NovelToon NovelToon

Antara Benar Dan Salah

awal yang tak terduga

Debi menuruni jalan setapak yang menuju rumahnya dengan langkah cepat. Matahari mulai tenggelam, memberi warna keemasan di langit dan menyinari tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang dari Sarolangun. Hawa desa yang sejuk dan tenang membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meskipun hatinya terasa berat. Liburan semester ini adalah kesempatan pertama baginya untuk pulang, dan meskipun ia merindukan rumah, ada rasa yang tidak bisa ia jelaskan setiap kali memikirkan Ovil.

Debi sudah cukup lama tinggal di Sarolangun, bersekolah di sana sejak awal tahun ajaran baru. Sekolah di kota jauh berbeda dengan kehidupan di desa yang sudah dikenalnya. Di desa, segalanya terasa lebih sederhana. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan kota, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai terbiasa dengan keramaian dan rutinitas yang cepat.

Namun, entah kenapa, setiap kali ia pulang ke desa, ada perasaan yang sulit dijelaskan, perasaan yang tumbuh sejak ia mulai mengenal Ovil beberapa tahun lalu. Ovil, teman lama yang dulu selalu bersamanya, kini sudah bersekolah di Muara Air Dua. Meskipun mereka masih berhubungan melalui pesan singkat dan obrolan lewat telepon, pertemuan mereka menjadi semakin jarang.

Pandangannya teralihkan saat melihat beberapa teman lama sedang bermain bola di lapangan dekat rumah. Mereka tertawa riang, bebas dari beban yang sering menghantui orang-orang kota. Debi tersenyum tipis, namun hatinya masih merasa kosong. Ia tak ingin ikut bergabung, meski begitu, ada satu tempat yang selalu membuatnya merasa ada yang hilang—rumah Ovil.

Tiba-tiba, suara seorang anak laki-laki memanggil namanya. “Debi!”

Debi menoleh dan melihat Redi, teman masa kecil yang kini selalu menemaninya setiap kali pulang kampung. Redi berlari mendekat dengan senyuman lebar, dan Debi merasa sedikit lega melihat wajah yang sudah dikenal.

“Pulang juga akhirnya, Debi?” Redi bertanya, masih dengan senyum lebar. “Kamu nggak tahu, Ovil udah lama nungguin kamu di sini. Dia sering lewat rumah kamu.”

Debi terkejut mendengar nama Ovil disebut. Perasaan aneh itu kembali muncul di dadanya, dan untuk sesaat, ia merasa bingung. “Ovil? Kenapa dia ada di sini? Apa yang dia cari?” tanya Debi, berusaha menunjukkan kesan santai meskipun hatinya mulai berdebar.

“Dia... dia sering banget lewat rumah kamu. Katanya, dia kangen sama kamu, mungkin ingin ngobrol,” jawab Redi, matanya berbinar. “Kamu nggak tau, ya? Dia suka banget nanyain kamu, sejak kamu di Sarolangun, dia merasa ada yang hilang.”

Debi merasa tenggorokannya tercekat. Sejak mereka berpisah, ia merasa hubungan mereka berdua sedikit berubah. Dulu, saat mereka masih sering berkomunikasi, ia merasa nyaman dan dekat dengan Ovil. Namun, setelah Ovil bersekolah di Muara Air Dua, hubungan mereka mulai terasa lebih jauh. Debi tidak tahu apakah Ovil merasakan hal yang sama atau tidak. Namun, ketika Redi mengatakan bahwa Ovil kangen, hatinya merasa sedikit lebih lega.

“Mungkin aku akan mampir ke rumahnya nanti,” kata Debi dengan suara pelan, mencoba menutupi kegugupannya. Meskipun sudah berbulan-bulan tidak bertemu, ia merasa aneh dengan perasaan yang tiba-tiba muncul. Ada yang mengganjal di dalam hati, perasaan yang selama ini ia coba abaikan.

Redi mengangguk. “Kalau begitu, jangan lama-lama ya. Ovil pasti menunggu.”

Debi melanjutkan langkahnya menuju rumah. Semakin dekat ia menuju rumah, semakin besar rasa cemas yang ia rasakan. Ia berusaha menenangkan diri, tapi perasaan itu seolah tidak bisa disembunyikan. Seiring dengan langkahnya, ia mulai memikirkan kembali bagaimana hubungan mereka berdua berawal. Ovil bukan hanya teman dekat, tetapi seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Mereka sering berbagi cerita, canda, dan tawa. Namun, seiring waktu, perasaan itu mulai berubah.

Saat sampai di depan rumah, Debi berhenti sejenak dan menatap rumah Ovil dari kejauhan. Pintu rumah itu terbuka, dan ia melihat Ovil sedang duduk di depan rumahnya, terlihat sibuk dengan ponsel di tangan. Debi menelan ludahnya. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, lalu berdiri beberapa meter di depannya. Tak lama, Ovil mengangkat kepalanya dan melihat Debi.

"Debi," Ovil menyapanya dengan senyum yang hangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”

Debi tersenyum canggung. "Iya, akhirnya bisa pulang. Lama nggak ketemu."

Ovil bangkit dari tempat duduknya dan mendekat. "Aku... aku kangen kamu, Debi," katanya, suara Ovil terdengar sedikit ragu namun penuh kejujuran.

Debi terkejut mendengar kata-kata itu. Rasa hangat memenuhi dada Debi. “Aku... aku juga kangen,” jawab Debi pelan, hatinya berdebar kencang. Tidak tahu harus berkata apa lagi, ia hanya diam sejenak, menatap Ovil yang kini berdiri di hadapannya.

Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang aneh, masing-masing seperti menyimpan perasaan yang belum terungkapkan. Dan di sinilah, sebuah awal yang tak terduga dimulai—perasaan yang selama ini disembunyikan, mulai muncul kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

---

pertemuan yang mengubah segalanya

Sore itu, setelah percakapan singkat yang penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan, Debi dan Ovil duduk di teras rumah Ovil. Langit semakin gelap, namun suasana terasa hangat meski hanya diterangi lampu kecil yang terpasang di samping pintu rumah. Debi merasa sedikit canggung, namun ada ketenangan yang hadir saat mereka berbicara.

“Ovil, kamu udah lama di sini?” tanya Debi, berusaha memecah keheningan yang mulai mengganggu. Ia tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang terus menghantui pikirannya sejak mendengar kabar bahwa Ovil sering melewati rumahnya.

Ovil menatapnya, senyuman tipis mengembang di bibirnya. “Iya, aku sering pulang setelah sekolah. Kadang-kadang, aku hanya duduk di sini, berharap bisa ngobrol sama kamu lagi, seperti dulu.”

Debi merasakan getaran aneh di dadanya. Kata-kata Ovil terdengar begitu tulus, dan entah kenapa, hatinya semakin berat. Kenapa baru sekarang semua perasaan ini muncul? Padahal dulu, hubungan mereka tidak pernah sekompleks ini. Ovil, teman yang selalu ada dalam hidupnya, kini seolah menjadi seseorang yang ia harapkan untuk lebih dari sekadar teman.

“Aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” kata Debi dengan suara pelan, ragu-ragu. “Selama ini aku merasa jauh dari kamu. Kita jarang ketemu, dan aku nggak tahu apa yang harus aku katakan. Mungkin aku ketinggalan banyak hal.”

Ovil menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku juga merasakannya, Debi. Tapi, kamu tahu, hidup kita nggak selalu berjalan sesuai rencana. Aku cuma berharap kita bisa ngobrol lagi, seperti dulu.”

Mendengar kata-kata Ovil, Debi merasakan sesuatu yang dalam dalam hatinya. Ia teringat masa-masa ketika mereka masih kecil, bermain di lapangan bersama teman-teman lainnya. Tidak ada rasa canggung, hanya kebahagiaan sederhana. Namun, semuanya berubah sejak mereka berpisah dan bersekolah di tempat yang jauh. Waktu yang berjalan tanpa henti membuat mereka semakin jauh, dan kini, Debi merasa seolah-olah harus memulai semuanya dari awal.

Debi menatap langit yang semakin gelap, mencari keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama ia simpan. “Ovil… aku... sebenarnya sudah lama merasa ada yang berbeda. Sejak kita berpisah, aku merasa hidupku sepi, dan aku nggak tahu kenapa, tapi aku mulai kangen sama kamu.”

Ovil terdiam sejenak, menatap Debi dengan mata yang penuh arti. “Debi, aku juga merasa hal yang sama. Aku nggak bisa menyangkal itu. Selama ini, aku sering berpikir, kalau aja kita bisa kembali seperti dulu. Tapi aku juga tahu, mungkin itu nggak mudah.”

Debi merasa dadanya semakin sesak. Perasaan yang selama ini ia sembunyikan kini keluar begitu saja. Ia ingin sekali mengungkapkan semua perasaannya, namun kata-kata terasa seperti terhalang oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Tiba-tiba, Ovil bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju Debi. “Debi, aku nggak ingin membuat ini rumit. Tapi aku harus bilang kalau aku… aku nggak bisa berhenti memikirkan kamu. Aku sadar, mungkin aku nggak bisa mengendalikan perasaan ini lagi.”

Debi menatap Ovil dengan terkejut. Apakah ini yang ia harapkan? Apakah Ovil merasakan hal yang sama? Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, Ovil melanjutkan.

“Tapi ada satu hal yang harus aku katakan. Aku… aku sudah punya seseorang. Pandawa, dia pacarku. Kami menjalani LDR. Meskipun aku merasa ada yang kurang tanpa kamu, aku nggak bisa mengabaikan perasaan itu.”

Kata-kata itu membuat Debi terdiam. Hatinya terasa hancur mendengarnya, tetapi di sisi lain, ia merasa seolah beban yang selama ini ia pikul mulai sedikit terangkat. Ia tahu, ini tidak bisa selesai begitu saja. Tidak bisa begitu mudah.

“Ovil, aku… aku nggak tahu harus merasa apa. Aku merasa aneh mendengarnya, tapi aku juga nggak bisa mengubah perasaanku,” ujar Debi, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku juga menyukaimu, lebih dari sekadar teman, tapi aku tahu aku nggak bisa memaksakan semuanya.”

Ovil menundukkan kepalanya, seolah merasa bersalah. “Aku juga nggak mau menyakiti Pandawa. Dia adalah orang yang baik, dan aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya. Tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini terhadapmu, Debi. Ini sangat rumit.”

Debi merasakan kesedihan yang mendalam, tetapi di saat yang sama, ia merasa lebih lega karena Ovil mengungkapkan perasaannya. Meskipun mereka tidak bisa bersama sekarang, perasaan itu tidak akan hilang begitu saja.

Malam itu, setelah beberapa jam berbicara, mereka berdua menyadari bahwa perasaan mereka tidak bisa begitu saja dibiarkan berlalu. Mungkin mereka membutuhkan waktu untuk berpikir, mungkin mereka perlu jarak untuk menentukan langkah selanjutnya. Namun satu hal yang pasti, perasaan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Debi pun berpamitan dengan Ovil, dengan hati yang berat. “Aku harus pulang sekarang. Terima kasih sudah mau ngobrol, Ovil.”

Ovil tersenyum, meskipun senyumnya terlihat sedikit sedih. “Terima kasih juga, Debi. Aku berharap kita bisa menemukan jalan yang benar untuk keduanya.”

Saat Debi berjalan pulang, langkahnya terasa lebih ringan, meskipun hati masih terasa berat. Mungkin, ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin, ini hanya awal dari sebuah cerita yang rumit, namun penuh makna.

---

keputusan yang berat

Pagi itu, Debi terbangun dengan pikiran yang masih berputar. Meskipun sudah semalam ia berbicara dengan Ovil, rasanya perasaan itu masih belum bisa ia pahami sepenuhnya. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Dan apakah Ovil juga ingin hal yang sama?

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa begitu berat bagi Debi. Di sekolah, ia mencoba untuk tetap fokus pada pelajaran dan teman-temannya, tapi pikirannya selalu kembali pada Ovil. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Ovil tentang hubungan LDR-nya dengan Pandawa. Bagaimana bisa seseorang yang ia cintai, meskipun dengan cara yang rumit, sudah memiliki seseorang lain?

Debi merasa bingung. Ia tidak bisa menyalahkan Ovil. Mereka berdua jelas memiliki perasaan yang sama, tetapi kenyataannya adalah Ovil sudah memilih untuk tetap bersama Pandawa, meskipun hatinya terasa terbelah. Debi pun akhirnya memutuskan untuk mendekati teman dekatnya, Redi, yang sudah lama menjadi tempatnya curhat.

“Redi, aku nggak tahu harus gimana,” ujar Debi saat mereka duduk di sebuah kafe kecil di dekat sekolah. “Perasaan aku campur aduk. Aku menyukai Ovil, tapi Ovil sudah ada yang lain. Aku nggak mau merusak hubungan dia, tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaanku.”

Redi mengangguk, mendengarkan dengan seksama. Redi selalu menjadi teman yang baik untuk Debi. Dia tahu betul betapa beratnya perasaan Debi terhadap Ovil. Tapi dia juga tahu, Debi perlu mengambil keputusan yang bijak.

“Debi, kamu nggak bisa terus seperti ini. Perasaan kamu itu wajar, tapi kamu juga harus lihat dari sisi lain. Ovil punya Pandawa, dan meskipun dia masih ada perasaan untuk kamu, itu nggak akan mudah buatnya. Mungkin kamu harus memberi dia ruang untuk memilih.”

Debi menarik napas dalam-dalam. Redi benar, tentu saja. Meskipun ia ingin sekali bersama Ovil, ia juga tidak bisa memaksakan hubungan yang sudah ada. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus mundur untuk menjaga persahabatan mereka ataukah terus melawan perasaan ini?

Di sisi lain, Ovil juga terlihat semakin gelisah. Setelah berbicara dengan Debi, ia merasa perasaan hatinya terbelah dua. Meskipun ia berjanji pada Pandawa untuk menjaga hubungan mereka, hatinya tidak bisa mengabaikan perasaan terhadap Debi. Setiap kali ia bertemu dengan Debi, ia merasa canggung dan seolah ada sesuatu yang tertahan.

Suatu hari, saat mereka bertemu secara tidak sengaja di jalan, Ovil berhenti di depan Debi, mencoba untuk berbicara.

“Debi, kita perlu bicara lagi,” katanya, suaranya terdengar serius.

Debi terkejut, tetapi ia mengangguk. “Ada apa, Ovil?”

“Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku tahu ini nggak adil buat Pandawa, tapi aku juga nggak bisa terus berusaha mengabaikan perasaan ini,” Ovil berkata, menatap Debi dengan mata yang penuh kebingungan. “Aku nggak tahu harus gimana. Kamu penting bagi aku, Debi. Lebih dari sekadar teman.”

Debi merasakan hatinya berdegup kencang mendengar kata-kata Ovil. Semua perasaan yang selama ini ia tahan kini mulai keluar begitu saja. Namun, ia juga tahu bahwa mereka harus membuat keputusan yang benar.

“Ovil, aku nggak mau jadi penghalang. Aku nggak ingin merusak hubungan kamu dengan Pandawa, tapi aku juga nggak bisa membohongi diri sendiri. Aku menyukaimu, Ovil. Tapi aku nggak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.”

Ovil menghela napas panjang. “Aku juga nggak tahu, Debi. Aku nggak bisa begitu saja meninggalkan Pandawa. Dia sudah menjadi bagian dari hidupku, dan aku nggak bisa begitu saja mengabaikannya. Tapi di sisi lain, aku nggak bisa terus hidup dengan perasaan yang terpendam.”

Debi merasa ada sesuatu yang berat dalam hatinya. Ia tahu bahwa situasi ini semakin rumit. Tidak hanya bagi Ovil, tapi juga bagi dirinya. Mungkin mereka harus memberi jarak dulu, memberi waktu untuk berpikir dengan jernih.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Debi, matanya penuh ketegasan meskipun hatinya terasa rapuh.

“Aku rasa kita butuh waktu,” jawab Ovil, menatapnya dengan tatapan yang penuh kebingungan. “Mungkin kita perlu mencari tahu apa yang benar-benar kita inginkan. Aku nggak bisa memutuskan apa-apa sekarang, Debi. Aku takut kalau aku membuat keputusan yang salah.”

Debi mengangguk pelan. Ia tahu bahwa tidak ada solusi instan untuk perasaan yang begitu rumit. Mungkin mereka harus memberi waktu pada diri mereka sendiri untuk berpikir.

Setelah pertemuan itu, Debi memutuskan untuk menjauh sedikit dari Ovil. Ia merasa bahwa jika mereka terus bertemu dalam keadaan seperti ini, mereka justru akan semakin bingung. Mungkin, waktu akan membantu mereka menemukan jalan yang terbaik, entah itu untuk tetap bersama atau untuk berpisah.

Namun, ada satu hal yang tidak bisa Debi lupakan: perasaan yang terus tumbuh setiap kali ia berada di dekat Ovil. Meskipun mereka harus menjalani hari-hari dengan keputusan yang berat, Debi tidak bisa menahan perasaan itu.

---

Bab ini melanjutkan ketegangan dalam hubungan antara Debi dan Ovil, serta memperkenalkan dilema yang mereka hadapi dalam menjalani perasaan mereka masing-masing. Apakah ada elemen atau perubahan yang ingin kamu tambahkan dalam cerita ini?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!