Sebelum baca harap tekan love dan like. Oke Gaes.
Tampak lima anak usia tujuh tahun mengelilingi seorang gadis kecil yang berpenampilan lusuh. Mereka menyanyikan sebuah lagu secara bersamaan, membuat objek rundungan mereka menutup telinga dengan kuat dan menekuk lutut, takut.
Dasar jelek ....
Gak punya ayah ....
Gak punya ibu ....
Yatim piatu ....
Badannya bau ....
"Gak, aku bukan yatim piatu. Aku masih punya nenek." Menangis, gadis kecil bertubuh gendut itu ketakutan. Membiarkan air mata membasahi pipinya yang kotor. Mengaliri jejak ingus yang sudah menghitam.
Lita, gadis kecil dengan rambut berkepang dua dan ransel Barbie di punggung menggerakkan tangan. Menginstruksikan pada teman-temannya untuk berhenti bernyanyi. "Lah, kamu emang bau, kok. Euww ...." Memencet hidungnya sendiri, jijik. Mencemooh temen sebayanya yang sedang terduduk itu.
"Iya, udah jelek, miskin, bau, bisa-bisanya punya nama kaya kita-kita. Gak sudi aku punya nama sama kaya kamu," ucap anak lainnya yang berambut pendek dengan bando pink menghiasi kepala. "Ganti nama sana!"
"Tapi, bukan aku yang milih nama, Nia."
"Aku gak peduli. Ganti nama. Aku gak mau nama kita sama," tegas anak yang bernama Nia itu.
Tak mau kalah, anak perempuan berperawakan gempal yang sedang memegang permen tangkai, turut menyuarakan isi hati. "Iya, jangan pake nama aku juga. Enak aja mau pake nama Tania. Kebagusan tau gak!"
Lagi, setelah puas mencemooh, mereka kembali melanjutkan nyanyian.
Litania bau ....
Litania jelek ....
Gak punya ayah ....
Gak punya ibu ....
Yatim piatu ....
"Gak ... gak ... aku bukan yatim piatu. Aku masih punya nenek. Aku ... aku ... nenek!"
Teriakan menggema seantero ruangan. Membuat seorang wanita beruban tergopoh masuk ke dalam kamar. "Kenapa, Ndok?" Memegang pipi gadis yang barusan berteriak memanggilnya. "Kamu mimpi buruk lagi?" lanjutnya. Mengelap keringat besar yang mengucur dari pori-pori gadis itu.
Mengangguk cepat, Litania duduk dan meraih gelas berisi air putih di nakas, meminumnya sampai tak bersisa. "Iya, Nek. Aku benci mereka," ucapnya, menghapus air mata yang sudah mengalir tanpa ia sadari. Mimpi itu serasa nyata, mengingatkannya tentang kenangan pahit yang mengakar dan berurat di sanubari.
Merengkuh sang cucu. Nenek yang bernama Sita itu menepuk pelan punggung Litania. "Sudah, jangan di pikirin lagi, yah. Itu cuma mimpi, kembang tidur. Lagipula, sekarang kamu 'kan udah gede. Jadi jika mereka mengganggumu lagi, hajar aja." Melepaskan pelukan, Sita menatap dalam mata Litania. Mengulas senyuman seraya mengelap pelan jejak kesedihan sang cucu dengan ibu jarinya.
"Emb." Litania mengangguk mantap.
Dulu, di kala kecil mungkin ia takut akan ejekan itu. Tapi berbeda dengan sekarang. Dirinya sudah tumbuh menjadi gadis remaja berwajah bersih dan cantik, hidungnya mancung bibirnya pun terlihat tipis dan menggoda. Membuat siapa saja pasti menyukainya pada pandangan pertama. Ditambah ada sabuk hitam di tangan. Jadi tidak ada alasan untuk orang merundungnya lagi.
Melirik jam dinding, Litania menepuk jidatnya. Ia mencari ponsel yang ada di bawah bantal dan mendapati begitu banyak pesan yang masuk. "Nek, aku mau nganterin barangnya Kinar." Beranjak dari kasur, Litania meraih blazer yang tergeletak di atas kursi meja rias.
Mengurut pelipis, Sita meraih tangan Litania. "Udah malem, loh. Udah jam sebelas. Nanti kalo ada apa-apa di jalan gimana?"
Memegang tangan keriput sang nenek, Litania mencoba meyakinkan orang tersayangnya itu dengan senyuman. Keluarga satu-satunya yang dia punya setelah kepergian kedua orang tuanya sepuluh tahun lalu akibat kecelakaan.
"Gak apa-apa, Nek. Lagian nganterin barangnya gak jauh, kok. Di hotel Permata deket sini."
Meraih tangan Litania, Sita terlihat ragu untuk berucap. "Ndok, tadi ada temen Nenek nelfon, katanya dia mau ngelamar kamu untuk anaknya."
Tertegun, Litania kembali merebahkan diri di ranjang. Menatap penuh tanya pada sang nenek yang tak pernah membahas ini sebelumnya. "Siapa, Nek?"
"Lita, ibunya Chandra, kamu inget, 'kan?"
Meradang, mendadak mata teduh Litania berapi-api. Bagaimana mungkin bisa ia melupakan sosok Chandra. Tetangga yang mengabaikannya ketika mengalami perisakan. Dan sebab itulah ia bersikeras pindah dari Semarang.
"Gak, aku gak mau." Litania berucap penuh kemantapan. Ia kepalkan tangan seraya kembali berdiri. "Aku masih muda, Nenek. Aku baru delapan belas taun. Aku gak mau nikah muda, apalagi sama si kecebong tua itu," sungutnya.
"Tapi--"
"Udah, ya, Nek. Aku pergi dulu. Entar Kinar keduluan ngamuk dan gak jadi order."
Akhirnya, dengan alasan yang kuat, Litania pun berhasil mendapat izin dari sang nenek. Ia kendarai motor metiknya menembus jalanan kota Jakarta yang sudah lumayan sepi.
Berdecak kesal, Litania mengumpat di sela kegiatannya--mengendarai motor.
"Emang ngeselin nih si Kinar. Tadi pas mau di anterin bilangnya jangan dulu. Nah, udah tengah malem gini baru deh suruh anterin. Dasar kampret plinplan," gumam Litania, kesal.
Demi barang dagangan, Litania nekat menembus malam. Mengantarkan pesanan Kinar yang ada padanya. Maklum saja, semenjak lulus sekolah menengah atas tiga bulan lalu, ia belum juga mendapatkan kerja. Jadi, sembari menunggu panggilan, dirinya berjualan pakaian online. Dan kali ini ia harus mengantarkan baju kaus pesanan temannya itu.
Kinar sendiri adalah teman seangkatan Litania. Sosok remaja berperawakan kutilang (kurus tinggi tinggal tulang) yang saat ini sedang berkuliah dan menetap di Inggris. Dan karena ada berkas yang tertinggal, dirinya mau tak mau harus kembali lagi ke Jakarta.
Dengan langkah terburu, Litania masuk ke lobi hotel dan tanpa sengaja menabrak seorang anak kecil yang sedang memakan eskrim.
"Ya Allah." Memasang muka masam, tapi tak berapa lama hati Litania berakhir luluh tatkala melihat bocah yang menabraknya telah berurai air mata.
"Maaf, Kak," ucap bocah laki-laki berusia delapan tahun itu.
Litania menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Mengukir senyuman lalu berkata, "Gak apa-apa, kok. Cup cup cup, jangan nangis." Mengelap pipi bocah itu dengan sapu tangannya.
"Orang tua kamu mana?" tanyanya, heran. Menengok kanan kiri dan tak melihat siapapun. Hanya seorang resepsionis yang datang menghampirinya dengan tergesa-gesa.
"Aduh, maafkan adik saya, Mbak." Resepsionis itu mengelap celana Litania yang terkena eskrim. Lelehannya tampak nyata dari pangkal paha hingga lutut. Memalukan, jejaknya mirip orang yang habis buang air di celana.
Dengan sopan Litania menepis tangan wanita berseragam itu. Menipiskan bibirnya seraya berucap, "Gak apa-apa, kok, Kak. Nanti aku bersihin sendiri."
"Litan!" seru seseorang dari arah belakang. Membuat Litania, resepsionis dan beberapa orang pegawai hotel yang ada di lobi menoleh secara bersamaan. Hampir semua orang mengulum senyuman, menahan bibir agar tidak tertawa. 'Litan? Nama macam apa itu?' Mungkin itulah isi benak kepala orang-orang yang ada di sana.
"Kinar."
Litania berjalan mendekati temannya. Memandang dari atas hingga bawah. "kamu mau ke mana?"
"Aku mau nyari makan bentar. Celana kamu kenapa?" Mengernyitkan dahi, gadis berambut pirang yang bernama lengkap Kinaryosih itu kemudian tertawa. "Kamu ngompol?"
Mengabaikan pertanyaan, Litania langsung menyodorkan bag paper. "Nih, pesenan kamu," ujarnya ketus.
"Kamu langsung anter kamar, yah. Aku males nenteng-nenteng beginian. Kamu masuk aja, kamarku di lantai tujuh nomor 3045." Menyodorkan kembali tas kertas itu ke tangan Litania. "Sekalian bersihin sisa ompol kamu itu," ejeknya kemudian.
Berdecak kesal, tetapi akhirnya Litania mengikuti saran Kinar. Dan tanpa membutuhkan waktu lama, sampailah ia di depan sebuah kamar.
Mengernyitkan dahi, Litania mengurut pelipisnya yang tidak nyeri. Ia bingung, memandang kamar dengan nomor yang sama hanya saja ada perbedaan A dan B di ujung angka itu. "Yang mana kamarnya Kinar?" Ia keluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Kinar. Namun, sialnya yang di hubungi tak menjawab panggilan. "Ih, ni anak. Makan nasi apa makan HP, sih?" sungutnya kesal.
Lima menit berlalu, tapi si Kinar tak kunjung datang. Sementara Litania sudah berjongkok, tak tahan menahan kemih lebih lama lagi. "Oke, aku coba buka kamar yang ini aja. Kata Kinar, kamarnya gak dikunci. Bearti kalo dikunci otomatis bukan kamarnya Kinar," gumam Litania, berspekulasi.
Ceklek!
Pintu terbuka.
Litania tersenyum lega karena kamar terlihat gelap dan tak ada orang di sana. "Yes, ini kamarnya." Tanpa menunggu lama, ia pun langsung berlari menuju kamar mandi. Membuang hajat juga membersihkan diri karena lelehan eskrim tadi.
Tak lama, ketenangan Litania terusik. Terdengar kericuhan di balik pintu kamar mandi.
Litania yang sedang mengeringkan celana dengan hair dryer langsung menghentikan kegiatan. Meletakkan celana di westafel dan meraih bathrobe yang tergantung di dekatnya berdiri. "Ada apa itu ribut-ribut?" Melilitkan handuk baju itu ke tubuh, menutupi bajunya yang hanya sepanjang pinggul. "Mungkinkah Kinar?" pikir Litania seraya menipiskan bibir. Ia raih gagang pintu dan membukanya.
Tertegun, Litania mematung di ambang pintu. Ia bingung, bukan sosok Kinar yang ia lihat, melainkan para lelaki tegap dengan seragam coklat. "K-kalian siapa?" Litania gemetar, baru kali ini melihat polisi begitu ramai di hadapannya.
Mengabaikan pertanyaan, seorang petugas yang bernama Ilham menatap Litania. "Bisa jelaskan, apa hubungan kalian?" ucapnya sopan, tapi jelas bernada tegas. Membuat Litania merinding seketika itu juga.
Hubungan? Hubungan apa ini maksudnya?
Pikiran Litania makin berkecamuk. Ia tidak paham arah pembicaraan itu. Namun, setelah matanya menangkap sosok pria yang hanya menggunakan bokser terduduk tunduk di tepi ranjang, kakinya menjadi lemas. Ia terhuyung dan punggung membentur pintu kamar mandi. "Gak, Pak. Kami gak kayak gitu. Aku gak kenal sama dia. Aku ... aku salah kamar."
Pak polisi yang berdiri di dekat Litania langsung tersenyum miring. "Pande banget kamu boongnya. Tadi ngomong gak kenal, lalu bilang salah kamar. Nanti apa? Kamu mau bilang kalau kamu anak jendral, begitu?"
Tak berkutik, Litania hanya pasrah saat dipaksa keluar kamar hotel dengan bathrobe menutup kepala. Perasaan malu langsung menjalar di seluruh tubuh.
"Eh, gak nyangka, ya. Masih muda gitu udah jual diri."
"Iya, ke mana orang tuanya. Gak kasian apa, anak sekecil itu disuruh jadi PSK"
"Dunia udah mau kiamat, tobat ... tobat."
Masih banyak lagi bisikan pedas orang-orang yang berkumpul di depan kamar itu. Mereka hanya melihat dari luarnya saja, tanpa meneliti dan menelaah fakta yang ada.
Sakit hati? Tentu saja. Gumpalan daging yang berdetak dalam dada serasa teriris lalu disiram cuka. Litania ingin menyanggah gunjingan para tamu hotel, tapi apa daya, dia memang terbukti sekamar dengan pria asing. Litania menangis, ia tertunduk dalam. Melangkahkan kaki dengan rasa bersalah. Orang tua yang sudah lama meninggal menerima hinaan dari kebodohannya.
Di kantor polisi.
Litania duduk berkelompok dengan lima wanita yang berpakaiam seksi. Mereka memasang wajah biasa saja dan asyik memainkan ponselnya. Sementara dia, terduduk malu. Semua petugas di sana menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. Antara kasihan atau ... mungkin saja ejekan. Entahlah, gadis itu hanya ingin cepat pulang.
Nek, aku aku mau pulang, batinnya.
Namun, tanpa Litania sadari, seorang wanita berambut panjang dengan kulit yang terlihat gelap mendekatkan kepalanya. "Tenang aja, Dek. Paling kita cuma diceramahi doang. Lalu besoknya disidang, bayar denda, lalu pulang," bisiknya.
Gleg!
Mata Litania membelalak, ia telan ludahnya dengan cepat. Tunggu dulu, kalo disidang itu artinya aku membenarkan kalau aku emang perempuan gak bener. Gak ... gak, gak bisa gitu.
Litania berdiri. Menghampiri seorang petugas polisi yang sedang terduduk menatap laptop di balik meja kerjanya. "Pak, aku beneran bukan PSK, aku perempuan baik-baik. Ini semua salah paham."
Litania mengiba. Bahkan air mata terjun bebas mengikuti perasaannya. Ia histeris, menjerit mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Namun, sayang, polisi di sana tak ada yang peduli. Litania melemah, pikiran kacau, apalagi pria yang dicap sebagai teman kencannya tak melakukan hal yang sama. Pria yang berstelan rapi dengan gaya rambut undercut itu terdiam tak melakukan apapun. Dengan iris coklat dan bulu mata tebal, ia menatap aneh pada Litania. Mencemooh dalam satu tarikan bibir.
Awas kamu. Litania geram. Mengepal tangan membentuk tinju, meredam dendam yang sudah bertalu.
Dan benar adanya. Setelah mendapatkan pengarahan semalaman suntuk, akhirnya Litania bisa bebas. Itu pun setelah memberikan keterangan dan bukti yang jelas bahwa dirinya bukanlah kupu-kupu malam.
"Heh, Om baju abu-abu!" seru Litania. Memanggil orang itu dengan suara lantang. Membuat para petugas yang ada di halaman memandang mereka dengan tatapan heran.
Yang dipanggil langsung berhenti. Memutar tumit dan mendapati Litania berjalan hampir berlari menghampirinya. "Kenapa? Mau minta maaf? Percuma, kamu udah buang-buang waktuku yang berharga," ucap si pria. Menarik sebelah bibir, merendahkan Litania dengan kalimatnya.
Berkacak pinggang, Litania malah memandang dengan dagu sedikit terangkat. "Enak aja, yang harusnya minta maaf itu Anda. Kenapa gak bilang dari awal kalo itu cuma salah paham. Ini malah diem. Plangak-plongok kaya orang be*gok."
Berdesir, emosi si pria yang di panggil 'Om' itu langsung naik ke ubun-ubun. Ia jitak dahi Litania tanpa ragu.
"Auh ...." Litania meringis, mengusap jejak kemerahan di keningnya yang tertutup poni.
"Ngomong itu yang sopan. Saya lebih tua dari kamu. Dan nama saya buka bukan Om abu-abu. Saya ini Chandra Bagaskara, pemimpin perusahaan otomotif terkemuka di sini. Mengerti!" Berdengkus kesal, si pria kembali melanjutkan kata, "Mereka itu punya aturan yang harus didahulukan. Kalo gak bersalah, ya harusnya diem aja. Polisi juga pasti cari bukti. Bukan asal tuduh dan asal tangkap. Yang beg*k itu kamu. Kenapa bisa nyasar di kamar saya."
Tak mau kalah, Litania masih menatap orang itu dengan pandangan berapi-api. Ia tau kalau dirinya bersalah dalam kasus ini. Hanya saja, darah muda membuatnya mengesampingkan kenyataan. "Pokoknya Anda yang salah, titik!"
Mereka saling memandang. Saling melemparkan sinar ketidaksukaan, sampai akhirnya seseorang membuyarkan perang tak kasat mata itu.
"Chandra, ngapain kamu ke kantor polisi?" tanya seseorang yang berada dua meter dari mereka berdiri. "Jangan bilang kalian habis digerebek polisi?" lanjutnya lagi, menatap temannya dan Litania secara bergantian kemudian mengukir senyuman. Ada jejak hinaan dalam tarikan bibir dan nada bicaranya itu. Membuat Litania sedikit meradang dan mengepalkan tangan.
"Maaf, ya, Tuan Arkan yang terhormat. Kalau ngomong jangan asal," kilah Chandra. Menatap temannya dengan pandangan tak suka. Seakan ada dendam kesumat dalam matanya.
Berdecak, Arkan tak percaya dengan perkataan Chandra. "Udah deh, jan ngeles. Jelas-jelas gue semalem dapat info, katanya ada seorang anak pengusaha terjaring razia bersama gadis ABG." Melirik Litania sekilas kemudian melanjutkan kata, "Itu kalian, 'kan?"
Sudah berancang-ancang, Litania siap melayangkan pukulan. Ia geram akan hinaan orang yang ada di hadapannya itu. Namun sayang, tangan Litania melemas seketika tatkala Chandra merangkulnya mesra. Melebarkan senyum ambigu yang membuat Litania membulatkan mata. Apa ini?
"Kamu salah dapat kabar. Kami ini bukan pasangan seperti itu. Kami ini sebenarnya akan menikah. Dan semalam hanya kesalahpahaman. Dia datang hanya buat nganterin daftar nama-nama yang akan kami undang," ucap Chandra. Tangannya meremas kuat pundak Litania agar mengiyakan kebohongannya.
Menelan ludah, litania mengangguk seraya tersenyum kikuk. Dasar pak tua kampret. Dia makin memperumit keadaan, batin Litania, kesal.
"O, benarkah?" Jiwa wartawan Arkan meronta. Menatap penuh selidik pada Chandra dan juga Litania.
"Tentu saja." Chandra makin mengeratkan rangkulan.
Tiba-tiba, muncullah sebuah mobil dari arah belakang. Tampak seorang wanita tua bersanggul dan berkebaya coklat turun dari kendaraannya itu.
"Chandra, Litania, sini!" Wanita itu mengembangkan senyum, melambaikan tangan pada mereka yang masih bersitegang.
"Iya, Ma!" Tersenyum lega. Chandra pegang pundak Arkan kemudian berbisik, "Sudah aku bilang, informanmu itu salah. Buktinya, orang tuaku aja kenal dia." Memiringkan senyuman, Chandra pun kemudian melangkahkan kaki. Menjauhi Arkan yang terlihat kebingungan.
"Tunggu dulu," gumam Litania. Mencoba melepaskan tangan Chandra dari pundaknya.
"Udah, nurut aja." Chandra makin mengeratkan rangkulan, menggandeng Litania agar mengikuti jejak langkahnya.
Sementara Litania, hanya mampu bertanya-tanya dalam otak. Kenapa dia? Lalu siapa wanita itu? Kok bisa tau namaku.
****
Note.
Plis klo gak suka dengan cerita saya silakan jangan dibaca. Saya gak suka dengan anda yang ngasih rate rendah ke saya. Karna bikin cerita itu gak mudah. Sedih tau gak, baru lonching liat rate udah trun.
Dan buat kalian para pembaca budiman. Terima kasih banyak. Saya sungguh bersyukur karena kalian mau menyempatkan ngebaca karangan saya. Dan kalau boleh minta bantuan. Tolong like dan rate lima ya. 😊
Serasa aneh tapi nyata. Litania hanya pasrah ketika wanita tua berkebaya coklat itu memeluk dirinya dengan erat.
Sebenarnya siapa mereka? Perasaan, aku gak kenal, deh. Litania menoleh Chandra sekilas kemudian memfokuskan mata pada wanita yang baru saja cipika-cipiki kepadanya. "Nenek siapa?"
Tersenyum kikuk, wanita yang dipanggil Litania 'nenek' itu langsung meraba pipinya. Melihat malas pada Chandra yang kesulitan menahan tawa. "Emang Mama keliatan kayak nenek-nenek, ya?" tanyanya.
"Eh, enggak ... enggak, kok. Saya gak maksud gitu." Litania gelagapan, berusaha menarik kata. Tapi percuma, lisan sudah terlanjur terucap. Ia hanya tertunduk. Merasa bersalah akan mulutnya yang tak bisa diajak berbohong walau demi kebaikan.
Meraih tangan Litania, wanita itu kembali mengulas senyuman. "Udah, gak apa-apa. Saya emang udah tua. Tapi karena belum punya cucu, rasanya sedikit aneh kalo ada yang manggil nenek," jelasnya. Ia kembali memeluk Litania dan menepuk punggung gadis itu. Mengembuskan napas lega kemudian berkata, "Bude gak nyangka kamu udah sebesar ini. Padahal dulu masih sering lari-larian minta dibeliin eskrim."
Litania bingung. Ia lepaskan pelukan itu. "Sebenarnya Anda siapa?"
"Ya Alloh, kamu lupa? Saya temen nenek kamu, lho. Lita, Bude Lita. Yang tinggal gak jauh dari rumah kalian di Semarang."
Melongo. Litania mencoba mencerna penjelasan. Sedikit kesusahan mengingat masa lalu. Tunggu dulu, Bude Lita, itu artinya pria tua ini ....
"Bentar, Ma. Dia Litania yang itu?" Chandra angkat bicara. Mengamati penampilan Litania dari atas hingga kaki. Tidak menyangka bahwa Litania yang ada di dekatnya adalah anak kecil yang dulu selalu saja mengejarnya. Bocah kecil yang sering mengatakan akan menjadi istrinya. Chandra bergidik. "Kamu gak berubah. Masih aja jelek."
"Iya, ini Litania yang itu. Yang selalu bilang 'Bang Kocan, Bang Kocan gendong Litan.' Inget gak?"
Litania memutar bola matanya, malas. Mengingat betapa bodohnya ia kala itu. Begitu tergila-gila dengan Chandra.
Iya, dulu mah Bang Kocan lucu. Sekarang mah, bangkotan. Litania mencebik, mengingat kejadian lalu.
"Udah, ah. Ayo masuk." Lita menarik tangan Litania. Sementara Litania yang kebingungan, tak sempat menolak ajakan itu.
Di dalam mobil.
Lita tak henti-henti berceloteh tentang bagaimana senangnya dia bertemu Litania. Menceritakan bagaiman awal mula dirinya bertemu dengan Sita, nenek Litania yang sudah sepuluh tahun lost contact.
"Sekarang umur kamu berapa?"
"Tujuh belas taun, Bude. Tapi sebulan lagi jadi delapan belas."
Manggut-manggut, Lita membelai rambut Litania yang dikucir ke belakang. "Bude gak nyangka, sekarang kamu tumbuh jadi wanita cantik." Menggenggam tangan Litania kemudian kembali melanjutkan kata, "Nenek kamu ada bilang sesuatu, gak? Tentang masa depan kamu sama Chandra."
Menoleh ke belakang, Chandra mengernyitkan dahinya. "Apa itu, kok aku gak tau?"
"Stt, diam! Kamu tau beres aja. Jangan ikut campur apalagi ngelawan. Nanti Mama kutuk kamu jadi monyet, mau!"
Lita membelai rambut Litania. "Gimana? Kamu setuju, 'kan?"
Bergeming, Litania tak menjawab. Hanya bola matanya saja yang bergerak liar, sementara tangan tak henti mencengkram lututnya sendiri.
Maksudnya perjodohan itu. Ih, gila. Aku gak mau ama si bangkotan itu. Litania membatin, melirik sekilas Chandra yang hanya tampak ujung kepalanya saja.
"Hm, itu ... itu ...."
Mengubah pembicaraan, Chandra bosan dengan ocehan sang mama yang begitu menyanjung Litania. "Mama kok bisa tau aku di kantor polisi?"
Mengalihkan pandangan ke depan, Lita mengeluarkan suara decakan. Melihat sinis pada anaknya yang sedang duduk di samping supir. "Mama tadi ke hotel. Tapi mereka bilang kamu digrebek polisi. Bikin malu. Mama hampir jantungan, tau gak. Takut skandal kamu bikin perusahaan bangkrut."
Terkekeh renyah, Chandra hanya tertawa mendengar omelan Lita. "Ya, enggaklah. Masak hanya gara-gara skandal perusahaan ampe bangkrut. Lagian itu bukah salah aku, Ma. Itu salah perempuan di sebelah Mama, main nyelonong masuk kamar orang," decaknya kesal.
"Kamu ini, ya. Yang salah itu kamu. Tidur kok gak kunci pintu."
Kembali memandang Litania, Lita lagi-lagi mengukir senyuman. "Tapi gak apa kalau kamu punya skandal sama Litania. Mama malah berharap kalian punya hubungan dan ngasih Mama cucu."
Ternganga, Litania dan Chandra menoleh Lita dengan membulatkan mata. Membuat wanita tua berusia lima puluhan itu tertawa nyaring. Sukses menggoda anak semata wayang dan calon mantu tersayang. "Iya deh, iya. Mama cuma becanda," ujarnya setelah meredam tawa. Mengelap setetes air yang keluar dari ujung mata.
"Eh, tapi untungnya Mama pernah liat fotonya Litania. Jadi emosi Mama yang awalnya menggunung, jadi meleleh kaya eskrim, manis."
Litania tersenyum kecut. Tak tau harus menjawab apa. Lita benar-benar membuatnya canggung luar biasa.
Tibalah mereka ke kediaman Sita. Rumah sederhana yang hanya memiliki dua kamar. Namun, walaupun sederhana, rumah itu begitu asri dengan berdiri tegak pohon mangga di halaman rumah. Belum lagi tanaman bunga tertata begitu rapi di dalam pot gantung. Menghiasi teras yang hanya menyediakan dua buah kursi plastik berwarna biru.
Bermuka masam, Litania meletakkan nampan berisi teh hangat dan sepiring ubi goreng di atas meja dekat Chandra merebahkan punggungnya. "Nih, makan."
Chandra menggelengkan kepala. Melihat tajam wanita yang sedang duduk di sebelahnya. "Gak sopan banget, sih. Aku itu manusia. Bukan kucing," sungutnya.
Mengembangkan senyum yang dibuat-buat, Litania kembali berucap, "Maaf, Tuan Chandra yang terhormat. Silakan cicipi makanannya." Geram, Litania berusaha sekuat tenaga meredam kemarahan yang belum kelar sejak semalam.
"Nah, gitu dong." Chandra mulai menyeruput teh dan mencicipi ubi goreng yang Litania sediakan.
Senyap, keduanya sibuk dengan ponsel masing-masing. Litania sedang gencar promosi barang jualan. Sementara Chandra, melihat laporan keuangan yang dikirim oleh sekretarisnya.
"Ce ile, kompak amat." Lita dan Sita membuyarkan aktivitas keduanya.
Litania kembali dibuat kikuk. Menggaruk kepala yang tak berketombe. "Udah mau pulang, Bude?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Iya, entar malem siap-siap, ya. Bude sama papanya Chandra mau ke sini lagi."
Berdiri, Chandra makin tak mengerti arah pembicaraan sang mama. "Maksudnya apa ini, Ma. Ngapain ke sini lagi?"
Berdecak, Lita bersidekap dada. "Kamu ini, ya. Umur aja yang tua. Tapi oon-nya gak ketulungan. Udah, nanti Mama jelasin di mobil."
Akhirnya, kedua tamu itu pun pergi. Meninggalkan Litania yang masih bingung bagaimana menolak lamaran itu. Ia peluk tubuh tua sang nenek. Mengembuskan napas yang terasa sesak di dadanya. "Nenek, aku gak mau nikah muda ..." lirihnya.
Sementara di mobil, Lita menjelaskan rencananya. Meyakinkan Chandra agar mau mengikuti keinginan yang sudah lama ia nantikan--menjadi mertua lalu tidak lama menggendong cucu.
"Gak, gak bisa. Aku belum mau nikah, Ma."
"Kanapa gak bisa?" Lita melotot.
"Dia ... dia itu masih kecil. Aku gak mau, Ma. Nanti aku dikira pedofil." Mengiba, Chandra memegang tangan sang mama dengan cepat. "Batalin, ya."
Lita menarik tangannya. Membuang muka ke arah jendela. Melihat rintik hujan yang tampak membasahi bumi setetes demi setetes. "Gak, Mama gak mau. Kalau kamu mau batalin, ya terserah. Tapi sebelum batalin. Anterin dulu Mama ke panti jompo. Percuma punya anak tapi gak mau nurut. Mending kamu buang aja Mama. Jangan urusin Mama lagi."
Chandra menarik rambutnya. Menyandarkan punggung di jok mobil. Ia frustrasi. Bagaimana bisa dia berakhir menikahi remaja yang bahkan belum genap delapan belas tahun? Ditambah lagi sang mama merajuk kepadanya.
Hening, suasana di dalam mobil menjadi sunyi setelah perdebatan singkat itu. Lita memilih bungkam. Sementara Chandra, memejamkan mata. Mencari solusi untuk masalahnya.
Tapi tak lama. Keheningan itu kembali berubah. Chandra meraih ponselnya yang bergetar. Melekatkan barang pipih berwarna hitam itu ke telinga.
"Apa! Coba katakan sekali lagi."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!