Barangkali banyak hal di dunia ini yang memang selayaknya jadi misteri saja. Ada baiknya beberapa misteri tak perlu dipecahkan. Hari ini aku tahu, seharusnya kita tidak pernah bertemu lagi. Seharusnya kita tidak bicara perihal ini lagi. Sebab, sudah lama aku berusaha menguburnya. Sekian lama juga aku berusaha menjauh. Menghindari semua yang mungkin saja bisa membuatku kembali mengingatmu. Dan setelah sekian lama, ternyata waktu bisa mempermudah segalanya. Tidak ada lagi keinginan dan harapan yang dulu kujaga.
Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Itulah yang membuatmu akhirnya terdampar di kota ini. Dua tahun lalu, aku berusaha lari ke sini. Menjauh darimu, menjauhi semua keinginanku untuk memintamu lagi. Sungguh, Alisa. Hari itu aku benar- benar tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin membawa diriku sejauh mungkin. Aku meninggalkan impianku. Aku mengembara seperti orang tak tahu arah. Hanya satu hal yang aku inginkan waktu itu Alisa, aku ingin punya hidup yang baru. Lepas dari hidup orang yang tidak pernah menginginkanku. Orang itu kau, Alisa.
Dua jam sudah kita berdiri di tempat ini. Sejak beberapa hari lalu kau menghubungiku. Katanya, kau butuh bantuanku. Awalnya aku keberatan, Alisa. Bukan karena aku tidak ingin membantumu. Aku hanya berusaha sebisanya tidak ingin bertemu kau lagi. Sama seperti dua tahun lalu. Saat aku memilih pergi dari kotamu. Apa yang kau lakukan rasanya sudah membuat hancur hatiku. Tetapi sungguh, aku tidak berniat membencimu. Aku hanya ingin belajar mencintai diriku sendiri.
Seperti kata sahabatku waktu itu. "Jika orang yang kau cintai mengabaikanmu, bahkan mempermainkan perasaanmu. Sungguh, dia tidak layak untuk kau sedihkan. Dia tidak layak menghancurkan hatimu. Sebab, dirimu jauh lebih berarti." Itulah Alisa, awal mula aku mencoba memahami diriku. Aku memang harus melepaskanmu. Tidak tanggung-tanggung, Alisa. Aku merantau tanpa modal apa pun. Selain modal patah hati yang kubawa.
Betapa pun pahit hidup di rantau ini aku tanggung, Alisa. Aku hanya ingin lepas dari keinginanku untuk mencintaimu. Aku ingin mencintai diriku sendiri. Dua tahun sudah semuanya kubangun. Aku mencoba menata lagi hidupku. Mencoba lagi merakit hatiku yang sudah berantakan oleh sikapmu. Namun, kini kau memintaku bertemu. Ini berat bagiku. Namun, aku tidak ingin membencimu. Apalagi sampai menaruh dendam kepadamu. Tidak Alisa. Aku tidak begitu. Biar kau sajalah yang pernah mematahkan hatiku. Aku tidak ingin melakukan kejahatan yang sama.
Meski berat, aku tidak pernah tega kepadamu, Alisa. Jauh berbeda dengan apa yang kau lakukan dua tahun lalu kepadaku. Aku akhirnya menemuimu di tempat ini. Aku sengaja mengajakmu bertemu saat sore. Sebab, aku tidak suka suasana pagi dan malam hari bersamamu. Dua tahun lalu, hampir setiap pagi aku memikirkanmu. Juga kau saja yang ada di kepalaku saat aku ingin tidur. Itulah alasan kenapa aku menemuimu sore hari.
"Kamu apa kabar, Van?"
"Baik." Aku berusaha tersenyum.
"Ternyata kau masih seperti Irvan yang kukenal dulu. Pendiam." Kau ikut tersenyum.
Aku hanya berusaha membalas seadanya. Irvan yang kukenal dulu. Kalimat itu terasa mengingatkan sesuatu, Alisa. Namun, aku berusaha menepisnya. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan aku masih Irvan seperti yang dulu. Sementara waktu dua tahun, sudah membuatku jauh. Sudah membawaku ke kota ini. Tempat yang begitu jauh dari kotamu.
"Apa yang bisa kubantu?" tanyaku. Aku ingin segera mengakhiri pertemuan kita.
Kau seolah mengerti gelagatku. Kau menyebutkan tujuanmu. Kau butuh bantuan untuk diantarkan ke sebuah sekolah terpencil. Berada di ujung kota ini. Daerah paling pinggir. Kau ingin mengajar bahasa Indonesia di sana. Hal yang dulu kukagumi darimu. Aku juga suka berhadapan dengan anak kecil. Namun itu dulu, dua tahun lalu.
Beberapa saat kemudian kita berangkat. Aku mengantarmu pulang ke penginapanmu. Besoknya aku berjanji untuk menemanimu ke sekolah itu. Dan, aku pikir itu adalah saat terakhir aku akan bertemu denganmu. Aku sungguh tidak ingin lagi bertemu
denganmu. Dua tahun sudah melarikan diri ke kota ini membuatku mulai terbiasa tanpamu. Dan, aku tidak ingin lagi merasakan kebiasaanku dua tahun lalu. Lelaki yang berharap kau mau mencintaiku. Aku takut, merasakan lagi betapa sakitnya cinta yang tak kau balas.
Aku pikir dengan kau mengajar di daerah pinggiran kota. Kita tidak akan bertemu lagi. Namun, aku salah, kau memilih tinggal dekat dengan tempat tinggalku. Kau memilih bolak balik ke daerah mengajarmu. Katamu, di sana susah akses internet. Kau butuh materi ajar yang baru, agar murid-muridmu menjadi lebih pintar. Kau memang sangat mencintai pekerjaanmu. Setidaknya, itu masih sama seperti kau yang dulu. Perempuan yang begitu mencintai apa pun yang ia lakukan.
Dan, kita pun mulai sering bertemu. Kau datang sesekali ke tempat kerjaku. Di akhir pekan saat kau tidak mengajar, kau memilih membaca buku di kafe kecil milikku. Sejak dua tahun lalu, aku merintis usaha ini. Membuat kafe baca untuk orang-orang di kota ini. Tidak terlalu besar. Namun, berkat bantuan teman-teman yang kukenal di kota ini. Mereka memberikan buku koleksi mereka secara suka rela. Jadilah kafe ini dengan koleksi buku yang hampir lengkap. Selain makanan dan minumannya memang dijual dengan harga bersahabat.
Dua tahun sudah aku menghabiskan waktu di sini, Alisa. Aku berusaha menenangkan hatiku. Aku tahu kau suka buku dan mencintai bahasa Indonesia. Itulah sebabnya aku memilih membangun kafe ini. Dengan melihat orang membaca dan menikmati waktu dengan buku. Setidaknya, aku merasa masih ada harapan untukku bertahan. Meski aku tidak pernah lagi berharap kau mencintaiku, Alisa. Seperti apa yang aku harapkan dua tahun lalu.
Namun, waktu menghadirkan hal lain di antara
kita. Kebersamaan yang akhir-akhir ini menyelimuti kita. Menjadi sesuatu yang membuatku merasa kau mulai berbeda. Kau tidak seperti dulu. Perempuan yang mengabaikan aku. Lelaki yang bahkan bersikeras memohon untuk kau cintai.
Malam ini selepas kafe mau tutup. Kau masih saja betah di sini. Aku tidak berani mengusirmu. Kau tamuku di sini. Sama seperti yang lainnya. Tidak mungkin aku mengusir tamu yang datang ke kafeku. Kau masih duduk di pojok kafe dengan buku yang berada di tangan dan meja. Akhirnya aku segera menghampirimu. Dari tadi aku mencari kata yang tepat untuk mengatakan kepadamu. Aku ingin menutup kafe ini. Kau harus segera pergi.
"Maaf, Alisa. Kafe ini ingin aku tutup. Kamu bisa datang lagi besok."
Kau menatapku sejenak. Lalu meletakkan buku yang ada di tanganmu ke atas meja.
"Terima kasih," ucapku, mengambil buku yang kau serahkan.
Tapi kau tidak langsung pergi. Setelah kau membayar minuman dan makananmu. Kau menatapku, lalu mengatakan sesuatu.
"Boleh kita bicara sebentar?"
Aku ingin menolak tetapi aku tidak melakukannya. Aku memberi isyarat kepadamu untuk menunggu sebentar. Aku mengembalikan buku-buku yang kau baca ke rak buku.
Kau terlihat mengatur napasmu. Beberapa saat kemudian kau mulai mengutarakan apa yang ingin kau katakan.
"Irvan. Kau masih ingat kejadian dua tahun lalu?"
"Masih," jawabku.
"Apa kau pergi ke kota ini untuk menghindariku?"
Aku tidak tahu apa maksudmu. Namun, sejujurnya aku tidak lagi ingin membahas semua ini. Kau menghadirkan perasaan-perasaan yang dua tahun ini kutimbun dengan segala kesibukanku.
"Bukankah kau yang menghindariku? Aku balik bertanya.
"Kau jawab saja pertanyaanku. Kenapa tiba-tiba kau menghilang? Dan kau pergi ke kota ini? Tidak usah mengajukan pertanyaan balik."
Kau masih saja egois, Alisa. Dua tahun ternyata tidak membuat sifat egoismu banyak berubah.
"Iya. Aku menghindarimu."
Kau tersenyum. Mengatur kembali napasmu. Aku juga melakukan hal yang sama. Malam itu terasa seperti suasana dua tahun lalu. Saat aku begitu menginginkanmu.
"Apa dulu kau begitu mencintaiku?" tanyamu.
"Menurutmu?" Harusnya kau tidak bertanya.
"Jawab saja!" Kau memang suka seenaknya, Alisa.
"Iya. Aku bahkan mencintaimu melebihi apa pun yang pernah aku cintai waktu itu."
Kemudian beberapa saat kita saling diam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadamu. Aku hanya menunggu sebenarnya apa yang kau inginkan. Hingga beberapa menit setelah kita saling diam. Kau kembali membuka pembicaraan.
"Irvan. Aku tidak mengerti kenapa dulu aku me- nolakmu. Kenapa aku dulu mempermainkan hatimu.
Namun, sejak kau pergi, aku merasa ada yang hilang. Aku merindukanmu setelah itu. Kau mengatakan itu dari hatimu. Aku tahu, aku bisa merasakannya dari tatap matamu.
"Kenapa kau tidak mencariku saat itu? Kenapa kau tidak menahanku?" tanyaku.
"Bukankah kau yang menghindariku? Aku balik bertanya.
"Kau jawab saja pertanyaanku. Kenapa tiba-tiba kau menghilang? Dan kau pergi ke kota ini? Tidak usah mengajukan pertanyaan balik."
Kau masih saja egois, Alisa. Dua tahun ternyata tidak membuat sifat egoismu banyak berubah.
"Iya. Aku menghindarimu."
Kau tersenyum. Mengatur kembali napasmu. Aku juga melakukan hal yang sama. Malam itu terasa seperti suasana dua tahun lalu. Saat aku begitu menginginkanmu.
"Apa dulu kau begitu mencintaiku?" tanyamu.
"Menurutmu?" Harusnya kau tidak bertanya.
"Jawab saja!" Kau memang suka seenaknya, Alisa.
"Iya. Aku bahkan mencintaimu melebihi apa pun yang pernah aku cintai waktu itu."
Kemudian beberapa saat kita saling diam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadamu. Aku hanya menunggu sebenarnya apa yang kau inginkan. Hingga beberapa menit setelah kita saling diam. Kau kembali membuka pembicaraan.
"Irvan. Aku tidak mengerti kenapa dulu aku me- nolakmu. Kenapa aku dulu mempermainkan hatimu.
Namun, sejak kau pergi, aku merasa ada yang hilang. Aku merindukanmu setelah itu. Kau mengatakan itu dari hatimu. Aku tahu, aku bisa merasakannya dari tatap matamu.
"Kenapa kau tidak mencariku saat itu? Kenapa kau tidak menahanku?" tanyaku.
Aku masih ingat. Aku sempat menunggumu beberapa saat di bandara. Menatap orang-orang dan berharap kau datang lalu menahanku. Namun, kenyataan tak semanis adegan di film-film romantis. Kau tidak pernah datang. Dan, aku akhirnya pergi meninggalkan kotamu dengan patah hatiku.
"Aku tahu waktu itu aku salah, Irvan. Kau tahu, kenapa sekarang aku datang ke kota ini?"
"Kau ingin mengajar anak-anak bahasa Indonesia. Seperti cita-citamu dulu," jawabku datar. Aku mengalihkan mataku darimu.
"Bukan hanya itu. Aku ingin memperjuangkan lagi lelaki yang dulu pernah kuabaikan."
Aku berusaha mengatur napasku. Sesak rasanya mendengar kau mengatakan itu. Sungguh, aku benar-benar belum sepenuhnya menghapusmu dari ingatanku. Apalagi sejak kau datang ke kota ini. Sejak kau sering berkunjung ke kafe milikku. Aku berusaha menenangkan diriku. Aku meyakinkan diriku. Aku
sudah menjauh sejauh ini. Meski pada saat yang sama hadirmu menghadirkan semua ingatan dan perasaan yang dulu begitu dalam.
"Lalu apa yang kau mau dariku?" tanyaku.
"Bisakah kau memberiku kesempatan?"
Itu ucapan yang dulu kukatakan kepadamu, Alisa. Sekarang kau yang mengatakan itu kepadaku. Entah apa mau Tuhan hari itu. Aku benar-benar tidak mengerti.
"Kesempatan?"
"Izinkan aku memperbaiki kesalahanku. Aku ingin
belajar mencintai orang yang mencintaiku. Aku ingin
mencintaimu."
Jelas sudah apa yang kau inginkan, Alisa.
Aku menahan sesak di dadaku.
"Alisa. Dua tahun lalu, aku memohon kepadamu. Beri aku kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta. Beri aku waktu agar aku bisa membuatmu nyaman denganku. Namun, yang aku dapatkan adalah kau hanya mempermainkan perasaanku. Kau katakan kepadaku, kau tidak bisa mencintaiku. Kau katakan kepadaku kau tidak butuh cintaku."
Aku berhenti sejenak. Aku takut aku terkesan ingin membalasmu. Namun, sungguh, Alisa. Aku tidak dendam kepadamu.
"Kau memberiku rasa nyaman. Lalu kau meng- abaikan aku. Menolak cintaku. Dengan sesukamu mengutak-atik hatiku, Alisa. Kau tidak sadar Alisa? itu aku sudah seperti orang gila. Aku tidak punya arah hidup. Kuhancurkan hidupku karena aku terlalu mencintaimu. Kau membuatku seolah seorang pengemis perasaan, Alisa. Entah kenapa, emosiku mulai meluap-luap.
"Aku tidak bermaksud begitu, Irvan." Kau membela diri.
"Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Alisa. Aku pergi ke kota ini untuk menemukan hidup yang baru. Bagiku, Alisa yang kucintai sudah mati. Perempuan itu sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Tidak akan pernah ada lagi, Alisa. Kau yang sekarang adalah Alisa yang baru. Teman lama yang butuh bantuan. Hanya itu. Tidak lebih." Aku mengalihkan pandangku darimu.
Aku bisa menatap matamu yang kecewa. Kau dulu selalu bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan. Bahkan kau bisa saja memberiku harapan lalu mencampakkan aku begitu saja. Hingga semua kesakitan itu membawa aku ke kota ini. Tumbuh dan mencoba hidup lagi setelah begitu hancur kau buat hati ini.
Beberapa saat kemudian kau pulang. Aku menutup
pintu kafe. Seseorang menungguku dengan senyum
yang tak pernah berubah sejak aku mengenalnya.
"Terima kasih, kau masih memberiku kesempatan untuk mencintaimu," ucapnya.
"Maaf, sudah membuatmu sedih beberapa hari ini. Mulai malam ini, kupastikan kau saja selamanya." Aku memeluk perempuan itu. Dia mungkin tidak sepertimu Alisa. Namun darinya aku belajar, bahwa mencintai orang yang mencintai kita jauh lebih menyenangkan.
Barangkali benar, salah satu tujuan manusia diciptakan adalah untuk menjadi tempat sampah.
"Lani..." dia memanggilku. Sahabat terbaik sejak kami masih terlalu kecil. Bahkan mungkin sejak kami masih dalam kandungan. Ibunya dan ibuku sudah bersahabat dari mereka gadis. Dan, persahabatan kami seperti warisan keluarga. Yang turun temurun harus kami jaga.
Apa pun yang dia rasakan. Semua hal yang menimpanya akan ia ceritakan kepadaku. Begitulah Manela. Dia selalu percaya kepadaku. Hal yang sama juga kutunjukkan kepadanya. Mungkin karena itu kami betah untuk saling membutuhkan. Bertahun-tahun bertahan sebagai sahabat. Tidak selalu akur memang, sesekali kami pun mengalami salah paham. Namun, persahabatan kami jauh lebih kuat dari kesalahan yang satu di antara kami lakukan.
"Ela." Aku berhenti, yang memanggilku berjalan mendekat.
"Kamu hari ini sibuk?"
Aku sudah tahu ke mana arah pertanyaannya. Manela butuh teman curhat. Tentu, aku tidak akan menolak. Sesibuk apa pun aku, selalu akan kusempatkan mendengarkan dia bercerita. Begitulah sahabat, kadang ada masanya kita harus merelakan waktu lelah kita. Agar orang yang kita sayangi bisa bahagia.
Malam itu, Manela menginap di rumahku. Kebiasaan yang sering kami jalani sejak kami masih sekolah dasar. Dulu, hanya urusan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan segala kewajiban sekolah yang kadang bikin resah. Sekarang tentu berbeda, selain urusan skripsi, kami juga lebih banyak bicara perihal hati.
"Kamu kenapa lagi? Ada masalah lagi dengan Gilan?"
"Bukan, ini bukan tentang Gilan." Manela menunduk. Ada yang belum ia ceritakan kepadaku. Dan, ia seolah menahan untuk tidak menceritakan itu.
Kalau bukan tentang Gilan. Lalu tentang apa lagi? Tidak mungkin dia membahas skripsi sampai sekalut ini. Ini pasti urusan hati. Tetapi apa yang terjadi?
Gilan Bahri adalah lelaki yang kami temui di awal masuk kuliah. Dan, mulai hari itu aku bisa melihat sesuatu di mata Manela. Ada rasa kagum, sekaligus suka kepada lelaki berkulit putih itu.
"Kamu yakin suka sama Gilan?" tanyaku.
"Kenapa, memang?"
"Dia kan anak cupu, gitu."
"Sesekali, seru juga kali ya pacaran sama lelaki baik- baik seperti Gilan."
Itu yang aku khawatirkan sebenarnya. Yang aku tahu, Manela hampir tidak pernah serius menjalani hubungan asmara dengan laki-laki. Sejak dia dikhianati lelaki yang dengan sepenuh hati ia cintai. Manela seolah menganggap semua lelaki sama. Hanya untuk dijadikan permainan.
"Kalau kau tidak mempermainkan lelaki, maka kau yang akan dijadikan mainannya." Itu yang dikatakan Manela. Sewaktu aku mencoba untuk menasihatinya.
"Tapi, Gilan itu lelaki baik. Kamu tidak boleh melampiaskan sakit hatimu di masa lalu kepada orang yang bahkan tidak tahu masalahmu."
"Lani... kamu dari dulu selalu saja membawa apa pun dengan perasaan. Kalau kamu terus begitu, kamu akan menjadi perempuan yang selalu tersakiti."
18
"Ela, aku hanya ingin kamu tidak melakukan kesalahan."
"Terima kasih, Lani. Tapi aku tahu apa yang aku lakukan. Aku paham." Dia tersenyum.
Aku memang tidak pernah bisa marah kepada Manela. Dia sudah seperti saudara bagiku. Bahkan mungkin melebihi itu.
Awalnya, aku tidak pernah menduga. Manela bisa bertahan dengan Gilan selama tiga tahun lebih. Aku tidak mengerti, apakah karena Manela terlalu pintar merayu hati Gilan -setelah lelaki itu disakitinya. Atau karena Gilan yang terlalu cinta kepadanya.
Pernah suatu kali, aku bertanya kepada Gilan.
"Kenapa kamu masih mencintai perempuan yang jelas-jelas mempermainkan perasaanmu?"
Dia hanya tersenyum seadanya.
"Untuk membuat dia mengerti, bahwa aku bukan lelaki yang tidak layak dia permainkan." Jawabnya tenang.
Obrolanku dengan Gilan hanya akan berakhir sesingkat itu. Tidak akan ada obrolan panjang seperti aku mendengarkan curahan hati Manela.
Menjadi orang yang berada di posisi sepertiku kadang jenuh juga. Bagaimana tidak. Di satu sisi aku harus mendengarkan sahabatku sendiri. Cerita tentang
ia bertemu dengan laki-laki lain. Lalu, merasa suka dan menjalani hubungan diam-diam. Sementara di sisi lain, aku juga mengenal kekasihnya. Lelaki yang memilih tidak mau tahu, atau tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan perempuan yang menjadi kekasihnya. Aku menjadi serba salah. Gilan susah dibedakan, apakah dia memang terlalu baik atau terlalu naif.
"Jadi, apa masalahmu?"
"Aku jatuh cinta lagi."
Sudah kuduga. Ini kesekian kalinya dia mengaku seperti itu. Meski pada akhirnya, dia kembali kepada Gilan juga.
"Mau sampai kapan kamu akan seperti ini?" Sejujurnya aku mulai lelah mendengarkan ceritanya yang seperti ini terus.
"Kali ini beda, Lani. Ini cinta yang dewasa. Aku juga tidak mau main-main terus." Dia terdengar lebih serius.
"Maksudmu?"
"Aku butuh lelaki yang mapan. Lelaki yang sudah punya masa depan. Sementara kamu juga tahu kan, Gilan masih sama seperti kita. Masih berstatus mahasiswa."
20
Aku menggeleng. Sejak kapan dia bisa berpikir seperti itu? Bukankah selama ini, baginya sama saja. Semua lelaki yang ia dekati -yang diam-diam jalan dengannya tanpa sepengetahuan Gilan memang untuk main-main saja. Lalu sekarang kenapa dia jadi berpikir seperti itu?
Tanpa diakui Manela, aku bisa melihat bahwa dia tidak pernah benar-benar bisa kehilangan Gilan. Buktinya, Gilan tetap ia pertahankan. Meski pada saat yang sama lelaki itu tetap saja ia sakiti.
"Lalu apa rencanamu?"
"Aku sudah dewasa, Lani."
"Aku tahu," potongku. Aku kesal, setiap kali dia mengaku dewasa saat yang sama sikapnya tidak menunjukkan sikap yang dewasa.
"Sudah saatnya aku memikirkan masa depan."
Untuk hal itu aku setuju. Sebab, semakin kita tumbuh dewasa, semakin bertambah beban kita untuk bertanggung jawab penuh atas hidup kita.
"Lantas?"
"Aku ingin melepaskan Gilan."
"HAH? Kamu bercanda? Aku benaran kaget. Selama ini, setiap kali dia bercerita tentang lelaki yang
membuatnya jatuh hati. Dia hanya selalu memintaku memikirkan bagaimana cara agar Gilan tidak tahu. Atau, bagaimana caranya agar Gilan kembali memaafkannya, jika saja ia ketahuan.
"Sudah saatnya, Lani. Dia berusaha tersenyum, meski terkesan dipaksakan.
"Ela, kamu jangan main-main!" Aku merasa takut, sekaligus tidak mengerti dengan dia.
"Haha... bukankah aku sudah bilang, kalau selama ini aku hanya main-main?"
Aku terdiam. Benar, Manela tidak pernah serius pada Gilan. Tiga tahun lebih hubungan mereka. Aku bahkan tidak pernah melihat Manela merasa resah saat Gilan tidak ada kabar.
"Jadi, kamu tenang saja. Gilan itu lelaki, dia tidak akan bunuh diri, hanya karena akhirnya aku melepaskannya."
Gilan mungkin memang tidak akan bunuh diri. Hanya saja, aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati lelaki itu. Tiga tahun tabah dengan sikap Manela. Namun, berakhir dengan dicampakkan begitu saja. Hati mana yang tidak akan terluka.
"Ela, pikir lagi. Apa kamu yakin, kamu tidak akan menyesal? Gilan mungkin belum mapan, tetapi dia lelaki pekerja keras. Hanya menunggu waktu, nanti akan ada saatnya dia akan menjadi lelaki dewasa. Mungkin jauh lebih mapan dari semua selingkuhanmu."
22
Aku mencoba menasihati. Namun sepertinya, itu tak berarti lagi bagi Manela.
"Kalau ada yang bisa membuatmu bahagia hari ini, kenapa harus menunggu yang belum pasti?" Manela menatapku dengan senyum licik. Seolah merasa menang atas apa yang dia dapatkan selama ini. Tanpa memikirkan bagaimana lelaki yang selama ini menemaninya.
Aku tidak bisa memaksakan dia untuk tetap bersama Gilan. Hanya saja, sedih melihat sahabat yang tumbuh bersama, kini menjadi orang yang seolah tak mengenal dirinya sendiri. Ia menjelma perempuan yang lepas kendali. Ia menjelma menjadi perempuan yang tega.. Apa sebegitunya, bahaya patah hati bagi perempuan yang terlalu cinta?
Bersahabat dengan Manela ternyata membuat kami tidak benar-benar saling mengenali. Aku pikir, Manela tidak akan pernah melepaskan Gilan. Sebab, yang aku tahu, Gilanlah lelaki yang mampu bertahan selama itu dengannya. Lalu, bukankah perempuan hanya butuh lelaki yang ingin mencintainya di setiap kondisi apa pun? Bahkan di kondisi paling buruk sekali pun.
Tidak ada satu orang pun yang benar-benar mengenali seseorang secara penuh, bahkan mungkin orangtua dan orang paling dekat dengannya. Manela dengan segala pemikirannya yang sulit untuk kumengerti. Namun, bukankah persahabatan memang diciptakan untuk hal-hal seperti itu. Agar kita saling memahami satu sama lain. Agar kita bisa belajar untuk mengerti apa yang belum kita pahami.
"Lani, kamu jangan sibuk kuliah terus. Saatnya mikirin pacar, pendamping hidup." Manela menggodaku sebelum akhirnya memilih tidur.
Aku hanya tersenyum. Ada hal yang tiba-tiba membuatku resah.
Dua jam berlalu, Manela sudah terlelap. Aku masih saja tidak bisa tidur. Bukan karena curhatan Manela yang ingin melepaskan Gilan. Namun, ada hal lain yang membuatku semakin gelisah tak keruan. Sesuatu yang tidak pernah kuceritakan kepada siapa pun. Tidak kepada ibuku, juga tidak kepada Manela.
Aku tahu harus merasa senang atau sedih. Saat mendengar Manela berniat melepaskan Gilan selamanya. Itu artinya, Manela akan memilih jalan hidup baru. Hanya saja, Manela tetaplah Manela, dia bisa berubah pikiran kapan saja. Dan itu membuatku semakin gelisah. Karena diam-diam aku juga menjalin hubungan asmara dengan Gilan.
Aku suka segala yang ia ceritakan. Bagiku, itu keajaiban. Bertemu dengannya memang tak pernah kuduga. Malam itu, di hujan yang baru saja reda. Mata kami saling bertatapan. Dan tanpa pernah aku rencanakan, kini kami semakin dekat. Sungguh, semua di luar apa yang aku pikirkan. Malam itu ia sedang bersama kekasihnya. Aku hanya lelaki yang menatap dari kejauhan. Itulah awal mula kisah ini. Saat kedua mata kami saling memberi arti.
Satu bulan kemudian kami bertemu lagi di tempat ini. Dan, bukan pertemuan yang kebetulan. Karena sejak bertatapan dengannya malam itu. Aku selalu datang ke tempat ini setiap hari. Berharap bertemu dengannya. Di hari ke-33 inilah aku bertemu dengannya. Dia datang sendiri. Tidak dengan kekasih yang bersamanya malam itu.
"Hai..." Sejujurnya, waktu sebulan tidak pernah mampu menghilangkan gugup itu.
Dia tersenyum, seolah mempersilakan aku untuk segera pindah ke meja tempat ia duduk. Dengan segenap keberanian yang kumunculkan dari dalam diriku. Aku mendekat kepadanya. Membawa buku- buku dan tas yang terletak di atas meja. Dia tersenyum. Seolah berkata, silakan duduk.
Setelah basa-basi, aku duduk di meja nomor 7 itu. Untuk beberapa waktu, hanya ada hening panjang. Aku kehabisan kata-kata. Kalimat yang kusiapkan sebulan belakangan sama sekali tidak kutemukan lagi di kepalaku. Menghilang entah ke mana.
"Aku Rea," ucapnya. Dia membuka kacamatanya.
Aneh memang, hampir lima belas menit, aku tidak
mengatakan apa pun. Bahkan untuk memperkenalkan
nama saja tidak.
"Aku Randi," jawabku singkat.
Tak banyak cerita malam itu. Selain aku tahu
namanya. Dan, dia datang ke tempat ini sendirian. Dia
memang tidak berbagi banyak hal. Mungkin karena
kami memang baru saling mengenal. Beberapa orang
memang tidak suka membicarakan dirinya terlalu
banyak kepada seseorang yang masih asing baginya.
Malam ini aku pulang ke rumah ibu. Sejak ayah memilih pergi dengan perempuan lain. Ibu memilih sendiri-tidak mencintai lelaki lain lagi.
Aku pernah bertanya kepada ibu. Kenapa ibu tidak mau membuka hati? Sejujurnya, aku juga marah kepada ayah, meski tetap saja cinta kepadanya tidak bisa hilang. Lelaki kebanggaan keluarga kami itu, pergi dengan perempuan yang ia temui di jalan. Kata ibu, ayah lebih memilih perempuan itu karena menurut ayahku, perempuan itu lebih membutuhkannya.
Ibuku sedih tetapi ia tidak pernah bisa menahan seseorang yang tidak ingin bertahan. Ayah pergi sewaktu aku masih berusia dua tahun. Sampai sekarang, aku tidak betul-betul mengenali wajah ayahku. Tidak ada foto di rumah kami. Waktu aku masih kecil, belum mudah untuk ber-selfie ria seperti saat sekarang. Aku hanya mendengar cerita dari ibuku yang sedih.
"Ayahmu, lelaki baik. Kalimat itu yang tidak pernah bisa kumengerti dari ibu. Mengapa dia masih saja dengan tulus mengatakan ayah lelaki baik. Sedangkan jelas sudah lelaki itu meninggalkannya dengan aku yang masih terlalu kecil. Bukankah kejahatan lelaki adalah menelantarkan anak istrinya dengan sengaja? Dan semua orang tahu, ayahku sengaja meninggalkan aku dan ibu hanya untuk membela perempuan lain.
"Ayahmu tidak punya pilihan. Perempuan itu membutuhkannya melebihi ibu. Itulah sebabnya ibu harus melepaskannya. Sebab, saat itu ibu belum mampu tinggal serumah dengan perempuan lain yang menjadi istri ayahmu. Dan, ayahmu tidak bisa memilih ibu. la hanya punya pilihan tetap bersama ibu, sekaligus bersama perempuan itu, atau tetap bersama perempuan itu tanpa kita. Ibu akhirnya memilih pilihan kedua.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!