NovelToon NovelToon

Sang Mantan

Masih Kamu

Ini seperti kembali ke masa lalu, di hadapannya Adam berdiri tegap dengan badan yang semakin gagah. Salah kalau Lisa merasakan rindu pada sosok itu?

Lisa tahu, dia yang begitu egois memutuskan Adam tanpa sebab. Tapi, itu lebih baik dari pada Adam harus kecewa bila tahu apa yang sebenarnya terjadi. Adam terlalu baik dan sempurna. Tidak adil rasanya kalau harus mendapatkan gadis seperti dia. Ralat... Wanita. Karena istilah gadis hanya untuk mereka yang masih suci, sementara dia...

Lelehan bening perlahan turun dari kedua matanya. Cepat Lisa mengusap sebelum Adam sadar kalau dia menangis.

Tanpa Lisa tahu, Adam pun sebenarnya tengah menahan keinginan untuk merengkuh Lisa dalam dekapannya. Menyalurkan rasa yang terpendam dalam.

Jarak yang terpisah lima langkah itu terasa begitu jauh. Melihat Lisa yang mengusap kasar bening yang luruh dari netra yang dulu begitu disukainya, Adam tahu bahwa dia masih bertahta di hati Sang Mantan.

Adam tahu pasti seperti apa Lisa. Mengenal dengan baik bagaimana sosok itu, memahami semua gestur gerak tubuhnya. Dan saat ini Adam yakin kalau Lisa juga sangat rindu padanya.

"Love --" suara Adam tercekat saat memanggil Lisa dengan panggilan yang biasa dia sematkan dulu. Lovely.

Lisa menundukan kepala, matanya terpejam mendengar panggilan Adam padanya. Sungguh suara itu sangat Lisa rindukan. Sangat. Sangat rindu.

"Apa kabar, Love?"

Adam semakin memangkas jarak. Selangkah pasti dia mendekat. Hingga harum tubuh wanita di hadapannya tercium inderanya.

Masih sama. Manis seperti dulu.

Menyadari Adam yang mendekat, Lisa mundur tanpa berani mengangkat wajah. Merasa kecil di depan Adam yang selalu memesona.

"Jangan mendekat, Mas!" cicit Lisa yang masih bisa terdengar oleh Adam. "Jangan terlalu dekat!"

"Kenapa, Love?"

Tak mengindahkan Lisa, Adam perlahan semakin mendekat. Dia ingin tahu, sampai mana Lisa akan menjaga jarak.

"Aku-- Aku--"

"Tak rindukah kau padaku, Love?"

Lisa mengangkat wajah dan memperhatikan sekelilingnya. Ada rasa sesal harus datang ke tempat ini, tempat di mana setahun lalu dia bertemu Adam untuk memutuskan jalinan kasih.

Taman komplek tempat tinggalnya terasa sepi. Biasanya akan ada sekumpulan anak yang bermain. Lalu kemana mereka?

"Love -"

"Berhenti di sana, Mas! Jangan mendekat!"

Lisa mengangkat tangan agar Adam tak melangkah lagi.

" Apa salahku, Love? Tak cukupkah waktu kita saling menjauh yang katamu untuk kebaikanku, Love?"

"Cukup, Mas. Di antara kita sudah selesai--"

"Tidak! Tidak ada yang selesai. Bahkan alasan kenapa kamu memilih jalan itu pun masih tak kupahami. Kita belum berakhir dan tidak akan pernah ada kata akhir."

"Apa yang kamu harapkan dariku, Mas?"

"Tentu saja aku berharap kita melanjutkan mimpi kita. Aku masih untukmu. Dan akan selalu begitu."

"Jangan. Kita tidak seharusnya bertemu lagi. Pergilah. Atau aku yang akan pergi. Dan bila aku pergi, maka tak akan ada lagi pertemuan di antara kita, Mas!"

"Tega kamu, Love! Setahun kuberi kau waktu untuk yang katamu menjauh. Aku pergi bukan menyetujui semua yang kau katakan, aku pergi hanya memberimu waktu untuk berpikir. Tapi ternyata--"

"Pergi, Mas! Kumohon!"

Lisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Menggeleng keras sebagai tanda bahwa dia benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran Adam.

Melihat orang yang begitu dicintainya bertindak seperti itu, hati Adam perih. Sakit.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Lisa?

"Baiklah, Love, aku akan pergi. Tapi ingat aku belum menyerah. Akan aku cari tahu sendiri apa alasan dibalik semua ini. Aku sangat mencintaimu, Love. Aku akan kembali. Dan kamulah tempatku kembali."

Setelah mengatakan itu Adam berbalik dan melangkah pergi menjauhi Lisa. Sebisanya dia tidak menoleh ke arah Lisa, yang kini telah luruh di tanah dengan bertumpu pada kedua lututnya.

Badannya bergetar menahan sesak tangis yang semakin mencekik.

"Mas... Mas Adam! Maaf. Maafkan aku! Aku pun masih mencintaimu. Sangat!" lirih suara Lisa mengungkapkan perasaannya. Berharap angin membawa getar suara itu pada Adam. Berbisik pada alam bahwa dia pun sama menderitanya menahan rasa.

"Jangan berharap padaku, Mas. Lupakan aku!"

"LISA!" satu panggilan dari arah belakang tubuhnya terdengar. Namun Lisa tidak menghiraukan apa dan siapa yang memanggilnya.

Tak lama rengkuhan terasa di kedua lengan Lisa. Diangkatnya tubuh Lisa perlahan. Dengan lembut tubuh Lisa dipaksa berbalik, hingga tampaklah sosok yang selalu ini mendengarkan semua keluhan dan kesedihan Lisa.

"Kamu bertemu Adam, Lis?" Andien --sahabatnya-- bertanya setelah Lisa berhasil mengurangi sedu sedannya.

Lisa mengangguk menjawab pertanyaan Andien. Menghembuskan napas lelah, Andien segera memeluk Lisa kembali tangis itu pecah. Dalam dekapan Andien Lisa semakin kuat terisak.

"Aku-- tak sanggup bertemu dengan Adam, Dien. Aku tak bisa!"

Andien mengusap lembut punggung Lisa.

"Kita pulang. Jangan sampai tangisanmu jadi buah bibir orang komplek."

"Adam bilang, dia masih mencintaiku, Dien." Lisa meraung dalam. Dadanya serasa dihimpit batu besar. Sesak dan sakit.

"Adam memang selalu mencintaimu, Lis. Kenapa tidak kamu ceritakan hal yang sebenarnya pada Adam?"

"Aku tak ingin Adam bertahan di sisiku karena kasihan, Dien. Dan juga dia berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku kotor, Dien. Kotor!"

Ba***gan kau, Rasya! Kau hancurkan sahabatku sedalam ini!

Andien merutuk dalam hati. Mengingat nasib tragis Lisa. Ah, apa Adam akan tetap mencintai Lisa saat tahu yang sebenarnya?

"Kita pulang," dengan sedikit memaksa, Andien membawa tubuh lemah Lisa berjalan perlahan meninggalkan taman.

Kalau saja Andien tidak melihat Adam yang berjalan keluar dari taman, mungkin Andien tidak akan tahu kalau Lisa ada di sana.

Saat Andien mendatangi rumah Lisa, Fatma--ibu Lisa--mengatakan kalau Lisa pergi keluar. Mencoba ditelepon pun percuma karena ternyata ponsel Lisa tertinggal di kamar.

"LISA! Kamu kenapa, Sayang?" Fatma terkejut melihat anaknya datang dengan dipapah Andien, sementara wajahnya terlihat sembab seperti habis menangis.

Dibantunya Andien membawa Lisa masuk dan duduk di sofa.

Sementara itu, Adam yang tidak benar-benar pergi meninggalkan taman, mengawasi Lisa yang menangis tersedu. Tekadnya makin bulat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya menimpa Lisa.

TBC

Teman yang selalu mendengarkan

Andien menatap Lisa yang duduk bersandar pada kepala ranjang dengan tatapan kosong ke depan. Andien tahu hanya raga Lisa saja ada di depannya, pikiran Lisa pasti sedang mengembara tanpa bisa dimasuki olehnya.

Saat Andien menyentuh jemari Lisa nampak kekagetan di wajah itu, Andien tersenyum saat mata Lisa terfokus padanya, seakan memastikan sahabatnya kalau dia akan selalu ada di sampingnya.

"Jangan melamun. Jangan banyak berfikir yang tidak pasti. Aku tahu kamu bisa melewati semua ini."

"Adam masih seperti yang dulu, Dien. Dia masih mencintai aku."

Andien senang Lisa sudah mau diajak lagi berbicara, itu tandanya Lisa bisa mengalahkan rasa tidak percaya dirinya.

"Adam memang selalu mencintai kamu, Li. Dia memang tulus mencintaimu. Dan kalau pun dia tahu apa yang terjadi padamu, aku yakin dia akan tetap ada di sampingmu."

"Tidak, Dien. Tidak. Aku tidak bisa bersikap egois. Adam berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku tidak pantas mendampingi Adam yang begitu sempurna di mataku." buliran bening luruh kembali dari mata Lisa. Diikuti buliran bening lainnya membasahi pipi yang masih sembab bekas Lisa menangis tadi. Andien mengusap lelehan air mata itu. Entah harus berapa banyak lagi dia melihat kehancuran sahabatnya, karena ulah mantan kekasih Lisa yang meninggalkan noda tak terhapus itu.

Masih segar dalam ingatan Andien saat Lisa datang ke kosannya dengan baju dan rambut kusut, tak sedap dipandang. Mata memerah Lisa, dan cara berjalannya yang terseok, meyakinkan Andien sesuatu yang buruk sudah terjadi pada Lisa.

Lisa yang langsung terjatuh pingsan saat Andien memapahnya memasuki kamar kosnya, membuat Andien berteriak minta tolong di pagi yang kelabu itu setahun yang lalu.

"Apa-- Rasya... Masih mencoba mendekatimu?" ragu Andien menyebut nama seseorang yang sudah membuat Lisa hancur. Nama yang selalu membuat Lisa ketakutan, sekaligus membenci tanpa berkesudahan.

Mendengar nama yang tak ingin dia dengar, membuat Lisa menutup telinganya dengan kedua tangan. Menggelengkan kepalanya kencang, Lisa semakin terisak.

"Ssttt... Maaf. Maafkan aku. Jangan nangis lagi." Andien memeluk Lisa erat, menyesali kebodohannya yang membuat Lisa kembali histeris.

"Jangan. Jangan sebut nama itu lagi. Jangan!"

"Iya. Iya, maafkan aku!"

Sudah setahun terlewat pun, Lisa tetap belum bisa melupakan malam terburuk dalam hidupnya itu. Tidak akan pernah bisa. Malam di mana dia kehilangan sesuatu yang sangat dijaganya. Dan ironisnya Sang Mantan yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu, yang tega menghancurkan hidupnya.

Lisa yang ditelepon Rasya saat baru pulang kerja hari itu, diminta Rasya untuk datang ke rumahnya. Walaupun sudah tidak memiliki hubungan spesial dengan Rasya. Lisa tetap menjalin hubungan baik dengan Rasya, apalagi ibu Rasya sangat menyayanginya. Ada pun alasan putusnya hubungan mereka karena Rasya yang terlalu sibuk hingga tak ada lagi waktu untuk Lisa.

Hubungan yang awalnya memang bukan karena cinta, tapi karena keinginan dari orangtua Rasya yang sangat menyukai Lisa itu akhirnya kandas, walaupun tidak sampai membuat keduanya saling benci malah semakin dekat dengan ikatan kakak adik. Tapi, saat Rasya tahu kalau Lisa memiliki kekasih baru, di sanalah awal dari bencana itu. Rasya baru menyadari kalau dia mencintai Lisa bukan sebagai adiknya, melainkan sebagai seorang lelaki pada wanita yang dicintainya.

Rasya cemburu saat melihat Lisa yang tersipu malu ketika menerima panggilan telepon dari Adam, pacar Lisa. Rasya marah saat melihat Lisa tertawa dalam dekapan Adam saat Rasya berkunjung ke rumah Lisa, untuk mengantarkan oleh-oleh yang dibawanya sepulang dari luar kota.

Lalu, dengan kesadaran penuh, setelah berkali-kali mengajak Lisa untuk kembali bersamanya namun dengan tegas ditolak Lisa, Rasya melancarkan aksi bejadnya.

Lisa yang sengaja ditelepon untuk datang ke rumah dengan alasan ibu Rasya ingin bertemu, dia nodai. Padahal saat itu rumah Rasya dalam keadaan kosong, karena orang tua Rasya sedang berkunjung ke rumah saudaranya di kota lain, dan akan kembali dua hari kemudian.

Tanpa curiga sama sekali, Lisa meminum air yang disodorkan Rasya yang ternyata sudah dicampur dengan obat perangsang. Lisa yang dalam pengaruh obat tidak bisa mengontrol dirinya. Dan dalam deraian air mata, pikiran dan tubuhnya melakukan hal berbeda. Dia pasrah saat Rasya menggagahinya entah berapa kali.

Yang pasti saat Lisa tersadar keesokan harinya. Tubuhnya seakan remuk redam dan dalam rengkuhan Rasya, yang tertidur dengan wajah penuh kepuasan. Kaget menyadari dia tertidur dalam dekapan Rasya, Lisa langsung bangun. Tapi nyeri yang menyengat dari bagian sensitifnya, membuat Lisa kembali terbaring tanpa membuat Rasya bangun.

Dibukanya selimut yang menutupi tubuhnya dan Rasya cepat. Pekikan kecil keluar dari mulutnya, saat menemukan tubuh dibalik selimut itu tanpa sehelai benang pun. Hal yang sama berlaku pada Rasya juga. Lelaki yang pernah mengisi harinya itu, juga dalam keadaan tanpa busana. Air mata tanpa bisa dicegah langsung berebut keluar dari netranya. Lisa telah kotor. Tubuhnya sudah ternoda.

Ingin rasanya Lisa memukul wajah tampan Rasya yang tengah terlelap, tapi memilih mengurungkan keinginannya itu, yang dilakukan Lisa justru turun dari tempat tidur. Noda darah yang ada tepat di mana tadi dia berbaring, seakan menjelaskan padanya bahwa dia sudah bukan perawan suci lagi.

Membekap mulutnya agar tidak histeris, Lisa memunguti bajunya yang berserak di lantai dengan langkah menahan perih di bawah sana. Pikirannya mulai merangkai lagi kepingan ingatan yang berserak. Dari dia yang ditelepon Rasya yang mengatakan kalau ibunya ingin bertemu, lalu dia yang datang ke rumah Rasya dan meminum air yang diberikan Rasya tanpa curiga sama sekali. Lalu reaksi tubuhnya tak lama setelah air itu habis tertelan. Lisa yakin, Rasya telah mencampur minuman itu dengan obat. Hingga dia menjadi seseorang yang tidak dia kenal sama sekali, mengharapkan sentuhan Rasya pada tubuhnya yang mendadak panas.

Air mata mengaburkan pandangan Lisa yang dengan tergesa memakai kembali bajunya, melihat ke atas tempat tidur di mana Rasya masih saja terlelap dengan nyamannya. Dengan tertatih, Lisa meninggalkan kamar Rasya. Dia sempat bingung, apa yang akan dia katakan pada ibu Rasya kalau nanti bertemu saat turun dari lantai dua di mana kamar Rasya berada.

Tapi, kembali Lisa dikagetkan dengan tidak adanya orang lain di rumah besar itu. Bahkan Bi Sari, pembantu Rasya pun ternyata tidak ada. Ini benar-benar sudah direncanakan oleh Rasya.

Rasa benci semakin dirasakan Lisa. Dia ingin secepatnya keluar dari rumah terkutuk itu. Dia menemukan tasnya yang ada di sofa ruang tamu, di mana kemarin dia menyimpannya di sana. Diambilnya ponsel untuk memesan ojeg online, tapi kemana dia pulang? Tak mungkin harus pulang ke rumahnya dalam keadaan seperti itu, di pagi yang masih gelap.

Akhirnya nama Andien yang terlintas di benaknya. Setelah beberapa saat menunggu ojeg pesanannya, yang ditunggu pun datang. Driver ojol tampak kaget saat melihat calon penumpangnya yang tampak berantakan. Menutupi apa yang sedang terjadi, Lisa langsung meminta diantar ke alamat kosan Andien. Tak ingin dianggap ikut campur akhirnya driver itu mengantarkan Lisa ke alamat yang disebutkan tadi.

Sesampainya di kosan Andien, Lisa langsung masuk mengabaikan panggilan driver yang ingin memberikan kembalian ongkos Lisa. Dan sang driver lah yang membantu Andien, saat Andien berteriak minta tolong saat Lisa pingsan.

"Dien, kalau nanti kamu ketemu Adam tolong tetap rahasiakan semuanya ya?"

Andien menatap sahabatnya itu. Sampai sekarang dia masih tidak mengerti dengan pikiran Lisa. Kenapa Lisa memilih tidak menuntut tanggung jawab Rasya? Beruntung hasil kebejatan Rasya tidak membuahkan kehamilan. Jadi tidak ada babak selanjutnya yang harus dia tutupi.

"Li, bisa kamu jelaskan apa yang membuat kamu tidak menuntut 'Dia' untuk bertanggung jawab?" hati-hati Andien menanyakan hal yang sangat ingin dia tanyakan.

Lisa mengusap pipinya. Bayangan malam itu selalu menyakitkan buatnya.

"Justru itu yang diinginkan ba***gan itu, Dien. Sebuah pengakuan, kalau dia berhasil dengan rencananya. Aku tak ingin dia merasa menang karena telah merenggut mahkotaku. Aku hanya ingin dua hidup dalam penyesalan yang tidak berkesudahan. Aku tidak sudi kalau harus menghabiskan hidupku dengan menikah dengan dia, lebih baik aku tidak menikah selamanya dari pada memilih dia sebagai Suami."

"Jangan seperti itu, Li. Banyak kok yang sudah tidak suci akhirnya menikah dan bahagia."

"Tapi aku tidak, Dien. Hanya saja, aku tidak tahu kapan bisa melupakan kejadian itu. Aku lelah, Dien, lelah."

**TBC

Tinggalkan jejaknya ya**

Rasa Yang Berubah

Lisa menatap tajam Rasya yang saat ini ada di ruang tamu rumahnya. Setelah melepaskan kepulangan Andien, Rasya datang. Untung saja Rasya tidak sampai bertemu dengan Andien, karena kalau tidak entah apa yang akan Andien lakukan pada lelaki itu. Sebab Andien pernah bilang, kalau sampai bertemu Rasya di mana saja, dia akan menyerang Rasya.

Ini kesekian kalinya, lelaki yang pernah menjadi tujuan hidup Lisa datang ke rumah setelah kejadian terkutuk itu terjadi. Dan alasan Rasya datang adalah ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya.

Penolakan Lisa yang tidak sama sekali menginginkan apa pun bentuk tanggung jawab Rasya, membuat Rasya merasakan penyesalan yang mendalam. Awalnya Rasya sangat yakin kalau Lisa pasti memintanya untuk bertanggung jawab. Apalagi setelah dia terbangun di pagi itu, tanpa menemukan adanya Lisa di kamar dan rumahnya.

Dua hari setelah kejadian itu, Rasya menunggu Lisa menelepon atau bahkan datang ke rumahnya untuk menuntut sebuah tanggung jawab. Tapi, sampai seminggu kemudian Lisa seperti tidak perduli dengan apa yang telah mereka lalui.

Dari situ timbul rasa penasaran Rasya. Akhirnya, Rasya pun mendatangi rumah Lisa. Sambutan hangat ibu Lisa yang seperti biasanya, membuat Rasya bingung sendiri.

Tadinya dia mengira akan mendapatkan teriakan atau bahkan tamparan yang menyakitkan disertai caci maki. Namun hal itu tidak didapatnya sama sekali, bahkan Lisa sendiri pun hanya menatapnya dingin.

Pernah Rasya sengaja menunggu Lisa pulang kerja dan bermaksud mengajaknya berbicara, tapi Lisa dengan tegas menolak, menekan Lisa dengan menakuti bahwa bisa saja perbuatannya menghasilkan janin di rahim Lisa pun sudah dilakukannya, tapi dengan enteng Lisa menjawab bahwa dia tidak memerlukan Rasya seandainya hal itu sampai terjadi.

Dan yang Rasya sesalkan kehamilan itu pun tak pernah terjadi, padahal kalau saja itu terjadi Rasya akan mengatakan pada orang tua mereka yang sebenarnya. Malah yang Rasya dengar, kalau Lisa mengakhiri jalinan cintanya dengan Adam. Jadilah penyesalan Rasya semakin mendalam. Dia benar-benar telah menghancurkan Lisa dan juga dirinya sendiri, karena Lisa tetap tak dimiliki olehnya.

"Dek, apa kabar?" kemampuan Rasya dalam berbicara pun seakan hilang, saat kembali harus bertemu dan menyapa Lisa. Padahal kemampuannya sebagai seorang publik relation sudah tidak diragukan lagi kehandalannya.

Sambutan dingin dan datar Lisa, hanya akan hilang kalau diantara mereka ada ibunya Lisa. Lisa akan berlaku sedikit lebih hangat, walaupun tidak sama seperti sebelum dia merampas kesucian Lisa dengan segala tipu daya.

"Apalagi yang membawa kakak kemari?" ya, panggilan itu yang membuat Rasya ingin membenturkan kepalanya ke tembok, panggilan Kakak.

Panggilan yang harusnya menjadikan dia seorang pelindung bagi Lisa, bukan merubahnya menjadi monster penghancur hidup Lisa.

"Apa ada waktu? Kakak---"

"Kalau yang ingin kakak bicarakan adalah soal itu. Maaf, jawabannya masih sama. Dan aku sangat tidak tertarik untuk membahasnya."

"Tapi, Dek--"

"Cukup, Ka. Lebih baik Kakak tidak datang lagi ke sini. Aku menganggap tidak pernah ada yang terjadi."

"Apa? Kamu menganggap itu seperti sesuatu yang tidak berharga sama sekali? Bukankah bagi seorang gadis itu merupakan sesuatu yang sangat penting. Tapi kamu--" kata-kata Rasya terhenti, saat Fatma datang dengan membawa minuman dan satu toples makanan ringan.

"Kalian ngomongin apa sih? Kalau Ibu perhatikan sepertinya ada masalah yang sangat serius. Duduk, Nak Rasya. Lisa kamu gimana sih? Masa Kakaknya dari tadi ngga disuruh duduk?" kata Fatma sambil menghempaskan bokongnya di sofa. Matanya melihat ke arah dua manusia di depannya yang tampak sedang bersitegang.

"Ngga apa-ap--"

"Kak Rasya mau pulang kok, Bu. Dia barusan pamit." Lisa memotong kalimat yang belum Rasya selesaikan.

"Loh, baru juga datang. Masa sudah mau pulang?"

"Tidak, Bu. Saya sebenarnya masih ada perlu sama Lisa. Tapi Lisa sepertinya sedang tidak ingin berbicara dengan saya." Rasya dengan cepat menjawab. Entah mengapa Rasya merasa harus menggunakan pengaruh Fatma untuk menaklukkan hati Lisa. Karena salah satu orang yang menyayangkan berakhirnya hubungannya dan Lisa adalah Fatma sendiri.

"Kalian sedang ada masalah ya? Kalau iya, selesaikan baik-baik. Kita sudah seperti keluarga. Terus terang ibu masih menyayangkan hubungan kalian harus berakhir, ya walaupun sekarang hubungan kalian tetap baik-baik saja sebagai Adik dan Kakaknya."

"Tidak ada Kakak yang menghancurkan masa depan Adiknya, Bu!" tanpa sadar Lisa mengatakan itu dengan suaranya yang bergetar.

"Maksud kamu, Nak?" Fatma dan Rasya kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan Lisa. Walaupun kekagetan yang dirasakannya keduanya berbeda arti.

Kalau Fatma kaget karena tidak faham, sedang Rasya kaget karena dia pikir Lisa akan menceritakan hal yang sebenarnya. Dan Rasya siap untuk mendapat kejutan kalau Lisa benar-benar berkata yang sebenarnya.

Lisa tergagap mendengar pertanyaan ibunya, di bawah tatapan tajam Rasya yang menanti kalimat lain yang akan meluncur dari bibirnya.

"Eh, ti--tidak, Bu. Tidak apa-apa." Rasya memejamkan matanya lalu menghembuskan napasnya kuat. Melepas kepenatan yang beberapa waktu lalu membuatnya sesak.

"Oh. Ya sudah, kalau begitu Ibu masuk dulu. Mau lanjut masak. Nak Rasya makan di sini aja ya, jangan pulang dulu."

Fatma siap beranjak dari duduknya. Dan entah apa yang membuat Rasya berani menahan Fatma dengan menyentuh tangannya.

"Bu, kalau saya melamar Lisa, apa Ibu akan setuju?"

Deg!

Lisa menatap sengit pada Rasya. Apa yang sedang direncanakan mantan terlak**tnya itu sekarang?

"Eh. Maksudnya? Emang kalian balikan lagi?" Fatma menatap Lisa dan Rasya bergantian. Kerut di keningnya terlihat menandakan bahwa dia tidak paham dengan maksud Rasya. Walau tidak dapat menyembunyikan senyum bahagia kalau hal itu benar terjadi.

Kepalang tanggung, Rasya berpikir dia akan mencoba mengambil simpati ibu Lisa tanpa harus berkata jujur. Setidaknya untuk sekarang. Kartu AS hanya akan dia gunakan diakhir, saat Lisa benar-benar tidak bisa dia taklukkan.

"Tidak, Bu, kami tidak balikan. Justru saya ingin langsung melamar dan menikah saja dengan Lisa."

"Jangan melewati batas, Kak!"

"Lisa! Kamu kenapa tidak sopan? Memang ada yang salah dengan ucapan Nak Rasya?"

"Tidak apa-apa, Bu. Saya yang salah di sini." Rasya masih berperan kalau di sini dia lah korban dari kekerasan hati Lisa. Dengan kepala tertunduk yang membuat Lisa semakin muak saja.

Cih, licik sekali!

Apa pun akan aku lakukan, Lisa!

"Cukup, Kak! Sebaiknya Kakak jangan pernah datang lagi kemari!"

"STOP! CUKUP! Ibu benar-benar tidak paham dengan yang terjadi diantara kalian. Kalian sudah dewasa. Selesai dengan kepala dingin masalah yang terjadi diantara kalian, bukannya bertingkah kekanakan seperti ini!"

"Tidak ada yang harus dijelaskan lagi, Bu."

"Ada. Dan itu akan terus menjadi masalah buatku, Dek!"

"Buatmu! Bukan aku. Dan aku sama sekali tidak ada keinginan untuk melakukan hal yang ada di kepalamu itu."

Fatma dan Rasya saling tatap. Baru kali ini mereka mendengar Lisa berkata sekasar itu bahkan dengan muka yang memerah menahan amarah dan tangan terkepal kuat.

"Nak Rasya, ada apa ini?" Fatma akhirnya bertanya pada Rasya karena melihat anak gadis kebanggaannya itu bersikap seperti di luar kontrol. Fatma seakan tidak mengenal sosok gadis di depannya kini.

Ah, seandainya Fatma tahu kalau anak gadisnya sudah tidak gadis lagi.

"PULANGLAH, KAK! KITA BICARAKAN LAGI MASALAH INI NANTI. PULANG!"

Lisa tetap pada kemarahannya. Dia tidak ingin kalau sampai Rasya berkata keadaan yang sebenarnya.

"Tidak, Dek--"

"Pulanglah dulu, Nak. Mungkin setelah semua membaik kalian bisa bicara lagi" Akhirnya Fatma memilih berpihak pada Lisa, walaupun dia sangat tidak mengerti apa yang terjadi.

"Tapi, Bu--"

"Pulang, ya. Nanti ke sini lagi!" melihat Fatma yang menatapnya penuh harap, kalau Rasya mau menuruti keinginan Lisa, dan akhirnya membuat Rasya mengangguk walau tidak rela.

"Baiklah, Bu."

Lisa langsung membalikkan badan meninggalkan ruang tamu. Setengah berlari menuju ke kamarnya.

"Rasya pulang dulu, Bu, Rasya harap Ibu mempertimbangkan apa yang tadi Rasya katakan."

"Nanti Ibu bicarakan dulu sama Lisa dan Ayahnya. Pulanglah!"

Dengan berat hati, Rasya pun meninggalkan Rumah Lisa. Tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang mencuri dengar apa tadi terjadi di sana.

Seseorang yang kini mengepalkan tangannya kuat dengan rahang yang mengetat. Tanpa harus mendengar secara gamblang pun dia tahu apa yang terjadi diantara Lisa dan Rasya. Rasa marah, sedih, dan kecewa menyesakkan dadanya.

Inikah alasannya kamu menjauh dariku, Lisa? Kamu salah, kalau menganggap hal itu akan membuatku mundur. Bagiku kau tetap suci. Kamu cinta sejatiku. Tunggu aku datang untuk menghalalkan hubungan kita.

Tunggu, aku.

Dengan tergesa lelaki itu pergi dari rumah Lisa, satu nama yang kini terbersit di kepalanya untuk dia datangi.

Andien.

Dia akan meminta bantuan dan juga dukungan pada sahabat wanita terkasihnya. Dan semoga saja keberuntungan ada di pihaknya.

Ya, Adam akan melakukan apa pun untuk memiliki Lisa kembali. Karena Lisa tak pernah tahu alasan dia menerima keputusan Lisa untuk berpisah setahun lalu.

TBC*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!