin dan Marella saling memberikan pandangan. Siangnya sepulang sekolah, Benjamin ditemani Marella mendatangi sebuah rumah keluarga menetap. Keluarga Rothrout.
"Dia tidak di rumah sejak tadi malam?" tanya Benjamin terkejut. "Setelah kau dan Bernandez pulang, dia tidak ada di rumah. Aku pikir dia sedang mencerna masalah yang terjadi. Tapi ini adalah waktu yang terlalu lama untuk berpikir" jawab Ocla yang khawatir.
"Tidak di rumah?" tanya seseorang dari belakang mereka. Keduanya berbalik, dan menemukan Damian juga datang hendak mengunjungi Joseph hari itu.
"Damian? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Benjamin penasaran. "Hah? Joseph tidak memberitahumu?" tanya Damian balik.
"Memberitahu apa?" tanya Marella penasaran. "Dia mengirimku pesan tadi malam dan mengajakku berjumpa dengan seseorang. Tapi sejak pagi dini hari, aku tidak menerima respon apapun setelah aku membalas pesannya" jawab Damian menunjukkan bukti.
"Kenapa dia tidak memberitahumu?" tanya Damian terheran. Benjamin terdiam. "Kami, beradu mulut" jawab Benjamin segera.
Damian menghela nafas memaklumi. "Telepon?" gumam Marella menerima panggilan telepon dari seseorang. "Siapa?" tanya Benjamin penasaran. "Veronica" jawab Marella segera mengangkat telepon itu.
"Halo?" Marella bergumam pelan. "Kau di mana? Dengan siapa? Apa kau bersama Benjamin?" tanya Veronica. Nada teleponnya tampak seperti panik. "Ya, aku dengannya dan kami berada di kediaman Rothrout. Apa yang terjadi? Mengapa kau begitu panik?" tanya Marella terheran.
"Susul Joseph ke bukit. Dia dihipnotis"
......................
"Untung saja kita berhasil membawanya kemari" seorang wanita tersenyum senang seraya mengelus kepala Joseph yang tidak sadarkan diri.
"Kenapa tidak langsung pria lumpuh itu saja kau bunuh? Pertahanan Canis salju sangat sulit ditembus" pria bersama wanita itu menjawabnya. Sisca dan Franz adalah nama mereka. Dua orang vampir.
"Dia ini bocah, tidak sulit memancingnya. Dia juga baru saja bertengkar dengan sahabat manusianya yang menyebalkan" Sisca mengambil senjatanya.
Ia siap untuk menyayat leher Joseph. "Kau melakukan apa?" tanya Franz bersandar di pohon dengan santai. Kepribadiannya yang tidak suka ikut campur cukup merepotkan Sisca yang suka 'menumbalkan' seseorang.
"Serigala salju punya kekuatan luar biasa. Jika aku meminum darahnya sedikit saja, pasti memberikan efek terbaik" jawab Sisca tersenyum lebar dan siap menancapkan pisau di tangannya ke leher Joseph.
"Mimpi indah, bocah" gumam wanita itu tersenyum. Ketika tangannya mulai bergerak. "Siapa itu?!" gumam Franz beranjak kaget. Seseorang dengan kecepatan kilat berhasil mencampak Sisca.
"Siapa yang berani menggangguku?!" Sisca tampak murka. Lagi-lagi, mereka kembali menerima serangan. "Jangan jadi pengecut, cepat keluar!" perintah Sisca kesal.
"Sialan! Siapa yang berani menyerangku?!" tanya Sisca semakin kesal. Ia terus menerus menerima serangan yang begitu cepat.
"Serigala ataupun manusia tidak akan secepat ini, tapi bagaimana mungkin si penyerang tidak memiliki aroma?!" batin Franz terkejut.
"Akhirnya" gumam Sisca tersenyum puas ketika ia berhasil mencampakkan seseorang yang menyerangnya ke sebuah pohon.
Ia mulai memfokuskan pandangannya. Dahi wanita itu segera berkerut ketika mengetahui siapa pelaku yang menyerangnya.
Itu hanya sebuah kayu. "KELUAR!!" teriak Sisca kesal. Pelaku akhirnya keluar dari tempat persembunyian. "Aku sudah menduga itu kau, Esperanda" ujar Franz memejamkan matanya.
Esperanda?
Seorang gadis keluar. Tatapannya dingin. Dan dia adalah, Esmeralda.
Mengapa namanya disebut Esperanda?
"Lama tidak berjumpa, Espe" sapa Franz dengan santai. "Ayah tidak pernah mengajarimu mengusik kakak-kakakmu, nona muda" ujar Sisca menyeringai kesal.
"Ayah? Kakak? Aku tidak pernah menganggap kalian dengan sebutan itu" jawaban Esmeralda membuat Sisca menatapnya tajam.
"Bisakah kau pergi? Jangan ikut campur. Kau tidak mau bukan kau hampir mati lagi di tanganku?" ancam Sisca mengeluarkan senjata miliknya. "Bisakah kalian tidak mengusik kami? Bangsawan bodoh" ledek Esmeralda santai.
"Kau-" ucapan Sisca terputus ketika seseorang mencampakkan dirinya. "Kalian pikir bisa semudah itu?" Sisca segera bangkit dan hendak menghalau Benjamin dan serigala itu.
Namun ketika ia baru saja bangkit, Esmeralda mencekik lehernya. "Berani sekali kau!!" gumam Sisca mencoba memutus leher Esmeralda, dan sebaliknya Esmeralda juga melakukan hal yang sama.
Franz akhirnya turun tangan dan mencampakkan keduanya. Sisca kembali bangkit dan mulai beringas. Namun, "Jangan kau lanjutkan" saran Franz menahan Sisca.
"Apa maksudmu?!"
"Lihat matanya"
Sisca kembali fokus. Esmeralda membalikkan badannya dan, "Sejak kapan matanya menjadi kuning?!" gumam Sisca terkejut. Esmeralda kembali mulai menyerang. Franz yang melihat situasi tidak memihak mereka akhirnya menggendong Sisca dan kabur.
"Sial" gumam Esmeralda kesal ketika kedua vampir itu lolos. Dia hendak mengejarnya namun, "Kau hanya akan mengejar malapetaka" ujar seseorang. Itu Patrick. "Kau tidak tahu mereka seperti apa, Pat" jawab Esmeralda dengan ekspresi marah.
"Aku memang tidak tahu mereka. Tapi aku tahu akibatnya jika kau mengejar mereka lebih jauh" ujar Patrick menyenderkan tubuhnya di pohon.
Esmeralda berdecak kesal, dan memilih kembali menyusul Benjamin. "Untung saja" gumam Patrick seraya menghela nafas lega.
......................
"Di mana aku?" gumam Joseph tersadar dan segera mengubah posisinya menjadi duduk. "Rumah keluargamu sendiri, sobat" jawab seseorang sedang asik membaca buku.
Seorang pemuda dengan tatapan tenang menjaga Joseph hari itu. Namanya Morenthes Braize. Usianya tidak terpaut jauh dari Joseph. Bisa dibilang mereka cocok disebut kakak dan adik.
"Sejak kapan kau di sini?" tanya Joseph terkejut. "Sejak Ocla menelponku karena dia panik kau tidak kembali ke rumah dari tadi malam" jawab Morenthes dengan santai seraya menikmati secangkir kopi.
"Aku tidak kembali?" gumam Joseph terkejut. "Kau dihipnotis. Aku terkejut mereka bisa melakukannya padamu tanpa perlu menatap matamu secara langsung" jelas Morenthes lagi.
"Lalu apalagi yang terjadi padaku?" tanya Joseph terheran. "Sahabatmu datang menyelamatkanmu. Untung saja dia masih mengingat diriku. Rain sedang keluar kota hari ini" jawab Morenthes.
Joseph tertegun. "Kau merasa dirimu tidak berguna bukan?" tanya Morenthes dengan santai. Joseph terdiam dan menunduk dalam.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Joseph penasaran. "Rain menceritakan semuanya. Kau semakin kacau akhir-akhir ini. Cobalah untuk tenang" jawab Morenthes membalikkan halaman buku yang baru.
"Pikiranku tidak karuan. Aku hanya takut salah membuat keputusan" gumam Joseph tanpa sadar. "Kau mengatakan Benjamin naif, tapi kau justru lebih naif" ujar Morenthes menutup bukunya.
Joseph menatapnya terkejut. "Persoalan yang kau hadapi sudah banyak dialami setiap orang. Tergantung padamu cara mengatasinya" tambah Morenthes kembali menikmati kopinya.
"Menghilangkan rasa trauma bukanlah hal yang mudah, Moren. Itulah yang terus terbayang di diriku" jawab Joseph lagi. "Ya, kau benar. Trauma pada masa lalu tidaklah mudah untuk dihapus. Lalu kau tetap ingin menjadi orang yang lemah dengan membayangkan masa lalumu?" tanya Morenthes.
Joseph kembali terdiam. Selain Rain, Morenthes adalah salah satu serigala yang sudah sejak kecil diasuh Justin dan Ocla. Dia serigala bulan purnama, hal unggul darinya adalah ketenangan dan kecerdasannya yang alami.
"Aku sudah memperhatikanmu sejak kecil. Kekuranganmu hanyalah keraguan, sobat" ujar Morenthes tertawa kecil. "Aku takut tidak bisa melaksanakan amanah kakek. Melindungi orang-orang yang berarti bagiku" jawab Joseph terkekeh. Morenthes tidak mengatakan hal yang salah tentang dirinya.
"Kepala suku sangat memanjakanmu. Jadinya kau tumbuh sebagai penakut" ledek Morenthes. Joseph tertawa mendengarnya.
"Aku hanya ingin berguna, seperti kakek semasa hidupnya"
......................
"Benjamin. Apa kau sedang sibuk, nak?" tanya Bernandez beres-beres sebelum berangkat ke kantor. Malam ini ia harus bergegas ke kantor, ada sebuah kasus yang harus ditanganinya.
"Tidak. Ada apa ayah?" tanya Benjamin muncul dari anak tangga. "Pergilah mengunjungi, Joseph. Kau belum menyelesaikan perbincanganmu dengannya bukan?" tanya Bernandez seraya mengenakan seragamnya. Benjamin terdiam ragu.
"Sesekali ikutilah apa keinginannya, jika memang niatnya baik" saran Bernandez. "Niatnya memang baik ayah. Tapi itu juga membahayakan dirinya sendiri" jawab Benjamin terkekeh.
"Aku tahu, nak. Tapi ada hal yang membuatnya memaksa untuk memasang penanda yang aku juga tidak mengerti maksudnya" ujar Bernandez.
"Hal?" gumam Benjamin penasaran. "Pergilah, kau akan tahu jika berbicara dengannya" jawab Bernandez segera.
"Baiklah" gumam Benjamin menyetujui. Bernandez akhirnya berangkat, sementara Benjamin berjalan kaki menuju rumah keluarga Rothrout.
"Jangan mencoba mengejutkanku, Dami" ujar Benjamin tahu Damian mengikutinya dari belakang. "Bagaimana kau bisa tahu aku hendak melakukan itu?" tanya Damian terheran. Kini mereka berjalan sejajar menuju tempat yang sama.
"Kau tidak pernah mengganti parfum yang kau kenakan" jawab Benjamin terkekeh.
Beberapa saat melangkah, mereka akhirnya sampai di rumah keluarga Rothrout. "Sebentar" jawab seseorang dari dalam. Pintu di buka, dan Ocla adalah orang yang membukakan pintu.
"Joseph sudah baikan?" tanya Benjamin penasaran. "Masuklah, dia berada di kamar" jawab Ocla tersenyum. Keduanya memasuki rumah.
Rumah yang tidak berubah bentuknya sejak mereka kecil. Bisa dibilang itu adalah rumah turun temurun.
"Josh" panggil Ocla mengetuk kamar putranya. "Ya? Ada apa, bu?" tanya Joseph dari dalam. "Mereka datang" jawab Ocla. Seakan sudah terbiasa dengan sebutan 'mereka' untuk Benjamin dan Damian, Joseph segera membukakan pintu.
"Hi, sobat"
Beberapa saat setelahnya, "Jadi kau tidak merasa aneh apapun?" tanya Damian terkejut setelah mendengar bagaimana kesaksian Joseph di malam ia dihipnotis Sisca dan Franz.
"Moren menduga mereka adalah vampir keluarga utama bangsawan. Karena kekuatan yang mereka miliki benar-benar aneh" jawab Joseph menambahkan. "Aku terkejut mengetahui mereka bisa menghipnotis dirimu tanpa perlu bertatap muka secara langsung" gumam Benjamin.
"Mungkin karena pikiranku begitu kacau, jadi mereka dengan mudah memasuki pikiranku" Joseph memberikan dugaannya. "Sebenarnya apa yang membuatmu sangat memaksa untuk memasang penanda itu?" tanya Benjamin penasaran.
Joseph terkejut mendengar hal itu. "Kau selalu memberi alasan bahwa kau berniat melindungiku, tapi pasti ada hal lain" ujar Benjamin lagi.
Sejenak Joseph terdiam. "Kakekku dulunya adalah kepala suku sebelum ayah menerima amanah untuk melanjutkan tugas kakek" Joseph mulai menjelaskan.
"Beliau sangat disiplin dan bertanggung jawab. Tapi kakek seorang pria yang lemah lembut. Ayah adalah anak laki-laki tunggal sekaligus anak bungsu. Karena itulah dia menerima tugas kakek. Ketika aku lahir, beliau bersukacita mengetahui aku adalah cucu laki-laki satu-satunya dari ayah"
"Suatu saat ada perang dingin antara Canis dengan bangsawan Ruby. Kakek mengorbankan diri untuk menyelamatkan ayah. Sebelum kakek meninggal, dia memberiku amanah untuk melindungi setiap orang yang berharga untukku. Dan aku melakukannya sampai sekarang"
Penjelasan itu membuka pikiran Benjamin. Inilah alasan utama mengapa Joseph begitu bersih tegas tidak ingin memasang penanda.
"Siapa saja yang kau beri penanda?" tanya Damian penasaran. "Banyak, tapi penanda yang paling dominan berada di rumah keluargamu.. Ben" Benjamin yang mendengarnya terkejut.
"Itulah alasan aku enggan melepas penandanya. Karena di antara semua penanda, milikmu adalah dominan sendiri. Penanda yang aku letakkan di rumahmu tidak hanya menyamarkan bau manusia pada tubuhmu dan ayahmu, tapi juga ibumu dan ayah sambungmu"
"Dan mereka juga tidak akan bisa mendeteksi keberadaanmu dan keluargamu, mau apapun yang kau lakukan. Itu semua kudapatkan, karena aku adalah serigala salju"
"Aku sudah lama memasang penanda itu di rumahmu, bahkan sebelum kau pindah dan kembali ke Sitka" penjelasan itu membuat kedua sahabatnya mengerti. "Aku tahu kau akan merasa bergantung, tapi penyesalanku di masa lampau tidak akan sirna. Melihat Damian bukan menjadi Damian yang kukenal, membuatku selalu merasa menjadi beban" gumam Joseph menunduk dalam.
"Untung saja kita bertiga berkumpul malam ini. Jika tidak, kita tidak akan tahu beban pikiran masing-masing" ujar Damian terkekeh.
Mereka akhirnya tertawa bersama. "Berterimakasihlah pada Esme, dia menyelamatkanmu lebih dulu" pesan Benjamin mengingat kejadian tadi siang.
"Sungguh?" gumam Joseph terkejut. "Kau bahagia bukan? Wanita yang kau cintai menyelamatkanmu" goda Damian segera.
"Hey, jauhkan percintaan dariku. Aku lelah mendengarnya" jawab Joseph terkekeh. "Aku akan mengatakannya pada Esme"goda Benjamin.
"Oh ayolah"
...****************...
"Hi, Ben" sapa Veronica ketika Benjamin, Damian, dan Joseph tiba tepat waktu. "Hi, apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Benjamin memperhatikan aktivitas yang dilalukan Veronica dan Patricia.
"Membereskan tanaman ibu. Bunga ini akan segera kami pindahkan ke kebun di dalam hutan belakang rumah" jawab Veronica terkekeh.
"Kalian ingin memakan sesuatu?" tawar Marella seraya meletakkan tas miliknya di sofa. "Minum saja, aku haus" jawab Joseph terkekeh.
"Kau masih hidup, anjing?" tanya Esmeralda yang baru saja selesai mencuci piring. "Tidak bisakah kau memperbaiki gaya bahasamu?" tanya Joseph tertawa kecil.
"Kalian mau ke mana?" tanya Joseph menyadari Benjamin dan Damian diam-diam meninggalkannya. "Nikmatilah perbincangan hangat ini, sobat" saran Benjamin menyeringai usil.
Dengan cepat keduanya berlalu. "Apa yang terjadi pada pikiranmu sampai mereka bisa menghipnotismu?" tanya Esmeralda mengeringkan piring-piring yang basah.
"Masalah kecil yang sudah selesai" jawab Joseph terkekeh. "Mereka bilang kau menyelamatkanku. Terimakasih" ujar Joseph ragu. "Berterimakasihlah pada serigala purnama itu. Dia bisa mencium aroma mu walaupun kedua vampir itu menghilangkan aroma tubuhmu" jawab Esmeralda menyusun piring-piring yang sudah kering.
"Menghilangkan aroma tubuh? Mereka bukan vampir biasa" gumam Joseph terkejut. "Mereka bisa kembali kapan saja. Waspadalah" pesan Esmeralda.
"Bukankah vampir tidak makan?" tanya Joseph terheran. "Masih ada manusia di rumah ini" jawab Esmeralda yang sudah selesai.
"Benar juga" gumam Joseph baru ingat. "Kau lapar?" tanya Esmeralda membuka kulkas. "Sedikit" jawab Joseph. "Itu bukan jawaban" ketus Esmeralda.
"Ya, aku lapar" jawab Joseph tertawa kecil. "Kau mengenal kedua vampir itu ya?" tanya Joseph penasaran. Esmeralda terdiam.
"Tidak" jawabnya segera. "Nada bicaramu terdengar tidak meyakinkan" goda Joseph. "Kau masih bisa disebut manusia. Jangan tunjukkan bahwa kau bisa berubah menjadi seekor anjing" Joseph tertawa puas mendengarnya.
"Ini alasan kenapa aku bisa jatuh cinta padamu. Kau menakjubkan" gombal Joseph usil. "Ya, bahkan seekor anjing mengagumiku" jawab Esmeralda. Joseph tertawa kecil seraya menggeleng-geleng pelan. "Hey, Espe.. kau tidak memiliki perasaan yang sama denganku?" tanya Joseph menatapnya.
"Aku tidak pernah memberitahu isi hatiku pada siapapun, sekalipun aku mencintai orang itu" jawab Esmeralda lagi. "Aku selalu menunggumu dengan perasaan yang sama" ujar Joseph terkekeh.
"Jangan menungguku, Josh. Bersamaku, kau tidak mempunyai masa depan" jawab Esmeralda membuat beberapa sandwich. "Memangnya kau tahu apa soal masa depan?" tanya Joseph menatap wanitanya lekat-lekat.
"Masa depan hanya dimiliki manusia saja. Vampir yang sejenis iblis hanya akan berakhir dengan hidup abadi lalu mati dibunuh" jawab Esmeralda.
"Aku tidak menyangka ternyata orang sepertimu juga bisa berpikiran pendek" ledek Joseph menatap langit-langit ruangan. "Kau harus mempunyai keturunan untuk meneruskan keluargamu. Itulah kenapa kau harus memilih wanita yang memiliki masa depan" jawab Esmeralda dengan tenang.
"Jika suatu saat aku mengencani gadis lain, apa kau cemburu? Apa kau akan sedih melihatku menggenggam tangan gadis lain" tanya Joseph antusias. Matanya berbinar.
(Joseph the real cogil)
"Tidak"
"Mengapa begitu?"
"Kau hanya mengencani dan menggenggam tangannya. Bukan menikahinya"
Jawaban itu berhasil membuat Joseph terdiam kaget. Esmeralda membalas godaannya?
"Satu kosong" ledek gadis itu membawa sepiring sandwich. "Hey, kemenanganku yang sebelumnya tidak dihitung? Yang benar saja"
......................
"Mau sandwich?" tawar Esmeralda pada mereka. "Hari apa ini? Tumben sekali" gumam Damian terkejut. Mereka asyik di ruang tamu membahas materi ujian yang akan dikeluarkan nanti.
"Seekor anjing lapar" jawab Esmeralda santai. "Kasar, tapi itu semakin membuatku jatuh cinta" ketus Joseph tertawa puas.
"Aku tidak menyangka seseorang semenyebalkan Esmeralda, bisa jatuh cinta" ledek Patricia segera. "Aku terkejut nenek tua di rumah kita sudah memiliki kekasih yang usianya jauh lebih muda darinya" jawaban tanpa dosa.
"Kau-"
"Woah, babe. Ayo lanjutkan soal matematika ini"
Damian berhasil menahan kekasihnya itu. "Bahkan vampir juga bisa jatuh cinta" gumam Sharon terkekeh. Sorenya, Benjamin dan kedua temannya memutuskan untuk pulang.
"Berhati-hatilah di jalan" pesan Marella tersenyum. "Tentu saja, cantik" jawab Benjamin membalas senyuman itu dan memberi kecupan ringan di kening kekasihnya. "Kabari aku jika sudah sampai" pesan Patricia pada Damian. "Yes, babe" jawab Damian.
"Kalian sudah selesai bermesraan?" tanya Joseph bersandar di pintu mobil seraya menyilangkan kedua tangannya dan menikmati pemandangan itu.
"Hahaha. Kau jadi tidak sabaran, sobat" ledek Benjamin menghampiri Joseph diikuti Damian. "Aku ibarat toping di atas kue" jawab Joseph hanya bisa memaklumi. "Bye bye" Benjamin melambaikan tangan ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Marella dan Patricia membalasnya. Patricia lebih dulu masuk. Sementara Marella masih diam di tempat. "Joseph jadi lebih tampan, aku jadi semakin menyukainya" ujat Esmeralda.
"Tunggu, barusan kau bilang apa?"
"Aku tidak mengatakan apapun"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!