NovelToon NovelToon

Selamat Dari Tumbal Pesugihan

Bab 1

Entah dari mana harus kumulai cerita ini. Semuanya berlangsung begitu cepat. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.

Pesugihan itu telah merenggut anggota keluargaku satu persatu. Rasanya air mata ini sudah benar-benar kering, menangisi kepergian mereka yang begitu cepat. Sedangkan aku hanya bisa melihatnya dari jauh, tanpa bisa melakukan apa-apa.

*****

Namaku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha mebel di timur pulau jawa. Sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. Walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.

Ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. Selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. Wanita yang kini kusebut Bunda.

Walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap mengurusku dengan sangat baik. Dia juga memberiku dua adik laki-laki, bernama Leon dan Kevin. Terkadang aku kasihan dengan mereka. Pasalnya, aku dan bunda lebih sering pergi bersama. Entah itu hanya sekadar belanja di mall atau makan di luar. Bahkan saking sayangnya, saatku berencana untuk kuliah di luar negeri bunda lah yang paling keras menolak.

Singkat cerita, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya aku diizinkan untuk kuliah di luar negeri. Tepatnya di Bonn Universiry di Jerman. Awalnya ragu, karena ini kali pertamaku tinggal sendirian, di luar negeri pula. Bunda pun sangat khawatir, terlihat dari sikapnya yang terus menggenggam tanganku sepanjang perjalanan ke bandara.

***

Tahun pertama aku bisa melaluinya dengan lancar. Memasuki tahun kedua, jadwal kuliah sudah mulai padat dengan tugas yang menumpuk, sehingga membuatku sangat sibuk. Hal itu membuatku jadi lebih jarang menghubungi keluarga di Indonesia. Padahal biasanya, setiap dua hari sekali, aku melakukan video call dengan bunda. Sekarang hanya bertukar kabar via chat.

Waktu terus berlalu, aku pun semakin jarang menghubungi bunda. Untungnya bunda sangat mengerti dengan keadaanku. Jika sedang kangen, aku hanya mengecek aktifitas keluarga di akun sosial media mereka masing-masing.

Kupikir semuanya baik-baik saja, sampai ....

Ting!

Sebuah notifikasi pesan terlihat di layar ponsel.

[Novita sayang, bisa video call? Penting] Pesan bunda di sebuah aplikasi chat.

Aku hanya melihatnya sekilas, masih belum bisa membalasnya karena sedang kuliah. Padatnya kegiatan di kampus membuatku lupa dengan pesan bunda. Aku baru ingat saat kembali ke apartemen, sekitar pukul 8 malam.

[Besok pagi ya, Bun. Maaf tadi di kampus lagi banyak kegiatan, sampe lupa bales chat] Balasku, seraya membaringkan tubuh di atas tempat tidur.

Tak lama, ponselku berbunyi. Ternyata balasan dari bunda, padahal sekarang sudah jam 1 malam di Indonesia.

[Sekarang aja, sayang] Balas bunda.

[Loh masih bangun ternyata, hehehe] Dengan cepat aku menekan tombol berbentuk handycam, untuk melakukan video call.

"Bunda belum tidur?" sapaku ketika wajah bunda muncul di layar ponsel.

"Belum, Sayang. Bunda masih nunggu balesan kamu loh," balasnya.

"Iya, maaf banget, tadi banyak kegiatan di kampus. Ini aja baru pulang ke apartemen ."

"Gak apa-apa, bunda juga ngerti."

"Ngomong-ngomong ada masalah penting apa, Bun?"

Seketika raut wajah bunda berubah. Terlihat sedih. "Bunda khawatir, ayah gak bisa bayar kuliah kamu," ucap Bunda dengan wajah sedikit menunduk, tak sanggup menatapku langsung.

"Hah? Kenapa?" Aku terkejut mendengar ucapannya itu. "Ada apa sih, Bun?"

"Sekarang ... kondisi di rumah lagi susah."

"Susah kenapa?"

"Bapakmu ...." Tiba-tiba bunda terdiam, sambil menatap ke samping kiri.

Bruk!

Bunyi suara ponsel bunda terjatuh dan layar pun berubah menjadi hitam. "Bun? Bunda kenapa?" tanyaku.

"Udah dibilang jangan kasih tau Novita!" ucap Suara yang tidak asing di telingaku. Suara ayah.

"Tapi Novita harus tau, Mas," balas Suara lain, tentunya suara bunda.

"Pokoknya jangan! Mas bisa urus semuanya. Kamu diam aja. Itu kamu masih video call sama Novita?"

"Enggak kok, Mas."

Srek! Srek! Layar ponsel bunda mulai bergerak. Sekilas kulihat wajahnya, lalu ....

Tut!

Video call terputus. Aku berusaha menghubungi bunda, tapi tidak bisa. Sepertinya ponselnya mati.

Apa yang sebenarnya terjadi di rumah?

bab 2

Dari tadi aku hanya menatap layar ponsel, berharap bunda segera mengangkat sambungan video call dariku. Namun, semuanya nihil. Chat pun begitu, masih bertahan dicentang satu.

Rasa penasaran yang sangat kuat membuatku sulit tidur. Beragam pertanyaan muncul di benakku.

Apa yang terjadi di rumah?

Kenapa ayah membentak bunda?

Apakah bunda baik-baik saja?

Ada keinginan untuk menanyakan langsung ke ayah, tapi kuurungkan. Takutnya ayah malah bertambah marah.

Keesokan harinya, aku masih terus berusaha menghubungi bunda. Namun belum juga berhasil. Kucoba menghubungi Kevin dan Leon. Sama saja, mereka hanya membaca pesanku tanpa membalasnya.

***

Dua hari sudah aku tersiksa dengan rasa penasaran ini. Hingga membuyarkan konsetrasi kuliahku. Segala macam cara sudah kulakukan, termasuk memberanikan diri menelepon ayah. Namun, semuanya berakhir sia-sia.

Sampai ... saat sedang kuliah, aku merasakan ponsel terus bergetar di dalam tas. Kulihat sekilas, ternyata rentetan chat dari Leon. Aneh sekali, padahal biasanya dia jarang sekali begitu.

Selesai kuliah, aku langsung menuju taman, mencari tempat yang agak sepi untuk membaca chat tersebut.

[Novita sayang]

[Apa kabar]

Dari chat itu sudah sangat jelas, kalau ini bukan Leon melainkan bunda. Aku pun terus membaca rentetan chat tersebut, yang inti sebuah permintaan maaf dari bunda.

[Ada apa sih, Bun? Semuanya gak bisa dihubungi. Telepon gak diangkat, chat juga gak dibales. Bikin Novita kesel aja] Balasku, masih dengan rasa marah.

Tak disangka langsung direspon dengan cepat, terlihat dari tulisan di atas layar — sedang mengetik.

[Sekali lagi bunda minta maaf. Handphone bunda diambil ayah, gak tau disimpen di mana. Ayah juga ngelarang bunda, Leon dan Kevin buat ngehubungin kamu]

[Ayah kenapa jadi begitu, Bun? Ada masalah apa sih?]

[Kamu jangan marah sama ayah. Bunda ngerti banget ayah kamu lagi pusing beberapa bulan terakhir ini]

[Pusing kenapa?]

[Usaha mebel ayah lagi ada masalah, sampai terlilit banyak hutang. Bisa jadi sebentar lagi, kita terpaksa pindah dari rumah ini. Kalau ayah gak bisa ngelunasin hutangnya ke bank]

[Banyak hutang? Kok bisa? Ayah kan bukan orang baru di dunia permebelan]

[Ayahmu kena tipu rekan bisnisnya, yang sekarang ngilang]

[Kalau gitu, Novita pulang ke Indo aja deh, Bun. Daripada nanti jadi beban buat ayah sama bunda. Biaya kuliah di sini kan mahal]

[Jangan, Sayang. Ayah sekarang lagi ke luar kota cari pinjeman dari temen deketnya. Biar bisa ngelunasin hutang, sekaligus mulai usahanya lagi]

[Tapi, Bun. Aku gak bisa seneng-seneng di atas penderitaan bunda sama ayah]

[Sekarang kamu berdoa aja, semoga segala urusan dan usaha ayah lancar. Biar nanti bunda bisa nengok kamu juga]

[Iya, Bun. Kalau bunda ke sini, aku bakal ajak jalan-jalan]

Chat terus berlanjut dengan obrolan layaknya ibu dan anak. Seperti menanyakan kehidupan kampus, pria yang dekat denganku, makanan dan lain-lain. Sambungan kami pun diakhir dengan video call bersama kedua adikku. Bagaimanapun aku sangat merindukan mereka.

Tak terasa hampir satu jam aku duduk di taman. Ditemani guguran daun beech dan udara dingin di musim gugur. Kuraih salah satu daun di atas meja batu, yang sudah berwarna kecoklatan.

Entah kenapa saat kusentuh daun itu, timbul perasaan sedih yang teramat dalam. Mataku mulai berkaca-kaca dan air mata pun jatuh tak tertahankan. Perasaan macam apa ini?

***

Hari terus berganti, aku masih tetap menjalankan rutinitas seperti biasa, walaupun ada rasa yang berbeda dari sebelumnya. Semenjak mengetahui keadaan di rumah, pikiranku menjadi terbagi. Aku menjadi sulit berkonsentrasi dan lebih banyak melamun.

Untungnya, bunda selalu menghiburku setiap malam. Bunda juga selalu meyakinkanku kalau kondisi mereka baik-baik saja. Namun tetap saja ada yang mengganjal, aku masih belum bisa berbicara langsung dengan ayah.

Kata bunda, ayah belum juga pulang. Hampir setiap hari bunda meneleponnya, tapi jawabannya selalu sama, nanti juga pulang.

Paginya, aku terbangun dengan perasaan campur aduk, antara sedih dan marah. Padahal sangat yakin ini bukan jadwal menstruasi.

Perasaan itu terus mengikuti sampai di kampus. Aku menjadi lebih banyak diam. Beberapa teman sempat bertanya tentang kondisiku, tapi selalu kujawab baik-baik saja.

Selesai kuliah, aku langsung pulang ke apartemen. Membuat secangkir coklat hangat, lalu duduk di balkon. Memandingi jalan di kota Bonn yang mulai dipenuhi guguran daun, sambil meminum segelas coklat hangat. Itu membuat hatiku jauh lebih tenang.

Saat sedang larut dengan suasana, tiba-tiba dari dalam kamar, ponselku berbunyi. Bergegas kuraih ponsel yang ada di atas nakas. Kevin, nama itu yang tertera di layar ponsel.

"Tumben bunda pake handphone kevin," pikirku seraya mengangkat telepon.

"Halo, Kak!" ucap suara kecil di balik telepon, tentunya itu suara Kevin.

"Loh? Kevin belum tidur?" tanyaku, heran.

Perbedaan waktu Indonesia dan Jerman itu 5 jam. Di sini sudah pukul 6 sore, berarti di Indonesia pukul 11 malam. "Mana bunda?" tanyaku lagi.

"Kak ... bunda, Kak." Suara adik kecilku itu terdengar panik.

"Kenapa bunda?"

"Bunda sakit, Kak."

"Sakit apa?"

"Kevin gak tau, badan bunda panas terus kulit merah-merah."

"Coba kamu fotoin bunda!"

Telepon pun terputus. Tak lama, Kevin mengirimkan gambar bunda yang sedang terbaring di atas tempat tidur. Kulitnya berwarna merah, seperti udang rebus. Buru-buruku telepon Kevin.

"Vin, kasih teleponnya ke bunda!"

"Bunda gak mau, Kak."

"Ya udah, tanyain bunda apa yang dirasain?"

"Kata bunda, panas sama gatel, Kak."

"Di rumah ada siapa aja? leon mana?"

"Kak leon katanya sebentar lagi pulang."

"Aduh tuh anak. Ya udah bilang ke Mbok Wati, sementara olesin badan bunda pakai bedak dingin. Nanti kalau leon datang, langsung bawa ke rumah sakit."

"Iya, Kak."

"Kabarin kakak kalau ada apa-apa."

Terjawab sudah perasaan tidak enak seharian ini. Ternyata ada hubungannya dengan kondisi bunda sekarang. Aku tidak bisa tenang. Dari tadi hanya mondar-mandir sambil menatap layar ponsel. Berharap segera ada kabar baik dari rumah.

Sekitar 10 menit kemudian.

Ting!

[Kak, bunda aku bawa ke rumah sakit] Sebuah pesan dari Leon.

[Hati-hati, jangan ngebut]

[Iya, Kak]

[Ayah udah dikabarin?]

[Belum, ditelepon gak diangkat]

Spontanku telepon ayah. Benar saja, teleponnya tidak diangkat. Ayah sedang apa? Padahal situasi di rumah sedang genting.

bab 3

Di tengah kecemasan akan kondisi bunda, tiba-tiba ponselku berbunyi. "Ayah?" batinku saat melihat nama yang ada di layar ponsel. Segera kuangkat panggilan telepon itu.

"Hal ...."

Belum sempat ayah menyapa, aku sudah memotongnya terlebih dahulu. "Ayah lagi ngapain sih? Gak tau apa di rumah lagi gawat!" ucapku kesal.

"Gawat?"

"Iya, bunda sakit, sekarang lagi dibawa ke rumah sakit," balasku.

"Mending sekarang ayah buru-buru pulang, kasian bunda. Leon sama Kevin juga gak mungkin bisa urus bunda di rumah sakit!" sambungku.

"Iya, besok pagi ayah pulang."

"Ayah juga gak jujur kalau usaha mebelnya lagi ada masalah! Kenapa gak jujur aja sih, Yah?"

"Bunda cerita?"

"Iya, kan emang udah seharusnya Novita tau."

"Bukan gitu, novi. Ayah takut nanti kuliahmu keganggu. Pokoknya sekarang kamu gak usah khawatir, ayah udah dapet solusinya."

"Tapi, janji. Kalau ada masalah lagi, ayah harus cerita."

"Iya, sayang. Udah ya, ayah mau siap-siap, biar besok bisa langsung pulang."

"Oke."

Telepon ditutup.

***

Selang beberapa menit kemudian, ada pesan yang masuk.

[Kak, ini udah sampe rumah sakit] Pesan Kevin.

[Kabarin kakak terus ya, Vin] Balasku.

[Iya, Kak]

Kevin terus memberiku kabar terbaru tentang kondisi bunda. Katanya bunda langsung dimasukan ke ruang ICU, karena kondisinya memburuk selama perjalanan ke rumah sakit.

Bunda juga sempat teriak-teriak karena tak kuat menahan rasa sakitnya. Beberapa kali kejang-kejang hingga akhirnya tak sadarkan diri. Dokter masih terus melakukan tindakan intensif.

Sepanjang malam Kevin, leon dan Mbok Wati berjaga di rumah sakit. Karena khawatir kalau kondisi bunda tiba-tiba semakin buruk. Begitu pula aku yang tetap terjaga, menemani kedua adikku itu. Sampai tertidur ....

Entah berapa lama aku tertidur. Saat bangun, kondisi bantal sudah basah. Kulihat jam, waktu menunjukan pukul 7 pagi. "Ya ampun, Bunda!" ucapku panik sambil mencari ponsel di atas tempat tidur. Ternyata ponselku terjatuh ke lantai.

[10 pesan dari Kevin belum dibaca]

Terlihat notifikasi pesan di layar ponsel. Cepat-cepatku buka sambil berharap tidak ada kabar buruk di pagi hari ini.

Kubaca pelan-pelan pesan dari adikku itu. Ternyata hanya ingin memberitahu kalau kondisi bunda sudah stabil. Ayah juga sudah datang ke rumah sakit. Dia langsung menyuruh Kevin, leon dan Mbok Wati istirahat di rumah.

***

Setiap hari aku terus memantau kondisi bunda di rumah sakit. Entah berapa banyak air mata yang kutumpahkan, setiap melihat foto bunda yang terbaring tak berdaya. Rasanya ingin sekali pulang ke Indonesia, tapi ayah selalu melarangku.

Sampai detik ini pun, dokter masih belum memiliki gambaran tentang penyakit bunda. Sempat beberapa kali didiagnosis penyakit A, B dan C. Namun semuanya terbantahkan ketika hasil tes medisnya normal-normal saja.

Lantas apa penyebabnya bunda tidak sadarkan diri sampai sekarang? Sungguh aku benar-benar bingung.

***

Di hari ke-6, tiba-tiba leon video call.

"Pagi, Kak," sapa leon. "Eh, di sana pagi apa siang sih, Kak?" sambungnya.

"Subuh! Gak liat apa muka kakak baru bangun tidur gini."

"Oh maaf."

"Ada apa video call jam segini? Bunda gak kenapa-kenapa, Kan?"

"Bunda masih belum sadar, tapi ...."

"Tapi apa? Jangan bikin penasaran."

"Semalem bunda sempet bangun loh, Kak."

"Beneran?"

"Iya! Kata Mbok Wati bunda sempet bangun."

"Terus, terus gimana?"

"Bunda minta minum, terus bilang ...."

"Bilang apa? Ngomong kok dipotong-potong."

Kuperhatikan wajah leon yang berubah muram. "Kata bunda, badannya panas dan sakit kaya ditusuk-tusuk ribuan jarum."

"Terus!"

"Sebelum gak sadar lagi, bunda kaya melotot ke langit-langit. Enggak tau ngeliatin apa, kaya ketakutan gitu."

"Hah? Aneh banget."

"Makanya, aneh banget, aku pas diceritain Mbok Wati sampe merinding."

"Dokter udah periksa?"

"Udah, tapi sama aja. Tuh bunda masih belum bangun," ucap leon seraya menyorotkan kamera ke arah tempat tidur bunda.

"Sekarang, kamu jaga bunda baik-baik."

"Iya, Kak."

"Dah, kakak mau lanjut tidur."

"Oke, Kak."

Video call selesai. Kusimpan ponsel di atas nakas, lalu lanjut tidur.

***

Hari terus berlalu, aku mendapatkan kabar kalau ayah kembali pergi ke luar kota. Katanya ada urusan bisnis yang harus diselesaikan.

Beberapa hari lalu ayah sempat cerita, kalau bisnisnya sudah mulai berjalan lagi. Hutang pun sudah dilunasi sebagian. Setidaknya itu menjadi kabar baik, di tengah musibah yang menimpa keluargaku.

Siang ini, aku hanya menghabiskan waktu dengan duduk di balkon. Sambil mengamati suasana kota Bonn yang indah. Saat musim gugur seperti ini, biasanya akan ada pesta panen dan banyak festival, salah satunya Oktoberfest. Sebuah festival musim gugur yang berlangsung di Munich, Jerman.

Rencananya sore ini, aku dan teman-teman kampus akan pergi ke sana. Setidaknya ini bisa menjadi hiburan bagiku, daripada terus mengurung diri di apartemen.

Sekitar pukul 4 sore, jemputanku sudah datang. Yap, kami memang berencana untuk pergi dengan mengendarai mobil. Teman kampusku — Carlos yang ada di kursi kemudi, sedangkanku duduk di sampingnya.

Setelah menjemput beberapa teman lainnya, kami langsung meluncur ke Munich. Jaraknya lumayan jauh, perlu waktu sekitar 5-6 jam untuk sampai di sana.

Melakukan perjalanan jauh bersama teman-teman seharusnya menyenangkan. Namun, entah kenapa perasaanku malah sebaliknya. Kubuka sedikit jendela mobil, merasakan hembusan angin dingin yang menerbangkan rambutku. Tak terasa, air mata pun jatuh. "Ada apa ini?" batinku sambil menyeka air mata dengan lengan sweater.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Carlos sambil menepuk pundakku.

"Saya baik-baik saja," balasku seraya menutup jendela. Sikapku itu membuat beberapa temanku heran. Bagaimanapun mereka tidak tau tentang masalah yang menimpaku.

***

Sesampainya di Munich, suasananya jauh berbeda. Jalanan sudah sangat ramai dengan pejalan kaki. Carlos langsung memarkiran mobil, lalu kami lanjut berjalan kaki ke tempat festival.

Hiruk pikuk suara musik terus menemani kami sepanjang jalan. Sejenak aku bisa melupakan masalah yang menimpa keluargaku. Mulai larut dalam suasana pesta yang meriah. Sampai-sampai tak sadar, ketika ada panggilan telepon dari Kevin.

Sadar-sadar ketika aku sudah sampai di hotel. Kulihat sudah banyak panggilan telepon dan video call yang masuk. Selain itu ada banyak juga pesan yang masuk dari Kevin.

Aku langsung pergi lobi hotel, duduk di tempat yang agak jauh dari keramaian. Lalu, mulai membaca pesan dari adikku itu.

[Kak]

[Angkat teleponnya]

[Kak]

[Angkat cepet]

[Kakakkkkkkk]

[Kak]

[Angkat!]

Masih banyak lagi pesan serupa. Aku bingung dengan tingkahnya itu. "Apa terjadi sesuatu di sana?" bantinku sambil bergegas menelepon Kevin. Jujur, aku sangat khawatir kalau terjadi sesuatu pada bunda.

"Kak ke mana aja sih!" hardiknya.

"Ada apa, Vin?"

"Gak tau apa di sini lagi gawat?"

"Hah? Bunda kenapa?"

"Bukan bunda!" ucap Kevin disertai isak tangis.

"Vin? Kenapa nangis?"

"Kak leon."

"Kenapa leon?" Jantungku mulai bergegup kencang, rasanya tak sanggup jika terjadi sesuatu padanya.

"Kak leon kecelakaan."

Deg! Jantung ini seakan berhenti berdetak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!