NovelToon NovelToon

5 Hari Sebelum Aku Koma

Terbangun dari koma

Pip ... Pip ... Pip ...

Suara monoton dari alat Holter rumah sakit di kesunyian malam. Ruang perawatan intensif itu sunyi, hanya diisi oleh alat dentingan medis dan napas berat seorang wanita yang terbaring koma. Dalam bayang-bayang lampu remang, tubuhnya tampak begitu rapuh, terselimuti selimut putih yang hanya menyisakan wajahnya.

Di salah satu sudut ruangan, seorang suster muda sedang duduk, memerhatikan layar monitor dengan pemandangan yang mulai kabur. Mata yang sudah setengah terpejam kembali terbuka perlahan saat ia mendengar suara khas itu lagi.

Pip ... Pip ... Pip ...

"Hoaaammm … aku mengantuk," gumam suster itu sambil menguap lebar. Ia melirik sekilas ke jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "Eeeh? Pukul setengah satu malam, pantas saja aku mengantuk."

Ia mendekatkan sweater nya yang tipis, mencoba menghalau dingin yang menggigit. Pandangannya beralih ke mesin kopi kecil di pantry yang baru saja terlintas di pikiran. "Apa mungkin aku ke pantry saja ya? Sepertinya segelas kopi bisa menghilangkan rasa kantukku. Baiklah, aku akan pergi!"

Dengan langkah tergesa-gesa dan tanpa banyak berpikir, suster itu meninggalkan ruangan. Pintu tertutup perlahan di belakangnya, menyisakan ketenangan yang lebih pekat.

Namun, sesaat setelah dia pergi, suasana di ruangan itu berubah. Lampu yang sebelumnya stabil mulai berkedip-kedip. Suara mesin Holter berubah tidak teratur.

Pip… Pip… Piiip…

Bayangan samar melintas di sudut ruangan, seolah ada yang bergerak di balik tirai putih. Sang pasien yang koma, wajahnya yang pucat tiba-tiba menunjukkan ekspresi aneh—kelopak matanya bergerak, seperti berusaha membuka.

.......

.......

.......

Pip ... Pip ... Pip ...

Ritme monoton dari alat Holter jantung kembali memecah kesunyian. Tapi malam itu, kesunyian tak lagi biasa. Suara-suara aneh mulai bergema di ruangan.

"Celine."

"Celine."

"Bangun!"

Suaranya terdengar lembut, tapi tegas. Menggema di sudut-sudut ruangan tanpa sumber yang jelas. Tidak ada seorang pun di sana, selain tubuh pasien yang terbaring diam.

Pip ... Pip ... Pip ...

"Celine."

Wanita itu, yang seharusnya tak sadarkan diri, tiba-tiba seolah merasa ada yang menariknya keluar dari kegelapan.

"Siapa?" suaranya terpantul di ingatannya sendiri. "Siapa yang memanggilku terus menerus?"

Lalu, sesuatu terjadi. Jari-jemarinya yang dingin mulai bergerak perlahan. Seperti daun yang terbawa angin, jemarinya bergetar, nyaris tak terlihat. Kemudian, kedua matanya perlahan terbuka, sayup-sayup menatap ke langit-langit ruangan.

"Aku di mana?" bisiknya lemah, hampir tanpa suara. Pandangannya kabur, hanya menangkap warna putih yang menyilaukan dari lampu di atas.

"Apa yang sebenarnya terjadi denganku?" pikirnya lagi, tenggelam dalam kebingungan.

Hening.

Drrrrk!

Drrrrk!

Suara aneh itu memecah kesunyian.

"Ng?"

Drrrrk!

Ia menoleh, meskipun terasa berat. Di sudut ruangan, sebuah kursi yang sebelumnya diam tertata rapi di sudut dinding, kini bergerak perlahan. Kursi itu, seolah digerakkan oleh kekuatan yang tak terlihat, terus meluncur maju, mendekatinya.

Drrrrk!

Kursi itu berhenti tepat di sisi kasurnya. Ia mendengus, menahan napas. "Kursi nya bergerak?"

...****************...

7 hari telah berlalu, di sebuah Apartemen sederhana, pukul 06:00 pagi.

Kririririring! Kririririring!

Suara jam weker memecah keheningan pagi, bergema di dalam ruangan kecil yang hanya ditempati oleh seorang wanita muda. Di atas ranjang, Celine, seorang wanita dengan rambut hitam panjang yang terurai, terlihat di bawah selimut tebal. Matanya masih terpejam rapat, tetapi alisnya mulai berkerut, tanda bahwa ia merasa terganggu oleh suara tersebut.

"Hng?"

Klak!

Dengan gerakan refleksif, tangan yang putih mulus terulur untuk mematikan jam weker di atas meja kecil, di samping tempat tidur. Suasana kembali sunyi, hanya diiringi desahan panjang dari bibir Celine.

"Hahhh..." helanya, seperti beban dunia berada di pundaknya pagi ini.

Ia duduk perlahan di tepi kasur, rambut yang kusut jatuh menutupi wajahnya. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia berbicara sendiri, mencoba mengumpulkan energi yang hilang.

"Semangat, Celine! Hidup ini keras. Kalau kau tidak bekerja hari ini, maka hidupmu akan berakhir sampai di sini," gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Langkah kakinya terdengar pelan menyentuh lantai apartemen yang dingin.

Tap ...tap ...tap!

Celine berjalan menuju kamar mandi, membuka pintu dengan sedikit dorongan malas.

Klak!

Pintu kamar mandi terbuka, dan langsung tertutup kembali setelah ia masuk.

Blam!

Beberapa detik kemudian, suara khas air mengalir mulai terdengar.

Kieet! Kieet! Kieet!

Zaaaassssss!

Shower mulai mengalir, membawa kesegaran di pagi hari yang enggan ia jalani. Di balik pintu kamar mandi, Celine berdiri di bawah aliran air, mencoba membasuh rasa lelah yang membelenggu tubuh dan pikiran.

Seperti rutinitas sebelumnya, pagi ini adalah awal dari aktivitas nya. Meski monoton, ia tahu tak ada pilihan lain selain bertahan.

.......

.......

.......

Nama ku Celine, usia ku 25 tahun.

Aku adalah seorang wanita karir yang hidup sendiri di sebuah Apartemen sederhana.

Kedua orang tua ku sudah meninggal dunia sejak aku lulus kuliah, dan aku adalah anak tunggal di keluarga ku, jadi tidak ada lagi saudara yang aku miliki.

7 hari yang lalu aku mengalami koma karena insiden kecelakaan, syukurnya aku masih hidup dan masih bisa bekerja seperti biasanya.

Tapi, anehnya ada beberapa ingatan yang tidak bisa ku ingat, seperti kejadian sebelum kecelakaan, dan beberapa kejadian penting lain nya.

Dokter mengatakan ingatan ku akan berangsur-angsur pulih, tapi butuh proses, dan itu bukanlah waktu yang singkat, jadi selama ingatanku hilang, Dokter menyarankan kepada ku agar aku tidak telat meminum obat ku, dan sering-sering berolahraga.

Apa berolahraga sangat berpengaruh?

Hemm ... entahlah, mungkin saja.

.......

.......

.......

20 menit berlalu sejak suara shower memenuhi kamar mandi. Celine kini berdiri di depan cermin kecil yang tergantung di dinding kamar mandinya. Kulitnya yang putih tampak sedikit menggigil, dan rambut hitamnya yang basah meneteskan air hingga ke lantai. Ia segera meraih handuk, melilitkannya dengan cepat ke tubuhnya yang mungil. 

"Brrr ... dingin sekali. Aku benci mandi pagi," keluhnya sambil menggosok lengannya untuk mengusir rasa dingin. 

Klak!

Ia membuka pintu kamar mandi dan melangkah keluar, membiarkan udara hangat apartemennya menyambutnya. Namun, langkahnya terhenti ketika hidungnya menangkap sesuatu yang aneh. 

"Hmm? Aroma roti bakar?" gumamnya sambil mengerutkan dahi. 

Penasaran, ia mengikuti aroma itu, berjalan menuju dapur yang berada di sudut apartemen kecilnya. Namun, ketika ia sampai, tidak ada apa pun yang terlihat. Meja dapur kosong, tidak ada alat pemanggang yang menyala, dan tentu saja, tidak ada roti. 

"Tidak ada apa-apa di sini, tapi kenapa aku mencium aroma roti bakar ya?" pikirnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. 

Tiba-tiba, suara halus kursi yang digeser terdengar dari arah ruang makan. 

Drrrk!

Celine tersentak, matanya melebar. Ia memalingkan pandangannya ke arah ruang makan, di mana suara itu berasal. 

"Ah?" bisiknya, setengah bingung dan setengah waspada. 

Suasana mendadak terasa mencekam. Perasaan tidak nyaman menyelimuti dirinya, membuat bulu kuduknya meremang. 

"Sepertinya tadi aku mendengar sesuatu dari ruang makan. Apakah ada seseorang yang menyelinap masuk?" gumamnya dengan suara bergetar. 

Ketakutan mulai merayapi pikirannya, tetapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Celine melangkah perlahan menuju ruang makan. Namun, kali ini ia membawa alat Sapu di tangan kanan nya. Benda ini ia bawa untuk jaga-jaga, semisalnya ada hal buruk yang tidak ia inginkan terjadi.

Tap! Tap!

Celine berjalan dengan perlahan. Hatinya berdebar kencang, dan genggamannya pada gagang sapu semakin erat. Ia melirik ke arah meja makan yang tampak rapi dalam pencahayaan pagi. Namun, pemandangan yang ia lihat membuat tubuhnya terhenti.

Di atas meja, terdapat sepiring roti bakar yang menguarkan aroma menggoda dan segelas susu hangat yang terlihat masih mengepul.

"Hah? Roti bakar dan segelas susu? Sejak kapan makanan ini ada di sini?" tanyanya pada dirinya sendiri dengan nada setengah berbisik.

Ia menatap makanan itu dengan bingung bercampur rasa tidak percaya, kepalanya mulai memutar kembali kejadian pagi ini. Tidak ada yang menyentuh dapur, apalagi menyiapkan makanan seperti ini. Seingatnya, sejak bangun tidur hingga mandi, ia belum menyentuh peralatan dapur.

"Bagaimana bisa? Apakah ada seseorang yang masuk ke apartemenku saat aku mandi?"

Kecurigaan menyimpulkan dalam pikirannya. Namun, logikanya menolak kemungkinan tersebut.

"Tapi mana mungkin... pintu apartemenku selalu terkunci. Yang punya kunci cadangan hanya Sovia, teman masa kecilku. Apa mungkin Sovia?"

Nama Sovia mengalir di pikiran seperti seberkas kecil di tengah kebingungan. Tapi, kalaupun itu Sovia, kenapa tidak ada suara langkah atau sapaan seperti biasanya?

"Akan ku tanyakan!"

Rasa penasaran semakin mendesaknya untuk mencari jawaban. Tanpa ragu, Celine berbalik dan berjalan menuju kamar tidurnya. Langkahnya kali ini lebih cepat, dan sapu yang tadi ia genggam kini ia tinggalkan begitu saja di ruang makan.

.......

.......

.......

Celine meraih ponselnya dengan raut wajah penuh tekad. Jarinya dengan cepat menekan nomor Sovia, teman masa kecil yang selama ini menjadi satu-satunya orang yang memiliki akses ke apartemennya.

Pip pip pip!

Suara sambungan telepon terdengar.

Tuuuuuut ... Tuuuuuut!

Hingga akhirnya...

Klak!

"Halo?"

Suara Sovia yang baru bangun tidur terdengar dari seberang telepon.

"Halo Sovia, ah maaf pagi-pagi begini aku mengganggumu. Aku cuma mau tanya, apakah tadi kamu datang ke apartemenku?" tanya Celine dengan nada setengah ragu.

"Apa?" Sovia terdengar bingung.

"Yaaa... hahaha, aku cuma ingin mengucapkan terima kasih, karena kamu sampai repot-repot membuatkan aku roti bakar dan susu hangat pagi-pagi sekali. Seharusnya kau tidak perlu melakukan hal seperti itu untukku. Kamu tahu kan, aku bisa melakukannya sendiri. Tapi bukan berarti aku tidak berterima kasih! Aku sangat menghargai kunjunganmu, Sovia," jelas Celine dengan tawa gugup.

Sejenak, keheningan melingkupi percakapan mereka sebelum Sovia menjawab.

"Apa yang sedang kamu bicarakan, Celine? Aku tidak mengerti."

"Eh? Tadi kamu ke apartemenku, kan? Membuatkan aku sarapan pagi?"

"Kau ini bodoh ya? Aku baru saja bangun tidur. Teleponmu ini yang membangunkan ku," jawab Sovia dengan nada kesal.

"Apa?"

Celine terdiam. Keyakinannya bahwa Sovia adalah orang di balik kehadiran sarapan itu langsung runtuh. Dadanya terasa berat, dan udara di sekitarnya tiba-tiba terasa dingin. Ketakutan yang semula terpendam mulai menjalar perlahan.

"Hei, Celine? Apa sudah selesai? Kalau tidak ada yang penting, aku ingin lanjut tidur," kata Sovia dengan nada lelah.

Namun, Celine tidak menjawab.

"...Celine? Hei, jawab aku!"

Pip!

Tanpa sengaja, Celine menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Ponsel itu jatuh dari tangannya ke atas meja. Ia membeku di tempat, pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario mengerikan.

"Jadi ... siapa yang membuatnya?" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Di apartemennya yang sepi, hanya suara detak jam yang menemani kegelisahannya. Perasaan tak nyaman menjalar semakin dalam, seperti ada sesuatu, atau seseorang ... yang diam-diam mengawasinya.

...Bersambung ......

Hal yang aneh

Di sebuah Cafetaria kecil di sudut kota, waktu masih menunjukkan pukul 09:00 pagi. Matahari pagi menyelinap masuk melalui kaca besar yang menghadap jalan, memberikan kehangatan pada ruangan yang mulai terisi aroma kopi segar.

Kincring!

Suara lonceng pintu masuk bergema, mengiringi langkah seorang pria yang memasuki cafetaria dengan langkah percaya diri. Para pelayan yang berseragam rapi segera menyambut dengan senyuman.

"Selamat datang!" sapa seorang pelayan muda sambil menyerahkan buku menu dengan sopan.

Tanpa membuka menu, pria itu duduk di dekat jendela dan berkata, "Pesan Cappuccino latte-nya dua, ya!"

Pelayan itu tersenyum, mencatat pesanan, dan bertanya, "Hangat atau dingin, Tuan?"

"Dingin satu, hangat satu," jawab pria itu sambil menatap keluar jendela, seperti mengamati sesuatu yang tak terlihat.

"Baik, akan segera kami antarkan. Mohon menunggu sebentar ya, Tuan."

Setelah mendapat jawaban singkat berupa anggukan, pelayan itu segera berjalan menuju meja barista di sudut cafetaria.

Tap... Tap... Tap!

Suara langkah kakinya bergema lembut di lantai kayu yang berkilat. Ia menyerahkan secarik kertas pesanan kepada seorang wanita muda yang berdiri di belakang meja bar.

"Celine, ada pesanan!" katanya sambil meletakkan kertas tersebut.

"Oh, oke," jawab Celine dengan suara datar namun tegas. Dengan cekatan, ia mengambil kertas itu dan mulai bekerja. Tangannya yang lincah menuangkan espresso dan susu ke dalam gelas, sementara uap tipis dari mesin kopi menciptakan siluet indah di sekelilingnya. Rambutnya yang diikat sederhana menambah kesan bahwa ia sangat fokus pada pekerjaannya.

"Minuman untuk meja tiga," ujar Celine akhirnya, menyerahkan nampan kepada pelayan yang sama.

Pelayan itu membawa dua gelas minuman ke meja pria tersebut. "Ini Cappuccino latte-nya, satu dingin dan satu hangat. Selamat menikmati, Tuan."

"Terima kasih," ucapnya pelanggan sambil tersenyum tipis.

.......

.......

.......

Sementara itu di sisi lain. Selepas pelayan itu pergi, Celine tampak menoleh ke arah Reina, rekan kerjanya, dengan raut wajah gelisah. Tangannya sibuk merapikan meja kerja, tetapi pikirannya melayang-layang. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak penuh kekhawatiran, membuat Reina merasa ada sesuatu yang tidak biasa.

"Celine? Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat gelisah?" tanya Reina sambil menyipitkan mata, mencoba membaca pikiran rekannya.

Celine terdiam sejenak, seperti sedang mencari keberanian untuk berbicara. Kemudian, dengan suara pelan namun serius, ia berkata, "Hng, Rein... apakah kau percaya tentang keberadaan hantu?"

Pertanyaan itu membuat Reina tersentak. "Loh, tiba-tiba membahas hantu? Ada apa?"

Celine menatapnya lekat-lekat, lalu berbisik, "Aku sepertinya sedang diawasi oleh hantu."

"Ehh? Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Reina mulai merasa merinding, tetapi rasa penasarannya mendorongnya untuk bertanya lebih jauh.

"Sudah dua kali aku mengalami pengalaman yang aneh," jawab Celine dengan nada serius.

"Pengalaman aneh? Seperti apa itu?"

Celine menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. "Yang pertama, saat aku berada di rumah sakit. Kursi di ruang tunggu tiba-tiba bergerak sendiri. Lalu, tadi pagi, aku menemukan sesuatu yang lebih aneh lagi."

"Apa itu?"

"Sepiring roti bakar dan segelas susu hangat tiba-tiba ada di meja makan ku, tertata rapi, seperti dibuatkan seseorang."

"Hehhh? Membuatkan mu sarapan pagi?!" Mata Reina membelalak.

"Iya. Kamu pasti akan takut melihatnya. Bayangkan, aku tinggal sendiri. Yang memiliki kunci cadangan ruangan hanya Sovia. Tapi saat aku tanyakan padanya pagi ini, dia bilang tidak melakukannya."

Reina terdiam sejenak, mencerna cerita Celine. Namun, tiba-tiba ia terlihat mengalihkan perhatian dengan mencari kesibukan lain, seperti merapikan gelas yang sudah bersih.

"Rein, menurutmu itu hantu, kan?" desak Celine.

Reina menghela napas, tampak gugup. "Aku tidak tahu... mu-mungkin kamu sedang berhalusinasi."

"Halusinasi?" Alis Celine mengernyit. Ia menatap Reina penuh kebingungan, merasa jawaban itu tidak masuk akal.

"Ya," jawab Reina sambil berusaha terdengar meyakinkan. "Sejak kamu koma, banyak hal yang berubah pada dirimu. Ingatanmu masih belum pulih sepenuhnya, dan mungkin saja ini efek dari benturan di kepalamu."

"Maksudmu ada yang salah dengan otakku?" tanya Celine, kini terdengar lebih bingung dari pada sebelumnya.

"Celine, hantu itu tidak ada! Semua itu hanya halusinasi mu saja. Sebaiknya kamu lupakan, oke?" Reina mengakhiri kalimatnya dengan nada yang lebih keras, seperti ingin menutup pembicaraan.

Namun, sikap Reina justru membuat Celine semakin curiga. Tanpa menunggu jawaban, Reina tiba-tiba pergi meninggalkan meja bar, meninggalkan Celine sendirian.

Celine menghela napas berat sambil menatap kosong ke arah segelas kopi yang baru saja ia buat. Dalam hatinya, ia bergumam, "Halusinasi? Jelas-jelas ini nyata. Bahkan roti bakarnya aku bawa untuk bekal makan siang."

Ia memegang tas kecilnya yang berisi roti bakar itu. "Ini aneh," gumamnya lagi. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia bertekad mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, meskipun hal itu mungkin membawa dirinya pada kebenaran yang sulit diterima.

...****************...

Waktu berlalu dengan cepat, dan jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 13:00 siang. Suasana di cafetaria mulai lengang, sebagian pelayan sudah mulai mengambil waktu istirahat mereka. Celine, yang sibuk membersihkan meja bar, tiba-tiba mendengar panggilan lembut dari Reina.

"Celine," panggil Reina sambil melambai.

"Ya?" Celine menoleh, sedikit bingung dengan nada serius rekannya.

"Sudah jam istirahat. Kamu istirahat duluan sana! Aku ambil jam kedua," ucap Reina sambil tersenyum.

"Tidak apa-apa, Rein? Kamu yang ambil jam kedua?" Celine bertanya, merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa. Lagi pula, kamu sudah ditunggu oleh Boss tuh," jawab Reina santai, sambil menunjuk ke arah ruangan Boss dengan ibu jarinya.

Celine mengernyitkan alis. "Boss menungguku? Untuk apa?"

Reina menatap Celine sejenak, lalu menghela napas. "Heeh, kau ini..." Reina sempat berhenti berbicara, lalu teringat sesuatu. Ia mendadak tersenyum kecil, merasa harus memberikan penjelasan. "Ah, aku lupa, kamu kan masih lupa ingatan. Jadi wajar saja kamu lupa kebiasaanmu."

"Maksudmu apa? Aku tidak mengerti," jawab Celine, matanya menunjukkan kebingungan.

"Kamu dan Boss memang selalu makan siang bersama. Itu kebiasaan kalian dulu," ungkap Reina dengan nada santai.

Celine terdiam. Fakta itu membuat pikirannya kacau. "Benarkah?"

"Ya."

"... "

Melihat keraguan di wajah Celine, Reina kembali bersuara sambil tersenyum jahil. "Tunggu apa lagi? Sana pergi, nanti Boss mencari kamu!" seru Reina sambil mendorong tubuh Celine pelan.

"Ah, ba-baiklah," jawab Celine gugup.

Walaupun merasa ragu, ia akhirnya melangkah ke arah ruangan Boss sambil membawa kotak bekal makan siangnya. Langkahnya terdengar pelan namun penuh kecemasan.

Tap... Tap... Tap!

.......

.......

.......

Di depan pintu ruangan Boss, Celine berhenti. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu.

Tok, Tok, Tok!

Celine mengetuk pintu dengan hati-hati.

"Boss, ini aku, Celine," ucapnya dari luar ruangan.

"Masuklah!" terdengar suara tegas namun ramah dari dalam.

"Baik," jawabnya pelan.

Klak!

Celine membuka pintu, melangkah masuk, dan menutupnya kembali dengan lembut.

Blam!

Suara pintu tertutup memenuhi ruangan yang penuh dengan aroma kayu dan sedikit wangi parfum pria. Di balik meja besar yang tertata rapi, seorang pria tampan dengan rambut coklat yang disisir rapi terlihat menatapnya. Kemeja putih yang dikenakannya membuat sosoknya tampak berwibawa, sekaligus hangat.

"Boss memanggilku?" tanya Celine dengan nada ragu.

Pria itu, Devid, tersenyum tipis. Dengan gerakan tangan, ia menunjukkan meja di depannya yang penuh dengan makanan. "Aku sudah menyiapkan semuanya. Ayo, duduklah!"

"Wah!?" Mata Celine membesar saat melihat hidangan yang tersaji. "Makanannya banyak sekali."

"Aku ingin memastikan kamu makan siang dengan baik hari ini," ucap Devid, senyum lembut menghiasi wajahnya.

"Hng, baik." Celine melangkah perlahan, menuju kursi yang telah disiapkan.

Tap... Tap!

Drrrrk!

Ia menarik kursi dan duduk dengan sedikit canggung.

"Jangan sungkan," kata Devid sambil menuangkan air ke gelasnya. "Kita sudah sering makan siang bersama, pilih saja makanan yang kamu suka."

Celine mengerutkan kening. "Benarkah?"

Devid tertawa kecil. "Tentu saja. Makanan ini ku belikan khusus untukmu."

Namun, bukannya tersenyum, Celine justru menatapnya dengan tatapan bingung. "Boss... apa benar kita sering makan siang bersama? Aku tidak ingat apa-apa."

Devid terdiam sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan.

Celine melanjutkan dengan suara lirih, "Boss tahu kan, aku kehilangan beberapa ingatanku, jadi-"

Devid memotongnya dengan suara lembut, "Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku akan membantumu mengingatnya, tenang saja."

"Oh... te-terima kasih," jawab Celine, merasa sedikit canggung dengan perhatian pria itu.

"Ngomong-ngomong," lanjut Devid, "bisakah kamu tidak memanggilku 'Boss' saat kita makan siang bersama? Panggil saja aku Devid."

"Hah? Tapi itu kan tidak sopan," balas Celine, matanya membesar.

"Hahaha, apanya yang tidak sopan?" Devid tertawa ringan, membuat suasana lebih santai.

"Ya, memanggil nama asli Boss itu terasa aneh..."

Devid bersandar di kursinya, menatap Celine dengan mata teduh. "Celine, kita ini sepasang kekasih. Mengapa harus merasa tidak sopan?"

"Apa?" Celine membelalak. "Sepasang kekasih?"

Devid mengangguk. "Aku tahu kamu kehilangan ingatanmu. Maka dari itu, aku akan sering mengajakmu makan siang bersama, agar kamu bisa mengingatku kembali."

Celine terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menyelinap ke dalam pikirannya. "Sepasang kekasih?" gumamnya dalam hati. "Ini aneh. Tidak ada secercah memori yang terlintas di benakku. Jika dia benar-benar orang yang berharga di dalam hidupku, bukankah seharusnya ada sesuatu yang kuingat?"

"Celine? Kau melamun?" suara Devid membuyarkan lamunannya.

"Ah? Oh, tidak. Hahaha." Celine tersenyum canggung, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

"Ayo, kita makan sebelum makanannya dingin," seru Devid, mengambil sepotong daging dan memberikannya kepada Celine.

"Baik." Celine mulai menyantap makanan di depannya, tetapi pikirannya terus melayang. Ia memutuskan, "Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang Boss ini selepas pulang bekerja."

Sambil mengunyah, ia sesekali melirik Devid yang tampak begitu tenang. Pria itu berbicara santai tentang pekerjaannya, tetapi Celine hanya merespons dengan senyuman kecil, pikirannya sudah tenggelam dalam berbagai pertanyaan.

...****************...

Pukul 22:00 malam, suasana Cafetaria tempat Celine bekerja telah sunyi. Lampu-lampu telah dimatikan, hanya menyisakan lampu neon di bagian depan untuk memberi penerangan lembut. Para pelayan mulai meninggalkan tempat satu per satu, termasuk Celine dan Reina.

"Sampai nanti, Celine!" seru Reina sambil melambai.

"Sampai nanti!" balas Celine dengan senyuman.

Tap tap tap!

Celine melangkah pergi, membawa tas kecil di pundaknya. Udara malam yang dingin mulai menyelimuti, dan langkah-langkahnya menggema di trotoar yang sepi. Namun, belum jauh ia berjalan, sebuah suara memanggil dari belakang.

"Celine, tunggu!"

Celine menghentikan langkahnya, menoleh ke sumber suara. "Hmm? Oh, Boss rupanya."

Devid, pria tinggi dengan aura yang selalu memikat perhatian, berdiri di belakangnya. Napasnya sedikit tersengal, seolah ia terburu-buru untuk mengejar Celine.

"Celine, mau ku antar pulang?" tanyanya langsung, dengan nada penuh perhatian.

Celine menggeleng cepat. "Ah? Ti-tidak perlu, Boss! Aku akan pulang sendiri."

Devid menghela napas panjang, menggeleng sambil tersenyum kecil. "Sudah kubilang, di luar jam kerja, jangan panggil aku Boss. Panggil saja Devid."

"O-oh... ba-baiklah. Maafkan aku," jawab Celine, sedikit gugup.

Devid tersenyum lembut, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Celine dengan gerakan yang penuh kehangatan. "Ini sudah hampir larut malam. Jalan menuju rumahmu sangat berbahaya. Biar ku antar saja, ya!"

Celine melangkah mundur sedikit, mencoba menjaga jarak. "Ti-tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."

Devid menatapnya lekat, tampak ragu. "Tapi-"

"Lagipula, aku ada urusan lain. Jadi, Devid tidak perlu repot-repot mengantar," potong Celine cepat, mencoba memberikan alasan.

"Begitu ya?" Devid terlihat sedikit kecewa, tetapi tetap menjaga senyumnya. "Benar tidak apa-apa?"

Celine mengangguk cepat. "Hng... tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

Devid terdiam sejenak, menghela napas. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kalau terjadi sesuatu, langsung hubungi aku, ya."

"Baik," jawab Celine sambil tersenyum kecil.

Devid mengangguk, tampak enggan meninggalkan Celine. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia tiba-tiba menarik Celine ke dalam pelukannya.

"!!!" Celine membeku, tidak menyangka dengan gerakan mendadak itu.

"Baiklah," bisik Devid sambil mengecup lembut puncak kepalanya. "Sampai nanti."

Masih dalam keterkejutan, Celine hanya bisa mengangguk pelan. "Sampai nanti," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.

Tap tap tap!

Devid melangkah menuju parkiran mobil, meninggalkan Celine yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Celine menghela napas panjang setelah Devid menghilang dari pandangan. Tangannya menyentuh puncak kepalanya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Kenapa aku merasa... aneh?" gumamnya pelan.

Langkah-langkahnya kembali terdengar di trotoar yang sepi, malam yang dingin seolah semakin sunyi. Tapi di dalam benaknya, pikiran tentang Devid terus berputar.

"Apa benar dia adalah kekasihku? Kalau iya, kenapa tidak ada satu pun memori tentang dia yang muncul? Kenapa aku merasa semuanya seperti teka-teki yang sulit dipecahkan?"

Dengan perasaan yang campur aduk, Celine melanjutkan perjalanan pulangnya, bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya sendiri—dan Devid.

...Bersambung ......

Tangan pucat

Pukul 22:30 malam, angin dingin berhembus lembut saat Celine melangkah keluar dari stasiun kereta. Jalan setapak menuju rumahnya terasa lengang, hanya ditemani suara langkah kakinya dan gemerisik daun yang terinjak.

Dengan satu tangan menggenggam ponsel, ia sesekali membuka galeri fotonya, mencari petunjuk yang mungkin bisa menjelaskan sesuatu tentang dirinya dan Devid, dan kenapa tidak ada satu pun memori tentang pria itu di ingatannya.

"Aku penasaran," gumamnya pelan. "Devid bilang dia adalah kekasihku. Tapi kenapa tidak ada satu pun foto dirinya atau pun foto kebersamaan kami di dalam album fotoku?"

Set! set!

Jari-jarinya terus bergerak di layar, men-scroll galeri foto dengan cepat. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Devid. Semua foto hanya menampilkan dirinya, Sovia, dan beberapa rekan kerja lain.

"Aneh, seharusnya satu foto ada, kan?" pikirnya, alisnya berkerut.

Tiba-tiba, jari-jarinya berhenti di salah satu foto yang terlihat aneh. "Hem?"

Pip!

Celine memperbesar foto tersebut. Di layar, terlihat seseorang sedang membawa kue ulang tahun. Namun, suasana dalam foto itu gelap, dan sebagian gambar tampak terpotong, membuatnya sulit mengenali siapa orang tersebut.

"Aku tidak ingat siapa yang membawa kue ini ya?"

Ia memiringkan kepala, mencoba mengingat. Tapi pikirannya kosong. Tidak ada ingatan yang muncul.

Celine memperhatikan lebih dekat. Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu—orang dalam foto itu mengenakan mantel musim dingin berwarna cokelat.

"Ah? Mantel musim dingin? Siapa orang ini? Apakah Devid? Tapi..." Celine mengerutkan kening. "Seingat ku, Devid jarang mengenakan mantel."

Ia terdiam, menatap layar ponselnya lebih lama. Hatinya dipenuhi kebingungan.

"Aku akan menanyakan hal ini pada Sovia nanti. Mungkin dia tahu sesuatu tentang foto ini."

Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, Celine memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Langkah-langkahnya terasa lebih berat, seolah-olah setiap pertanyaan di benaknya menambah beban di pundaknya.

.......

.......

.......

Tap... Tap... Tap!

Langkah kaki Celine bergema samar di sepanjang jalan yang semakin sunyi. Udara malam terasa dingin, menambah suasana mencekam di sekitar. Ia memandangi gang sempit yang membentang di depannya, diapit dua bangunan tua dengan lampu redup yang nyaris tidak berfungsi.

"Jalan ini gelap sekali, tapi ini yang paling cepat," gumamnya, mencoba meyakinkan diri.

Ia menoleh ke sisi kanan, melihat jalan akses utama yang lebih terang dan ramai. Namun, jalur itu memutar jauh, dan Celine sudah terlalu lelah setelah seharian bekerja.

"Kalau aku lewat jalan akses utama, waktu yang ku habiskan bisa dua kali lipat."

Matanya kembali menatap gang alternatif yang suram.

"Jalan alternatif saja, aku ingin lebih cepat sampai rumah," putusnya.

Dengan langkah hati-hati, ia mulai memasuki gang itu. Bayangan tubuhnya bergerak samar di tembok-tembok kusam, mengikuti setiap langkahnya.

Tap... Tap... Tap!

Ketika mencapai tengah gang, Celine mendengar suara gaduh dari ujung jalan. Ia berhenti sejenak, matanya memperhatikan tiga pria berandalan yang sedang memukuli seseorang.

Bug! Bug! Bug!

"Aaaaahh hentikan! Aku mohon jangan pukuli aku lagi! Aku mohon!" Suara rintihan itu begitu memilukan, membuat Celine mematung di tempat.

Salah satu dari berandalan itu berteriak garang, "DIAM! Ini ganjaran untuk orang yang berani berurusan dengan kami!"

Bug! Bug! Bug!

"Hng, kejamnya mereka," gumam Celine dalam batinnya, mencoba menekan rasa ngeri yang menyeruak di dadanya.

Ia mempercepat langkah, berusaha tidak menoleh sedikit pun ke arah para berandalan itu. Keinginannya hanya satu—keluar dari gang ini secepat mungkin. Namun, nasib buruk menimpanya.

Tiba-tiba, salah satu dari mereka menarik tas selempangnya dengan kasar. Tarikan itu membuat tubuh Celine tersentak mundur, dan ia hampir kehilangan keseimbangan.

"Ah? Apa yang kau lakukan? Lepaskan tasku!" seru Celine dengan suara tegas, mencoba mempertahankan tasnya.

Namun, bukannya melepas, pria itu justru tersenyum licik. "Nona cantik mau ke mana? Jangan buru-buru! Bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu?" ucapnya sambil menarik tas itu lebih kuat.

"Lepaskan tasku, bajingan!"

Dalam sekejap, Celine mengepalkan tinjunya dan memukul wajah pria itu dengan keras.

BUG!

Pria itu mundur selangkah, terkejut dengan keberanian Celine. Tapi, tindakan itu malah membuat mereka semua murka.

"Wah, wah, wah... apa ini?" salah satu dari mereka terkekeh. "Sepertinya jalang ini perlu kita ajari caranya menyenangkan laki-laki."

"Hahahaha, kita bawa saja dia ke markas!" ujar pria lain dengan tawa menggema.

Celine merasa darahnya membeku mendengar kata-kata itu. Ia menelan ludah, tubuhnya mulai gemetaran. Dengan langkah perlahan, ia berjalan mundur, bersiap untuk melarikan diri. Namun, baru saja ia memutar tubuhnya untuk lari, rambut hitam panjangnya dijambak dengan kasar.

"KYAAAAAAA!"

Jeritannya menggema di sepanjang gang, namun tidak ada yang datang menolong.

Zruuuk!

Tubuhnya tersungkur ke belakang. Lutut dan sikunya menghantam tanah dingin dengan keras.

"Hahahaha, jalang mau kabur? Oh, tidak bisa! Kami akan menghabisi mu malam ini juga! Ahahahaha ..." tawa berandalan itu menggema, dipenuhi kepercayaan diri yang menakutkan.

Celine yang terkulai di tanah, tubuhnya gemetaran tak berdaya. Matanya terpejam, merasakan ketakutan yang sangat mendalam. Setiap detik terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah dunia ini semakin sempit. Kepalanya berdenyut dengan rasa sakit yang menusuk, semakin kuat, seperti ada sesuatu yang terbangun di dalam dirinya.

"Ah, kepala ku sakit sekali?" gumam Celine, memegangi kepalanya yang berdenyut, berusaha menahan rasa sakit yang datang begitu mendalam.

Ke tiga berandalan itu, dengan kekuatan yang mereka miliki, mulai memegang tangan dan kaki Celine dengan paksa, mengunci tubuhnya agar tidak bisa bergerak. Tubuhnya semakin lemah, tetapi hati kecil Celine terus bergemuruh, berharap seseorang akan datang untuk menolong.

"Tolong! Siapa pun tolong aku!" teriak Celine, namun suara itu hampir tak terdengar, seolah tertelan dalam kegelapan.

"Aku mohon!" tambahnya dalam hati, namun hanya kesepian yang menyambut doanya.

Dan tepat ketika ia mulai merasa bahwa segala harapan telah lenyap, kilasan ingatan tiba-tiba muncul begitu tajam, menyatu dengan rasa sakit yang menjalar di kepalanya.

"Ah?" Celine menjerit dalam hati, matanya terbuka lebar, melihat bayangan samar dalam ingatan yang tak ia mengerti.

.......

.......

.......

Memori itu datang dengan cepat, seperti kilat yang menyambar dalam gelap.

"TOLOOOOONG! TOLOOOOONG! Siapa pun tolong kami!" teriak Celine, dalam ingatan itu. Suaranya penuh ketakutan, berharap ada seseorang yang akan datang menyelamatkan mereka.

Di sekelilingnya, kabut gelap mengelilingi, wajah-wajah samar terlihat di tengah ketakutan yang membekap. "Celine, pergi!" terdengar suara seseorang yang sangat ia kenal, namun wajahnya kabur, penuh darah.

"Selamatkan dirimu!" suara itu menguat, seolah memaksa Celine untuk menjauh.

"Jangan hiraukan aku!" suara itu terdengar lebih keras, lebih mendalam, menyentuh jiwa Celine dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Celine ingin melihat lebih jelas, ingin tahu siapa yang sedang berbicara padanya. Namun, seperti mimpi buruk, wajah itu terhapus dalam kabut cahaya yang menyilaukan, memudar begitu cepat.

.......

.......

.......

"Hah?"

Celine membuka kedua matanya, dan seketika, ingatan yang baru saja muncul itu terputus. Kejutan datang begitu mendalam saat ia melihat tangan pucat yang tiba-tiba menjulur melewati sisi kanan bahunya. Tangan itu mencekik salah satu berandal yang ingin melukainya, dengan kekuatan yang tidak bisa ia jelaskan.

"Ah? Tangan?" suara Celine terlepas, gemetar dalam kebingungannya.

"Aarghh!!! ... ke-kenapa leher ku?" teriak Jack, berandalan yang tengah dipermainkan oleh tangan misterius tersebut. Wajahnya memerah, berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman itu semakin kuat.

"Woy ada apa Jack?" tanya salah satu temannya dengan kebingungan, mencoba mendekat.

"Leher ku, a-aku ti-tidak bisa bernafas!" Jack merintih, tubuhnya semakin lemas, sementara rasa panik mulai merasuk ke dalam diri teman-temannya.

Celine yang duduk tak berdaya, menoleh ke arah kanan untuk melihat siapa yang datang menolongnya, tetapi anehnya, tidak ada siapa pun di sana.

"Tidak ada siapa pun? Bahkan tangan pucat yang barusan muncul tidak ada?" pikir Celine, mencoba mengerti apa yang baru saja ia saksikan. Kebingungannya semakin mendalam.

"Aaaaaaargh!!!"

Tiba-tiba, terdengar suara jeritan yang sangat keras, dan seketika itu juga, tubuh Jack terpental mundur dengan kecepatan yang luar biasa, menghantam dinding dengan sangat keras. Suara benturan itu bergema di sekitarnya, meninggalkan ketegangan di udara.

"BRAAAAAAKKK!"

Teman-teman Jack yang berada di dekatnya, terperanjat dan mundur dengan cepat, kebingungan melihat apa yang baru saja terjadi.

"Ada apa dengan Jack?" tanya salah satu dari mereka, mencoba memahami kejadian yang sangat tidak masuk akal itu.

"Aku juga tidak tahu, kenapa bisa dia terpental seperti itu?" jawab yang lainnya dengan nada panik, tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi di depan mata mereka.

Celine, yang masih dalam posisi duduk, tanpa sadar mengalihkan pandangannya ke arah sebuah potongan besi panjang yang tergeletak di sisi kanan. Sesuatu yang tak terlihat, atau mungkin, kekuatan yang datang entah dari mana, membuat besi itu bergerak-gerak dengan sendirinya.

"Ah? Besi itu bergerak sendiri?" gumam Celine dengan kaget. Matanya terbelalak, mencoba memproses apa yang baru saja ia lihat.

Syuuuuuuuuuttt!

JLEEEEBBB!!!

Dengan kecepatan yang luar biasa, potongan besi panjang itu melesat tanpa ada yang menyentuhnya. Dalam sekejap, besi itu menusuk perut salah satu berandal dengan sangat mengerikan, mengeluarkan suara berdarah yang menambah ketegangan di tempat itu.

"AAAARGHHH!!!" teriak berandalan tersebut, tubuhnya terjatuh ke tanah dengan darah mengalir deras dari perutnya.

Keheningan tiba-tiba menyelimuti mereka semua. Mereka terkejut, tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan mata mereka. Semua orang yang ada di sana hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa. Keadaan yang sebelumnya begitu kacau kini terhenti, dipenuhi rasa takut yang begitu mendalam.

Celine merasa jantungnya berdegup kencang, ketakutan dan kebingungannya bercampur aduk. "Apa yang baru saja terjadi?" pikirnya, mencoba memahami kekuatan yang tak terlihat ini. Namun, satu hal yang pasti, seseorang atau sesuatu yang tidak terlihat sedang melindunginya.

"Woooyyy? Jack?"

Mike, yang masih terkejut, memanggil teman yang baru saja jatuh ke tanah dengan tubuh tergeletak tanpa nyawa. Ia berlari menghampiri, namun matanya terbuka lebar, tak percaya dengan apa yang terjadi.

"Gila, ba-bagaimana bisa?" ucap Mike, terengah-engah, bingung dengan kejadian yang begitu cepat dan mengerikan. Jack... teman mereka yang sedang dipermainkan, tiba-tiba terlempar begitu saja, dan kini ia sudah tergeletak dengan darah yang mengalir deras.

Kedua berandal lainnya, Roy dan Mike, menatap Jack dengan tatapan terbelalak. Mereka tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Kejadian itu begitu cepat, dan mereka merasa seperti ada kekuatan yang tak terlihat yang berperan dalam insiden tersebut.

"Kita harus pergi Roy! KITA HARUS PERGI!" teriak Mike, suara paniknya mengiris udara. Ia merasa hidupnya dalam bahaya, dan satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan adalah melarikan diri dari tempat itu.

"Ta-tapi Jack-" Roy mencoba menjelaskan, namun suara Mike sudah menggelegar.

"DI SINI ADA HANTU, KITA HARUS PERGI!" teriak Mike lagi, panik luar biasa, tubuhnya gemetar ketakutan.

"Tapi-"

"PERSETAN LAH!" Mike menyambar, mengabaikan kata-kata Roy. Ia sudah terlalu takut, tak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada Jack.

"MIKE TUNGGU!" Roy berlari mengejarnya, berusaha untuk mengikuti teman yang sudah terlanjur panik dan melarikan diri.

Taptaptaptaptap!

Kedua berandal itu berlari, tanpa menoleh lagi. Mereka meninggalkan tempat itu secepat kilat, seakan dunia mereka sudah berubah menjadi mimpi buruk yang tak bisa dijelaskan.

Celine, yang masih duduk di tempat yang sama, mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri setelah kejadian yang begitu menegangkan. "Apa yang ha-harus aku lakukan sekarang?" pikirnya, tubuhnya gemetar dan pikirannya berputar. Dia merasa aneh, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah ia benar-benar aman?

"Nona, lebih baik kita pergi juga dari sini!" suara laki-laki yang tadi menjadi korban pemukulan terdengar, seraya berjalan mendekati Celine.

Celine menoleh ke arah laki-laki itu. Ia mengangguk pelan, merasakan getaran ketakutan dalam dirinya. "Ah? Ka-kamu benar, ayo!" jawabnya dengan cepat.

Karena Celine merasa tidak ingin berurusan lebih jauh dengan pihak kepolisian dan merasa tempat itu tidak aman, dia memutuskan untuk pergi bersama laki-laki itu. Mereka harus segera keluar dari sana, sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi.

Taptaptaptaptap!

Langkah kaki mereka bersatu, berlari meninggalkan gang gelap itu, meninggalkan kenyataan yang baru saja mereka hadapi. Namun, dalam hati Celine, ada pertanyaan yang menggelayut. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang melindunginya tadi? Apakah ini pertanda dari sesuatu yang lebih besar?

...Bersambung......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!