NovelToon NovelToon

Izinkan Aku Untuk Bercerai

Permintaan

****

"Aku ingin bercerai denganmu, Victor."

Karina mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Sementara pria yang ada di hadapannya hanya bisa menghela napas dalam dengan tatapan yang sama sekali tidak teralihkan dari layar monitor.

"Aku bosan hidup denganmu. Aku ingin bercerai sekarang juga. Aku ... aku ingin kau melepaskan ku sekarang juga, Victor Stuart!"

Suara Karina sedikit menaik, dan Victor tahu bagaimana kesalnya istrinya tersebut. Selama satu tahun terakhir ini, Karina sudah melakukan banyak hal agar Victor bisa membenci sikapnya, kemudian mengajukan perceraian.

Namun, Victor tidak semudah itu. Apa pun yang Karina lakukan di luar sana, selalu Victor selesaikan tanpa mengajukan perceraian. Karena sejak awal pun, Victor memang tidak akan pernah melepaskan perempuan itu begitu saja.

"Jika kau bosan, kau harus berjalan-jalan ke luar. Bukan meneriakiku di sini, gadis manja." Victor akhirnya menoleh ke arah Karina.

Wajah Karina memerah. Menahan ribuan amarah yang seharusnya sudah ia luapkan kepada Victor, tetapi pria itu seakan siap dan pasrah jika Karina mengamuk sekali pun.

"Jika kita bercerai, kau bisa bebas berkencan dengan siapa pun. Perempuan yang lebih cantik dariku juga banyak. Kau bisa bebas memilihnya. Aku ... aku hanya gadis manja, kan? Bocah ingusan juga. Apa yang kau pertahankan dariku? Bukankah aku sama saja dengan beban?"

Wajah tenang milik Victor, berubah menjadi datar. Hal yang paling tidak ia sukai saat berbicara dengan Karina adalah ketika perempuan itu membahas seakan dirinya adalah beban besar untuknya.

Usia mereka terpaut tujuh tahun. Victor sudah sangat paham bagaimana pola pikir mereka yang berbeda. Karina yang bersikap layaknya anak kecil yang tidak pernah mengerti dengan pikirannya. Selama ini, Victor selalu mewajarkan keinginan Karina yang memintanya untuk bercerai.

Namun, untuk perkataan yang seakan merendahkan dirinya sendiri, Victor sangat membencinya dan Karina seakan tahu hak tersebut bisa memancing kemarahannya. Meskipun Victor tidak pernah membentak sekali pun kepadanya.

"Kau akan terus mengatakan omong kosong itu di hadapanku?"

"Kalau kau ingin aku berhenti mengatakannya, maka ceraikan saja aku. Apa susahnya?"

"Apakah di matamu bercerai itu sangat mudah?"

"Mu-mudah-mudah saja. Kau hanya perlu mengajukan perceraian dan kita berpisah." Karina mulai terbata-bata.

"Lalu, bagaimana dengan janjiku dengan kakekmu? Bagaimana dengan reaksi kedua orang tuaku, dan bagaimana dengan reaksi kedua orang tuamu di atas sana? Kau tidak memikirkan hal itu? Hanya kebebasan saja yang kau pikirkan selama ini, Karina?"

Untuk ke sekian kalinya Karina merasa kalah telak di hadapan Victor. Ketika pria itu mulai beranjak dari kursi kerjanya, kemudian berjalan ke arahnya secara perlahan, Karina sudah mulai ketakutan dengan menundukkan wajahnya seketika.

"Aku yakin, bosan bukanlah alasan kau ingin bercerai denganku. Aku sama sekali tidak melihat raut kebosanan di wajahmu, Karina. Bahkan selama kau tinggal bersamaku, aku selalu memberimu kebebasan. Meskipun kebebasan tersebut memiliki syarat tertentu."

Karina hanya bisa terdiam dengan kedua bola mata yang menatap lekat sepatu milik Victor. Pria itu sejujurnya belum sempat mengganti pakaian dan juga sepatunya setelah bekerja. Kemudian Karina dengan jiwa kekanakannya datang ke ruangan Victor dengan menebar omong kosong.

"Angkat wajahmu sekarang, dan lihat kedua mataku seperti apa yang kau lakukan tadi, Karina."

"Tidak mau. Jangan memaksaku."

Salah satu tangan Victor menyentuh wajah Karina. Perlahan pria itu mengangkat wajah Karina, meskipun dengan sedikit paksaan. Meskipun Karina sekarang tidak membiarkan kedua matanya terbuka di hadapan Victor.

"Apa alasan terbesarmu ingin bercerai denganku? Kau pasti memiliki alasan yang jelas selain karena kebosananmu itu."

"Ti-tidak ada."

"Apa karena ...." Victor memotong pembicaraannya, sehingga berhasil membuat Karina kembali membuka kedua matanya, dan menatap ke arahnya.

"Karena aku tidak pernah menyentuhmu?"

****

"Jika itu yang kau inginkan, aku bisa memberikannya padamu sekarang."

Karina menutup sebagian kepalanya dengan bantal. Perdebatannya dengan Victor berakhir saat Karina memutuskan kabur tanpa mengatakan apa pun. Kemudian sekarang perempuan itu hanya bisa memendam rasa malunya di balik bantal. Berharap jika Victor tidak akan mendekatinya.

Kamar mereka bersampingan, tetapi di dinding pemisah kamar, Victor sengaja memberikan sebuah pintu agar ia bisa mengecek kapan Karina kembali dari luar tanpa harus repot-repot keluar kamar. Jadi, meskipun Karina mengurung dirinya di dalam kamar seharian pun, pria itu pasti bisa lolos masuk. Karena sejauh ini, Karina belum bisa menemukan password pintu tersebut.

"Dasar pria gila! Dia pikir aku selapar itu? Aku hanya ingin bebas dari rumah ini dan pengawasannya. Semua terasa menyebalkan," ujar Karina di balik bantal.

Suara langkah kaki yang masuk ke dalam kamarnya, mulai terdengar. Dalam detik itu juga, Karina segera terdiam tanpa bergerak sedikit pun. Sampai ketika suaranya berhenti tak jauh dari samping ranjangnya. Sepertinya, Victor sedang berdiri di dekat perempuan itu.

"Aku tahu kau tidak tertidur di sana, Karina. Kau pasti akan mendengarkan apa pun yang aku ucapkan sekarang," ujar Victor dengan tatapan yang tak ia alihkan sedikit pun dari tubuh Karina.

"Untuk besok dan ke depannya ... aku tidak ingin sama sekali mendengar permintaan konyol dari mulutmu. Apalagi kalimat-kalimat yang merendahkan dirimu sendiri. Jika sampai kau melakukannya, maka ...." Victor menggantung perkataannya.

"Maka aku akan memberimu hukuman."

****

Perasaannya belum begitu membaik sejak berdebat dengan Karina. Merasa membutuhkan angin segar, Victor akhirnya memutuskan untuk pergi ke luar dengan mengajak salah satu teman dekatnya—Daniel.

Di sebuah bar kecil, Victor terduduk di salah satu kursi dengan Daniel di sampingnya. Ia paling tidak menyukai bar yang luas hanya untuk menenangkan sedikit pikirannya yang kacau. Jadi, bar sederhana dengan hanya beberapa pengunjung itu sangat cocok untuknya yang hanya memesan bir.

"Kau bertengkar lagi dengan gadis manja itu? Wajahmu terlihat sangat frustasi. Kau seperti kehilangan arah," ujar Daniel sembari diselangi tawa kecil.

"Sejauh ini, aku sudah bersikap sangat baik kepadanya. Aku menjaganya dengan sangat baik, sesuai apa yang diminta kedua orang tuaku dan juga kakeknya. Tetapi dia ...." Victor tertawa garing.

"Dengan gampangnya dia meminta aku menceraikannya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ingin dia lakukan setelah bercerai denganku," sambung Victor.

Daniel sebagai teman dekatnya, tidak hanya sekali saja mendapat keluhan soal perceraian dari Victor. Setiap kali Victor mendapatkan permintaan itu, maka Victor akan mengajaknya pergi ke bar. Sebuah rantai yang terus terulang.

Meskipun Karina tidak mendapatkan apa yang dimintanya, anehnya perempuan itu terus mengulanginya lagi dan lagi tanpa merasa bosan dan ingin menyerah sekali pun.

"Apakah mungkin dia berpikir jika kau tidak mencintainya?"

"Pertanyaan yang konyol. Dia pasti tidak akan menanyakan pertanyaan konyol itu di saat kita memang menikah karena perjodohan."

"Menurutku, meskipun pernikahan itu terjadi karena perjodohan, salah satu pasangan pasti akan jatuh cinta lebih dulu. Jika bukan kau, itu pasti dia."

Victor memasang wajah datarnya pada Daniel. Ia sangat yakin jika Karina tidak mungkin mempermasalahkan hal tersebut. Ia tahu bagaimana perasaan perempuan manja itu. Ia juga tahu jika Karina telah memiliki seorang kekasih yang perempuan itu kencani sebelum mereka menikah.

"Jadi, apa yang kau maksud, Daniel?"

"Kau tidak mengerti?"

Victor menggeleng. "Tidak sama sekali."

"Dia menginginkan sentuhanmu, brengsek! Itu sudah pasti. Kau bahkan bilang padaku jika kau sama sekali tidak pernah menyentuhnya, kan? Dia pasti menginginkan itu, sialan!"

****

Ancaman

****

Pagi ini, Karina ingin sekali melewatkan sarapan pagi demi menjauhi bertemu dengan Victor. Akan tetapi, berpura-pura terlambat bangun pagi sama saja tidak berhasil ketika seorang pelayan mulai mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.

"Nona Karina, sarapan sudah siap. Tuan Victor sudah menunggumu di bawah."

Karina tidak merespon perkataan pelayan tersebut, meskipun ia sebenarnya tengah berdiri tepat di hadapan pintu kamarnya sekarang dengan kedua kaki yang berjalan mondar-mandir.

"Nanti, apa yang harus aku bahas dengannya? Si brengsek itu pasti akan membuka mulutnya lebar-lebar dengan menebar banyak nasihat. Telingaku pasti tidak akan sanggup menahan rasa panas terlalu lama."

Karina menggigit jari telunjuknya. Jantungnya sejak tadi berdetak tidak karuan, sebab ia merasa sedang tidak tenang. Victor seakan menjadi ancaman besarnya sekarang. Hal yang terbaik untuk menghilangkan rasa canggung adalah dengan meminta maaf, tetapi Karina tidak akan pernah melakukannya.

Karina cukup lama menimbang pikirannya di sana, sampai tiba-tiba ponsel yang ia genggam bergetar. Sedikit membuat perempuan itu terkejut dan langsung melihat siapa si pemanggil di pagi ini. Ketika namanya tertera dengan jelas di layar ponsel, Karina sontak mengelus dada dengan lembut.

"Kau tidak akan turun?"

Suara itu terdengar begitu menakutkan untuk Karina saat ia mengangkat telepon tersebut. Seperti sebuah suara yang bisa membuat dinding pertahanannya runtuh.

"Ya. Aku turun sekarang."

****

Karina meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian perempuan itu mulai duduk di salah satu kursi yang bersebrangan dengan Victor. Sejujurnya, memikirkan bisa menyantap sarapan seorang diri, jauh lebih baik di banding harus bertemu dengan pria itu. Belum menghabiskan lima menit di kursi makan saja sudah membuat Karina merasa tertekan.

Tidak ada yang keluar dari mulut Victor selama Karina menyantap sarapannya. Pria itu sibuk dengan makanannya dan juga ponselnya, tanpa memiliki waktu sedetik pun untuk berbicara dengan Karina.

"Aku akan usahakan untuk datang nanti malam. Jangan khawatir."

Saat mendengar obrolan Victor bersama seseorang di balik ponsel pria itu, Karina mencoba untuk tetap fokus hanya pada makanannya saja. Tanpa menoleh dan tanpa bersikap seakan ia penasaran dengan siapa pria itu berbicara.

"Ya, hari ini aku akan pulang sedikit lebih cepat. Kita bertemu di sana."

Apakah ini kesempatan besar untuk Karina?

Pikiran Karina mulai meraba jauh. Victor bisa dipastikan akan pergi malam ini dan Karina mendapatkan kesempatan besar untuk pergi bersama teman-temannya atau pergi bersama Edward—kekasihnya.

"Sepertinya aku bisa keluar malam ini."

"Jangan pernah berpikir sedikit saja jika kau akan pergi tanpa izin dariku saat aku tidak sedang berada di rumah."

Victor memberikan peringatan tanpa menoleh sedikit pun pada Karina. Sementara Karina hanya bisa menautkan alis dengan raut wajah tidak terimanya atas keputusan Victor.

Masalahnya, selama mereka menjadi suami istri, hanya Karina lah yang harus selalu meminta izin kepada Victor saat akan pergi ke luar untuk bertemu teman-temannya dan saat hari-hari mendesak sekali pun.

Namun, ketika Victor akan pergi ke luar bersama teman-teman atau bisa juga dengan perempuan lain, pria itu sama sekali tidak pernah meminta izin kepada Karina. Victor selalu pergi begitu saja tanpa menjelaskan dengan detail siapa orang-orang yang akan pria itu temui.

"Aku tidak akan membiarkanmu masuk ke rumah jika kau berani untuk pergi ke luar."

Ingin sekali rasanya Karina memukul meja makan, kemudian mengamuk dengan mengacak-acak piring-piring di atas meja makan itu, kemudian memberikan ancaman kepada pria di hadapannya agar tidak bisa seenaknya akan hidup miliknya yang jelas harus memiliki pengalaman lebih banyak lagi.

"Aku akan pergi. Aku tidak peduli dengan ancamanmu."

"Coba saja kalau begitu. Buat aku marah padamu sampai kau bisa percaya dengan ancaman ku." Tantang Victor.

Karina tidak menjawab kembali perkataan pria itu. Kemudian selang dalam beberapa detik, Victor mendorong kursinya dan berdiri dari posisinya. Memakai jas, meraih ponselnya di atas meja dan Karina masih terdiam di sana tanpa menatap Victor.

"Bersikaplah selayaknya istri yang mematuhi seorang suami, Karina. Kau sudah bukan seorang anak-anak lagi. Kau sudah dewasa. Hidup bersamaku, bukan berarti kau bebas melakukan apa saja. Aku tidak begitu menyukai gadis manja sepertimu."

Karina sontak mengangkat wajahnya. Kedua mata mereka saling menatap, tetapi Victor dengan segera menarik diri dam bergegas pergi meninggalkan Karina di meja makan. Tanpa pembicaraan apa pun lagi, sehingga membuat Karina merasa semakin kesal.

"Ada apa dengannya? Kenapa bersikap seakan aku memiliki salah besar? Apakah karena masalah semalam? Itu bahkan sesuatu yang biasa aku lakukan."

****

Setelah Victor berangkat bekerja, kehidupan Karina kembali menjadi perempuan yang membosankan. Terduduk di salah satu sofa besar di mana di hadapannya sebuah layar televisi besar sedang menyiarkan sebuah film disney.

Karina tidak tahu sampai kapan kehidupannya akan terus seperti itu. Hidup seperti terkurung di dalam sebuah sangkar. Tidak memiliki kebebasan sedikit pun. Saat keluar, ia juga harus mendapatkan banyak teroran telepon dari Victor yang menghubunginya agar segera pulang.

"Membosankan! Aku benci dengan hidup sialan ini!" Karina menengadahkan kepalanya ke atas langit-langit ruangan.

Selama tinggal di rumah besar itu, Karina tidak memiliki seorang teman pun. Victor adalah satu-satunya teman, tetapi pria itu tidak pernah berbicara santai. Pria itu akan berbicara dengan Karina saat perempuan itu membuat masalah. Sisanya, menjalani kesibukan masing-masing.

"Nona ...."

Karina sontak menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tak jauh dari sampingnya, pelayan perempuan yang bertugas mengurus rumah besar itu sedang berdiri menghadap ke arahnya sekarang dengan senyum hangat khas miliknya.

"Ada apa, pelayan Corlin?" tanyanya, sedikit penasaran lantaran Karina sangat jarang berbicara dengan pelayan Corlin di rumah.

"Saya tahu alasan mengapa Tuan Victor sedikit menyebalkan pagi ini."

Kedua alis Karina menaut. Pikirannya mulai kembali pada kejadian semalam. Karina sangat yakin jika Corlin tidak ada di dalam ruangan itu, tetapi perempuan itu seakan tahu permasalahan yang sedang mereka hadapi sekarang.

"Kau tahu permasalahan kami? Apakah Victor yang memberitahumu?"

Pelayan Corlin menggelengkan kepalanya. "Nona, sepertinya Tuan Victor sangat terganggu dengan kedatangan kekasih dari Nona Karina."

Mendengar itu, sontak Karina sangat terkejut. Kedua bola matanya membulat, kemudian dengan cepat ia beranjak dari sofa dan berdiri tepat di hadapan pelayan Corlin dalam detik itu juga.

"Ma-maksudmu? Maksudmu Edward datang ke rumah ini tadi pagi?"

"Ya, Nona. Dia memaksa untuk masuk ke dalam saat saya membukakan gerbang tadi pagi. Tuan Victor sudah bangun lebih cepat dan dia tidak bisa turun ke bawah karena kekasih Nona Karina sedikit sulit saya usir."

"Sialan! Kenapa dia harus datang sepagi ini? Ya ampun, pantas saja perkataannya sangat mengerikan pagi ini. Haishh." Karina mengacak rambutnya.

****

Ajari Aku

****

"Edward, apakah benar mau berkunjung ke rumahku tadi pagi?" tanya Karina dengan salah satu tangan yang menumpu dahi di atas meja.

"Ya, aku aku ingin memberikanmu sarapan. Ibuku membuatkannya untukku. Karena pagi ini aku ada urusan yang searah dengan rumahmu, jadi aku memutuskan untuk menemuimu sebentar saja."

Karina memejamkan kedua matanya. Sejak ia menikah dengan Victor, Karina beralasan pindah rumah ke rumah besar itu tanpa mengatakan kepada Edward jika ia telah menikah secara diam-diam.

Saat Victor tidak sedang berada di rumah, sesekali Karina memang mengajaknya masuk meskipun Karina sempat memberi larangan agar pria itu jangan sampai naik ke lantai atas dengan alasan lantai atas milik kakeknya yang sama sekali tidak menyukai Edward sejak awal.

"Ke-kenapa kau tidak menghubungiku terlebih dahulu? A-aku bisa saja menunggumu di depan gerbang, Edward."

"Aku ingin memberimu surprise. Kenapa memangnya? Apakah itu menganggumu?"

Karina menghela napas dalam. Padahal Karina sudah mengatakan berulang kali kepada Edward agar tidak datang sembarangan ke rumahnya, terkecuali menghubungi perempuan itu terlebih dahulu. Jika terus-menerus seperti itu, maka akan dipastikan Karina menjadi sasaran empuk Victor.

"Bukan begitu, Ed. Kau tahu sendiri bukan? Bagaimana kakek ku tidak menyukaimu? Maksudku, tolong kerja samanya, Ed. Kau tidak mau, kan jika aku menjadi sasaran amarah kakek ku?" Bohong Karina.

"Aku minta maaf, Karina. Untuk ke depannya, aku tidak akan datang secara mendadak."

Karina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Sesuai yang ia duga jika Edward tidak akan sekeras batu seperti Victor. Pria itu selalu menerima keinginan Karina dengan baik. Bahkan Edward selalu meminta maaf saat ia telah melakukan sebuah kesalahan.

"Ya, itu lebih baik, Edward."

****

"Wajahmu terlihat murung sejak tadi. Apakah terjadi sesuatu di luar?" tanya Kellyn—asisten Victor.

Pria itu hanya diam saat Kellyn menyandarkan tubuhnya di samping meja. Mengatakan penyebab kekesalannya pagi ini kepada Kellyn hanya akan memperpanjang masalah. Tidak ada yang tahu Victor sudah menikah, kecuali Daniel.

"Setengah jam lagi kita ada meeting. Jangan sampai raut wajahmu menghancurkan mood semua orang. Itu akan merusak semuanya, Victor."

Kellyn menarik diri dari sana dengan perlahan. Ia sadar, Victor sedang tidak ingin diganggu sekarang. Pertanyaan sebanyak apa pun tidak akan pria itu jawab, terkecuali Daniel sendiri yang menanyakannya.

"Kellyn ...."

Namun, untuk pertama kalinya pria itu membuka mulut ketika sedang merasa kesal. Mencoba memanggil Kellyn untuk menanyakan segala rasa penasaran yang ada di dalam hatinya sejak tadi pagi.

"Kenapa?"

"Apakah kau tahu bagaimana caranya membuat hubungan seseorang hancur berantakan?"

Kedua alis Kellyn menaut. Sejak bekerja bersama dengan Victor, tidak pernah sekali pun Victor bersikap seakan ia memiliki seorang kekasih atau tertarik dengan seorang perempuan. Victor tidak pernah melakukannya dan bahkan beberapa karyawan di gedung itu selalu bergosip jika Victor tidak menyukai perempuan.

"Maksudmu?"

"Aku ingin merebut seorang perempuan dari pria brengsek. Kau bisa mengajariku?"

"Kau ingin menjadi penghancur hubungan orang lain? Begitu maksudmu?"

"Ya. Aku ingin menjadi penghancur hubungan orang lain, Kellyn. Tolong ajari aku bagaimana caranya."

****

"Haruskah aku meminta maaf? Tapi, aku sama sekali tidak bersalah. Lagi pula, aku tidak tahu jika dia akan datang ke rumah ini." Karina berbicara pada dirinya sendiri.

Hari sudah sore, tetapi Victor tak kunjung pulang. Padahal, saat di meja makan tadi pagi pria itu mengatakan jika ia akan pulang lebih cepat. Sejujurnya, Karina tidak begitu peduli, tetapi perkara masalah Edward tadi pagi membuatnya tidak tenang.

Victor mungkin bisa saja diam. Akan tetapi, Karina tidak akan tahu kapan pria itu menusuknya dari belakang. Memberitahukan segala kerusuhannya selama tinggal bersama Victor kepada kakeknya. Jika sampai hal itu terjadi maka Karina sudah pasti akan mendapatkan banyak wejangan yang tak ada habisnya.

Dering ponsel di atas meja membuat Karina mengalihkan pandangannya. Segera perempuan itu mendekat, kemudian mengangkat sambungan telepon tersebut. Di mana salah satu temannya baru saja menghubunginya.

"Kau di mana? Kau belum berangkat?"

Sudah Karina duga jika teman-temannya di luar sana sudah menunggu kedatangannya. Hari ini, salah satu teman mereka berulang tahun dan Clara—salah satu teman dekatnya mengajaknya untuk datang. Acaranya malam hari, tetapi mereka memutuskan untuk datang lebih awal.

"Clara, sepertinya aku tidak akan datang malam ini. Aku tidak tahu harus beralasan apa padanya."

"Kenapa? Apakah dia memberimu ancaman lagi? Ya Tuhan, kenapa dia tidak pernah mau berhenti? Kau itu masih muda, kau masih memerlukan dunia yang bebas. Kau tidak mengatakan kepadanya?"

Karina sudah tahu bagaimana respon Clara kepadanya saat ia mengatakan jika ia tidak bisa datang. Sebelum hari ini datang, mereka sudah menyiapkan baju berwarna sama dan juga menyiapkan kado yang hampir sama pula. Jadi, wajar saja jika Clara sangat kecewa pada Karina sekarang.

"Kau tahu, tadi pagi Edward datang ke rumah ini dan si brengsek itu mengetahuinya."

"Ha? Kau serius? Jadi, itu alasan kau tidak bisa datang malam ini? Aku yakin kau pasti mendapatkan ancaman, bukan?"

Di banding teman-temannya yang lain, Clara adalah satu-satunya teman Karina yang mengetahui jika perempuan itu sudah menikah secara diam-diam. Akan tetapi, Karina sama sekali tidak pernah menyebut nama Victor di hadapan Clara. Bahkan Karina tidak pernah sekali pun memperkenalkan Clara kepada Victor.

Menurut Karina, mereka tidak perlu bertemu agar suatu saat nanti ketika ia berhasil bercerai dengan pria itu, tak ada satu pun teman dekatnya yang mengetahui bagaimana wajah seorang Victor Stuart. Itu jauh lebih baik untuk masa depan Karina sendiri.

"Bukan. Aku belum meminta maaf padanya. Sepertinya dia sangat terganggu karena Edward datang secara tiba-tiba. Sekarang, aku belum bertemu lagi dengannya. Aku sudah menunggunya pulang sejak tadi, tapi ia sama sekali belum kelihatan."

"Baiklah, Karina. Kau selesaikan masalahmu terlebih dahulu. Tidak masalah kau tidak bisa datang jika masalahnya seperti itu. Aku akan mengatakan kepada yang lain."

"Terima kasih atas pengertiannya, Clara."

Tak lama, selang beberapa detik sambungan telepon itu berakhir. Akan tetapi, Karine masih merasa tidak enak hati karena sejak awal ia sudah berjanji akan kabur dari rumah itu untuk mengusahakan datang ke pesta ulang tahun temannya.

Sekarang, Karina masih setia menunggu Victor pulang sebelum pria itu pergi menemui seseorang di balik telepon tadi pagi. Setidaknya Karina bisa berbicara mengenai Edward dan berjanji untuk tidak membiarkan pria itu datang secara mendadak ke rumah mereka lagi.

"Bukankah seharusnya dia sudah pulang? Ini bahkan sudah hampir malam." Karina kembali menggigit jari telunjuknya.

"Jika sampai sepuluh menit dia belum juga pulang, maka aku akan kabur dari rumah ini untuk datang ke pesta ulang tahun temanku," sambung Karina.

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!