Prolog: Satu Malam yang Mengubah Segalanya
Hujan rintik-rintik turun di luar jendela kamar kosku. Jam dinding di sudut kamar sudah menunjukkan pukul dua pagi, tapi entah kenapa, aku masih duduk di depan laptop, terjaga di tengah suasana yang lengang. Hanya suara hujan yang samar-samar terdengar, menemani sisa malam yang tersisa.
Ruangan kecil ini sudah cukup lama jadi saksi rutinitas harianku yang, kalau boleh jujur, mulai terasa hambar dan monoton. Setiap hari, aku melewati jadwal yang sama: bangun, kuliah, kerja sambilan, kadang ikut organisasi kampus, pulang, dan ulang lagi dari awal keesokan harinya. Kadang aku berpikir, apa aku cuma menjalani hidup atau malah dijalani?
Ah, biarkan saja. Sudah terlalu larut untuk berfilosofi.
Di atas meja, secangkir kopi yang mulai dingin masih setia menemani. Kopi ini, sejujurnya, sudah nggak terasa nikmat. Tapi di jam-jam seperti ini, minuman apa pun yang bisa bikin aku terjaga sudah lebih dari cukup.
Laptopku menyala, menampilkan lembar kerja yang tadinya berisi catatan kuliah, tapi sekarang berubah menjadi halaman kosong dengan satu judul besar di atasnya. Di sinilah aku benar-benar bisa lepas dari rutinitas yang membelenggu. Menulis novel buatku adalah satu-satunya pelarian yang masuk akal. Di sini aku bisa menciptakan cerita yang kuinginkan, mengendalikan nasib karakter-karakterku, dan yang terpenting, aku bisa sejenak lupa bahwa hidupku di dunia nyata hanya berputar di lingkaran yang sama.
Orang mungkin melihatku hanya sebagai mahasiswa biasa, seumuran mahasiswa S1 pada umumnya. Tapi buatku, menulis adalah sesuatu yang jauh lebih berarti dari sekadar hobi. Rasanya, setiap kata yang kutulis adalah pengingat bahwa aku masih punya mimpi.
Oh iya, mimpi itu adalah… pergi ke Jepang.
Ya, Jepang. Negeri yang selama ini hanya bisa kubayangkan dari anime yang kutonton atau novel-novel yang kubaca. Aku selalu membayangkan bisa hidup di sana, menikmati setiap sudut kota, sampai mungkin suatu hari bisa menerbitkan karya dengan bahasa Jepang di sampulnya. Di sana, dunia penulisan begitu dihargai, bahkan light novel saja bisa punya ratusan ribu pembaca. Tidak seperti di negara ini yang minim orang suka baca dan para penulis kurang dihargai. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, biaya hidup di Jepang nggak main-main. Untuk seseorang seperti aku yang hidup dengan kerja sambilan dan beasiswa, bisa ke sana adalah mimpi yang… yah, sepertinya lebih cocok disebut khayalan.
Tapi toh, manusia hidup dari mimpi, kan?
Aku tersenyum kecil, dan kembali fokus ke layar. Setidaknya, lewat novel ini aku bisa “ke Jepang” dalam pikiranku sendiri.
Di saat aku sudah hampir memulai mengetik, tiba-tiba layar laptopku berkedip. Aku mengernyit bingung. Hei-hei, kenapa ini? Apa mungkin laptopku mulai rusak?
Tanpa aba-aba, layar berubah warna jadi hitam, dan kalimat aneh muncul dalam teks putih di tengah layar. Aku hampir saja menutupnya, mengira ini semacam virus atau iklan acak, tapi… ada sesuatu yang membuatku berhenti. Kata-kata itu seolah tahu persis apa yang selama ini aku inginkan.
> “Selamat datang, User! Apakah Anda ingin pergi ke Jepang? AniGate siap membuka jalan!”
Aku menatap layar tanpa berkedip. “AniGate? Apaan, ini?”
Kata-kata di layar terasa seperti sebuah undangan, tapi ada sesuatu yang… tidak biasa. Rasanya seperti digoda oleh sesuatu yang tahu persis isi hatiku.
Sebelum sempat aku berpikir untuk mematikan laptop, teks di layar kembali berubah.
> “Selamat malam, Rei Jaavu. Anda telah terpilih untuk menjadi pengguna perdana AniGate, sistem perjalanan multi-dimensi. Melalui sistem ini, Anda akan dibawa ke kehidupan lain di negeri Jepang dan mengalami hidup yang mungkin tak pernah Anda bayangkan sebelumnya. Menarik, bukan? ;)”
Mata dan mulutku terbuka lebar. Dia… bagaimana bisa tahu namaku?
Aku nyaris meyakinkan diriku bahwa ini cuma iklan bodoh. Tapi setiap kata yang muncul di layar terasa sangat relate. Aku merasa seolah ada seseorang yang tahu mimpiku lebih dari siapa pun.
> “AniGate akan membawamu ke dalam dunia cerita-cerita klasik Jepang. Tugasmu sederhana: memainkan karakter yang dipilihkan, tanpa mengubah alur yang sudah ada. Keberhasilanmu akan membuka pintu-pintu dunia baru, semakin mendekatkanmu pada impian terbesarmu."
Keningku mengerut, setengah antara tertarik dan skeptis. Jadi, ini semacam… game?
Aku menghela napas panjang, berusaha meredam rasa penasaran yang semakin kuat. Pikiran logisku berteriak agar aku segera menutup laptop dan melupakan hal ini, tapi… entah kenapa, ada dorongan besar di dalam hati yang mendesakku untuk lanjut membaca. Aku terjebak dalam dilema yang kuciptakan sendiri.
> “Apakah Anda siap untuk memulai petualangan pertama Anda? Jika ya, klik tombol di bawah ini. Jika tidak, matikan layar dan kembali ke rutinitas. Kami tidak memaksa, kok… hanya saja, peluang ini mungkin hanya sekali dalam seumur hidup.”
Tombol "Ya" berkedip pelan di bawah tulisan itu, seolah menungguku membuat keputusan. Aku menatap tombol itu, jantungku berdetak lebih kencang. Tanganku bergerak, antara maju dan mundur untuk mulai menyentuh keyboard.
"Ini… lelucon, kan? Mungkin ada orang iseng atau hacker yang mencoba mengerjaiku," gumamku pelan. Tapi, dalam hati, ada suara yang membisikkan sesuatu yang lain. Bagaimana kalau… bagaimana kalau ini benar?
Bagaimana kalau ini adalah jalan pintasku pergi ke Jepang? Semua impianku akan terwujud, lho. Lagipun, kalau ini tipuan tidak akan ada resiko apa pun yang memberatkan diriku. Mungkin hanya rasa kecewa kecil.
"Bagaimana ya?" aku berpikir ulang sekali lagi.
Tanpa banyak berpikir lagi, aku menggerakkan kursor ke tombol “Ya.” Sebuah klik kecil, dan tiba-tiba seluruh layar kembali bersinar terang, jauh lebih silau daripada sebelumnya. Aku memejamkan mata, berusaha melindungi pandanganku dari cahaya yang semakin terang.
> “Selamat, Pengguna! Petualangan pertama Anda di dunia ‘Hana no Yuki’ akan segera dimulai.”
Suara itu terdengar lagi, namun kali ini terdengar lebih dekat, hampir seperti ada seseorang yang berbisik di telingaku. Aku mengernyit, mencoba memahami apa maksudnya.
> “Bersiaplah, Rei Jaavu. Kamu adalah seorang anak penjual teh di desa pinggiran. Dan peranmu… adalah membantu sang pahlawan utama dalam mencari bunga legendaris. Jangan khawatir, kami akan ada di sini untuk membantumu… kadang-kadang.”
Aku bahkan belum sepenuhnya mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi pandanganku mulai kabur, dan tubuhku terasa ringan… terlalu ringan.
Sebelum semuanya gelap, hanya satu pikiran yang berputar di kepalaku:
"Apa aku benar-benar akan… ke Jepang?"
Bagian 1: Kehidupan Baru di Desa yang Tertutup Salju
Angin dingin menerpa wajahku. Sejenak aku merasa tersesat, seperti berada di antara mimpi dan kenyataan yang sulit dibedakan. Aku membuka mata perlahan, dan hal pertama yang kutangkap adalah pemandangan hamparan salju yang membentang di depan mataku. Dingin itu terasa nyata, menusuk kulitku hingga aku bergidik. Sesekali gigiku bergemelutuk.
"Tunggu... di mana ini?"
Aku menatap lamat-lamat dari kanan ke kiri, menelusuri lingkungan sekitarku. Aku berada di sebuah jalan setapak kecil, diapit pohon-pohon sakura yang tertutup lapisan salju tipis. Udara dingin dan segar memenuhi paru-paruku. Namun, pemandangan ini sama sekali tidak familiar. Desa kecil ini seolah berada di luar waktu, begitu asing dan kuno.
Aku merasakan ada yang aneh pada pakaianku. Mengalihkan pandangan ke tubuhku, kulihat aku mengenakan yukata sederhana berwarna krem, dengan obi biru yang melilit pinggangku. Ini jelas bukan pakaian yang biasa kupakai. Napasku tercekat sejenak. Sebentar-sebentar, apa yang sebenarnya terjadi? Benakku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Ruanganku yang diterangi layar laptop, tulisan aneh dari sistem bernama AniGate, dan…
“Hei-hei, jangan bilang ini nyata?!”
Aku segera menyentuh wajahku, lengan, perut, memastikan bahwa tubuh ini memang benar-benar milikku. Rasanya terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Suara gesekan daun terdengar dari belakangku, dan aku segera menoleh ke arah sumber suara.
Seorang pria tua dengan pakaian samurai sederhana berdiri tak jauh dariku, memandang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa.
“Ah, Nak! Kau sudah bangun rupanya?" sapanya. Suaranya serak namun terdengar ramah. "Kamu tak apa-apa, kan? Sejak tadi kamu tampak linglung.”
Aku hanya bisa menatap pria itu tanpa suara. Apa yang harus kukatakan? “Ya, aku baru saja bangun dari… aku di mana ini, ya?”
Pria itu tertawa kecil, menunjukkan beberapa kerutan di wajahnya. “Kau selalu punya cara bicara yang lucu, Nak. Aneh sekali jika kau lupa. Kau ini anak keluarga penjual teh yang selalu membantu penduduk desa. Semua orang di sini mengenalmu. Ah, dasar kau ini, ingatanmu bisa hilang saat tidur, ya?” Pria itu menepuk pundakku, seolah aku benar-benar bagian dari tempat ini.
Dalam hati aku merasa panik. Apa-apaan ini? Aku dikirim ke dunia bagian mana? Dan bagaimana bisa? Apa yang terjadi pada kehidupan membosankan-ku sebelumnya? Tapi, sesaat aku mencoba berpikir logis. Jika ini memang benar sistem AniGate, berarti aku sedang memainkan karakter yang ditentukan oleh sistemnya. Kalau tidak salah ingat, AniGate mengatakan aku harus berperan sebagai "anak penjual teh," dan aku tidak boleh keluar dari peran itu, atau... ada risiko gagal.
Aku menarik napas, berusaha tenang, lalu tersenyum seadanya. “Ah, ya, maaf, Paman. Mungkin aku sedikit mengantuk.”
“Hahaha! Memang musim dingin kali ini agak berbeda,” jawabnya sambil tersenyum. “Oh iya, hampir lupa. Sang Pahlawan dari ibukota akan tiba di desa ini hari ini. Mungkin kau sudah mendengar kabarnya, ya?”
Aku mengangguk, walau sebenarnya tidak tahu apa-apa. “Iya, iya, aku dengar, Paman.”
“Bagus. Tugasmu mungkin akan sedikit berat mulai hari ini. Sang Pahlawan akan membutuhkan bantuanmu untuk menemukan bunga legendaris, Hana no Yuki, yang hanya mekar di musim dingin. Mereka bilang bunga itu adalah kunci untuk mengusir kutukan yang mengancam desa kita.” Paman itu menghela napas, matanya menerawang seolah mengenang sesuatu.
Aku hanya bisa mendengarkan dalam diam. Hana no Yuki? Jadi inilah tujuan utamaku di cerita ini? Eh, tunggu-tunggu. Kenapa aku harus menuruti apa yang diminta sistem ini? Aku bisa kembali, kan?
“Bunga itu katanya ada di puncak gunung di utara desa ini,” lanjutnya. “Namun, perjalanan ke sana tidak mudah. Kabarnya, ada makhluk-makhluk penjaga yang tidak akan mengizinkan sembarang orang mendekat.”
Aku mencoba menelan informasi ini secara perlahan. Semua ini terasa seperti potongan puzzle yang harus kususun satu per satu. Sebenarnya aku merasa tidak harus melakukan semua itu. Tapi entah mengapa, ada satu gairah yang terbangkit di dalam jiwaku. Hasrat novelis yang selalu ingin tahu tentang kelanjutan sebuah cerita. Mau bagaimana pun juga, ini adalah konsekuensi dari pilihanku: menekan tombol "ya".
Dalam cerita ini, aku bukan pahlawan utama. Aku hanya seorang anak penjual teh yang perannya hanya membantu. Namun, entah bagaimana, aku memiliki firasat bahwa peran kecilku ini akan menentukan perjalanan pahlawan itu.
"Baiklah, Paman. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu."
Paman itu menepuk pundakku lagi, kali ini dengan lebih keras. “Itu dia! Begitu, Nak! Kau memang bisa diandalkan.” Dia tertawa, kemudian berjalan menjauh dengan langkah yang tenang, meninggalkan aku sendirian di jalan bersalju itu.
Aku menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-paruku. Ini benar-benar gila. Selama ini aku hanya menulis cerita, tapi sekarang... aku benar-benar berada di dalamnya. Dan lebih aneh lagi, aku merasa... semangat.
"Baiklah," gumamku pelan, menatap jalan setapak yang terbentang ke arah pusat desa. "Kalau ini benar-benar cerita, aku akan jalani sebaik mungkin."
Dengan langkah perlahan, aku berjalan menuju desa, berusaha menyesuaikan diri dengan peranku sebagai "anak penjual teh." Dalam hati, aku merasa seperti aktor dalam sebuah panggung besar, hanya saja kali ini tak ada naskah yang bisa kubaca terlebih dahulu.
Dan di sinilah segalanya dimulai. Di sebuah desa kuno yang tertutup salju, dengan legenda tentang bunga misterius yang menjadi harapan terakhir desa ini.
Bagian 2: Menjalani Peran yang Baru
Salju masih turun perlahan saat aku tiba di depan sebuah rumah kecil yang tampak bersahaja. Dari depan, bisa kulihat tulisan Chaya di papan kayu yang tergantung miring, jelas ini adalah toko teh keluarga tempatku “tinggal.” Aku menghela napas panjang. Kalau ini memang dunia cerita seperti yang AniGate bilang, maka tugasku sebagai “anak penjual teh” kini sudah dimulai.
Aku melangkah masuk ke dalam, dan aroma teh yang hangat langsung menyambutku. Di meja kecil di ujung ruangan, seorang wanita tua sedang sibuk menyusun cangkir-cangkir tanah liat dengan cekatan. Dia menoleh saat mendengar pintu berderit, wajahnya berkerut senang.
“Oh, Nak! Kau pulang juga akhirnya. Lama sekali berkeliling desa pagi ini?” katanya, tersenyum sambil merapikan yukata-nya.
Aku terkesiap. Wanita ini siapa ya… pasti ibu di cerita ini, pikirku. Ya ampun, aku bahkan tak tahu siapa namanya. Aku mencoba tersenyum dan membalas seadanya, “Ah, iya, Bu. Hanya keliling sedikit….”
Wanita itu tertawa kecil, lalu menepuk punggungku dengan penuh kasih. “Baiklah, bantu Ibu menyiapkan teh, ya. Tamu kita hari ini cukup istimewa. Pahlawan yang ditunggu-tunggu desa ini akhirnya datang.”
Aku hanya bisa mengangguk tak begitu peduli, walau dalam hati masih merasa canggung. Kualihkan pandanganku ke tumpukan daun teh yang terhampar di meja. Dengan hati-hati, aku mulai membantu mengisi cangkir-cangkir yang sudah disiapkan Ibu.
Dari sudut mataku, kulihat wanita itu memperhatikan gerakanku. “Kau tampak sedikit berbeda hari ini, Nak. Kenapa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu? Kalau sakit, siapa yang akan bantu Ibu di toko? Lagipula, kau tahu kan, hari ini ada tamu penting yang akan datang.”
Aku menelan ludah, mencoba menyerap informasi ini. Tamu penting? Jangan-jangan, ini pahlawan utama yang disebutkan AniGate.
“Oh, ya, Bu… ngomong-ngomong… namaku…,” gumamku pelan, setengah berharap dia menyebut nama itu secara spontan.
Wanita itu tertawa, seolah pertanyaanku terdengar konyol. “Dasar, Nak. Mana mungkin Ibu lupa nama anak sendiri? Tentu saja kau ini Yukio. Ingat ya, Nak: Yukio si anak penjual teh yang selalu menolong orang lain, meski tak diminta.”
"Yukio…" Aku mengulang nama itu dalam hati, mencoba terbiasa. Baiklah, setidaknya sekarang aku tahu siapa aku di dunia ini.
“Oh, Ibu mau tanya,” lanjut ibu itu. Wajahnya kini tampak sedikit serius, “kau masih ingat cerita tentang bunga Hana no Yuki, bukan?”
Aku mengangguk, walau sebenarnya tidak tahu apa-apa. “Hana no Yuki… Iya, Ibu.”
Dia tersenyum tipis, matanya menerawang ke luar jendela. “Bunga legendaris yang hanya mekar di musim dingin ini adalah bunga yang selalu dicari oleh para petualang. Tapi tidak sembarang orang bisa menemukannya. Hanya mereka yang berasal dari garis keluarga kita yang dipercaya mampu mendampingi pencari Hana no Yuki. Dulu kakekmu, dan sekarang mungkin giliranmu.”
Aku terdiam, mencoba mencerna informasi ini. Ternyata keluarga karakter yang kumainkan memiliki keterkaitan dengan bunga legendaris ini? Jadi karena itu orang-orang di desa ini berharap banyak padaku. Ohh, begitu. Begitu banyak hal yang tidak kusangka sebelumnya. Asik juga sih, AniGate ini.
Aku tersenyum tipis, merasa sedikit lega. Walaupun hanya sekadar obrolan sederhana, entah kenapa rasanya cukup menghangatkan hati. Aku menunduk, menata cangkir-cangkir di nampan, dan bersiap membawanya ke ruangan utama. Kalau ini peranku, maka setidaknya aku akan berusaha untuk menjalankannya dengan baik.
Saat aku melangkah ke ruangan utama, pintu toko kembali berderit, dan seorang pria muda masuk. Dari tatapan tajam dan postur tubuhnya yang tegap, aku langsung bisa menduga. Ini pasti pahlawan yang dibicarakan Paman tadi. Wajahnya serius, membawa aura tenang namun penuh ketegasan. Seperti karakter-karakter utama yang pernah kubaca di novel-novel klasik Jepang.
Ia menatapku sejenak, lalu sedikit mengangguk. “Kau anak penjual teh di sini, ya?”
Aku mengangguk perlahan. “Iya, betul.”
Dia menatapku beberapa saat, seolah menilai sesuatu dari wajahku. “Namaku Hayato,” katanya. “Aku datang dari ibukota untuk menuntaskan misi yang sudah lama tertunda. Aku mendengar ada legenda di desa ini… tentang *Hana no Yuki*. Kau tahu sesuatu tentang itu, nak?”
Aku menahan napas sejenak. Oh, jadi inilah momen dimulainya cerita utama.
“Uh… Hana no Yuki, ya?” Aku mencoba mengingat-ingat penjelasan Paman tadi. “Katanya bunga itu hanya tumbuh di musim salju, di sebuah tempat yang tersembunyi di utara desa. Bunga itu dipercaya bisa membawa kedamaian, begitu kata orang-orang tua di sini.”
Hayato mengangguk, tatapan matanya semakin tajam. “Benar. Desa ini berada di ambang kehancuran karena kekuatan gelap yang terus mengganggu. Jika bunga itu ditemukan, aku yakin kita bisa mengembalikan kedamaian desa ini. Itu sebabnya aku ada di sini.”
Aku terdiam, mendengar nada serius dalam suaranya. Meskipun tahu ini hanya cerita, tapi rasanya seakan masalah ini nyata. Desa ini… dan semua orang di dalamnya… semuanya tampak begitu hidup.
Hayato menatapku tajam. “Kau akan membantuku, bukan?”
Refleks, aku mengangguk cepat. Eh? Ehh?! Apa-apaan ini? Kok tiba-tiba tubuhku gerak sendiri?
“Tentu, aku akan membantu.” mulutku juga tidak bisa diajak kerjasama. Apa-apaan ini? Sistem otomatis dari AniGate, ya?
“Bagus,” jawab Hayato sambil tersenyum kecil. “Kita akan mulai persiapan besok pagi. Kau harus siap. Kita mungkin menghadapi banyak bahaya dalam perjalanan.”
Aku hanya bisa menelan ludah. “B-bahaya?”
Dia menatapku dengan pandangan tegas. “Tentu saja. Tempat bunga itu tersembunyi jauh di puncak gunung, dan kita harus melewati hutan yang dikabarkan dijaga oleh makhluk-makhluk tak terlihat. Tapi aku yakin, jika kita berdua bekerjasama, kita bisa mengatasi segalanya.”
Belum juga masuk dalam perjalanan sebenarnya, aku sudah mulai merasa ragu. Tapi aku tak bisa mundur sekarang. Ini adalah peran yang harus kumainkan, dan aku sudah berjanji untuk melakukan yang terbaik. Ya, anggap saja lagi main game, kan? Lagipun siapa sih sebenarnya yang mengirimkan pesan anonim berisi AniGate padaku?
“Baiklah,” jawabku akhirnya, mencoba terdengar yakin meskipun suara hatiku penuh keraguan.
"Anak muda, siapa namamu?"
"Yukio.. Yukio.. Yukio Chaya!" ucapku setelah mengingat-ingat papan nama yang tergantung di pintu tadi. Semoga saja benar itu nama marga Yukio. Huwaaa! Kenapa sistem AniGate tidak membantu sama sekali, sih.
Hayato mengangguk, puas dengan jawabanku. “Baiklah, Chaya-san. Kalau begitu, sampai jumpa besok pagi di gerbang desa. Jangan terlambat.”
Aku mengangguk, dan dia pun berbalik, melangkah pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan. Dengan langkah yang tenang dan penuh keyakinan, dia meninggalkan toko, sementara aku masih berdiri di tempat yang sama, menatap pintu yang tertutup.
Aku menghela napas panjang. Baiklah, Rei, ini sudah dimulai. Aku harus siap dengan apa pun yang menanti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!