Ighnari, sebuah dunia di mana orang orang menggunakan Sihir untuk berbagai hal, mulai dari kegiatan rumah tangga hingga berperang. Kekuatan, kekayaan, kejayaan semua bisa diraih dengan menggunakan Sihir.
Sihir pertama kali muncul 1000 tahun yang lalu, dan semenjak saat itu semua orang mulai dapat menggunakan Sihir hingga masa kini.
Ting~ Tung~ Ting~ Tung~
Suara bel Gereja berbunyi menandakan berakhirnya waktu sekolah.
"Baiklah anak anak, kita akan lanjutkan pelajaran kita besok. Selamat siang" kata Guru Wanita
Guru Wanita pergi meninggalkan kelas dengan membawa beberapa buku Sihir di tangan kirinya. Siswa siswa yang lain dengan sigap langsung mengemas barang barangnya sembari berbincang sedikit dan bersiap untuk pulang dan bermain.
"Oi oi.. mau kemana Hilassen??" tanya salah seorang siswa
"A-Anu.. aku harus segera pergi.." jawab Hilassen
"Ha?! Orang sepertimu berani pergi dari kami tanpa izin?!" kata siswa lainnya dengan memukul meja
"Sudah sudah sudah.. Hilassen kecil ini harus segera pulang.." kata seorang siswa lainnya dengan penampilan lebih mewah dari dua siswa lainnya
"Wah.. terima kasih Rico!" kata Hilassen dengan tersenyum lebar
Rico menutup matanya dan tersenyum seolah memberi jalan untuk Hilassen. Hilassen pun mengambil buku bukunya yang sudah lusuh dan segera beranjak dari kursinya.
Ketika Hilassen mau berlari menuju ke pintu kelas, Rico menyandung kaki Hilassen dan membuat Hilassen terjatuh beberapa anak tangga.
"Aduh!" kata Hilassen yang terjatuh
"Hilassen kecil.. tidak baik berlari di dalam kelas." kata Rico
Rico dan dua teman lainnya tertawa melihat Hilassen yang jatuh dan merengek kesakitan. Melihat Hilassen yang terjatuh, teman baik Hilassen, Arkandra langsung menolong.
"Hilassen, apa kakimu terluka?" tanya rAkandra
"Adu-du-duh.. sepertinya sedikit lecet." jawab Hilassen dengan memperlihatkan kakinya yang luka
"Tenanglah.. akan aku obati." kata rAkandra
Akandra merapalkan Sihirnya dengan mendekatkan kedua telapak tangannya ke luka Hilassen. Dari telapak tangan Akandra muncul cahaya putih kehijauan.
"Wah! Seperti biasa kau benar benar hebat, Arkandra!" kata Hilassen
"Terima kasih, tapi hanya ini saja kelebihanku." kata Arkandra
Melihat Akandra yang menolong Hilassen, Rico dan dua temannya menjadi kesal.
"Akandra, untuk apa kau menolong orang seperti dia?" kata Rico dengan tidak senang
"Apakah ada yang salah? Lagipula ini adalah Sihirku kan?" jawab Arkandra
"Sialan!" kata dua teman Rico dengan menggulung lengan bajunya
Rico menahan kedua temannya dan membisikkan sesuatu kepada kedua temannya. Akandra yang melihat Rico berbisik langsung merasa curiga dan mengajak Hilassen untuk segera pergi dari kelas. Tangan Hilassen ditarik oleh Arkandra dan mereka langsung berlari meninggalkan kelas.
Ketika sudah sampai di tempat yang mereka rasa aman, Akandra melepas pegangan tangannya. Hilassen bertanya mengapa Akandra terburu buru dan Akandra tidak menjawab dan hanya mengajak Hilassen berjalan menuju ke rumahnya.
Esvortein, merupakan ibukota dari Kerajaan Dearulten, salah satu kerajaan terbesar yang ada di Benua Beruhmt. Tak ada satu orang pun yang tidak mengenal Kerajaan Dearulten, sebuah kerajaan yang terkenal akan kekayaan, kehormatan, dan kekuatannya.
"Aduh," kata Hilassen yang tak sengaja menyenggol seseorang yang sedang berjalan
"Oi bocah, jalan pakai mata! Mau ku penggal kepalamu?!" bentak orang yang tak sengaja disenggol Hilassen
Hilassen melihat ke arah orang yang ia senggol. Pria yang ia senggol menggunakan zirah Prajurit Kerajaan Dearulten dan tentu saja Hilassen langsung gemetar ketakutan.
"Maaf paman, teman saya memang sering teledor." kata Arkandra dengan ramah
Prajurit tersebut langsung menyadari kalung yang digunakan Arkandra. Dengan terkejut ia langsung berbalik dan berkata agar lain kali lebih hati hati.
Prajurit tersebut kembali berjalan dengan agak tergesa-gesa. Hilassen merasa lega dan terduduk lemas. Akandra menepuk pundak Hilassen dan Hilassen memeluk Arkandra dan menangis.
"Sudah sudah.. kau sudah seperti adikku sendiri.. sudah tugas seorang kakak bukan untuk melindungi adiknya?" kata Akandra
Hilassen mengelap tangisnya dan mereka berdua melanjutkan jalannya. Mereka berjalan, berbincang, dan mampir ke beberapa toko kaki lima pinggir jalan yang sudah akrab dengan mereka.
"Nak Hilassen dan Nak Arkandra ya.. ini ada permen kesukaan kalian." kata seorang bibi yang berdagang
"Wah! Terima kasih bibi!" jawab Hilassen dan Arkandra dengan gembira
Mereka juga mampir ke pedagang roti dan buah, dan mereka mendapatkan dua apel dan satu roti yang dibagi dua untuk mereka. Mereka berjalan dan makan dengan gembira.
Ketika mereka sedang berjalan dengan santai, tiba tiba seseorang datang dengan panik berlari menuju ke arah Hilassen dan Arkandra.
"Hilassen!" teriak seorang lelaki tua dengan jenggot yang sudah hampir putih sepenuhnya
Hilassen dan Akandra menengok ke arah suara yang memanggilnya.
"Kakek Lehben?" kata Hilassen dengan bingung
"Hilassen.. ibumu.." kata Kakek Lehben
Kakek Lehben yang lari dengan panik membuat Hilassen ikut panik. Akandra menenangkan Hilassen dan bertanya ke Kakek Lehben mengenai apa yang terjadi dengan ibunya Hilassen.
"Ibumu.." kata Kakek Lehben
Kakek Lehben menjelaskan panjang lebar dan dengan cepat kepanikan langsung muncul di wajah Hilassen. Emosi Arkandra memuncak setelah mendengar penjelasan dari Kakek Lehben.
"Hilassen, ayo kita segera ke sana!" kata Arkandra
"Ba-baiklah.." kata Hilassen
Mereka bertiga segera menuju ke tempat kejadian. Ketika mereka sampai ke tempat kejadian, mereka melihat Ibunda dari Hilassen sedang terjatuh dengan bugil dan penuh memar.
Hilassen yang melihat Ibunya penuh dengan memar langsung menyelip diantara orang orang yang menyaksikan penyiksaan Ibunda Hilassen. Setelah mampu menyelip diantara gerombolan orang, ia akhirnya mampu melihat sosok Ibundanya dengan jelas.
"Ibunda!" kata Hilassen
Ibunda Hilassen melihat ke arah Hilassen dengan tatapan jijik hingga membuat Hilassen terhenti langkahnya.
"Oi Hilassen.. lihatlah anjing peliharaan ini.." kata Rico yang kemudian menendang wajah Ibundanya
"Ibunda!" teriak Hilassen
"Jangan kemari! Dasar anak tak berguna! Sudah tahu kita kasta rendah, masih saja bergaya langit!" kata Ibunda Hilassen
Hilassen terkejut dengan perkataan dari Ibundanya. Arkandra datang dari belakang dan menepuk dan menarik pundak Hilassen untuk mundur beberapa langkah.
"Rico, apa maksudnya ini?" tanya Arkandra
"Arkandra.. kau tidak perlu ikut campur. Orang orang ini tidak ada hubungannya denganmu." kata Rico
"Tidak, Hilassen sudah aku akui sebagai adikku, jadi tentu saja dia ada hubungannya denganku." kata Arkandra
Pernyataan dari Arkandra membuat semua orang yang ada di sekitar tempat perkara terkejut. Ibunda Hilassen langsung mendekati Hilassen dengan merangkak.
"Apa yang telah kau lakukan dengan Tuan Muda Arkandra?!" bentak Ibunda Hilassen dan menampar Hilassen
Pipi kiri Hilassen merah dan Hilassen mulai menangis. Arkandra langsung mendatangi Ibunda Hilassen dan bertanya mengapa Ibunda Hilassen sampai membentak dan menampar Hilassen.
Ibunda Hilassen bersujud dan memohon ampun karena kelancangan anaknya. Ia merasa bahwa tidak mungkin anaknya bisa menjadi adik dari salah seorang kandidat penerus Raja Dearulten.
Wajah dari Arkandra nampak kesal melihat Ibunda Hilassen bersujud di hadapannya. Rico yang merasa kesal setelah mendengar pernyataan dari Arkandra mengenai pengangkatan Hilassen sebagai adiknya langsung pergi bersama para pengawalnya.
"Arkandra! Akan aku adui kau kepada Ayahanda!" kata Rico
Arkandra tidak berkata apa apa selain menatap tajam Rico. Arkandra tanpa berucap sepatah kata menarik Hilassen untuk pergi dari tempat kejadian.
Ibunda Hilassen yang melihat Hilassen pergi ditarik Arkandra memeluk kaki Hilassen dan memaksa Hilassen untuk melepas pegangannya dari Arkandra.
"Apa yang kau lakukan, Bibi?" tanya Arkandra
"Ti-tidak ada.. Tuan Muda.." jawab Ibunda Hilassen melepas pegangannya ke Hilassen
Arkandra dan Hilassen pergi meninggalkan tempat tersebut menuju ke sebuah bukit yang menjadi tempat rahasia mereka. Di atas bukit, Hilassen dan Arkandra duduk di bawah pohon yang rimbun sembari dimanja oleh angin berhembus yang lembut.
"Arkandra.." kata Hilassen
"Tenanglah, bukan kamu yang salah. Sedari awal, pemikiran orang orang di kota ini sudah salah." kata Arkandra
Hilassen teringat dengan daerah tempat tinggalnya. Sebuah tempat yang kumuh, dikucilkan, dan dipandang rendah oleh hampir semua orang di kalangan atas atau orang orang yang tinggal di kota.
"... Tapi.. apakah kita tidak bisa mengubah pandangan mereka..?" tanya Hilassen
Arkandra sedikit terkejut dengan perkataan dari Hilassen.
"Setelah semua perlakuan mereka padamu?" tanya Arkandra
"..." kata Hilassen yang kemudian menganggukkan kepala
Arkandra menghela nafas dan sedikit tersenyum. Arkandra kemudian berdiri dan meregangkan tubuhnya.
"Inilah kenapa aku menjadikanmu adikku." kata Arkandra melihat ke langit
Hilassen menengok ke arah Arkandra.
"Tenang saja, kau pasti bisa mengubah pandangan mereka!" kata Arkandra dengan tersenyum ke arah Hilassen
Sore pun tiba dan mereka berpisah di tengah perjalanan menuju ke rumahnya masing masing. Mereka berpisah di sebuah pertigaan yang memiliki suasana yang sangat kontras.
Hilassen menuju ke tempat yang kumuh sedangkan Arkandra menuju ke tempat tinggal Bangsawan. Hilassen dan Arkandra saling melambaikan tangan dan berbalik badan kemudian berjalan menuju ke rumahnya masing masing.
Tepat setelah Hilassen membalikkan badannya dan berjalan menuju ke rumahnya, Arkandra masih melihat ke arah Hilassen dengan perasaan khawatir. Setelah Hilassen hilang dari pandangannya, Arkandra baru berjalan kembali ke rumahnya.
Plakk~
Suara tamparan keras terdengar
"Apa apaan kau ini?! Bisa bisanya kau menentang seorang Bangsawan!" bentak Ibunda Hilassen
Hilassen tidak bisa menjawab dan hanya menunduk.
"Ditanya malah diam! Anak kurang ajar kau! Anak haram!" bentak Ibunda Hilassen
"... A-aku.. tidak menentang.. siapapun, Bu.." kata Hilassen
"Berani jawab kamu ya!" bentak Ibunda Hilassen
Suara tamparan keras kembali terdengar
Bentakan dari Ibunda Hilassen terdengar oleh tetangga-tetangganya. Tetangga-tetangganya yang memiliki anak menutup telinga anak mereka agar tidak mendengar makian dari Ibunda Hilassen.
Orang orang yang sudah tua atau yang tidak memiliki anak hanya bisa mengelus dada dan mengasihani Hilassen dalam diamnya.
"Dilota! Lagi lagi kau menyiksa anakmu!" kata Kakek Lehben mendobrak pintu rumah Hilassen
"Diamlah kau, Kakek Tua! Ini tak ada hubungannya denganmu!" teriak Dilota (Ibunda Hilassen)
"Tidak ada hubungannya denganku? Aku yang membesarkan anak ini ketika kau bersenang senang dengan Bangsawan kurang ajar! Lalu kau bsia berkata tidak ada hubungannya denganku?!" kata Kakek Lehben dengan tidak terima
"Agh! Lagipula sejak awal aku tidak ingin melahirkan anak ini! Kau tahu bukan? Anak ini hanyalah kesalahan! Anak ini lahir karena kebetulan!" teriak Dilota
Hilassen yang sudah sering mendengar ucapan kasar seperti itu dari Ibunya tetap tidak kuasa menahan rasa sedihnya. Kakek Lehben yang marah karena 'Cucu' nya dimaki dengan sangat rendah langsung menampar Dilota.
"Agh!! Apa yang kau lakukan, dasar Kakek Sialan!" teriak Dilota
"Seandainya aku bisa menamparmu lebih dari ini, maka sudah kulakukan. Namun ada cucuku yang menyaksikan." kata Kakek Lehben dengan pandangan miris
Dilota melihat ke arah Hilassen. Hilassen yang melihat Dilota ditampar hanya bisa menangis tanpa suara. Dilota menatap Hilassen dengan penuh kebencian.
"Dasar anak sialan! Gara gara kamu wajah cantikku menjadi rusak! Gara gara kamu juga aku ditinggal pacar-pacarku!" teriak Dilota
"Dilota! Sudah cukup, mulai hari ini Hilassen akan tinggal bersamaku. Aku sudah tidak ingin melihat cucuku tersakiti olehmu!" kata Kakek Lehben
Kakek Lehben langsung menarik tangan Hilassen dan dengan cepat meninggalkan rumah dari Hilassen dan Dilota.
"Ibunda.." kata Hilassen dengan lirih
Dilota yang ditinggal Hilassen pergi tidak berkata apapun.
"Akhirnya kau pergi.. wahai anak iblis! Hahahahaa!!" teriak Dilota dengan tawa yang sangat keras
Hilassen yang ngeri melihat wajah Ibundanya langsung memalingkan wajahnya dengan menangis tersedu-sedu. Kakek Lehben menggenggam tangan Hilassen lebih erat dengan mata yang berkaca-kaca.
"Hilassen.. mulai hari ini kamu tinggal bersamaku ya." kata Kakek Lehben
"Baik.. Kakek." kata Hilassen dengan mengelap air mata dan ingusnya
Bel Gereja berbunyi
Menandakan pagi hari telah tiba
"Ibu.. Ibu.. Ibu..!" kata Hilassen yang kemudian terbangun dengan menangis
Hilassen baru teringat jikalau mulai hari ini dia tinggal dengan Kakek Lehben. Pipi Hilassen terasa sakit dan kalau ia sekolah dengan luka di pipinya, maka Arkandra akan langsung memarahinya.
Hilassen kecil yang takut dimarahi langsung mencari cara untuk menutupi bekas lukanya. Perlahan ia turun dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar dari pintu kamarnya dan ia bertemu dengan Kakek Lehben yang sedang berkebun.
"Ohh Hilassen! Kau sudah bangun rupanya." kata Kakek Lehben
"Kakek! Apa kau tahu cara untuk menyembunyikan bekas luka??" tanya Hilassen dengan panik
Kakek Lehben langsung menyadari bahwa Hilassen tidak ingin Arkandra marah kepada dirinya. Kakek Lehben kemudian merapalkan Sihirnya yang mampu meminimalisir bekas luka dari Hilassen.
"Apakah sudah mendingan?" tanya Kakek Lehben
'Ya! Ini sudah jauh lebih baik! Terima kasih, Kakek!" kata Hilassen dengan tersenyum gembira
Kakek Lehben tersenyum melihat kegembiraan yang dipancarkan Hilassen. Mereka pun sarapan dan Hilassen pergi bersekolah.
Seperti biasanya, Hilassen bertemu dengan Arkandra di pertigaan tempat mereka berpisah. Arkandra memasang wajah curiga karena melihat adanya sedikit bekas luka di wajah Hilassen.
"Tidak ada apa apa kok! Ini hanya.. kemarin ada nyamuk! Aku memukulnya terlalu keras hingga jadi seperti ini!" kata Hilassen dengan agak panik mencoba menghindari pertanyaan dari Arkandra
"Tapi aku belum bertanya apa apa." kata Arkandra
Hilassen mati kutu mendengar perkataan dari Arkandra. Arkandra tertawa dan Hilassen bisa bernafas lega lagi. Mereka melanjutkan jalan mereka menuju ke sekolahan dengan saling bercanda dan tertawa.
Sesampainya di kelas, mereka langsung disambut dengan pemandangan yang tidak mengenakkan.
"A-Arkandra.." kata Hilassen dengan ketakutan
"(Sialan itu..!)" kata Arkandra dalam hatinya dengan marah
Dinding kelas telah dicoret-coreti oleh tulisan 'Hilassen sang Anak Haram', 'Dilota Lacur Terhebat', 'Ayah Hilassen seorang Anjing', dan banyak kalimat tidak mengenakkan lainnya.
Teman teman kelas Hilassen dan Arkandra melihat miris ke arah Hilassen dan memasang badan seolah menjauhi Hilassen. Arkandra yang melihat momen Hilassen kembali terkucilkan langsung mengayunkan tangannya ke samping sembari bertanya siapa yang melakukan ini.
"Ada apa Arkandra? Mengapa kau mementingkan anak busuk itu?" tanya seseorang dari pintu kelas
"Suara.. itu.." kata Arkandra dengan gemetar
Hilassen dan Arkandra membalikkan badan. Mereka melihat sosok yang Agung berada di belakang mereka. Veroste la Himmel, seorang lelaki Bangsawan yang hobi bermain wanita dan terkenal akan ketampanannya.
"Itu Tuan Veroste!" kata siswi siswi dengan histeris
"Jadi Arkandra..? Apakah ini yang kau angkat sebagai adikmu?" tanya Veroste
"Ya,, memangnya kenapa?" tanya Arkandra dengan nada yang sedikit berubah
Hilassen melihat ke wajah Arkandra dan ia menyadari bahwa sikap dari Arkandra agak berubah.
"Oh oh oh.. mengapa kau bersikap tidak sopan begitu.. wahai anakku..?" tanya Veroste dengan anggun
Para siswi kembali histeris. Hilassen kembali melihat ke wajah Arkandra dan dari wajah Arkandra terpancar perasaan jijk dan geli mendengar perkataan dari Veroste.
"Oi anak kecil, Ibumu namanya Dilota bukan?" tanya Veroste dengan suara yang berubah menjadi berat
"I-iya.." jawab Hilassen dengan agak ketakutan
"Ahh, wanita itu cantik sekali~ Seandainya dia tidak melahirkan anak busuk sepertimu, sudah pasti dia menjadi selirku!" kata Veroste
Perkataan Veroste membuat Hilassen dan Arkandra gemetar. Hilassen yang gemetar karena dirinya merasa bersalah kepada Ibundanya, sedangkan Arkandra merasa marah karena dengan sangat lantang Veroste ingin menambah selir dan merendahkan Hilassen.
"Apa.. apakah kau tidak ingin Ibunda tenang di sana?!" teriak Arkandra
Veroste memandang rendah anaknya.
"Apa maksudmu?" kata Veroste dengan aura seperti mau membunuh
Arkandra gemetar mendengar perkataan Veroste.
"Dengar anak kecil.. Alasan aku memberiimu nama Arkandra agar kau tetap tenang dan daim! Jadi tutup mulutmu juga jangan banyak bertingkah!" bentak Veroste
Verose kemudian merapihkan bajunya serta menegakkan kembali badannya. Ia mengibas rambut depannya dan melambaikan tangan pada siswi siswi kecil di kelas Hilassen dan Arkandra.
"Dan satu lagi anak kecil.." kata Veroste ke Hilassen
Hilassen menoleh ke Veroste.
"Kau itu.. tak lebih baik dari seekor anak anjing." kata Veroste dengan tersenyum
Pukulan telak seolah dirasakan oleh Hilassen. Arkandra terkejut mendengar perkataan Ayahnya dan reflek melihat ke wajah Hilassen. Pandangan Hilassen menjadi kosong dan Veroste pergi meninggalkan ruang kelas Hilassen dan Arkandra.
"Ya! Terima kasih, Paman!" kata Rico yang datang dari pintu kelas
Rico memasuki kelas dengan dua temannya.
"Hihi.. inilah akibatnya jika kalian menentangku!" kata Rico yang kemudian diakhiri dengan tertawa
Rico dan dua temannya tertawa sementara Arkandra telah mengepalkan tangannya dengan sangat kuat dan siap memukul Rico saat itu juga. Ketika Arkandra mau melangkahkan kakinya, Hilassen menahan langkahnya dengan tangan kiri yang ia taruh di depan dada Arkandra.
"Sudahlah.. lagipula.. aku ini hanyalah sampah kan..?" kata Hilassen dengan pura pura tersenyum
Arkandra terpukul dengan perkataan dari Hilassen. Air mata Hilassen mengalir meski pandangannya kosong dan wajah tersenyum palsu. Bel Gereja berbunyi menandakan dimulainya kegiatan hari tersebut.
Selama kelas berlangsung, Hilassen belajar dengan wajah yang pura pura tegar. Konsentrasi Arkandra tidak bisa fokus karena menghawatirkan Hilassen dan perkataan Ayahnya terngiang-ngiang di kepalanya.
Tok~ Tok~ Tok~
Suara ketukan pintu terdengar
"Silahkan" kata Guru yang sedang mengajar
"Permisi, saya mencari Tuan Muda Arkandra." kata seorang Prajurit membuka pintu kelas
Arkandra yang sedang melamun disadarkan kembali oleh Hilassen.
"Arkandra, sepertinya ada yang sedang mencarimu." kata Hilassen dengan halus
"Oh ya, maaf aku melamun." kata Arkandra
Arkandra pun keluar dari kelas bersama dengan perginya Si Prajurit. Kelas kembali berjalan dan dengan tidak adanya Arkandra, Rico dan teman temannya dapat mengganggu Hilassen sepuas hati mereka.
Arkandra yang berjalan terus menerus memikirkan perkataan Ayahnya. Dan tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan pintu masuk sekolah.
Ketika pintu dibuka, terlihat sudah ada kereta kuda berwarna putih dengan garis keemasan yang menunggu. Sebuah logo Keluarga Bangsawan Himmel terpampang di pintu kereta kuda.
"Apa yang terjadi? Mau kemana kita?" tanya Arkandra ke Prajurit yang menjemputnya
"Maaf Tuan Muda, namun saya tidak bisa menjawab. Tuan Veroste hanya menyuruh saya untuk membawa Tuan Muda pergi dari kelas tanpa memberi tahu tujuannya." jawab Prajurit
"(Orang itu.. apalagi yang ia rencanakan?!)" kata Arkandra dalam hatinya dengan menggigit bibirnya
Arkandra pun menaiki kereta kuda dan pergi meninggalkan sekolahan. Hilassen melihat Arkandra yang pergi dengan kereta kudanya melalui jendela kelas. Rico dan teman temannya saling berbisik menyiapkan rencana untuk 'menjahili' Hilassen.
Kriingg~
Suara bel sekolah berbunyi menandakan waktunya istirahat.
"Baik anak anak, silahkan istirahat kita akan lanjutkan nanti setelah bel masuk berbunyi lagi." kata Bu Guru yang kemudian meninggalkan kelas
Tepat setelah pintu ditutup dari luar oleh sang Guru, sebuah bola air terlempar ke kepala belakang Hilassen. Hilassen yang terkena bola airi otomatis terdorong ke depan hingga terjungkal ke meja yang berada di depan-bawahnya.
*buat yang belum paham\, posisi kelas Hilassen dan Arkandra kursinya itu seperti tangga. Kalau butuh bayangannya seperti apa\, mungkin bisa lihat di Anime Zero no Tsukaima. Terima kasih*
Para siswa selain RIco dan kedua temannya menutup mulut mereka seolah menahan tawa.
'Iihh! Apa yang kamu lakukan, dasar anak miskin!" kata seorang gadis
"Ah, maafkan aku." kata Hilassen
"Lihatlah! Buku-buku ku jadi basah! Mau tanggung jawab gimana kamu! Kamu kan ga ada duit juga!" bentak si Gadis
"A-a.. anu.. kamu.. Faluma kan? Maaf.. nanti.. nanti akan aku ganti.." kata Hilassen
"Ha?! Berani-beraninya kau memanggilku Faluma! Aku ini dari kelas atas! Faluma zu Netar! Putri yang dikagumi banyak orang!" kata Aluma
"A-baiklah.. maafkan aku.. Putri Faluma.." kata Hilassen dengan menunduk
"Menunduk? Hanya menunduk?! Bersujudlah!" bentak Faluma
Hilassen yang masih merasakan sakit di kepala bagian belakangnya tidak bisa bersujud. Karena baginya, untuk menunduk saja sudah sangat pusing.
Tiba tiba Faluma dengan kasarnya mengangkat satu kakinya dan memaksa kepala Hilassen yang menunduk untuk bersujud. Dahi Hilassen terbentuk dengan kursi dan Hilassen berteriak kesakitan.
"Diamlah kamu, dasar miskin! Sudah aku biarkan kepala rendahmu ini menyentuh kaki ku yang indah! Bersyukurlah!" kata Faluma
"Bagus Faluma! Dia memang pantas dibegitukan!" kata Rico dengan tertawa
Seisi kelas tertawa melihat Hilassen yang direndahkan.
"Ini semua juga gara gara kamu! Kalau kamu tidak menjahili anak miskin ini, buku-buku ku tidak akan basah!" kata Faluma
"Ah! Soal itu gampang! Nanti aku ganti, kalau perlu sama tulisan-tulisannya sekaligus!" kata RIco
"Hmph! Syukurlah kau dijahili oleh orang kaya! Seandainya tidak, maka hukuman dariku akan lebih dari ini! Bersyukurlah karena buku-buku mahalku yang basah ini sudah ditebus oleh orang lain!" kata Faluma
Hilassen tidak menjawab, dan hanya menahan kesakitan. Faluma mengangkat kepalanya dan ketika ia melihat High Heels nya, terdapat darah pada bagian Top Heel nya.
"Iiuuhhh! Ada darahh!!" teriak Faluma dengan jijik melihat adanya darah di High Heels nya
Teriakan Faluma terdengar hingga ke ruang guru. Dengan jeda waktu hanya beberapa detik, seorang wanita dengan pakaian Maid memasuki ruang kelas.
"Putri Faluma, apa yang terjadi? Mengapa anda sampai berteriak begitu?" kata Pelayan memasuki kelas dengan panik
"Kenerin! Lihatlah sepatuku ini! Ada darah orang rendahan!!" kata Faluma dengan merengek dan menangis
Faluma langsung membuang sepatu High Heels nya yang menyentuh darah Hilassen dan memeluk manja Kenerin. Kenerin memeluk Faluma dan memarahi Hilassen tanpa membiarkan Hilassen mengatakan sepatah kata.
"Lihatlah apa yang sudah kau perbuat, dasar orang rendahan! Kau membuat menangis seorang Putri dari Bangsawan terhormat!" bentak Kenerin
"Harga nyawamu tak sebanding dengan sepatu Tuan Putri, kau ingin menggantinya dengan apa? Masa depannya sudah dikotori dengan darah kotormu itu!" kata Kenerin
"Kenerin!! Aku tidak akan bisa melupakan kejadian ini.. darah orang miskin itu.. benar benar menjijikan!" kata Faluma dengan merengek memeluk Kenerin
"Sialan kau, orang rendahan! Sampah masih lebih berharga daripada dirimu!" bentak Kenerin
Bel masuk berbunyi dan Hilassen dibawa pergi oleh beberapa prajurit dengan darah yang masih menetes dari kepala belakangnya serta pakaian tubuh bagian atas yang basah.
Famula izin untuk pulang guna menenangkan dirinya. Kelas pun kembali berjalan dan Rico merasa kesal karena tidak bisa menjahili Hilassen sepuasnya namun di satu sisi ia merasa sangat senang melihat Hilassen yang benar benar direndahkan.
Di sebuah ruangan, Hilassen sedang diinterogasi oleh salah satu orang dari Keluarga Netar sekaligus Kapten Penjaga Kota Esvortein, Gestifer vi Netar.
Takk~
Suara bantingan keras terdengar
"Kau masih tidak mau mengakui kesalahanmu?!" bentak Gestifer
Kepala Hilassen dibenturkan ke meja interogasi hingga membuat pelipisnya sobek. Hilassen kembali berteriak dan menangis kesakitan.
"Akui saja kesalahanmu!" bentak Gestifer yang kembali membenturkan Hilassen ke meja interogasi
Seorang anak berusia 7 tahun, dibenturkan berkali-kali ke meja hingga membuat sobek di pelipisnya semakin melebar. Dahi yang lecet serta mulut yang mulai mengeluarkan darah terlihat jelas di ruang interogasi tersebut.
"Ma-maafkan.. aku.." kata Hilassen dengan merengek kesakitan
"Hah? Aku tidak dengar! Katakanlah dengan lebih keras!" bentak Gestifer
Gestifer kembali membanting Hilassen ke meja dan Hilassen berteriak meminta maaf. Gestifer menyuruh penjaganya untuk mengambilkannya sebuah sapu tangan.
"Dasar merepotkan. Aku orang yang terhormat dan penuh kesibukan ini, tidak memiliki waktu untuk mengurusimu." kata Gestifer sembari mengelap tangannya dari darah
"Darah kotor lagi, sialan!" kata Gestifer yang kemudian pergi meninggalkan ruangan dengan membanting pintu
Di tempat lainnya, Arkandra telah sampai ke sebuah Mansion mewah dengan beberapa pilar putih raksasa yang nampak menopang Mansion tersebut di bagian depan.
Di Mansion tersebut terdapat logo dari Keluarga Himmel. Arkandra merasa ada sesuatu yang sangat tidak mengenakkan akan terjadi.
Pintu kereta kuda dibuka oleh kepala pelayan dari Mansion Keluarga Himmel. Arkandra turun dari kereta kudanya dan ia disambut dengan karpet merah serta beberapa belas pelayan yang berbaris.
"Selamat datang, Tuan Muda Arkandra." kata para pelayan dengan kompak
Arkandra berjalan memasuki Mansion dan pintu besar terbuka menyambut kedatangannya. Ia berjalan dengan dikelilingi lukisan-lukisan turun temurun keluarganya.
Dan ia sempat terhenti ketika melihat lukisan wajah Ibundanya.
"Ibunda.. doakan aku." kata Hilassen dalam hatinya sembari melirik ke lukisan Ibundanya
"Tuan Muda.. kita harus cepat, Tuan Veroste sudah menunggu anda." kata Kepala Pelayan
"Aku tahu" jawab Arkandra
Mereka berjalan menuju ke suatu ruangan dan ketika sampai di depan pintu, terdengar suara beberapa wanita sedang bermesraan di dalamnya.
"Tuan Veroste, Tuan Muda Arkandra sudah datang." kata Kepala Pelayan
"Ahh~ Jadi kau ingin gelang emas itu? Dan kau ingin kalung berlian ini? Ambilah! Silahkan!" kata Veroste dengan menggaet dan memangku beberapa wanita
"Mohon maaf, Tuan Veroste. Namun, Tuan Muda Arkandra sudah datang." kata Kepala Pelayan
"Ya ya ya, aku tahu. Kau merusak kesenanganku saja." kata Veroste
Veroste melepas pelukannya dan menyuruh wanita-wanitanya untuk pergi sebentar. Wanita-wanita Veroste melambaikan tangan dan memberikan ciuman jarak jauh kepada Veroste sebelum keluar dari ruangan, namun ketika sampai di depan pintu, mereka melihat dengan benci ke Arkandra.
Arkandra tidak memperdulikan hal tersebut dan hanya melihat Ayahnya dengan pandangan kesal.
"Anakku Arkandra.. duduklah." kata Veroste
"Tidak perlu, katakan dengan cepat apa tujuanmu membawaku ke sini?" kata Arkandra dengan cetus
"Hmm? Begitukah? Sejak kapan kau sedingin ini pada Ayahandamu?" kata Veroste
Arkandra tidak menjawab dan hanya menatap Ayahnya dengan kesal. Melihat Ayahnya yang terus menyepelekannya, Arkandra membalikkan badannya dan membuka pintu.
"Hilassen von Arn." kata Veroste
Arkandra terdiam dengan tangan yang sedang memegang gagang pintu dengan agak terkejut. Arkandra perlahan mulai menoleh ke arah Ayahnya.
"Sekarang kau mau mendengarkanku?" tanya Veroste dengan mengangkat secangkir teh
Arkandra melepas pegangannya dan duduk di kursi yang tersedia. Kepala Pelayan menyiapkan secangkir teh untuk Arkandra dan Veroste memulai pembicaraan.
Beberapa saat kemudian pintu terbuka dengan Arkandra yang berjalan tergesa-gesa. Di dalam ruangan yang ditinggal oleh Arkandra, Veroste menikmati tehnya dengan tertawa.
"Sial sial sial!" gumam Arkandra dengan terburu-buru
"Aku tertipu! Hilassen, apa yang terjadi denganmu?!" gumam Arkandra
Arkandra langsung menaiki kereta kuda yang telah disiapkan oleh Kepala Pelayan. Dengan wajah panik, Arkandra langsung menyuruh pelayannya untuk memacu kuda.
Kepala Pelayan melihat Arkandra dengan perasaan khawatir, namun di satu sisi ia harus tetap berada di Mansiono Keluarga Himmel.
Sesampainya di sekolah, matahari mulai tenggelam. Arkandra berlari memasuki sekolahan dan langsung menuju ke ruang kelasnya.
"Hilassen!" teriak Arkandra dengan membanting pintu
Arkandra tidak menemukan siapapun di dalam ruang kelasnya. Ia kembali melanjutkan pencariannya dengan menelusuri satu per satu ruangan di sekolah.
Kelas per kelas, toilet per toilet, hiingga ruang guru telah ia periksa. Hingga akhirnya ia teringat satu tempat yang belum ia periksa.
Arkandra membuka pintu ruang olahraga dan ia menemukan orang yang ia cari-cari. Arkandra terkejjut melihat Hilassen dan tatapannya menjadi kosong dan ia terduduk lesu.
"Hi..Hilassen.." kata Arkandra
Arkandra melihat Hilassen yang penuhu luka di sekujur tubuhnya. Darah yang keluar dari mulut dan wajahnya, bekas sayatan di bagian-bagian tubuhnya serta kuku-kuku yang terlepas berserakan di mana-mana.
"HILASSEN!!" teriak Arkandra dengan penuh emosi
Arkandra langsung teringat dengan semua perkataan Ayahnya ketika ia menemuinya tadi. Veroste mengatakan bahwa Hilassen hanya akan memperburuk nama Arkandra sehingga Veroste ingin agar Arkandra sesegera mungkin menjauhi Hilassen.
Hilassen menolak dengan tegas namun Veroste sudah menduga penolakan dari anaknya. Veroste mengatakan bahwa Hilassen telah mengicip sedikit dari penderitaan yang akan ia rasakan jikalau terus dekat dengan Arkandra.
Dan mendengar hal tersebut, Arkandra langsung keluar dari ruangan.
"Sialan kau orang tua!!!" teriak Arkandra
Beberapa menit berlalu, Arkandra yang menangis dengan sangat keras merasa mendengar suatu suara. Arkandra mengangkat kepalanya dan ia melihat Hilassen yang masih bernafas meski nafasnya sangat lemah.
"Hilassen.. Hilassen!" teriak Arkandra dengan merangkak dan sedikit terpeleset
Arkandra memegang Hilassen dari dekat dan langsung berusaha mengobati Hilassen. Arkandra juga berteriak memanggil pelayan-pelayannya dan menyuruh untuk segera memberi penolongan pertama kepada Hilassen.
Namun perintah dari Arkandra ditolak oleh para pelayannya. Arkandra agak terkejut namun ia langsung menduga bahwa penolakan perintah para pelayannya dikarenakan Ayahnya.
"Sialan! Tak berguna! Hilassen bertahanlah!" teriak Arkandra
Arkandra langsung menggendong Hilassen dan terus menerus merapalkan Sihir Penyembuhannya ke Hilassen selama ia berlari mencari bantuan.
Orang-orang yang dilewatinya melihat Arkandra berlari menggendong Hilassen yang penuh luka dengan ketakutan dan berusaha menghindar.
Arkandra berlari menghampiri para pedagang yang biasanya sering ia dan Hilassen kunjungi namun tak ada satupun yang mau menolongnya, bahkan mereka seolah tidak mengenal dan berusaha menghindar.
"Sialan!" kata Arkandra dalam hatinya
Arkandra terus berlari mencari bantuan.
"Sialan!" kata Arkandra dalam hatinya
Arkandra tersandung dan ia serta Hilassen terjatuh. Lutut kiri Arkandra berdarah dan tak lama setelah ia dan Hilassen terjatuh, ia melihat Kakek Lehben yang berjalan dengan mendorong gerobak penuh dengan tumbuhan siap pangan.
"Kakek.. Kakek Lehben! Kakek Lehben!" teriak Arkandra
Mendengar teriakan anak kecil, Kakek Lehben mencari-cari sumber teriakan. Ia melihat Arkandra yang terjatuh dan Hilassen yang penuh luka di sampingnya.
"Hi-Hilassen!" kata Kakek Lehben dengan panik yang kemudian berlari mendekati Arkandra dan Hilassen
"Na- Tuan Arkandra, apa yang terjadi?!" kata Kakek Lehben
"Kakek! Tolong Hilassen Kakek!" kata Arkandra dengan menangis dan memegang celana Kakek Lehben
"Tentu saja! Kamu bisa berdiri? Naiklah ke gerobakku! Akan aku antar kalian ke Rumah Sakit secepatnya!" kata Kakek Lehben
"Tidak bisa! Jangan ke Rumah Sakit!" kata Arkandra
"Ke-kenapa?!" tanya Kakek Lehben
"Na-nanti akan aku jelaskan, yang pasti kita tidak bisa meminta pertolongan ke orang-orang di kota ini!" kata Arkandra
Kakek Lehben langsung berpikir keras. Ia mencoba mencari siapa yang bisa ia andalkan dan keluar satu nama. Ia langsung mengangkat Hilassen dan Arkandra dan membuang tanaman-tanamannya dan diganti dengan Hilassen dan Arkandra.
"Pegangan yang kuat!" kata Kakek Lehben dengan serius
Kakek Lehben merapalkan sebuah Sihir dan otot-ototnya tiba-tiba membesar. Aura berwarna kuning keluar dari sekitarnya dan ia langsung mendorong gerobaknya sekuat tenaga.
Gerobak melaju dengan sangat kencang guna menemui orang yang dipercaya oleh Kakek Lehben. Mereka melaju dengan sangat kencang melewati kerumunan orang-orang.
"Be-berhenti!" teriak seorang Prajurit Penjaga Gerbang
Kakek Lehben terus mendorong gerobaknya meski sudah diperingati oleh beberapa Prajurit Penjaga Gerbang. Ketika sudah tinggal beberapa langkah lagi sebelum keluar dari gerbang Ibukota, Para Prajurit melompat ke samping menghindari tabrakan dari Kakek Lehben.
Kakek Lehben melewati gerbang dan juga membuat rusuh orang-orang yang sedang mengantri memasuki Ibukota. Kakek Lehben tidak memperdulikan sorakan marah orang-orang yang sedang mengantri dan terus mendorong gerobaknya.
Mereka pun berhasil keluar dari Ibukota maupun kerumunan orang-orang di depan gerbang. Kakek Lehben terus mendorong gerobaknya dengan sekuat tenaga hiingga memasuiki sebuah hutan.
Beberapa monster seperti monster harimau, segerombolan serigala merah, dan **** hutan muncul di hadapan mereka.
"Kakek Lehben!" teriak Arkandra
"Tenang saja!" teriak Kakek Lehben
Kakek Lehben langsung menabrak dan mementalkan semua monster yang menghalangi jalan mereka. Mereka terus melaju dan akhirnya nampak sebuah rumah di dalam sebuah batang pohon raksasa.
"Bersiaplah!" teriak Kakek Lehben
Arkandra yang mendengar teriakan Kakek Lehben langsung memeluk Hilassen dan berpegangan erat pada pinggiran gerobak. Kakek Lehben langsung membelokkan gerobaknya guna mengerem pergerakan roda dari gerobaknya.
"Kita sampai" kata Kakek Lehben
Arkandra perlahan membuka matanya dan ia cukup kagum dengan rumah pohon yang ada di hadapannya. Kakek Lehben tanpa bertele-tele langsung menggendong Hilassen dan Arkandra serta mengetuk pintu rumah pohon.
"Sherle! Sherle! Aku butuh bantuanmu!" teriak Kakek Lehben dengan menggedor-gedor pintu menggunakan kakinya
Selama beberapa saat tidak ada jawaban dari dalam rumah. Kakek Lehben yang sudah tidak sabar langsung mendobrak pintu rumah dan membaringkan Hilassen serta menaruh Arkandra pada kursi yang di dekatkan dengan tempat Hilassen baring.
"Kalian tunggulah di sini! Aku akan pergi mencari Sherle dulu!" kata Kakek Lehben dengan nafas yang sudah ngos-ngosan
Arkandra menganggukkan kepala sembari terus memberikan Sihir Penyembuhannya. Dan beberapa menit setelah Kakek Lehben pergi mencari Sherle, Arkandra merasakan ada sesosok yang mendekat ke arah mereka.
Arkandra langsung berdiri meski kakinya terasa sakit. Ia memasang badan untuk melindungi Hilassen yang sedang sekarat. Dan tanpa terasa, sosok tersebut sudah berada di depan pintu rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!