Bismillahirrahmaanirrahiim
-----------------------------
Gadis itu bernama Nilam.
Dia bukan seorang Ratu kecantikan dunia maupun lokal.
Dia bukan artis yang berkecimpung di dunia hiburan.
Dia bukan seorang puteri Raja.
Dan Nilam ... juga bukan Cinderella.
Nilam hanyalah Nilam.
Seorang gadis desa pemetik daun teh, yang di anugerahi kecantikan fisik dan paras wajah nyaris sempurna.
Memiliki bentuk tubuh tinggi semampai, berkulit putih bersih, berambut lurus tebal hitam dan panjang. Di lengkapi dengan sikap lemah dan lembut, membuatnya banyak di gilai para lelaki di desanya.
Secara fisik, Nilam memang sangat layak untuk di jadikan sebagai Brand Ambassador produk kecantikan atau model fashion ternama sekalipun. Namun sayang seribu sayang, nasib menempatkannya di tempat yang berbeda.
Bukan hanya sebatas pemetik daun teh, kehidupan Nilam juga di penuhi lika - liku terjal dan penderitaan yang datang silih berganti menyapanya. Mulai dari kebencian sang bibi, kematian kedua orang tuanya, di selingkuhi kekasihnya, dan yang paling menyayat hati, ia di paksa menikah dengan pria tua beristeri tiga, yang tak lain adalah pemilik perkebunan teh tempatnya bekerja.
Hidup baginya hanyalah segelas kopi tanpa gula, yang tertuang dalam cangkir yang di ukir sedemikian cantik. Tergoda karena tampilan wadah dan aroma yang menggiurkan, tetapi pahit setelah meneguknya.
****
"Tolooong...! Tolooong...! Siapapun tolong aku...!" teriak Nilam ketakutan.
Punggungnya kini sudah menyentuh dinding ruangan lapuk itu. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar.
"Teriak! Teriaklah sepuasmu. Tidak akan ada yang menolong dan mendengar suaramu di tempat ini," ujar laki-laki 30 tahunan itu, seraya terus melangkah semakin mendekat ke arah Nilam.
"Jangan... aku mohon, jangan sentuh aku..." ujar Nilam, ia menangis sambil meyilangkan kedua lengannya di depan dadanya.
"Semua laki - laki di desa itu, begitu tergila-gila kepadamu. Dan sekarang kau sudah ada di hadapanku. Aku tak mungkin menyia - nyiakan kesempatan ini," ucap laki - laki itu sambil membuka satu persatu kancing kemejanya.
Nilam terus menyuarakan tangisnya tanpa bisa berbuat apa - apa. Berkali - kali ia berusaha berontak, tetapi kekuatan lelaki itu sama sekali bukanlah tandingannya.
Ya, Tuhaaan... tolong selamatkan aku....
"Tenang cantik, aku akan bermain dengan sangat lembut. Kau juga akan sangat menikmatinya." Lelaki itu melepas kemejanya dan melemparkannya ke sembarang arah.
Nilam menggeleng - gelengkan kepalanya dengan air mata yang terus mengalir. Tubuhnya merosot jatuh ke lantai. Rasa takut yang amat sangat membuat sekujur tubuhnya bergetar.
"Tidaak... aku mohooon... jangaaan...."
Lelaki itu berjongkok menyamakan posisinya dengan Nilam. Jarinya mengelus - elus pipi halus gadis itu. "Aku sudah tak tahan untuk segera merasakan tubuhmu yang mulus itu. Marilah cantik, kita bersenang - senang."
Kedua lengan Nilam sudah si cekal. Dan entah bagaimana, kini posisi mereka sudah dalam keadaan berbaring, dengan tubuh Nilam berada di bawah kungkungan lelaki itu.
Cuihh!
Nilam meludahi wajah lelaki yang telah menculiknya itu.
Namun bukannya marah, lelaki itu malah tersenyum sambil mengusap percikan ludah di wajahnya itu dengan telapak tangannya, kemudian menyesapnya lembut.
"Bahkan air liur mu pun begitu terasa manis. Membuatku semakin tergila - gila padamu." Ia mulai menciumi paksa leher jenjang gadis malang itu.
Nilam terus berusaha berontak dengan memukul - mukul dada lelaki itu dengan sebelah tangannya yang sudah terlepas. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, sebagai bentuk penolakan atas gerakan yang di lakukan lelaki itu padanya.
Tetapi sikap berontaknya itu, malah membuat nafsu lelaki itu semakin menggebu.
"Lepaskan! Lepaskan aku! Aku mohon... jangaaan...!
Lelaki itu membuka paksa baju Nilam dan menariknya kasar.
" Tidaaaakkkk...!!"
Bersamaan dengan teriakan keras itu....
Bugghh!
Dalam sekejap, tubuh lelaki itu terkapar tak sadarkan diri, menimpa tubuh lemah Nilam.
Melihat itu, Nilam tersentak kaget, lalu mendorong sekuat tenaga tubuh kekar itu ke lantai di sampingnya.
Seorang bocah lelaki dengan nafas memburu, melempar sebuah balok yang di gunakannya untuk memukul punggung bagian atas lelaki yang hendak melecehkan Nilam itu.
Nilam berusaha untuk bangkit, namun tenaganya sudah cukup melemah.
"Hmm... hmm...."
Anak lelaki gagu berusia 15 tahunan itu, mengulurkan tangannya mencoba membantunya untuk bangkit.
Ia mendongak menatap wajah anak itu, lalu sesaat kemudian ia tersenyum.
" Didy..." ucapnya pelan menyebut nama anak lelaki itu.
Anak itu mengangguk. Kemudian menggerak-gerakkan lengannya kembali, meminta Nilam untuk segera bangkit. Gerak tubuhnya mengisyaratkan bahwa ia dan Nilam harus segera pergi dari tempat usang itu.
Nilam mengangguk mengiyakan, ia lalu mengenakan bajunya kembali yang sudah di lepas paksa oleh pria yang hendak melecehkannya itu.
Dengan langkah tertatih, ia berjalan meninggalkan tempat itu dengan bantuan Didy yang menggandengnya.
Setelah sampai di luar bangunan usang itu, mata Nilam membelalak, ia melihat dua orang laki-laki yang membantu menculiknya dan membawanya ke tempat itu, sudah tergolek tak sadarkan diri.
Kedua lelaki itu berada pada posisi yang cukup berjauhan. Namun masih bisa dilihat secara bersamaan, karena mereka berada pada satu tempat yang sama.
"Didy, kamu yang sudah melakukan semua ini?" tanya Nilam kaget sekaligus takjub.
"Hmm."
"Terimakasih, Didy."
Didi mengangguk tersenyum.
"Tapi bagaimana bisa kamu sampai ke tempat ini? Sedangkan tempat ini lumayan jauh dari desa?"
Didy menunjuk sepeda lapuknya yang ia taruh di semak-semak. Kemudian ia melanjutkan penjelasannya dengan bahasa isyaratnya.
Nilam menatap kagum pada bocah dekil berwajah tampan itu. Seorang bocah yang telah dengan susah payah menyelamatkannya.
"Sekali lagi, terimakasih, Didy. Kakak tidak tahu, apa jadinya hidup Kakak ini, nanti. Jika saja kamu tidak datang menyelamatkan Kakak." Nilam memeluk erat bocah gagu yang sudah di anggapnya adik itu.
Mereka berdua pulang ke desa menggunakan sepeda tua milik Didy. Dengan posisi Nilam berada di belakang boncengan Didy.
---
Sesampainya di depan halaman rumah sederhananya, Nilam turun dari boncengan sepeda Didy.
"Kamu pulang saja, Dy. Mbok pasti mengkhawatirkanmu. Dan maaf, Kakak sudah banyak merepotkanmu hari ini. Terima kasih banyak ... Didy."
Didy hanya tersenyum mengangguk. Ia kemudian mengayuh sepedanya kembali, meninggalkan Nilam untuk pulang ke rumahnya.
Selepas kepergian Didy.
Dengan langkah gontai Nilam menginjakkan kakinya di teras depan rumahnya.
Kreeett ....
Nilam membuka pintu rumahnya yang tak terkunci itu perlahan.
"Hey! Darimana saja kamu anak tak tahu diri?!" teriak Murni, bibinya Nilam, adik dari almarhumah ibunya.
Nilam menunduk ketakutan, jari - jari tangannya saling menjalin satu sama lain.
"Jawab pertanyaanku, bodoh!" bentak Murni.
"A- aku. Aku ta- tadi..."
"Nilam, dari mana saja kamu, Nak? Kakek sudah cemas memikirkanmu yang tak kunjung pulang seharian ini?" tanya kakek Usman memotong ucapan Nilam. Ia keluar dari kamarnya, karena mendengar teriakan Murni yang menyebut - nyebut nama cucu yang di tunggu - tunggunya itu.
"Maafkan aku, Kek. Aku sudah membuat Kakek khawatir." Setetes bening dari matanya lolos begitu saja.
Kakek Usman menelisik penampilan Nilam yang terlihat berantakan.
"Apa yang terjadi padamu, Nak? Kenapa kamu berantakan seperti ini?"
" Aku... aku tadi di culik, Kek," jawab Nilam jujur.
" Apa?! Siapa yang sudah menculikmu, Nak?" tanya kakek Usman terkejut, ia mengguncang-guncangkan kedua pundak Nilam.
" Aku tidak tahu, Kek. Mereka terdiri dari tiga orang laki-laki. Aku tidak mengenali mereka sama sekali. Aku di bekap mereka di jalan, sepulang dari kebun tadi," jelas Nilam.
" Alaaahh ... jangan bohong kamu. Pasti kamu memang sengaja pergi bersama para lelaki itu, kan? Pakai alasan di culik segala," sergah Murni dengan tatapan bencinya.
" Tidak, Bi. Aku tidak bohong. Aku benar-benar di culik. Dan mereka membawaku ke dalam sebuah bangunan usang yang cukup jauh dari desa ini."
" Lalu siapa yang dengan senang hati menyelamatkanmu, dan melawan ketiga orang laki-laki itu sekaligus?! Apakah si Danu kekasihmu itu, hah?!"
Nilam menunduk, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan, Bi."
Murni tersenyum remeh. "Sudah ku duga, kamu pasti berbohong. Mana bisa kamu terlepas dari cengkraman tiga orang laki-laki sekaligus."
"Didy yang sudah menyelamatkan aku, Bi," sergah Nilam.
"Hahaha...." Tawa Murni menggema di seluruh ruangan itu. "Siapa katamu? Didy, si bocah gagu itu? Hahaha.... Lalu menurutmu aku akan percaya begitu saja, hah?!"
"Benar, Bibi. Memang benar Didy yang sudah menyelamatkan aku." Nilam mulai terisak.
"Dasar anak sialan kamu! Sudah tahu salah, masih menyangkal juga!"
" Cukup, Murni...!!" bentak kakek Usman keras.
"Nilam, pergilah ke kamarmu, Nak. Nanti saja kamu ceritakan pada kakek. Sekarang beristirahatlah dulu."
Nilam mengangguki perintah sang kakek.
"Nilam permisi, Kek, Bi."
Ia kemudian berjalan menuju kamarnya dengan air mata yang masih belum mengering.
"Dan kamu Murni, jaga mulut kotormu itu."
"Bapak selalu saja membela anak sialan itu," ujar Murni tak terima.
Tanpa menggubris ucapan Murni, kakek Usman pergi meninggalkannya dan kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Dasar anak sialan! Kau sudah merebut perhatian dan kasih sayang semua orang. Lihat saja nanti, apa yang akan aku lakukan padamu. Kau akan menyesal seumur hidupmu, karena telah hadir di tengah-tengah keluarga ini," gumam Murni geram.
~○○○~
Dua hari setelah tragedi penculikan itu.
Nilam, si gadis desa berparas cantik berusia 22 tahunan itu, kini sedang berada di tengah-tengah hamparan luas sebuah perkebunan teh di desanya.
Di punggungnya terpasang sebuah keranjang bambu berukuran besar, tempatnya menampung daun-daun teh yang telah di petiknya.
" Lam." Seseorang menepuk pundak Nilam yang tengah asik dengan pekerjaannya memetik teh.
Nilam menoleh. " Danu," ucapnya kemudian tersenyum.
Pemuda tampan bernama Danu tersebut, tak lain adalah kekasih Nilam sendiri.
" Kenapa ke sini? Kamu tidak bekerja?" tanya Nilam.
Danu menggeleng. " Aku sengaja mengambil libur hari ini untuk bertemu kamu."
Nilam tersenyum manis. " Oh, ya?"
Danu mengangguk membalas senyuman Nilam. " Didy bilang, dua hari yang lalu kamu di culik. Benar itu, Lam?" Raut wajah Danu berubah serius.
Nilam mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. "Iya, Dan."
" Tapi kamu baik-baik saja, kan, sekarang? Apa tubuhmu ada yang terluka?" tanya Danu khawatir seraya memegang kedua pundak Nilam.
Nilam menggeleng tersenyum. " Didy datang tepat pada waktunya. Aku tidak mengerti apa yang dilakukan anak itu, hingga ia bisa menumbangkan tiga orang laki-laki dewasa itu sekaligus."
Danu menunduk terdiam. " Aku minta maaf, Lam. Aku tidak ada, di saat kamu kesulitan seperti itu. Malah Didy yang hanya seorang anak kecil, yang datang menyelamatkan kamu," ucap Danu penuh penyesalan.
"Hey, aku sudah tidak apa-apa. Tuhan sudah menyelamatkan aku melalui Didy. Kamu tidak perlu merasa bersalah, " ujar Nilam sembari menangkup kedua pipi kekasihnya, masih dengan senyum di wajah cantiknya.
Beberapa saat Nilam dan Danu larut dalam irama saling memandang. Hingga tiba-tiba, sebuah suara keras membuyarkan melodi romantis mereka.
" Hey, kalian berdua! Di sini tempat bekerja! Bukan tempat untuk memadu kasih!" teriak seorang wanita paruh baya berbadan kurus.
Nilam melepas cepat tangkupan telapak tangannya di wajah Danu. " Iya, Bu Darti. Maafkan saya," ucap Nilam menunduk.
Darti adalah orang kepercayaan Juragan Dahlan, seorang pria tua berumur 47 tahunan. Yang tak lain adalah pemilik perkebunan teh itu sendiri. Tugas Darti adalah memantau setiap pekerja di tempat itu.
" Dan kau anak muda, lekaslah pergi dari sini. Sebelum Juragan Dahlan mengetahui kelakuan kalian. Karena dia akan kemari sebentar lagi untuk menemui Nilam," lanjut wanita bernama Darti itu mengarah pada Danu.
" Baik, saya akan segera pergi. Maafkan saya," ucap Danu lembut, kemudian ia menoleh pada Nilam. " Aku pergi dulu. Sampai bertemu nanti."
Nilam hanya mengangguk tersenyum.
Danu berbalik badan kemudian melangkah menjauh meninggalkan Nilam bersama Darti.
" Lanjutkan pekerjaanmu. Sebentar lagi juragan akan menemuimu," ucap Darti tegas.
Nilam terdiam sesaat sebelum menjawab.
Untuk apa juragan ingin menemuiku?
" Baik, Bu Darty."
Darti kemudian berjalan meninggalkan Nilam, untuk mengontrol para pekerja lainnya.
Beberapa saat kemudian...
" Halo, Nilam cantik," suara juragan Dahlan yang datang menghampiri Nilam.
Nilam menoleh ke arah asal suara. "Iya, Juragan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Nilam lembut.
Tanpa Nilam sadari, semua teman satu profesinya yang berada tak jauh darinya telah pergi meninggalkan area sekitar tempat itu.
Darti menyuruh mereka semua menjauh atas perintah Juragan Dahlan.
Dahlan, pria tua yang tubuhnya masih terlihat tegap dan gagah itu, tersenyum.
" Nilam, Nilam. Kau selalu saja bersikap manis. Aku kemari hanya ingin bernegosiasi denganmu."
"Maksud Juragan?"
Dahlan terkekeh kecil. " Kau dan keluargamu selalu hidup kekurangan, bukan? Dan gajimu di sini tidak cukup untuk menghidupi seluruh keluargamu. Terlebih untuk bibimu yang matre itu."
Nilam mengernyit heran. " Tidak Juragan, keluarga saya dalam keadaan baik-baik saja. Saya tidak pernah merasa kekurangan sedikitpun," jawab Nilam lugas, meskipun dalam hatinya mengiyakan kata-kata pria tua itu.
" Jangan bohong, Nilam. Aku mengetahui semua tentangmu dan juga keluargamu."
"Apa yang Juragan inginkan dari saya, sebenarnya?"
" Hahaha ... itulah salah satu yang aku sukai darimu. Selain cantik, kau juga gadis yang sangat cerdas."
" Katakan, Juragan."
" Oh, baiklah. Jika kau sudah sangat tidak sabar." Dahlan menjeda ucapannya beberapa saat. " Berhentilah bekerja, dan jadilah isteriku. Maka aku akan mencukupi segala kebutuhanmu dan juga seluruh keluargamu. Bukankah akan sangat menyenangkan menjadi seorang 'Nyonya Dahlan' ?"
Nilam tersentak kaget kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya cepat.
" Saya tidak bisa, Juragan!" tolak Nilam tegas.
" Kenapa, manis? Apa kau ingin mengajukan syarat, sebagai bentuk persetujuanmu menjadi isteriku? Sebutkan, apapun yang kau inginkan. Aku akan kabulkan dengan senang hati."
Nilam menatap Dahlan tak percaya.
Benar-benar pria tua tak tahu diri.
Bukankah dia sudah memiliki tiga orang isteri yang cantik-cantik?
" Bukan, Juragan. Saya tidak menginginkan apapun dari anda. Bisa bekerja di sini saja, sudah sangat cukup bagi saya."
" Apa maksudmu kau menolakku?" tanya Juragan Dahlan.
Nilam menundukkan kepalanya. " Maafkan saya, Juragan."
" Kenapa? Aku bisa memberikanmu kemewahan dan harta yang berlimpah. Bahkan seluruh perkebunan teh ini bisa menjadi milikmu. Tetapi, setelah kau menikah denganku, tentunya."
" Tidak, Juragan. Saya sungguh tidak menginginkan semua itu. Saya sudah sangat bersyukur, dengan apapun yang saya miliki saat ini."
Dahlan tersenyum remeh. " Jadi kau benar-benar menolakku, Nilam?"
Nilam menundukkan kepalanya dalam.
" Maaf, Juragan. Saya benar-benar belum berniat untuk menikah."
Dahlan berkacak pinggang. Nafasnya mulai memburu. Wajahnya merah padam. Matanya menatap Nilam penuh amarah.
" Beraninya kau... " ucapnya geram.
" Seluruh wanita di desa ini menginginkan untuk menjadi isteriku. Bahkan mereka rela ku jadikan isteri yang ke tiga, ke empat, hingga ke sepuluh sekalipun. Tetapi kau... kau gadis miskin terlalu sombong!"
Nilam terdiam membisu. Setetes bening di sudut mata indahnya mulai jatuh menimpa jari-jari tangannya yang saling bertaut di depan perut langsingnya.
" Kau ingat ucapanku ini, Nilam. Aku tidak akan segan-segan merusak wajah cantik mu itu. Agar tidak ada seorang laki-lakipun yang menginginkanmu lagi. Jadi berpikirlah sebelum menolakku," lanjut Dahlan penuh penekanan.
Nilam mulai terisak. Tenggorokannya tercekat, ia tak mampu berkata apapun. Rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuhnya.
" Pikirkan! Menikah denganku, atau ku rusak wajahmu!" tegas Dahlan kemudian melangkah hendak meninggalkan Nilam.
Namun sesaat kemudian, ia menoleh kembali ke arah Nilam dengan senyuman iblisnya.
" Satu lagi, atau bisa saja ku habisi kakek kesayanganmu itu sebagai gantinya. Jika kau berani menolakku lagi."
Nilam terperanjat. Kedua bola matanya membulat sempurna. " Jangan, Juragan! Jangan sakiti kakekku. Jangan apa-apakan dia. Aku mohooon...."
" Hahaha.... Baiklah, maka persiapkan dirimu. Malam ini aku akan datang melamarmu pada kakekmu," ucap Dahlan kemudian dia benar-benar pergi meninggalkan Nilam dengan segala kekalutannya.
Tubuh Nilam mulai limbung, hingga dirinya terperosot jatuh ke tanah.
Ya tuhan... cobaan apa lagi ini?
Nilam menangis sejadi-jadinya. Meratapi hidup yang seakan tak pernah memihak kepadanya.
Dalam tangisnya, Nilam berusaha bangkit. Ia melepas keranjang tehnya dan meninggalkannya di tempat itu. Kemudian ia memapah langkahnya gontai.
Ibu ... ayah... aku ingin ikut kalian saja.
Jemput aku, aku mohon ....
Aku sudah tidak tahan lagi menanggung semua ini.
Ini terlalu berat untukku, ibu ... ayah ....
Jemputlah aku sekarang ...
Pandangan matanya mulai meremang. Kemudian perlahan berubah menjadi gelap. Dan...
Bruukkk!
Nilam jatuh tak sadarkan diri, di tengah-tengah hamparan luas perkebunan itu.
Tanpa ada seorangpun yang melihat dan menolongnya.
Bersambung...
Pukul 07 malam di meja makan.
"Apa Nilam belum juga pulang, Hana?" tanya Kakek Usman yang baru saja mendudukan bokongnya pada kursi di samping Hana.
Hana adalah anak perempuan dari Murni.
"Sepertinya belum, Kek," jawab Hana seadanya.
"Kemana perginya, anak itu?"
"Palingan juga dia di bawa laki-laki, Pak." Murni menimpali sembari menyendokan nasi ke piringnya.
"Ibu.... Berhentilah berkata buruk tentang Kak Nilam. Dia itu perempuan baik-baik, Bu."
"Kamu jangan ikut-ikutan membela gadis liar itu seperti Kakekmu, Hana. Dia itu tidak pantas di kasih hati."
Tok... tok... tok....
Suara ketukan pintu menghentikan percakapan mereka.
"Mungkin itu Nilam, Hana." Wajah kakek Usman berubah sumringah.
"Biar Hana yang buka pintunya, Kek."
Kakek Usman mengangguk.
Hana berjalan ke arah pintu keluar. Untuk memastikan siapa yang datang.
Ceklek...
Hana menyibakkan daun pintu itu, pelan. Ia sedikit mengernyitkan keningnya. Menelisik seorang pria berbadan tinggi tegap, yang tengah berdiri membelakanginya. Mengenakan setelan pakaian resmi.
"Maaf, anda mencari siapa, ya?" tanya Hana sedikit hati-hati.
Laki-laki itu berbalik badan, kemudian tersenyum pada Hana.
Hana sedikit terperanjat.
Bukankah dia ini juragan Dahlan.
Mau apa dia ke sini?
Dahlan mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Hana yang terbengong.
"Hey, Nona manis."
Hana mengerjap. "O-oiya, ma-maaf, Tu... eh, maksud saya, Ju-juragan.
"Baru ingat pulang kamu gadis li--
Murni menghentikan ucapannya kala melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
"Emm... ma-maaf, Juragan. Saya tidak tahu jika anda yang datang," ucap Murni kaku. "Kalau boleh saya tahu, ada keperluan apa Juragan sampai rela datang ke gubuk kami? Apa Nilam membuat masalah, di perkebunan?"
"Apa kalian tidak akan mempersilahkanku masuk?" Dahlan menjawab dengan pertanyaan.
"O-oh, iya, maaf. Silahkan masuk, Juragan." Murni menggeser tubuhnya memberi jalan pada Dahlan untuk masuk ke dalam rumah sederhana itu.
Dahlan masuk kemudiam mendudukan bokongnya pada sofa yang sudah terlihat usang di ruang tamu rumah itu.
"Hana, buatkan minuman untuk juragan," perintah Murni pada putrinya.
Hana mengangguk. "Baik, Bu." Ia kemudian berjalan ke arah dapur.
Di dapur.
"Nilam nya mana, Hana?" tanya kakek Usman yang masih terduduk di kursi meja makannya.
Hana menoleh pada kakeknya.
"Maaf, Kek. Yang datang bukan kak Nilam."
"Lalu?"
"Juragan Dahlan."
Wajah kakek berubah heran. "Ada keperluan apa dia datang kemari?"
Hana menggedikan bahunya. "Hana tidak tahu, Kek."
Kakek Usman lantas berjalan ke arah ruang tamu rumahnya itu.
Dahlan menyunggingkan bibirnya kala melihat kedatangan kakek berusia 60 tahunan itu.
"Selamat malam, Pak Usman," sapa Dahlan ramah.
"Selamat malam, Juragan, " balas Kakek Usman, lalu duduk di sofa bersebrangan dengan Dahlan. "Mohon maaf sebelumnya, hal apakah yang sampai membawa anda kemari?" lanjutnya bertanya.
Hana datang membawa tiga gelas teh, kemudian meletakkannya satu persatu di atas meja persegi panjang itu.
"Silahkan, Juragan," ucap Hana lembut.
Dahlan tersenyum. "Terima kasih, Nona manis."
Hana mengangguk kemudian duduk di sebelah Murni, ibunya.
Dahlan menatap ketiga orang di hadapannya itu satu persatu.
"Tujuan saya kemari untuk...."
***
Nilam membuka matanya perlahan, lalu mengerjap-ngerjapkannya. Ia mengedar pandangannya ke sekeliling tempat itu.
"Ada dimana, aku...?" tanyanya dengan suara lemah dan parau.
Seorang dokter wanita yang baru saja hendak memeriksa Nilam, tersenyum. "Syukurlah anda sudah sadar, Nona. Saat ini anda sedang berada di rumah sakit."
"Rumah sakit?"
"Iya, Nona. Seseorang membawa anda kemari dalam keadaan pinsan."
"Seseorang?" Nilam mulai bingung.
Apa mungkin juragan Dahlan yang membawaku kesini?
Dokter itu mengangguk tersenyum.
"Sebentar, saya periksa dulu keadaan anda, Nona." Ia mengeluarkan stetoskopnya dan mulai memeriksa Nilam.
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan itu.
Dokter wanita itu menoleh. "Semuanya baik, Tuan. Tidak ada yang serius. Sepertinya dia hanya shock. Besok pagi sudah boleh pulang."
"Syukurlah," ucap pria itu tersenyum.
"Baiklah saya permisi, Tuan. Suster akan segera mengantarkan makanan dan obat untuk Nona ini."
"Baiklah, terima kasih, Dokter."
Selepas Dokter itu keluar, laki-laki itu menatap Nilam, kemudian tersenyum.
"Hay, sudah baikan?" tanyanya lembut, ia kini sudah berdiri di samping Nilam.
Wajah Nilam merengut ketakutan. Tubuhnya meringsut. Ia menarik selimutnya hingga ke dada, lalu mencengkramnya kuat.
"Hey, tenanglah. Aku bukan orang jahat."
"Si-siapa, kamu?"
"Tadi sore aku menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di perkebunan teh."
Nilam menerawang pada kejadian tadi siang, dimana saat Juragan Dahlan memaksa dirinya untuk di jadikannya isteri, dan mengancam akan menghabisi kakeknya.
Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori halusnya.
"Tidak... jangan bunuh kakek.... Aku mohon jangan apa-apakan kakekku!" Nilam menangis menggeleng-gelengkan kepalanya cepat seraya bangkit lalu terduduk. "Aku tidak mau kehilangan kakek!" teriaknya histeris.
"Hey, tenanglah, Nona. Tidak akan ada yang membunuh kakekmu. Tenanglah...." Pria itu memegang kedua bahu Nilam, kemudian beralih menangkup kedua pipi Nilam dan menatapnya lembut. "Semuanya akan baik-baik saja. Kamu harus tenang, okay..."
Nilam terdiam, membalas tatapan pria itu. Kemudian tubuhnya melemas perlahan.
"Beristirahatlah. Tenangkan dirimu. Aku akan menjagamu di sini, "ucap pria itu, masih dengan suara lembutnya. Ia kemudian menarik sebuah kursi yang berada di belakangnya. Lalu mendudukan tubuhnya pada kursi itu di samping brangkar Nilam.
Seorang perawat baru saja datang membawakan semangkuk bubur beserta obat-obatan untuk Nilam.
"Sebelum obatnya di minum, Anda harus makan dulu, ya, Nona."
"Biar saya saja, Suster. Suster boleh kembali," ucap pria itu halus seraya mengambil alih mangkuk berisi bubur dari tangan perawat itu.
"Baiklah. Saya permisi. Jangan lupa obatnya di minumkan, ya, Tuan," ucap perawat itu yang kemudian di angguki oleh pria berwajah tampan itu.
Selepas kepergian perawat dari ruangan itu.
"Aku suapi," ucap pria muda 26 tahunan itu, sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut Nilam.
Nilam membuka mulutnya sedikit. Mengunyah bubur itu perlahan. Rasa ketakutannya mulai memudar perlahan.
Setelah bubur itu tandas tak bersisa. Pria itu membuka satu persatu obat-obatan yang masih terkemas rapi. Kemudian meminumkannya kepada Nilam dengan sangat telaten.
"Siapa kamu, sebenarnya?" tanya Nilam membuka percakapan.
Pria itu tersenyum. Kemudian ia mengulurkan lengan kanannya, meminta Nilam untuk menjabatnya.
"Kenalkan... namaku, Kenzie . Aku dari kota A. Lalu, boleh aku tahu namamu?"
Nilam membalas jabatan tangan pria bernama Kenzie tersebut. "Aku Nilam."
"Nilam, nama yang cantik."
"Terima kasih." Nilam tersenyum tipis.
Ya Tuhaaan, senyumnya manis sekali.
Seperti terhipnotis, cukup lama Kenzie berada dalam mode bengongnya.
"Tuan... Tuan Kenzie. Anda baik-baik saja?" tanya Nilam khawatir.
Kenzie mengerjap, mulai keluar dari dunia kekagumannya. "O-oiya, maaf. Aku tidak apa-apa, Nilam." Kenzie tersenyum kikuk.
"Syukurlah." Nilam tersenyum kembali.
Jika melihat senyumnya terus menerus seperti ini, lama-lama aku bisa mati, seperti ayam terkena flu burung. Sialan!
Seketika itu wajah Kenzie berubah serius.
" Maaf, jika aku lancang. Mengapa kamu bisa sampai jatuh pinsan di tengah-tengah perkebunan itu?"
Nilam membuang wajahnya ke arah berlawanan dengan posisi Kenzie.
" Aku tidak apa-apa," jawabnya kemudian.
" Sepertinya kamu bukan seorang yang pandai berbohong, Nona Nilam. Aku melihat begitu banyak kemelut di wajahmu."
Nilam membalikkan wajahnya, kembali menatap Kenzie. "Saya rasa, itu bukan urusan Anda, Tuan Kenzie."
"Oh, maaf. Kamu benar, Nilam." Kenzie tersenyum.
"Apa aku sudah bisa pulang sekarang? Kakek pasti sangat mengkhawatirkanku."
"Maaf, Nilam. Bukan maksud apa-apa. Tapi tadi kamu dengar sendiri, dokter bilang bahwa kamu baru boleh pulang esok pagi."
"Begitu, kah?"
Kenzie mengangguk.
Wajah Nilam seketika menampakkan sirat kesedihan yang amat dalam.
Pasti juragan Dahlan sudah berada di rumah saat ini. Apa yang akan di lakukannya pada Kakek, Hana dan Bibi? Setelah mengetahui bahwa aku tidak ada di sana sekarang.
Ya Tuhan, lindungilah keluargaku dari juragan Dahlan.
Kenzie menyadari kesedihan yang nampak di wajah cantik Nilam.
*Sepertinya wanita cantik ini memiliki beban hidup yang sangat berat. Lalu... bolehkah aku membantu meringankannya*?"
~○○○~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!