"Pa, Ma, aku mau menikah.."
Pernyataan Benny seketika membuat keluarganya terkejut. Pasalnya, Benny selama ini selalu saja menolak jika diminta menikah oleh kedua orangtuanya, itu sebabnya saat tiba-tiba Benny mengutarakan isi hatinya, semua anggota keluarganya seakan tak percaya.
"Kamu serius mau menikah?" tanya Hendra -papa Benny-
Benny mengangguk yakin, "Serius, Pa," jawabnya.
"Siapa wanita yang mau kamu jadikan istri? Dan bagaimana asal usulnya? Apakah dia dari keluarga baik-baik atau dari keluarga yang bermasalah?" cecar Hendra.
Sebagai seorang konglomerat yang memiliki bisnis di mana-mana serta nama baik yang disandangnya selama ini, membuat Hendra dan juga istrinya -Retno- begitu posesif terhadap Benny. Keduanya selalu mengatur Benny dalam segala hal termasuk mengenai wanita yang ingin dinikahinya.
Hendra dan Retno sangat ketat dalam menyeleksi wanita yang akan menjadi pendamping hidup Benny kelak. Keduanya tak akan sudi menerima seorang wanita yang memiliki asal usul serta ekonomi yang lebih rendah dari mereka.
Meskipun tak lebih kaya, setidaknya si wanita harus sepadan ataupun sederajat kedudukannya dengan keluarga mereka.
"Namanya Luna, Pa, Ma. Dia itu anak dari partner bisnisku yang bekerjasama dengan perusahaan kita selama dua tahun ini. Tentang asal usulnya, sepertinya aku tak perlu menjelaskan secara detail karena aku yakin Papa pasti sudah mengetahuinya," terang Benny.
"Luna? Anaknya pak Rosyid bukan? Pemilik saham tertinggi di cabang perusahaan kita?" tanya Hendra, memastikan.
Benny mengangguk, mengiyakan.
"Ah, dia ternyata." Hendra tersenyum lebar. "Jika dia yang akan menjadi calon istrimu, maka Papa tak memiliki alasan untuk menolaknya," ucapnya senang.
"Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan dengan wanita itu, Benn?" tanya Retno.
"Sudah ada setahunan ini, Ma," jawab Benny. "Kedua orangtua Luna juga sudah merestui hubungan kami. Tinggal restu papa dan Mama saja yang belum kami dapatkan," lanjutnya.
"Mama tentu saja merestui hubungan kalian berdua," ucap Retno. "Mama senang akhirnya kamu akan menikah, Benn, sudah sangat lama Mama menantikan momen seperti ini." lanjutnya.
Di antara semua orang, hanya adik Benny sajalah yang terlihat seakan tak peduli dengan kabar baik itu. Ekspresi wajahnya memperlihatkan ketidakpeduliannya terhadap kebahagiaan Benny.
"Dulu kan Mas Benny pernah bilang kalau tak akan menikah sebelum melihatku bahagia dengan seorang lelaki pilihanku. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba jadi mau menikah?" celetuk Ningrum -adik Benny-
Benny tersenyum manis sambil menatap adiknya, "Rencananya sih begitu, Ning, tapi setelah Mas bertemu Luna, entah kenapa tiba-tiba saja rencana itu memudar dari pikiran Mas," kekehnya.
Ningrum mendengus mendengarnya, "Alasanmu terlalu mengada-ada, Mas," sungutnya.
Melihat gelagat aneh dari Ningrum, Benny pun lantas berdiri dari tempat duduknya. Ia berpindah tempat dan duduk di samping Ningrum.
"Kamu kenapa sih? Kamu tak suka ya kalau Mas menikah?" tanya Benny yang seakan tahu apa yang tengah dirasakan oleh adiknya.
Ningrum merasa malu mendengar pertanyaan Benny. Kedua netranya langsung mengarah ke papa dan mamanya demi melihat bagaimana ekspresi kedua orangtuanya saat ini.
"Bu- bukan tak suka, Mas. Aku cuma agak sedih saja. Kalau kamu menikah, pasti rumah ini jadi sepi," kilah Ningrum. "Iya kan, Ma?" Ningrum tiba-tiba saja menatap Retno seolah ia meminta mamanya itu untuk mendukung pernyataannya.
"Iya, Benn, nanti rumah ini bakalan sepi kalau kamu sudah menikah karena pastinya kamu dan istrimu akan tinggal di rumah kalian sendiri. Tak ada lagi canda tawamu yang akan kami dengar nantinya," ujar Retno.
Ningrum diam-diam menghembuskan nafas lega. Ia tampak sedikit mengulas senyum pada bibirnya setelah mendapatkan dukungan dari Retno.
"Yaa nanti kalau aku dan Luna sudah menikah, aku akan meminta Luna untuk ikut tinggal di sini bersama kita. Rumah ini akan semakin ramai karena kedatangan anggota baru," ucap Benny.
"Benarkah?" tanya Retno memastikan.
Benny mengangguk.
"Ah Mama sangat senang dengan rencanamu itu, Benn." kata Retno.
Benny tersenyum sambil menatap Ningrum, namun yang ditatap malah membuang muka dengan acuhnya.
**
Beberapa minggu kemudian, pernikahan yang Benny katakan akhirnya terwujud. Pesta besar-besaran terjadi di kediaman orangtua Benny. Semua keluarga besar Benny dan juga teman-temannya berkumpul untuk memeriahkan pesta.
"Selamat ya, Benn, akhirnya kamu menikah juga," ujar seorang teman Benny.
"Thanks ya, Bro, sudah datang ke pesta pernikahan kami." ucap Benny.
Pesta pernikahan Benny dan Luna berlangsung dengan sangat meriah. Sang mempelai selalu mengulas senyum di wajah, memamerkan kebahagiaan mereka kepada semua tamu yang datang.
"Ningrum, kamu sepertinya belum mengucapkan selamat untuk masmu," ujar Retno kepada anak perempuannya.
"Ah nanti sajalah, Ma," ucap Ningrum malas.
"Kalau sekarang bisa, kenapa harus ditunda sampai nanti sih, Ning?" Retno kembali meminta Ningrum untuk memberikan ucapan selamatnya kepada Benny dan Luna. Kali ini, ia sedikit memaksa. "Ayo.. buruan sana."
Ningrum menghela nafas, dengan malas ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah panggung pengantin.
"Selamat ya, Mas, semoga langgeng pernikahannya," ucap Ningrum seraya mengulurkan tangannya ke Benny.
"Terima kasih ya, Ning," balas Benny sembari menjabat tangan Ningrum.
Hal yang sama pun dilakukan Ningrum kepada Luna.
"Selamat ya, Mbak, akhirnya aku punya saudara perempuan." Ningrum tersenyum tipis sembari menjabat erat tangan Luna.
"Terima kasih ya, Ning," balas Luna. "Ngomong-ngomong kapan nih kamu mau menyusul?" tanyanya dengan niat becanda.
Ningrum tak menjawab, ia hanya tersenyum dan kemudian berlalu.
Malam kian larut, pesta pernikahan Benny dan Luna pun akhirnya berakhir. Setelah para tamu berlalu, Benny mengajak Luna untuk segera mengganti pakaian mereka di dalam kamar.
"Pesta ini benar-benar membuatku lelah." Dengan manja, Benny memeluk tubuh Luna dari belakang sambil ia menyandarkan kepalanya ke bahu Luna.
"Sama, Mas, aku juga lelah.." balas Luna.
Ceklek..
Di tengah obrolan keduanya, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan sosok Ningrum yang membuka pintu kamar tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Upss, sorry. Aku lupa kalau di kamar ini sekarang sudah ada penghuni wanitanya. Biasanya wanita yang keluar masuk kamar mas Benny cuma aku," kekeh Ningrum.
Benny melepaskan pelukannya. Ia berjalan mendekat ke arah sang adik sambil bertanya, "Ada apa, Ning?"
"Begini, Mas, aku kan sedang mengerjakan tugas kuliah, tapi laptopnya tiba-tiba error. Tujuanku kemari mau minta bantuan Mas Benny buat memperbaiki laptopku," jelas Ningrum. "Tapi- kalau Mas Benny sedang sibuk, tak jadi sajalah. Maaf ya mengganggu," ucapnya sembari menutup pelan pintu kamar.
"Ning,"
Mendengar namanya dipanggil, Ningrum pun langsung mengurungkan niatnya dan kembali membuka pintu kamar.
"Ada apa, Mas?" tanyanya.
"Mas ikut ke kamarmu biar Mas perbaiki dulu laptopmu," ujar Benny.
"Tapi ini sudah larut malam lho, Mas. Lebih baik besok saja memperbaikinya," ucap Luna, tepat sebelum Benny melangkah keluar.
Ekspresi wajah Ningrum seketika berubah usai mendengar ucapan Luna. "Tugasnya harus aku kirim ke dosenku malam ini juga, Mbak. Aku bisa tak dapat nilai kalau tak segera mengirimkannya," tukasnya.
"Masa sih?" Luna mengernyitkan dahi. Ia terlihat seperti tak percaya dengan apa yang diucapkan Ningrum barusan.
"Ayoklah, Mas, ikut aku ke kamarku. Tolong perbaiki laptopku," rengek Ningrum. Wanita muda itu memasang wajah memelas di hadapan Benny, hal yang selalu dilakukannya untuk merayu Benny agar kakaknya itu mau menuruti kemauannya.
"Iya iya, ayok ke kamarmu," ujar Benny. "Aku ke kamarnya Ningrum dulu ya. Kamu kalau sudah mengantuk, tidurlah dulu tak apa." pamitnya kepada Luna.
Sebelum berlalu, Ningrum sempat melayangkan pandangannya ke arah Luna. Ia tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya. "Tinggal dulu ya, Mbak." ucapnya.
Seolah sengaja, Ningrum membiarkan pintu kamar terbuka lebar. Tanpa merasa malu, ia menggelayut manja di lengan Benny.
Keduanya berjalan bersama menuju ke kamar Ningrum.
Kejadian itu dilihat oleh kedua mata Luna. Ia terus saja memperhatikan tingkah keduanya dari tempatnya berdiri.
"Kenapa di mataku Ningrum itu sangat menyebalkan ya?" gumam Luna.
_
"Laptop error itu cuma alasanmu saja kan? Kamu bilang seperti itu biar bisa berduaan denganku, iya kan?" ucap Benny sesaat setelah dirinya berada di kamar Ningrum.
"Iya, kok tahu sih?" Ningrum tersenyum lebar. Ia mendekat dan lalu memeluk Benny dengan erat. "Aku rindu padamu, Mas," lirihnya.
"Jangan seperti ini, Ning, ingatlah aku sudah tak sendiri lagi." Perlahan Benny melepas pelukan Ningrum sambil mendorongnya pelan.
"Ck! Lagian kenapa sih kamu harus buru-buru menikah? Dulu janjinya kamu akan menikah kalau aku sudah bisa move on darimu, tapi kenapa tiba-tiba kamu ingkar dengan janjimu sendiri?"
Air mata Ningrum jatuh menetes tanpa bisa ditahannya lagi. Ia menangis sedih di hadapan Benny, sang kakak yang juga kekasihnya.
Benny tak kuasa melihat kesedihan Ningrum, ia menghela nafasnya sembari menarik tubuh Ningrum ke dalam pelukannya.
"Aku sengaja buru-buru menikah karena kalau aku terus-menerus melajang, perasaanmu tak akan mau berpindah ke lelaki lain," ujar Benny.
"Perasaanku memang tak akan berpindah, Mas. Perasaanku akan tetap setia kepadamu sampai kapanpun,"
"Jangan begitu, Ning, kita ini saudara. Aku kakakmu dan kamu adalah adikku, selamanya akan seperti itu." tutur Benny.
Ningrum terdiam. Ia menangis sesenggukan di pelukan lelaki yang dicintainya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Tidurlah, sudah malam," ucap Benny sembari melepas pelukannya.
"Sebentar saja, Mas. Tolong.. biarkan sebentar saja aku berada dalam pelukanmu." pinta Ningrum.
Benny tak bisa menolak, lagi lagi ia memenuhi kemauan Ningrum seperti yang sudah-sudah.
Tok tok tok.
Ketukan di pintu kamar membuat Ningrum terpaksa harus melepaskan pelukannya. Ia mengusap kedua matanya yang basah sebelum membukakan pintu.
"Mbak Luna, kenapa kemari?" tanyanya bernada tak suka.
"Aku mau menjemput mas Benny, suamiku. Ini sudah sangat larut, sudah waktunya dia beristirahat," jawab Luna.
"Be- benar kata mbakmu, Ning, ini sudah larut. Mas harus segera beristirahat." Benny berjalan melewati Ningrum. Digenggamnya tangan Luna yang kemudian diajaknya berlalu.
"Kamu sama Ningrum sedang apa sih di dalam kamar berduaan, Mas? Pintunya juga.. kenapa harus ditutup?" cecar Luna.
Sesampainya di dalam kamar, Benny lantas mengajak Luna untuk berbaring di atas kasur.
"Aku memperbaiki laptop Ningrum yang error, Luna. Selain itu tak ada hal lain yang kami lakukan," jawab Benny.
"Benarkah?"
Benny berdecak pelan, "Kamu itu kenapa sih? Cemburu? Atau apa? Pertanyaan kamu tadi itu seperti tuduhan bagiku,"
Luna terkekeh mendengarnya, "Tuduhan? Aku kan cuma tanya, Mas, kenapa kamu seolah tersinggung begitu sih?" balasnya.
"Apa-apaan sih kamu? Kok malah ngajak ribut." Benny mendengus kesal. Ia membalikkan badan, memunggungi Luna.
"Siapa yang ngajak ribut? Orang cuma tanya kok."
*
Jam di dinding kamar menunjukkan pukul 2 dinihari. Suasana di kediaman Benny sepi sunyi, semua orang sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Hanya Luna sajalah yang sampai detik ini masih terjaga.
Ada sesuatu yang mengganjal di hati Luna sehingga membuatnya tak kunjung bisa memejamkan mata.
"Di kamar Ningrum, aku sempat melihat ada banyak sekali fotonya bersama mas Benny. Benar, mereka adalah kakak adik, tapi saat melihat foto-foto mereka yang dipajang Ningrum di dinding kamarnya, entah kenapa aku merasa seperti cemburu." gumamnya dalam hati.
**
Keesokan harinya, terlihat semua keluarga Benny sudah berada di ruang makan. Hanya Luna saja yang belum terlihat batang hidungnya.
"Istrimu mana, Benn?" tanya Hendra.
"Masih di dalam kamar, Pa. Tadi sih masih mandi," jawab Benny.
"Mandi biasa apa mandi keramas, Benn?" celetuk Retno. Ia senyum-senyum sendiri sambil melirik Benny.
Seketika ruang makan pun menjadi ramai dengan suara tawa.
Di saat yang bersamaan, datanglah Luna. Pagi-pagi dia sudah terlihat cantik dan menawan meskipun hanya mengenakan pakaian rumahan.
"Pagi semua," sapa Luna.
"Pagi.."
"Maaf, Mbak, ini tempat dudukku. Kalau Mbak mau duduk, silahkan di sebelah kursinya mama. Di sana kosong," ujar Ningrum tepat di saat Luna hendak mendudukkan pantatnya di kursi sebelah Benny.
Raut wajah Luna langsung berubah. "Kenapa begitu?" tanyanya tak suka.
"Luna.. Ningrum itu sejak kecil memang sudah terbiasa apa apa bersama Benny. Sampai-sampai urusan tempat duduk pun dia maunya cuma di sebelah Benny. Jadi, Mama minta, kamu mengalah saja ya sama adikmu," sahut Retno. Ucapannya seakan mendukung tindakan Ningrum.
Tak ingin mengalah, Luna pun mencoba mencari pembelaan suaminya. Ia menatap Benny dan memanggilnya, "Mas.."
"Kamu duduk di sebelah mama ya. Tak apa kan? Adikku satu ini memang sangat manja padaku," ucap Benny.
"Tuh kan, mas Benny saja tak mempermasalahkan. Kenapa Mbak yang orang baru malah seolah-olah ingin mengatur orang lama di sini?" cetus Ningrum.
Dengan santai, Ningrum mendorong pelan tubuh Luna sehingga membuat kakak iparnya itu sedikit tersentak.
"Sini, Luna, duduk di sebelah Mama." ucap Retno.
Dengan enggan, Luna berjalan mendekati Retno dan duduk di kursi sebelahnya.
Dalam diam, Hendra sebenarnya memperhatikan tingkah keluarganya. Ia menatap satu persatu anggota keluarganya secara bergantian tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Mas mau makan apa? Biar aku ambilkan," kata Ningrum pada Benny. "Mau ayam goreng bumbu laos? Udang goreng? Atau apa?" tanyanya antusias.
"Aku mau-"
"Ehem." Hendra tiba-tiba saja berdeham, membuat perhatian semua orang yang berada di meja makan terpusat kepadanya. "Benny itu sudah punya istri biarkan istrinya saja yang melayani dia," ucapnya penuh penekanan.
Semua orang menatap sekilas ke arah Ningrum, namun tak ada yang berani bersuara sedikitpun untuk membelanya.
"Ma- maaf, Pa, aku dari dulu selalu melayani mas Benny, makanya sampai sekarang masih terbawa kebiasaan itu. Aku lupa kalau mas Benny sudah punya seorang istri," ucap Ningrum. Lirikannya terlihat sinis saat mengarah ke Luna.
"Kamu itu tidak lupa tapi pura-pura lupa." tukas Hendra.
Ningrum seketika diam, tak dapat berkata-kata lagi. Ia juga tak mungkin berani membantah perkataan Hendra apalagi yang dikatakannya memanglah sebuah fakta.
"Kamu mau makan apa, Mas? Mau aku ambilkan atau ambil sendiri?" tanya Luna tiba-tiba.
"Aku ambil sendiri saja," jawab Benny. Ia tersenyum manis kepada Luna demi membuat istrinya itu tak tersinggung dengan pilihannya.
"Oke."
Suasana di ruang makan tampak tak seperti biasanya. Semua orang menjadi canggung akibat teguran Hendra tadi.
"Apa rencana kalian berdua setelah ini? Apa mau langsung berangkat kerja ke kantor atau mau cuti honeymoon dulu?" tanya Hendra, memecah keheningan di antara mereka.
Benny dan Luna saling berpandangan, keduanya tersipu dan tertunduk malu mendengar pertanyaan Hendra.
"Rencananya sih kami mau cuti untuk honeymoon dulu, Pa," jawab Hendra malu-malu.
"Tak apa. Papa mengizinkan. Memangnya kalian mau honeymoon ke mana?" tanya Hendra lagi.
"Ke Bali, Pa. Aku dan Luna jauh-jauh hari sudah memilih tempat yang akan kami kunjungi di Bali setelah pernikahan kami," terang Benny.
"Kalau begitu, segeralah berkemas dan jangan ditunda-tunda lagi," ujar Hendra.
"Siap, Pa. Kalau tak ada halangan-"
"Awh!" Tiba-tiba saja Ningrum menjerit keras, memotong percakapan Hendra dan Benny. "Ah.. sakit," rintihnya sembari meremas perutnya.
"Kamu kenapa, Ning? Perutmu kenapa?" tanya Benny, cemas.
Retno pun ikut-ikutan panik melihat anak perempuannya yang merintih kesakitan. Ia beranjak dan langsung menghampiri Ningrum.
"Kamu sedang haid ya? Kumat lagi sakit perutnya?" tanya Retno.
Bukannya menjawab, Ningrum malah mencari perhatian Benny. Ia memanggil nama sang kakak dengan nada lirih sambil menghamburkan tubuhnya ke dada Benny.
"Astaga, Ningrum! Kamu kenapa, Nak?" Retno berteriak histeris. Air mata Retno sampai jatuh menetes, membasahi pipi saking khawatirnya melihat keadaan anak perempuannya.
Tanpa banyak berpikir, Benny langsung mengangkat tubuh Ningrum dan membawanya ke kamar.
"Sabar ya, Sayang, aku akan segera menghubungi dokter keluarga kita untuk memeriksamu. Kamu bersabarlah dulu." ucap Benny.
Tanpa Benny sadari, saat dirinya tak sengaja memanggil Ningrum dengan sebutan 'Sayang' ada seseorang di belakang punggungnya yang tampak terkejut.
"Kenapa Benny memanggil adiknya dengan sebutan sayang? Apakah mungkin Benny memiliki perasaan khusus terhadap adiknya ataukah hanya perasaanku saja yang salah menilai?" batin seseorang itu.
_
"Aneh, tak ada sakit apapun yang aku temukan dari diri Ningrum. Tapi kenapa dia terlihat seperti kesakitan?" batin Riana.
Riana sendiri adalah seorang dokter yang dipekerjakan secara pribadi oleh keluarga Hendra. Ia sudah menjadi dokter langganan yang selalu dihubungi ketika ada salah seorang anggota keluarga Hendra yang sedang mengalami sakit.
"Bagaimana, Dok? Apakah ada yang parah dari sakitnya Ningrum?" tanya Benny. Nada bicaranya terdengar penuh kekhawatiran. Dia benar-benar cemas dengan keadaan Ningrum.
"Ningrum.." Dokter Riana memperhatikan raut wajah Ningrum sambil mengernyitkan dahi. "Apakah benar kamu sakit, Ning? Memangnya apa yang kamu rasakan?" tanyanya kepada Ningrum.
Sambil berpura-pura meringis kesakitan, Ningrum menjawab, "Perut saya sakit, Dok, seperti diremas-remas. Sepertinya gerd saya kambuh,"
"Iyakah?" Dokter Riana terlihat tak percaya, ia meragukan keluhan yang dikatakan Ningrum barusan. "Saya suntik vitamin saja ya supaya tubuh kamu bisa kembali segar." ucapnya kemudian.
Ningrum mengangguk pelan.
Setelah dokter Riana memberikan suntikan vitamin kepada Ningrum, ia pun pamit undur diri.
Ia melangkah keluar dari kamar Ningrum ditemani Luna. Saat berjalan bersama, keduanya terdengar asik bercengkerama. Banyak hal yang keduanya bicarakan, mulai dari saling berkenalan sampai saling bertukar cerita mengenai kehidupan masing-masing.
"Senang berkenalan dan mengobrol denganmu, Luna. Kamu tipe orang yang asik diajak bercerita," puji Dokter Riana.
"Ah Dokter bisa saja. Saya jadi malu lho di bilang seperti itu," ujar Luna.
Dokter Riana terkekeh dibuatnya, "Terima kasih ya, Luna, sudah mau mengantar saya sampai ke teras," ucapnya. "Kalau begitu saya pamit pulang dulu,"
"Ehh tunggu sebentar, Dok, ada yang mau saya tanyakan," ujar Luna.
"Ya, mau tanya apa?"
"Sebenarnya Ningrum sakit apa ya, Dok? Apakah sakitnya parah?" tanya Luna balik.
"Sebenarnya saya tidak menemukan apapun saat memeriksa keadaan Ningrum tadi. Menurut saya kondisinya cukup baik dan sehat. Air mukanya juga terlihat bagus, tidak pucat. Tapi yang anehnya Ningrum terus saja merintih kesakitan, padahal sudah saya cek berulang kali dan saya yakin tak ada yang salah dengan tubuhnya," jelas Dokter Riana.
"Hah?" Luna melongo mendengar penjelasan sang Dokter. "Jadi, Ningrum tidak sakit, Dok? Ah.. bukan tidak sakit tapi lebih tepatnya, dia pura-pura sakit. Benar kan?" tanyanya memastikan.
Dokter Riana tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala. "Saya pamit dulu ya, Luna, kapan-kapan kita sambung lagi pembicaraan kita," pamitnya.
"Iya, Dok. Hati-hati di jalan ya."
Luna kembali masuk ke dalam rumah. Ia berjalan cepat menuju ke kamar Ningrum, di mana semua orang berada.
"Aku harus memberitahu mas Benny mengenai apa yang ku dengar dari dokter Riana tadi." gumamnya.
"...."
Luna sejenak menghentikan langkahnya saat tak sengaja telinganya mendengar suara lirih Retno yang seperti sedang menasehati Benny.
Ia mengurungkan niat untuk kembali ke kamar Ningrum dan lebih memilih melangkahkan kakinya ke ruang kerja Benny, tempat suara yang didengarnya berasal.
Kebetulan ruang kerja suaminya itu berada tepat di sebelah kamar Ningrum dan pintunya juga sedang terbuka lebar, itu sebabnya suara dari dalam ruangan bisa terdengar sampai luar.
Luna mengintip dan menguping pembicaraan Retno dan Benny dari balik dinding ruangan.
"Jangan sampai ada seorangpun yang tahu mengenai masalahmu itu, apalagi papamu.. dia tak boleh sampai tahu, paham kamu?" kata Retno.
"Paham, Ma, maaf atas kecerobohanku tadi." ucap Benny.
"Apa sih yang sedang mereka bahas? Kenapa sepertinya serius sekali pembicaraan mereka?" batin Luna.
Tap tap tap.
Suara langkah mendekat, membuat Luna terburu-buru pergi dari tempat persembunyiannya. Ia kembali ke kamar Ningrum dengan memasang wajah setenang mungkin.
"Bagaimana keadaanmu, Ning? Sudah membaikkah?" tanyanya berbasa-basi.
"Sudah, Mbak, sudah enakan kok," jawab Ningrum.
"Baguslah kalau begitu."
Beberapa saat kemudian, masuklah Retno bersama Benny. Keduanya mengulas senyum dan melayangkan pandangan mereka kepada Luna dan Ningrum.
"Dari mana, Mas?" tanya Luna.
"Dari ruang kerja, bahas urusan kerjaan tadi sama karyawanku," jawab Benny berdusta. "Via telepon," imbuhnya.
"Oh.." Luna manggut-manggut saja menanggapi jawaban suaminya. "Kalau Mama, Mama dari mana tadi? Kok bisa datang barengan sama mas Benny?" tanyanya beralih pada Retno.
Ditanya seperti itu, Retno pun menjadi gugup, "Em Mama.. Mama.. tadi habis dari kamar mandi, Luna,"
Luna mengernyitkan dahi, "Dari kamar mandi yang mana, Ma? Lagian di sini kan juga ada kamar mandi dalamnya, kenapa Mama musti keluar kamar kalau cuma mau ke kamar mandi?" cecarnya.
"Ah anu-"
"Ma, perutku sakit lagi, bisakah Mama ambilkan aku air minum hangat?" sela Ningrum pada kalimat Retno yang belum sempat dilanjutkannya.
Ningrum sengaja mencari alasan seperti itu agar mamanya terhindar dari pertanyaan menyudutkan dari Luna.
"Oh air hangat? Kamu mau minum air hangat, Nak?" tanya Retno, memastikan.
Ningrum mengangguk pelan.
"Ya sudah, Mama ambilkan dulu ya."
Melihat drama antara mama mertua dengan adik iparnya, membuat Luna sedikit kesal. Ia menatap Retno dan Ningrum bergantian dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.
Tep.
Sebuah tepukan di pundak Luna, seketika membuyarkan lamunannya.
"Ada apa, Mas?" tanyanya setengah terkejut.
"Kamu ngelamunin apa sih?" tanya Benny balik.
"Ah tak ada,"
"Kamu belum selesai sarapan kan? Turunlah ke bawah dan lanjutkan sarapanmu," perintah Benny.
"Aku menunggumu. Kalau kamu turun aku juga akan turun, kalau kamu masih tetap stay di sini, aku pun juga akan tetap di sini," jawab Luna.
Benny sekilas tampak melirik Ningrum, begitu juga sebaliknya.
"Ya sudah, ayok turun.." ajak Benny. "Kami turun dulu ya, Ning. Tak apa kan kalau kamu sendirian di kamar?" tanyanya kepada Ningrum.
"Tak apa, Mas, nanti juga mama ke sini, jadi aku ada temannya." jawab Ningrum.
Benny dan Luna akhirnya keluar dari dalam kamar Ningrum.
Seperginya mereka, Ningrum langsung beranjak dari tempat tidurnya. Ia berdiri di dekat ranjang sambil berkacak pinggang dan menatap kesal ke arah pintu kamarnya.
"Arrgh! S*alan si Luna! Semenjak ada dia, aku jadi susah sekali mencuri perhatian mas Benny. Padahal dulu mas Benny selalu memprioritaskan aku, dia akan selalu menuruti kemauanku. Tapi sekarang, semenjak ada wanita s*alan itu, mas Benny berubah." ucapnya seorang diri.
Ningrum menghembuskan nafasnya kasar, pandangannya sekarang tertuju ke dinding kamarnya. Dilihatnya foto-foto kenangannya bersama Benny sebelum adanya Luna di tengah keluarga mereka.
"Aku rindu padamu, mas. Aku benar-benar rindu. Aku maunya kamu itu cuma jadi milikku." ucapnya sembari mengusap sebuah foto yang ditempelkannya ke dinding.
Air mata Ningrum menyeruak keluar. Ia menangis sedih sambil terus memandangi foto-foto di depannya.
"Lihat saja kamu Luna, aku akan membuat pernikahanmu dengan mas Benny berantakan. Akan ku rebut kembali dia yang memang sudah ditakdirkan untukku." ucapnya seorang diri.
Tap.
Tap.
Tap.
Suara langkah kaki yang berjalan pelan terdengar oleh Ningrum. Ia pun buru-buru melangkah keluar dari kamarnya untuk memastikan siapa pemilik langkah kaki tersebut.
"Tak ada orang? Tapi, tadi jelas sekali aku mendengar ada suara orang berjalan di dekat kamarku." gumamnya.
Ningrum celingukan di depan pintu kamarnya, namun yang ia dapati hanyalah kekosongan. Tak ada siapapun di sekitar kamarnya.
Tap.
Tap.
Tap.
Suara langkah kaki itu terdengar kembali dan Ningrum masih menunggu di tempatnya berdiri.
"Kamu!"
_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!