NovelToon NovelToon

Titik Koordinat Mimpi

Mimpi Buruk

Jangan pergi!

Kembalilah padaku!

Kumohon jangan pergi!

Tidaaaakkk!!!

Nafasnya terengah-engah. Dadanya kembang kempis seperti tengah berlari dengan kecepatan tinggi. Ia mengusap wajahnya dengan gusar. Apa? Aku bermimpi? Ya, dia hanya bermimpi buruk di pagi hari. Terbangun sebelum jam wekernya berbunyi. Tak seperti biasanya, kali ini mimpi itu terasa nyata. Entah siapa yang berada dalam mimpinya. Hanya ia seorang diri tengah berdiri di tepi tebing dengan hamparan laut luas. Menggenggam sebuah foto seorang pria, yang ia pun tak tahu siapa itu.

Kriiiiiingggg!!!

Ia mematikan jam weker yang baru saja berbunyi. Menyingkap selimutnya dan segera merapikan tempat tidurnya. Bergegas pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Mimpi apa itu tadi? Siapa di foto itu? Tak pernah aku melihatnya. Waktu masih menunjukkan  pukul 05.00 pagi. Masih ada waktu tiga jam sebelum kuliah paginya dimulai. Ia segera berganti pakaian dan pergi ke taman tak jauh dari kost untuk berolahraga pagi. Jogging salah satu aktivitas yang ia lakukan di pagi hari. Tak jauh dari kostnya, terdapat sebuah taman yang cukup luas. Tak sedikit orang menghabiskan waktu pagi mereka dengan jogging di sana. Tiba-tiba saja terdengar suara tangisan anak kecil dari arah taman. Benar saja ada anak kecil yang terjatuh saat belajar naik sepeda. Jarak yang tak jauh dengan keberadaannya, membuat ia berlari ke arah anak kecil itu.

“Hei, kamu gapapa?”

“Aku jatuh kak, kakiku berdarah. Huaaaaa..”

“It's okay. Sini kakak tiup. Kakak pakein plester yaa.”

Anak itu pun mengangguk sambil terisak. Tak ia dapati orang dewasa di sekelilingnya. Tak ia dapati pula orang tua dari anak kecil ini.

“Nama kamu siapa?”

“Hana.” Jawabnya singkat.

“Oke sudah selesai. Ngomong-omong kamu sendiri?”

“Aku bersama ayah ibuku. Tadi aku ingin sekali belajar sepeda. Setelah kurasa bisa, aku kayuh sepedaku hingga tak sadar aku sudah terlalu jauh dengan ayah ibuku. Hiks.”

“Gapapa, ada kakak. Ayo kakak temani mencari ayah ibumu.”

“Hana... Hana... kamu dimana? Ayah Ibumu mencarimu. Hana...” seorang laki-laki muda berperawakan jangkung, berkulit putih, berbadan atletis dan rupawan memanggil nama Hana berulang kali. Mungkin dia ayahnya, tapi.... “Hana, akhirnya kamu ketemu juga.” berlari menghampiri Hana. “Kamu gapapa?”

Hana hanya mengangguk keheranan. Ia tampak kebingungan dengan keberadaan laki-laki itu. Bagaimana dia bisa tau bahwa namanya Hana. Laki-laki itu kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang. “Iya Hana sudah ketemu, tidak jauh dari kolam ikan. Baik saya tunggu di sini.” Ia pun menutup telepon dan berlutut di depan Hana. “Kamu gapapa Hana? Kamu jatuh?” sembari mengelus lutut Hana yang tertutup plester.

“Kamu siapanya Hana?”

“Oh aku bukan siapa-siapanya Hana. Tadi ada sepasang orang tua muda yang kebingungan mencari anaknya jadi aku berniat membantu.”

“Hanaaa...” Terdengar teriakan perempuan muda yang tengah berlari ke arah mereka.

“Ibu.. Ayah.. Huaaaaa.” Hana kembali menangis sambil memeluk erat Ibunya.

“Kamu gapapa, Nak. Ibu sama ayah mencarimu kemana-mana.” Ucap wanita muda itu yang tampak begitu khawatir.

“Maaf, Bu. Maafin Hana.”

“Terima kasih Bian sudah menemukan Hana.” Ucap Ayah Hana menepuk pundak laki-laki itu.

“Bukan saya om, tapi dia.”

“Oh terima kasih banyak, bahkan kamu memberikan plester pada Hana.” melihat lutut Hana yang sudah terdapat plester. “Siapa nama kamu?”

“Zefanya, panggil saja zizi.”

“Terima kasih zizi, kamu bahkan merawat lukanya. Entah apa yang terjadi jika Hana tidak bertemu kamu.”

“Ayah aku tadi jatuh dari sepeda, trus Kak Zizi nolongin aku. Lukaku dikasih plester sama Kak Zizi. Kak Zizi baik. Makasih Kak Zizi. ”

“Sama-sama Hana. Lain kali hati-hati. Kamu udah jago lho naik sepedanya.”

Bian yang melihat kebaikan Zizi dan kedekatannya bersama Hana tanpa sadar tersenyum. Betapa tulus hatimu menolong anak kecil yang bahkan tak pernah bertemu sebelumnya.

“Yaudah sekali lagi terima kasih ya Zizi. Bian terima kasih ya sudah membantu. Kami pamit dulu.”

“Makasih ya Zizi, Bian.”

“Sama-sama tante.” Ucap Zizi bersamaan dengan Bian. “Hati-hati Hana.” Zizi terkejut dengan Hana yang tiba-tiba memeluknya.

“Makasih Kak Zizi, besok sepedaan bareng Hana yaa.”

“Tentu dong.” Jawab Hana sembari melambaikan tangan melihat Hana yang kian jauh.

“Yours?” suara Bian memecah keheningan selepas kepergian Hana. Ia menyodorkan flashdisk yang terjatuh.

“Ah iya. Thank you. Aku duluan ya.” Zizi menerima flashdisk yang diberikan Bian lalu bergegas meninggalkannya. Mengingat sudah pukul 06.30, dan ia harus segera bersiap-siap ke kampus.

Belum sempat Bian menjawab, Zizi sudah berlari ke arah kost tempat ia tinggal. “Zefanya? Nama yang bagus. Zizi.” Ia mengulas senyum dan beranjak pergi.

 

***

 

Zefanya Alessandra atau Zizi. Mahasiswi semester 5 studi Desain Komunikasi Visual di salah satu universitas negeri di Kota Malang. Tinggal di Malang seorang diri membuat Zizi dituntut untuk mandiri. Kedua orang tuanya bekerja di Bandung. Rumah orang tuanya memang jauh dari kampus tempatnya menimba ilmu. Untuk itu ia memutuskan untuk kost di lokasi tak jauh dari kampusnya. Sedangkan rumah orang tuanya dihuni oleh kakek neneknya.

“Zi hari ini ada dosen baru lho. Pak Arya ada tugas di luar negeri jadi mau gak mau diganti sama dosen baru.” Kata  Felicia penuh semangat menggoyang2kan tangan Zizi.

“Oh ya? Aku harap dosennya seenak pak Arya.”

“Dosennya masih muda, ganteng lagi. Aku tadi liat di depan ruang dosen ngobrol sama Pak Bisma. Aaaaaa keren pokoknya.” Teriaknya histeris.

Zizi hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya yang begitu penuh semangat. Tiba di kelas mereka tampak terkejut. Bangku bagian depan sudah penuh tak tersisa. Semua mahasiswi berlomba-lomba duduk paling depan. Ah benar saja ada dosen pengganti, sudah pasti para gadis itu hendak cari perhatian. Hanya tersisa dua baris tempat duduk di bagian belakang yang masih kosong. Tentu saja bergabung dengan cowok-cowok.

“Dosennya dateng, ayo buruan merapat.” Teriak salah satu mahasiswi sambil berlari mengambil duduk paling depan.

Riuh para gadis membanjiri ruang kelas begitu dosen tampan itu masuk ke kelas.

“Pagi semua...”

“Pagi Paaaak.”

“Apa kabar semuanya? Semangat sekali ya sepertinya.”

“Semangat dong Pak.” Sahut semua gadis di dalam ruangan. “Apalagi dosennya ganteng.” Celetuk salah satu mahasiswi yang duduk paling depan.

“Waaah gitu ya. Oke teman-teman di sini saya menggantikan Pak Arya yang kebetulan sedang tugas di luar negeri ya. Nama saya Biantara Wisam, biasa dipanggil Bian.”

“Selamat datang Pak Bian.”

“Ganteng banget tau, Zi.”

“Siapa tadi namanya, Bian ya.” Bian? Seperti pernah dengar.

Setelah memperkenalkan diri, kini giliran Bian mengabsen satu persatu mahasiswanya. Para gadis kegirangan begitu satu persatu namanya dipanggil oleh dosen tampan itu. Sampai tiba pada abjad Z. Terdapat tiga nama perempuan pada absen terakhir.

“Zefanya?” gumamnya lirih. “Zefanya Alessandra?”

“Hadir Pak.” Ucap Zizi mengangkat tangannya. Kedua pandangannya bertemu dengan Bian. Pria yang ia temui di taman tadi pagi. Siapa sangka ia adalah dosennya. Zizi memang tak memperhatikannya dengan seksama saat bertemu tadi pagi.

“Oke.” Bian mengulas senyum melihat Zizi. Ia melanjutkan kegiatannya memanggil mahasiswanya. Zefanya Alessandra, lebih indah dari yang gue kira.

Melihat Bian yang mengulas senyum, Zizi membalas dengan anggukan. Ia seolah salah tingkah bertemu Bian kembali disaat yang dia rasa kurang tepat. Bagaimana tidak, dia dosen di kelasnya. Ia kembali melihat sekitar, was-was kalau saja teman-temannya mengetahui.

“Kemarin ada tugas dari Pak Arya kan? Boleh dikumpulkan ke saya.”

“Ziiiiiiiiii.” Ucap cowok-cowok yang duduk di belakangnya. Zizi hanya melayangkan tatapan maut kepada mereka. Alih-alih takut, mereka malah memuji kecantikannya.

“Cantiknya Ziziiiiiii.” Berseru dengan kompak.

Zizi hanya menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu berjalan maju menuju meja Bian untuk menyerahkan flashdisk yang Ia bawa. Flashdisk yang juga Bian temukan tadi pagi. Bian memperhatikan Zizi yang datang ke arahnya. Tentu saja membuat Zizi nervous, dan pasti pipinya mulai memerah. Ia mencoba menetralisir kegugupannya yang mulai tak terkendali.

“Ini Pak.” Ucap Zizi menyerahkan flashdisk yang dibawanya.

“Duduk.” Titahnya kepada Zizi.

Ia memperhatikan teman-temannya yang terus memandang ke arah Bian. Menghela nafas panjang adalah jurus jitu menetralisir kegugupannya. Bian melepas kembali kabel yang sudah tersambung ke layar proyektor sebelumnya.

“Sepertinya kamu orang yang bertanggung jawab.” Ucap Bian memecah keheningan diantara mereka berdua. “Nama filenya apa?” sambil mengutak-atik laptopnya.

“Di sini. Namanya Tugas Pak Arya.” Sambil menunjuk ke arah layar laptop. Melihat kursor yang mengarah ke tulisan salin, Zizi segera menyela. “Di cut aja Pak biar gak penuh.” Bian hanya mengulas senyum.

“Sudah.” Bian mengembalikan flashdisk milik Zizi. Zizi pun kembali ke tempat duduknya. Bian membuka kembali laman wordnya yang hendak ia tunjukkan kepada Zizi namun ia urungkan. Zefanya Alessandra, indah seperti pemilik namanya. Ia pun menghapus kalimat tersebut, dan menutup laman wordnya. Menyambungkan kembali ke layar proyektor.

 

Biantara Wisam, seorang pria berwajah rupawan, berkulit putih, berbadan atletis, tingginya berkisar 180cm. Gadis mana yang tak terpesona melihat ketampanan dosen muda tersebut. Bukan soal itu. Rasanya Zizi kembali menyelami alam mimpinya pagi itu. Mimpi yang sama seperti kemarin. Namun, Ia tengah terheran karena pria yang berada di foto itu adalah Bian. Apa hubungannya dengan Bian? Bahkan jauh sebelum bertemu Bian Ia sudah memimpikannya. Kini, Ia benar-benar bertemu laki-laki di foto yang ia peluk dalam mimpi.

“Apa arti memimpikan orang yang belum kita kenal tapi nyata di kehidupan?”

“Maksudnya?” tanya Felic heran.

“Aku bermimpi menangisi seseorang yang bahkan aku belum pernah ketemu. Selang beberapa waktu di dunia nyata aku bertemu dengan pria di mimpiku.”

“Mmmmmm mungkin jodoh.”

Plak! Zizi melayangkan kertas dikepala Felic. “Aduuuuh.” Gerutu Felic. “Loe ya nanya dijawab malah nge-geplak orang sembarangan.”

“Gak tau deh, kayaknya gue aneh akhir-akhir ini.” Membenamkan kepalanya di kedua tangannya yang bertumpu.

Hati minggu pagi itu, mereka jogging bersama di taman tempat biasa Zizi menghabiskan waktu olahraganya. Mereka duduk di kursi taman lengkap dengan mejanya. Udara pagi yang masih bersih dan hangatnya sinar mentari menyusuri meja tempat mereka beristirahat. Tak lama kemudian terdengar suara pria memanggil nama Felicia. Felicia pun terperanjat, dan sontak menggoyangkan tubuh Zizi. Ponsel Zizi pun jatuh ke bawah meja.

“Zi, bangun Zi bangun.”

“Loe udah dijemput ya? Gue sendiri dong.” Sambil mencoba meraih ponsel di kolong meja.

“Hai, pagi.”

“Pagi Pak Bian.”

Mendengar kata Bian, Zizi pun terkejut dan segera meraih ponselnya. Dug!!

“Aaaaaargh.” Kepalanya terbentur meja batu.

“Zi, kamu gapapa?”

“Zizi?” Bian berjongkok melihat Zizi di bawah meja. “Aman?” melihat Zizi meringis kesakitan. Zizi hanya menggelengkan kepalanya sambil mencoba duduk kembali.

Gila. Malu setengah mati gue.

“Loe gapapa? Berdarah gak? Lagian loe ngapain juga di kolong meja? Perlu obat gak?”

Tangan Zizi sontak menutup mulut sahabatnya yang sedari tadi berbicara tanpa henti. “Brisik.” Sahabatnya pun manyun dibuatnya.

“Yakin gapapa?” tanya Bian mengalihkan perhatian keduanya.

“Gapapa kok. Aman. Lagian kenapa loe tiba-tiba muncul?”

Bugh! Felicia menggeplak bahu Zizi. “Mulut loe. Dia Pak Bian, dosen kita!”

“Gapapa, ini di luar bukan di kampus, panggil aja Bian.”

“Tetep aja Pak gak sopan.”

“Bian aja, kita gak beda jauh. Kalo di kampus, baru panggil Pak.”

“Yakali mau manggil Bian, yang ada histeris satu kelas.” Celetuk Zizi. “Ah! Sakit!” Felic kembali menjitak kepala Zizi yang sembarangan bicara.

“Maafin temen saya ya Pak. Eh Bian maksudnya. Nilainya kasih jelek aja gapapa.”

“Sudah sarapan? Sarapan bareng yuk.”

“Boleh. Yuk! Tapi...”

“Feliciaaaa.....” mereka bertiga kompak mengalihkan pandang menuju sumber suara.

“Angga.” Melambaikan tangan. “Maaf ya Bian gak bisa ikut sarapan bareng, udah dijemput. Duluan yaa. Zi nitip laptop ya nanti pulang gue ambil.”

“Hmmm...”

“Hati-hati Felice”

Tersisa mereka berdua. Felicia dan Angga sudah tak lagi terlihat oleh mata. “Jadi gimana?”

“Mmmm...”

“Kak awas kak, anjingnya lepas.”

“Aaaahhh anjing!” sontak Zizi berlari kebelakang tubuh Bian dan reflek memegang lengan Bian. “Hush hush sana dasar anjing loe!”

Bian menatap heran dengan tingkah Zizi yang begitu takut dengan anjing. “Engga gue gak ngumpat, emang itu namanya anjing. Serius. Aaaaaa!” Zizi berteriak histeris, tangannya  pun tak lepas dari lengan kekar Bian.

“Cici. Maaf ya Kak udah ganggu. Cici ayo sini pulang.” Sepasang muda mudi itu pun mengalungkan rantai ke leher Cici, si anjing.

“Santai aja.”

Guk guk!

“Engga!” teriak Zizi bergidik saat Cici mencoba mendekatinya yang bersembunyi di belakang Bian. Ia pun mengitari tubuh Bian yang sedari tadi heran dibuatnya. Beralih ke depan tubuh Bian, dan memastikan Cici sudah pergi dengan pemiliknya.

“Setakut itu sama anjing?”

“Engga. Geli aja liat dia ngendus-endus.” Masih melihat-lihat sekitar.

“Trus kenapa kamu masih pegang tangan aku? Takut apa modus sama dosen tampan?”

Zizi sontak melihat tangannya yang masih memegang erat tangan Bian. Tak sengaja merasakan kekarnya lengan Bian digenggamannya. Ia pun dengan cepat melepas tangannya. Mencoba merasa baik-baik saja, padahal jantungnya bagai musik diskotik.

“Sorry. Reflek.” Ia tampak salah tingkah. “Mmm kayaknya aku...eh gue gak bisa nemenin sarapan ada acara lain. Gue duluan yaa..” ucap Zizi berjalan mundur terburu-buru.

 Brukkk!! Menabrak tong sampah di dekat kolam. “Gue gapapa.” Ia pun lari bak dikejar hantu. Bukan terburu-buru, hanya saja malu akan tindakannya baru saja. Sepanjang jalan Ia merutuki dirinya sendiri. "Gimana sih loe Zi, duh malu banget. Huhuhuuu."

Bian hanya tertawa kecil sembari menggelengkan kepala melihat tingkah laku mahasiswinya tersebut. Ia kemudian mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas meja. Pandangannya tak luput dari earphone bluetooth di meja. Zee-zee. Selalu saja ketinggalan. Ia tersenyum gemas menatap earphone tersebut. Lucu.

 

 

 

Sentuhan Itu

Zefanya Alessandra. Gadis cantik dengan tubuh proporsional tak kalah dengan idol K-Pop. Rambut panjangnya selalu terurai kala mengikuti kelas. Kulit putih yang menawan dengan tinggi berkisar 160cm menambah sempurna pesona dirinya. Tak jarang para cowok di kampus memuji dan mencari perhatian. Sikapnya yang sedikit cuek dan dingin dengan cowok dari penjuru manapun menjadi daya tarik tersendiri. Ia pun juga disegani para cowok di kelas karena sikapnya yang tak mudah termakan bujuk rayu buaya.

Kriiiinggg!!

Tangannya meraih jam weker di atas meja. Ia menggeliat di atas kasur kemudian membenarkan posisi duduknya. “Nyamannya..” Ia melipat selimut yang menutupi tubuhnya dan merapikan kasur. Aktivitasnya terhenti. Ia melirik ke arah jam weker. Pukul 05.00. Ia melirik ke arah jendela dan sedikit mengintip keluar, sudah pagi. Ia juga mengambil ponselnya, 05.00 a.m. Itu artinya dia bangun di waktu yang tepat. Tak seperti biasanya yang selalu terbangun sebelum jam weker berbunyi. Ya, dia tidak mimpi buruk pagi ini.

“Haaaaah syukurlah aku tidak bermimpi buruk pagi ini.”

Senyum sumringah menghiasi wajahnya pagi ini. Tidur nyenyak yang selama ini Ia impikan menjadi kenyataan. Ia pun terheran mengapa pagi ini Ia tak mimpi buruk. Bahkan semalam Ia lupa tak minum obat penenang yang diresepkan dokter. Ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka, menggosok gigi. Berniat pergi jogging pagi. Namun ingatannya kembali ke hari itu. Hari dimana dia ketakutan dengan keberadaan Cici, anjing yang terus saja mencoba mendekatinya.

Setakut itu sama anjing?

Terus kenapa kamu masih pegang tangan aku?

Takut apa modus sama dosen tampan?

Zizi menggelengkan kepalanya setelah lama terdiam. Bayangannya malah tertuju pada lengan kekar Bian yang kala itu Ia genggam erat. Begitu juga tatapan Bian yang lembut dan tulus, meski hanya sekejap mereka bersitatap. Tentu saja membuat jantungnya tak aman. Baru kali ini Ia merasa aneh kepada cowok, tak seperti biasanya.

“Ah bodohnya gue. Gak ah, gak usah jogging mana tau nanti ada anjing lagi. Apalagi kalo ketemu Bian, bisa mati kutu gue karena malu.”

Ia mengurungkan niatnya untuk pergi jogging. Memilih mandi pagi itu. Ia pun tak juga membuat sarapan. Memilih pergi ke kost Felicia untuk mengajaknya sarapan bersama di dekat kampus.

Pagi itu Bian juga tak pergi jogging. Berbeda dengan Zizi, Bian bangun terlambat. Bian adalah orang yang disiplin. Rasanya baru kali ini Ia bangun terlambat. Tidurnya serasa nyenyak sampai-sampai bunyi alarm tak Ia dengar. Ia menggapai ponsel di sampingnya. Tertulis 06.30 a.m. Ya Ia bangun sangat terlambat dari biasanya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dan kembali melihat ponsel untuk memastikan.

“Sudah sesiang ini? Tidurku pasti sangat nyenyak sampai alarm pun terlewat. Bagaimana dengan mimpi? Sepertinya aku tak bermimpi aneh malam ini.”

Bian bangun dari tidurnya, merapikan kasur dan selimut yang semalam bergelut dengannya. Pergi untuk mandi dan melanjutkan aktivitasnya hari ini. Ah ya ada jadwal mengajar pagi ini di kelas Zizi. Keluar kamar mandi hanya berbalut handuk dipinggangnya, memperlihatkan betapa atletisnya tubuh pria itu. Meraih ponsel hendak mengisi daya. Namun fokusnya teralih pada earphone bertuliskan nama Zee-zee di mejanya. Menghela nafas, menyunggingkan senyum. Ia pun beralih ke walk in closet, mengambil dan memakai pakaian kerjanya. Celana putih dipadukan dengan kemeja panjang berwarna blue ocean, membuat penampilannya sungguh sempurna.

Zizi dan Felicia berjalan di halaman kampus yang dirindangi peopohan. Setelah menyantap sarapan, mereka langsung bergegas menuju kampus. Tak berselang lama sebuah mobil sport berwarna putih melintasi gerbang kampus. Seluruh gadis bersorak kagum melihat mobil sport yang melintas.

“Cowok keren lewat emang sengaruh itu ya. Mobilnya aja keren apalagi orangnya.” Zizi pun ikut membayangkan pesona cowok yang berada di dalam mobil.

“Zi parah loe, ganteng bangeeeet.” Felice menarik lengan Zizi untuk mendekat ke mobil yang terparkir di depan gedung.

“Pagi Pak Biaaan.” sapa para gadis yang saat ini tengah mengerumuni mobil itu.

“Pagi semua.” Jawab Bian singkat.

Mendengar kata Bian, tubuh Zizi berdiri kaku di tempat. Memandang pesona dosen tampan, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia terpesona melihat Bian yang menuruni mobil lengkap dengan tas jinjing ditangannya. Rasanya sungguh sulit digapai.

“Pagi Pak Bian.” celetuk Felice.

“Pagi Felice.” Memiringkan kepala melihat Zizi yang berdiri seperti patung di belakang Felice. “Pagi Zizi. Are you okay?”

Zizi sontak mengalihkan pandangan dan berdehem untuk mencairkkan suasana. Penampilan Bian, senyuman dan sapaannya mampu memporak-porandakan jantungnya.

“Terpesona dia Pak.” Celetuk Felice cekikikan.

Bugh! Zizi meng-geplak bahu Felice dan melayangkan tatapan maut. “Pagi juga Pak. Saya baik.” Jawabnya singkat mencoba menetralisir perasaannya.

“Oke. Saya duluan.” Mengulas senyum dan berjalan menuju kantor.

“Pagi Pak Biaaaan.”

“Ganteng kan?”

“Tau ah gila loe nyeplos aja bawaannya.” Pergi begitu saja meninggalkan Felice.

“Tungguin dooong.” Berlari mengejar Zizi.

Saat berjalan di koridor Zizi diikuti dua cowok yang gak kalah kece. Mereka menggoda dan merayu dengan manisnya. Mereka menawarkan menonton konser bersama besok malam. Alih-alih menanggapi, Zizi hanya menggelengkan kepala keheranan. Sampai tiba di depan kelas, dia berhenti dan berbalik badan. Namun mulutnya seakan terkunci melihat siapa yang berdiri di belakang.

“Ya!! Kalian tuh....” mulutnya terkunci melihat Bian yang ikut berhenti di belakangnya, memiringkan kepala mengisyaratkan bertanya. “Lupain! Gue ada kelas.” Dengan cepat Ia berbalik dan buru-buru masuk ke kelas. Ampun deh malu ke berapa kali ini. Ia berjalan cepat menuju mejanya.

“Pagi semua.”

“Pagi Pak.”

Seperti biasa, perkuliahan Bian semua gadis mengambil tempat duduk paling depan. Mencoba mencuri pandang dengan dosen tampan itu. Tak seperti biasanya, Bian yang selalu stay di depan, kali ini mencoba ke belakang mengitari penjuru kelas.

“Kelihatan dari belakang ya temen-temen?”

Berjalan menuju belakang sembari menjelaskan materi. Para gadis yang duduk di depan sontak mengeluh dengan hilangnya pandangan Bian dari mata mereka. Bian berjalan mengitari ruang kelas. Tiba-tiba sentuhan hangat terasa di tangan Zizi. Hal itu membuat Zizi kaget dan menoleh ke sumber tangan yang tiba-tiba menyentuhnya. Ternyata Bian berdiri tepat disampingnya. Ia pandangi earphone berada di atas mejanya, bergantian dengan punggung lebar Bian yang berjalan kembali ke depan. Ia menyembunyikan senyuman ke arah pandangan lain.

“Sampai di sini paham ya?”

Zizi kembali fokus ke arah dosen tampan yang sudah selesai menjelaskan materi itu. Tak ia duga, tatapannya beradu dengan Bian yang berdiri di depan sana. Bian memiringkan sedikit kepalanya mengisyaratkan bertanya. Hatinya kembali berdegup kencang, entah rasa apa yang baru saja terlintas dibenaknya. Ia sesegera mungkin mengalihkan pandangan dan mencoba berbincang dengan Felice yang duduk di sebelahnya.

“Paham Paaak.” Jawab semua mahasiswa dengan kompak.

“Oh iya saya punya info event seni dan fotografi. Buat temen-temen yang mau hadir bisa dateng hari sabtu sore di gedung seni deket alun-alun ya, mulai jam 16.00-19.00.”

“Asiiik sekalian malam mingguan nih.” Ujar salah satu mahasiwa yang duduk paling pojok belakang.

“Ikutan yuuuk.”

“Asik nih, besok dateng sama aku pokoknya. Ya ya ya aku pengen banget siapa tau ada mahasiswa dari kampus sebelah yang ganteng kaan?” pinta Felice sembari mengguncang-guncang tubuh Zizi.

“Mmmmmm boleh lah”

“Yess. Gitu dong.” Zizi memutar bola matanya melihat kegirangan Felice.

“Pak Bian datang kan?” tanya Rossa, mahasiswi yang paling cantik di kelasnya.

“Mmmm...” melihat ke arah Zizi yang juga melihatnya. “Lihat situasi hari itu. Kalo gak ada acara saya pasti dateng. Oke sampai di sini dulu, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya.” Zizi bernafas lega di belakang sana. Matanya mengikuti Bian yang melangkahkan kaki ke luar ruangan.

 

 

 

Mengapa Hari Ini Absen?

“Kantin yuk, takut gak bisa mikir habis ini.”

Zizi dan Felice menuju ke kantin kampus. Di tengah mereka berjalan tampak dari jauh Bian yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Berkali-kali ia mengangkat terlihat seperti menerima panggilan telepon. Terlihat sibuk. Bian menuruni anak tangga dengan ponsel yang masih di telinganya. Memasuki mobil, dan melaju meninggalkan halaman kampus.

“Hai Felice, hari sabtu ikut kan?” Jordy anak kelas sebelah tiba-tiba duduk di sebelah Felice.

“Oh iya. Gue ikut kok, loe juga ikut?”

“Pastinya dong, sekalian malam minggu ya gak? Kalo loe Zi?”

“Lihat situasi nanti lah.”

“Iiihh loe udah janji sama gue yaa.” Tegur Felice yang tengah menyantap makanannya.

“Serah gue lah, ntar juga loe tinggal pacaran lagi kek waktu itu. Mending gue.....”

“Jordy...... Ya ampun gue cari loe kemana-mana juga taunya di kantin. Gue gabung yaa.” Teriak Lisa.

Mereka menikmati makanan bersama siang itu. Bagi mereka masuk kuliah desain bagaikan ingin beruban sejak dini. Perlu berpikir kreatif untuk bisa menghasilkan desain yang benar-benar mengundang daya tarik khalayak. Berkutat dengan layar monitor setiap hari, yang tentu saja berpengaruh dengan kesehatan mata. Rata-rata mahasiswi DKV di kampus mengenakan kaca mata radiasi untuk mengurangi radiasi layar monitor.

Waktu menunjukkan pukul 14.00, kuliah siang pun usai. Terik matahari yang kian tertutup mendung menambah sejuk suasana siang itu. Sepertinya akan turun hujan sore nanti. Ah betul, Zizi masih harus mampir bengkel untuk mengambil motornya yang sudah beberapa hari menginap. Untung saja bengkelnya tak begitu jauh dengan kampus, jadi bisa ia tempuh dengan jalan kaki.

“Gue duluan ya, mau ambil motor di bengkel.”

“Bareng gue aja Zi sekalian, bengkel sebelah mini market kan?” ucap Nathan.

“Mmm....”

“Udah ayo naik, langitnya udah mau nangis nih.”

“Bilang aja loe yang nangis kalo ditolak Zizi.” Celetuk Felice.

“Oke deh. Kasian kalo nangis dia. Jarang-jarang kan ada cewek di jok belakang Nathan. ” Jawab Zizi dengan ledekan diikuti tawa teman-temannya.

Mereka berlalu dengan berboncengan. Nathan yang dikenal dingin dengan cewek, berhasil membuat heboh kampus. Pasalnya ia memboncengkan Zizi dijok belakang. Setelah beberapa menit, mereka pun sampai di bengkel.

“Thanks ya Nat, abis ini loe mau kemana?”

“Pulang lah.”

“Lah terus ngapain loe anterin gue? Bukannya rumah loe ke arah sana ya?”

“Sekali-kali Zi bantuin gue, biar gak dikata pelangi terus.”

“Hah? Pelangi? Loe pelangi?” Nada bicara Zizi meninggi karena kaget.

“Hush sembarangan loe, mana kenceng lagi bicara loe.”

“Hehehe maaf. Makanya cari pacar dong.”

“Loe mau jadi pacar gue Zi?”

Plakk!! Zizi meng-geplak helm yang dipakai Nathan.

“Makan tuh pacar. Sana sana pulang, motor gue udah jadi. Btw thanks ya Nathan yang baik hati. Hehehe.”

“Pikirin lagi lah, siapa tau loe mau jadi pacar gue.”

“Skip!” jawab Zizi singkat. “Pulang!” Zizi mode galak keluar.

“Galak juga loe ternyata. Iya gue pulang.”

“Makasih pak.”

Zizi menepi sebentar ke mini market. Tampaknya mendung semakin menjadi. Ia membeli beberapa kebutuhan pribadinya yang habis di kost. Setelah selesai melakukan pembayaran, ia keluar dari mini market. Ternyata hujan sudah turun. Ia pun lupa tak membawa mantel. Mau tidak mau ia harus menunggu sampai hujan reda. Ia meneguk kopi yang sempat dipesannya tadi. Hangatnya cukup menjadi teman duduknya menanti hujan reda. Tak lupa ia mengeluarkan ponsel dan memasang earphonenya.

Di seberang jalan terdapat sebuah kafe. Kafe tempat biasa anak-anak kampus nongkrong malam minggu. Ada seorang Bian yang sedang duduk di lantai dua. Pandangannya mengarah ke Zizi di seberang sana. Bahkan sejak Zizi datang berboncengan dengan Nathan. Ia bersama pemilik kafe membicarakan tentang desain produk dan branding kafe yang tengah hits di kalangan anak muda tersebut. Selain menjadi dosen, ia juga mencoba merintis bisnis di bidang desain.

“Makasih ya Bian, kita tunggu progress nya.”

“Sama-sama besok akan saya kabari Kak. Kalau begitu saya pamit dulu.”

Bian menjabat tangan pemilik kafe sebelum beranjak pergi. Kondisi hujan membuatnya ingin cepat pulang. Namun, masih ada satu klien lagi yang harus ia temui. Ia berhenti sejenak di depan kafe, melihat begitu derasnya hujan dan seorang gadis yang duduk di mini market seberang jalan. Kemudian ia berlari menuju mobilnya. Kembali memandangi Zizi di seberang sana. Ingin sekali rasanya ia bergabung duduk di depan Zizi. Namun lagi-lagi pekerjaan menunggunya.

[Jangan lupa kalau pulang pakai mantel] Hapus pesan.

[Kamu nunggu siapa di mini market?] Hapus pesan lagi.

[Kamu.....] Hapus pesan lagi dan lagi.

Ia lalu menyimpan ponselnya, mengurungkan niat mengirim pesan kepada Zizi. Hanya dapat memandang dari kaca mobil yang Ia kemudikan. Ia pun lalu melakukan mobilnya meninggalkan area kafe untuk menemui kliennya di tempat lain. Andai saja hari ini free, di kampus aja terburu-buru apalagi sesudahnya. Semoga saja hujannya segera reda. . Gumamnya dalam hati.

***

Jangan pergi!

Kembalilah padaku!

Kumohon jangan pergi!

Tidaaaakkk!!!

“Kenapa mimpi itu datang lagi? Kurasa sudah beberapa hari aku gak mimpi buruk.”

Monolognya saat ia membuka mata di pagi hari. Kali ini ia jauh lebih rileks dari sebelum-sebelumnya. Mungkin karena obat yang ia konsumsi. Hari ini ia tak ada jadwal kuliah pagi. Jadi ia bisa bersantai kali ini. Mengawali pagi hari dengan jogging seperti biasanya. Setelah dirasa cukup, ia beristirahat di tempat favoritnya, bangku dekat kolam. Matahari yang malu-malu menampakkan sinarnya, menggambarkan pikirannya yang kelabu.

“Sebenarnya aku menangisi siapa di mimpi itu? Seperti Bian di foto itu tapi kenapa semakin ke sini gambarnya semakin pudar. Haaaaaaah lama-lama bisa gila gue.” Gumamnya sendiri.

Tululit tululit. Tululit tululit. Ponselnya berdering. Ah ternyata Felice yang menelponnya.

--- hmmm? ---

--- Zi temenin aku yuk nonton basket, angga lagi tanding nih aku pengen banget liat. ---

--- Loe mau bolos? ---

--- Lah kebiasaan gak buka grub ya gini. Pak Bian kosong kok, Cuma kasih tugas aja. Jadi bisa nonton basket deh. Ya ya ya please... ---

--- Boleh deh. Jam berapa? ---

--- Sekaranglah. ---

--- Gila loe, berangkat aja sendiri. Udah ngajak mendadak, maksa lagi. ---

--- Hahaha engga-engga bercanda. Nanti jam 9 gue samper ke kost loe. ---

 

Belum sempat ia menjawab, telepon sudah dimatikan sepihak oleh Felice.

“Ya!! Dimana attitude loe, bikin kesel orang aja sih.”

Dengan perasaan kesal Zizi pun meninggalkan taman untuk pulang ke kost. Di tengah jalan kaki, Ia tambah dibuat kesal dengan pengendara motor yang ugal-ugalan. Rasanya ingin saja Ia mengumpat kali ini. Saat hendak memakai sepatu, suara klakson terdengar dari luar. Felice sudah datang. Mereka berdua beranjak pergi dengan berboncengan.

Suara riuh sorak sorai cheerleaders dan penonton mulai terdengar dari halaman gedung olahraga kampus. Gedung olahraga hanya bersebelahan dengan gedung fakultas mereka. Jadi tak perlu jauh-jauh mereka berjalan setelah mereka mampir ke kelas.

“Jordy!” panggil Zizi.

“Hai! Kalian nonton juga tau gitu bareng tadi dari kelas.”

“Dateng dong kan my hany bany sweety tanding, ya kali gak nonton.” Sahut Felice.

“Dih centil banget loe jadi orang.” Jawab Jordy yang risih melihatnya.

“Pak Bian gak masuk kenapa?” tanya Zizi penasaran.

“Katanya ada urusan di luar, tadi nitip pesen ke gue.”

“Di kampus?”

“Iya, tadi Pak Bian dateng tapi keliatan sibuk gitu sih. Trus tau-tau panggil gue nitip tugas, abis itu pergi lagi.”

“Ayo deh buruan keburu dimulai.” Felice menarik tangan Zizi.

Jadi tadi sempet ke kampus? Sayang banget gak liat. Gumam Zizi dalam hati. Terasa aneh tapi Zizi pun tak mengerti apa maksut monolognya dalam hati. Seperti.... orang jatuh cinta? Sepertinya tidak. Banyak mahasiswi lain juga yang menyayangkan absennya Pak Bian hari ini.

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!