Siang itu, mentari bersinar cerah di langit kota, seolah tak peduli dengan gundah yang merundung hati Nandana Panesthi. Berdiri di depan cermin besar di kamarnya, Nanda menatap pantulan dirinya yang tampak begitu sempurna dalam balutan gaun pengantin putih gading. Segalanya terlihat indah, begitu memukau namun jauh di dalam hatinya, semua terasa kosong.
"Nanda, kamu sudah siap?" suara ibunya, Ny. Saraswati, terdengar dari balik pintu. Nada suaranya tegas, seperti perintah yang tak bisa dibantah.
Nanda menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Iya, Bu. Aku siap."
Tapi apakah ia benar-benar siap? Siap untuk menikah dengan Dimas Larung Mahdiva, pria yang hanya dikenalnya sebagai teman masa kecil? Siap untuk menjalani kehidupan yang tak pernah ia inginkan?
Pernikahan ini bukanlah keinginannya. Sejak kecil, Nanda selalu mengikuti apa yang diinginkan ibunya. Pendidikan, karier, bahkan pergaulannya semua berada di bawah kendali Ny. Saraswati. Dan kini, pernikahannya pun menjadi bagian dari rencana besar ibunya.
"Dimas adalah pilihan terbaik, Nanda. Dia pengusaha sukses, punya masa depan cerah, dan yang paling penting, dia mencintaimu," ucap ibunya beberapa minggu lalu, saat pernikahan ini pertama kali dibicarakan.
Namun, cinta? Itu adalah kata yang terasa asing bagi Nanda ketika berhubungan dengan Dimas.
Di aula pernikahan, para tamu mulai berdatangan. Musik lembut mengalun, menghiasi suasana yang seharusnya penuh kebahagiaan. Dimas berdiri di depan altar, tampak gagah dalam setelan jas hitamnya. Wajahnya tenang, penuh percaya diri, seperti seorang pria yang tahu bahwa hidupnya telah berjalan sesuai rencana.
Bagi Dimas, pernikahan ini adalah langkah strategis. Dengan menikahi Nanda, ia tidak hanya mendapatkan seorang istri yang cantik dan cerdas, tetapi juga memperkuat posisi bisnisnya melalui koneksi keluarga Panesthi. Baginya, cinta hanyalah bonus yang tidak terlalu penting.
Bagi Dimas, Nanda adalah sosok yang selalu ia inginkan sejak mereka masih remaja. Ia mengagumi kecantikan dan kecerdasan Nanda, meski gadis itu tak pernah menunjukkan minat yang sama padanya. Namun, Dimas bukanlah pria yang mudah menyerah. Ia yakin bahwa segala sesuatu bisa dicapai dengan usaha dan ketekunan, termasuk hati Nanda.
Ibu Saraswati menerima lamaran Dimas bukan tanpa alasan. Bagi wanita itu, Dimas adalah pilihan terbaik untuk masa depan putrinya. Seorang pengusaha muda yang sukses, cerdas, dan Memiliki latar belakang keluarga yang terpandang. Ia yakin bahwa dengan menikahi Dimas, Nanda akan memiliki kehidupan yang mapan dan terhormat.
Di sisi lain, Nanda hanya bisa menerima keputusan ibunya dengan pasrah. Baginya, pernikahan ini bukanlah tentang cinta, melainkan tentang kewajiban. Ia tidak pernah mencintai Dimas, dan mungkin tidak akan pernah. Namun, sebagai anak yang selalu patuh pada ibunya, Nanda tidak memiliki pilihan lain selain menerima nasibnya.
Di ruang ijab kabul, Dimas mengucapkan janji suci dengan suara mantap dan penuh keyakinan. Tangannya bergetar sedikit saat menggenggam tangan wali Nanda, namun matanya memancarkan kebahagiaan yang tak terbantahkan. Baginya, ini adalah awal dari kehidupan baru bersama wanita yang telah lama ia dambakan.
Sementara itu, Nanda duduk diam di samping ibunya, matanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Di balik senyum tipis yang terlukis di wajahnya, ada perasaan hampa yang sulit ia jelaskan.
“Mbak, bahagia?” tanya Dayu Nigrum, adik Nanda yang baru berusia lima belas tahun. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk memecah keheningan yang menyelimuti kamar pengantin Nanda.
Nanda menoleh, menatap wajah polos Dayu yang berdiri di ambang pintu. Gadis itu mengenakan gaun sederhana, rambutnya yang panjang tergerai, dan matanya memancarkan rasa ingin tahu yang tulus.
Pertanyaan itu terasa seperti duri yang menusuk hati Nanda. Apakah ia bahagia? Sejak ijab kabul selesai beberapa jam lalu, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah keputusan terbaik. Namun, di dalam hati kecilnya, ia tahu jawaban sebenarnya.
“Bahagia, Dayu,” jawab Nanda dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menguasainya. Ia meraih tangan adiknya dan mengajaknya duduk di tepi ranjang. “Mbak sudah menikah dengan Mas Dimas, dan itu yang diinginkan Ibu.”
Dayu memandang kakaknya dengan tatapan penuh keraguan. “Tapi Mbak tidak terlihat seperti orang yang bahagia. Mata Mbak... kosong.”
Nanda terdiam. Kalimat itu membuatnya terhenyak. Dayu, meski masih muda, selalu bisa membaca apa yang tersembunyi di balik senyum Nanda. Selalu peka terhadap hal-hal yang orang lain abaikan.
“Mbak hanya lelah,” ucap Nanda akhirnya, menepuk lembut tangan Dayu. “Hari ini melelahkan, tapi semuanya akan baik-baik saja.”
Dayu menggenggam tangan Nanda lebih erat. “Aku harap begitu, Mbak. Aku hanya ingin Mbak bahagia. Bukan karena yang lain, tapi karena Mbak memang ingin bahagia.”
Kata-kata Dayu menggema di kepala Nanda saat adiknya berlalu pergi, meninggalkan dirinya sendirian di kamar. Nanda menatap cermin di depannya. Gaun pengantin putihnya masih terbalut rapi di tubuhnya, rambutnya masih tertata sempurna. Ia terlihat seperti seorang pengantin yang bahagia.
Namun, di balik semua itu, ada seorang wanita yang bertanya-tanya: kapan kebahagiaan itu akan benar-benar menjadi miliknya?
***
Malam pertama Nanda terasa begitu sunyi. Duduk di tepi ranjang dengan masih mengenakan gaun pengantin yang belum sempat ia lepas, ia menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Dimas Larung Mahdiva, suaminya yang baru saja resmi mengikat janji suci bersamanya, tak kunjung datang.
Waktu terus berlalu. Jarum jam di dinding kamar terus berdetak, menandai menit demi menit yang terasa semakin lambat. Nanda menunggu dengan sabar, berharap Dimas akan segera pulang dan memulai malam pertama mereka sebagai suami istri. Namun, harapan itu semakin pudar seiring waktu berlalu.
Di luar sana, Dimas tidak sedang memikirkan Nanda. Lelaki berusia 29 tahun itu justru menghabiskan malam pertamanya di sebuah klub malam bersama teman-temannya. Dentuman musik yang menggema, lampu neon yang berpendar-pendar, dan gelas-gelas berisi minuman beralkohol menjadi teman setianya malam itu.
“Bro, lo baru aja nikah, tapi udah di sini lagi? Istri lo nggak nyariin?” tanya salah satu temannya sambil menepuk bahu Dimas.
Dimas tertawa ringan, mengambil tegukan dari gelasnya. “Biarin aja. Dia pasti ngerti. Lagian, gue nggak perlu buru-buru pulang.”
“Serius lo? Ini kan malam pertama,” temannya menimpali dengan nada heran.
Dimas hanya mengangkat bahu. Baginya, pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan tanggung jawab dan status. Ia menikahi Nanda lebih karena desakan keluarga dan tuntutan sosial, bukan karena ia benar-benar mencintainya.
Di kamar yang sepi, Nanda akhirnya berdiri dari tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela, menatap malam yang gelap dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya bergejolak antara kecewa dan pasrah. Malam pertama yang seharusnya menjadi awal dari kebahagiaan justru menjadi malam penuh kesepian.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dari ibunya, Saraswati. “Bagaimana malam pertamamu, Nak? Dimas baik, kan?”
Nanda menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mengetik balasan singkat. “Baik, Bu. Semua berjalan lancar.”
Kata-kata itu terasa pahit di ujung jarinya, tapi ia tahu, ibunya tidak perlu tahu kenyataan yang sebenarnya.
Nanda kembali duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Mungkin ini hanya awal, pikirnya. Mungkin Dimas akan berubah, dan pernikahan ini akan menemukan jalannya sendiri. Namun, di dalam hatinya, Nanda bertanya-tanya: berapa lama lagi ia harus menunggu kebahagiaan yang selama ini hanya menjadi bayangan?
Beberapa hari sebelum hari pernikahannya, Nanda tertegun menatap layar ponselnya. Sebuah berita yang tak ia harapkan muncul di halaman utama, menampilkan wajah tampan Dimas Larung Mahdiva, calon suaminya, berdampingan dengan Shelma Anderia, model internasional yang dikenal dengan pesona dan kecantikannya yang memukau.
"Kemesraan Dimas Larung Mahdiva, Pewaris PT. Larung Construction, dan Model Internasional Shelma Anderia di Acara Gala Amal," begitu judul berita itu tertulis. Foto-foto mereka berdua tampak begitu serasi. Dimas mengenakan setelan jas hitam elegan, sementara Shelma memamerkan senyum menawan dalam gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna.
Nanda membaca artikel itu dengan hati yang berdesir. Setiap kata, setiap foto, seolah-olah menusuk ke dalam hatinya. "Kenapa harus ada berita ini sekarang?" gumamnya, merasa campur aduk antara cemas, marah, dan kecewa.
Dalam diam, Nanda membandingkan dirinya dengan Shelma.
"Aku ini apa dibanding dia?" pikirnya getir. Shelma adalah simbol kesempurnaan tinggi, langsing, berkelas, dan memiliki karier gemilang di dunia internasional. Sementara Nanda, meskipun cantik dengan caranya sendiri, merasa dirinya tak lebih dari wanita biasa yang hidup di bawah bayang-bayang ibunya yang ambisius.
Kata-kata ibunya, Saraswati, beberapa hari lalu terngiang kembali di kepalanya.
"Dimas itu pilihan terbaik, Nanda. Dia pria mapan, tampan, dan punya masa depan cerah. Kamu tidak akan menemukan yang lebih baik dari dia."
Tapi benarkah Dimas pria terbaik? Jika memang begitu, mengapa bayang-bayang Shelma Anderia terus mengusik hatinya?
Nanda mendesah pelan. Ia tahu pernikahan ini bukanlah tentang cinta, melainkan tentang ambisi keluarganya, tentang status sosial, dan tentang bisnis yang akan menyatukan dua keluarga besar. Namun, melihat berita itu membuat Nanda mempertanyakan segalanya. Apakah ia hanya akan menjadi istri yang dinikahi untuk kepentingan bisnis.
Di tengah lamunannya, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Dimas muncul.
"Kita akan bertemu nanti malam untuk membahas detail pernikahan."
Pesan singkat, dingin, tanpa sapaan hangat atau perhatian.
Nanda terdiam sejenak, menatap pesan itu. Sesederhana itukah hubungan mereka? Hanya sekadar kewajiban dan formalitas? Di balik layar ponselnya, Nanda tahu ada sesuatu yang hilang cinta, perhatian, dan kebahagiaan yang sejati. Tapi ia juga tahu, tak mudah untuk membatalkan semua ini. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.
Malam itu, Nanda mencoba menenangkan hatinya. Tapi bayangan Shelma Anderia dan senyum dingin Dimas terus menghantui pikirannya, seolah menjadi pertanda bahwa kehidupan yang akan ia masuki tidak akan seindah yang dibayangkan banyak orang.
Malam pertama yang seharusnya menjadi awal indah bagi sebuah pernikahan, justru menjadi malam yang sunyi bagi Nanda. Di dalam kamar yang megah, dihiasi dengan lilin-lilin romantis dan aroma mawar yang memenuhi ruangan, Nanda duduk di tepi ranjang dengan gaun malam putih yang anggun. Wajahnya yang cantik tampak sendu, matanya terus melirik jam di dinding yang terus berdetak.
Sudah berjam-jam berlalu sejak acara pernikahan selesai. Namun, sosok Dimas Larung Mahdiva, suaminya, tak juga muncul di kamar. Nanda mencoba menenangkan hatinya. "Mungkin dia sibuk, mungkin ada urusan yang harus diselesaikan," gumamnya, berusaha memberikan alasan.
Tapi jauh di lubuk hatinya, Nanda tahu. Ini bukan sekadar urusan mendadak atau alasan lain yang bisa diterima. Ini adalah bukti dari apa yang telah ia curigai sejak awal. Pernikahan ini bukanlah tentang cinta. Bukan tentang kebersamaan. Dan malam ini, Dimas telah membuktikan bahwa ia tidak menginginkannya.
Nanda menghela napas panjang. Rasa kecewa merayap ke dalam hatinya. Sejak awal, ia tahu Dimas bukan pria yang akan bertahan hanya dengan satu wanita. Meskipun mereka pernah saling mengenal di masa lalu, itu tidak cukup untuk mengikat hati Dimas hanya padanya. Dimas adalah pria dengan pesona luar biasa, pewaris kekayaan besar, dan terbiasa hidup dengan kebebasan. Bagaimana mungkin dia bisa puas hanya dengan seorang istri, apalagi istri yang pernikahannya diatur oleh keluarga?
Telepon genggam Nanda yang tergeletak di meja samping berbunyi. Dengan cepat ia meraihnya, berharap itu adalah pesan atau panggilan dari Dimas. Tapi yang muncul hanyalah pesan singkat dari Dayu, adiknya.
"Mbak, gimana malam pertamanya? Semoga bahagia, ya."
Nanda terdiam, menatap layar ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Ingin rasanya ia menjawab jujur bahwa malam ini tidak ada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan yang ia harapkan. Tapi ia hanya membalas singkat.
"Baik, Dayu. Selamat tidur."
Sementara itu, di sudut kota yang berbeda, Dimas duduk di sebuah club eksklusif bersama teman-temannya. Musik berdentum kencang, gelas-gelas berisi alkohol diangkat untuk bersulang. Dimas tersenyum, seolah-olah malam ini hanyalah malam biasa. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada beban dari pernikahan yang baru saja ia jalani.
Shelma Anderia, wanita yang beberapa hari lalu menghiasi berita bersama Dimas, duduk di sampingnya. Ia menatap Dimas dengan tatapan menggoda.
"Jadi, bagaimana rasanya menjadi pria yang sudah menikah?" tanya Shelma dengan senyum nakal.
Dimas hanya tertawa kecil. "Pernikahan hanyalah formalitas. Hidupku tetap sama seperti sebelumnya."
Kata-kata itu seolah menjadi bukti bahwa Dimas tidak pernah berniat untuk berubah. Nanda hanyalah seorang istri di atas kertas, seseorang yang dinikahi untuk menyenangkan keluarga dan menjaga reputasi bisnis. Tapi hatinya, keinginannya, masih berkeliaran di luar, mencari kebebasan yang ia anggap sebagai kebahagiaan.
Di kamar yang sunyi, Nanda masih menunggu. Malam terus berlalu, dan ia mulai menyadari sebuah kenyataan pahit. Pernikahan ini tidak akan menjadi seperti dongeng yang ia harapkan. Ini adalah perjalanan panjang yang penuh dengan kesepian dan pengorbanan.
"Inikah yang disebut pernikahan?" batinnya bertanya. Namun, di balik rasa kecewa dan kesedihan itu, Nanda bertekad. Jika Dimas memilih untuk mengabaikannya, ia akan menemukan cara untuk bertahan. Ia tidak akan menjadi wanita yang hanya menunggu. Karena di dalam dirinya, ada kekuatan yang perlahan mulai tumbuh kekuatan untuk menemukan kebahagiaan dengan caranya sendiri.
***
Setelah prosesi ijab kabul yang berlangsung khidmat, Dimas membawa Nanda ke rumah barunya. Rumah itu adalah hadiah dari orang tua Dimas—sebuah rumah megah dengan arsitektur modern, terletak di kawasan elite kota. Halamannya luas, dengan taman yang tertata rapi, dan di dalamnya terdapat beberapa kamar yang masing-masing didesain dengan nuansa minimalis elegan.
Ketika mobil mereka berhenti di depan rumah, Nanda memandang bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Rumah besar ini terasa asing baginya. Tidak ada rasa hangat yang menyambut, hanya dingin yang menyelinap di antara tembok-temboknya. Dimas membuka pintu mobil dan mengisyaratkan Nanda untuk masuk tanpa sepatah kata pun.
"Ini rumah kita," ucap Dimas singkat, tanpa menoleh ke arah Nanda.
Nanda hanya mengangguk pelan, mengikuti langkah Dimas masuk ke dalam rumah. Di dalam, seorang wanita paruh baya berdiri dengan sopan di dekat pintu.
"Selamat malam, Tuan, Nyonya," sapanya. "Saya Turi, pembantu di rumah ini."
Nanda tersenyum tipis dan mengangguk, sementara Dimas hanya mengangguk seadanya sebelum melangkah menuju ruang tamu, meninggalkan Nanda berdiri di ambang pintu.
Setelah beberapa saat berbasa-basi dengan Bu Turi, Nanda akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan untuk mereka. Sebuah kamar besar dengan tempat tidur king-size, tirai tebal berwarna beige, dan lampu-lampu redup yang memberikan suasana tenang. Nanda duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kebaya pernikahannya. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya terus berputar.
Dimas tidak lama di rumah. Setelah memastikan Nanda masuk ke kamar, ia keluar lagi dengan alasan bertemu teman. Nanda tidak bertanya, tidak pula mencoba menahan. Ia hanya membiarkannya pergi, meski hatinya mulai merasakan dinginnya jarak di antara mereka.
Pagi hari, Bu Turi sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk majikan barunya. Aroma roti panggang dan kopi mulai menyebar ke seluruh rumah. Setelah memastikan meja makan tertata dengan rapi, ia menuju kamar Nanda untuk membangunkannya.
Bu Turi mengetuk pintu kamar perlahan. "Nyonya, selamat pagi. Sarapan sudah siap," panggilnya dengan nada lembut.
Tidak ada jawaban. Bu Turi kembali mengetuk, kali ini sedikit lebih keras. "Nyonya?"
Setelah beberapa detik, pintu kamar perlahan terbuka. Nanda berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kebaya pernikahan yang kusut, wajahnya tampak lelah dengan sisa-sisa riasan yang mulai memudar. Matanya sedikit sembap, menunjukkan bahwa malam itu bukanlah malam yang mudah baginya.
"Maaf, Bu Turi," ucap Nanda lirih. "Saya tertidur tanpa mengganti pakaian."
"Tak apa, Nyonya. Saya siapkan air hangat jika ingin mandi," ujar Bu Turi penuh perhatian. "Sarapan juga sudah siap di meja."
Nanda mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu Turi."
Setelah mandi dan berganti pakaian sederhana, Nanda duduk di meja makan. Bu Turi menyajikan sarapan dengan telaten. Namun, kursi di seberangnya kosong. Dimas belum pulang, atau mungkin masih tertidur di tempat lain.
Nanda menyendokkan roti panggang ke piringnya, tetapi rasanya hambar di mulutnya. Sarapan pertama di rumah ini terasa sepi, seperti bayangan akan pernikahan yang mulai terasa jauh dari kebahagiaan. Bu Turi memperhatikan Nanda dari dapur, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Apakah Nyonya baik-baik saja?" tanya Bu Turi hati-hati.
Nanda menatapnya dan tersenyum tipis. "Ya, saya baik-baik saja," jawabnya, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa semuanya baru saja dimulai. Sebuah kehidupan baru yang penuh dengan ketidakpastian dan kesepian.
Kehidupan baru yang hambar itu terasa begitu nyata bagi Nanda. Sejak pagi pertama di rumah ini, Nanda merasakan kekosongan yang menyesakkan dada. Rumah megah yang seharusnya menjadi tempat ia memulai kehidupan baru bersama Dimas, justru terasa dingin dan sunyi. Setiap sudut rumah itu terasa asing, seperti mencerminkan hubungan mereka yang rapuh.
Setelah sarapan yang sepi, Nanda berjalan perlahan menyusuri rumah. Tangannya menyentuh dinding-dinding yang dingin, mencoba mencari kehangatan yang tidak ada. Pandangannya jatuh pada ruang tamu yang luas, sofa empuk yang tidak disentuh, dan jendela besar yang memperlihatkan taman di luar. Tapi semuanya tampak kosong, seperti hatinya.
Dimas tidak kembali hingga siang menjelang. Ketika pintu utama terbuka, Nanda mendongak dengan harapan, tapi segera menyadari bahwa ekspresi suaminya tetap datar. Tidak ada senyuman, tidak ada kata-kata manis yang ia harapkan dari seorang suami yang baru menikah.
“Maaf, semalam aku ada urusan mendadak,” ucap Dimas singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut.
Nanda hanya mengangguk. “Tidak apa-apa,” jawabnya pelan, meskipun hatinya meronta ingin bertanya lebih jauh. Tapi ia menahan diri. Percuma saja, pikirnya. Dimas tidak akan memberikan jawaban yang ia cari.
Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Dimas sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin dengan kehidupannya di luar yang tidak pernah Nanda ketahui. Sementara itu, Nanda menjalani rutinitas di rumah bersama Bu Turi. Bangun pagi, sarapan sendiri, menghabiskan waktu dengan membaca atau berjalan di taman.
Setiap malam, Nanda duduk di kamar, menunggu Dimas yang selalu pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali.
Pernikahan ini, yang seharusnya menjadi awal baru yang penuh cinta dan harapan, berubah menjadi kehidupan yang hambar. Tidak ada kehangatan, tidak ada perhatian, hanya formalitas yang harus mereka jalani demi menjaga nama baik keluarga.
Di dalam dirinya, Nanda mulai bertanya-tanya, “Apakah ini hidup yang harus aku jalani selamanya? Apakah ini pernikahan yang diinginkan Ibu?”
Namun, meski rasa kecewa dan kesepian semakin dalam, Nanda mencoba bertahan. Ia belum tahu bagaimana caranya keluar dari kehampaan ini, tapi ia tahu satu hal ia tidak ingin selamanya terjebak dalam pernikahan yang hanya menjadi beban tanpa kebahagiaan.
"Saya mau tanya, boleh." Nanda yang berdiri di samping ranjang mereka.
"Tanya saja," ucap Dinas yang mengenakan jam tangan di tangan kirinya.
"Untuk apa kita menikah, jika kita harus seperti ini?" tanya Nanda membuat Dimas meliriknya.
Tanpa aba-aba, Dimas melayangkan tamparan keras pada wajah Nanda.
Nanda terhuyung ke belakang, memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan Dimas. Matanya membulat, tidak percaya bahwa lelaki yang baru saja menikahinya bisa bertindak sekejam itu. Suara tamparan itu menggema di kamar yang luas, membuat suasana menjadi semakin mencekam.
“Jangan pernah menanyakan hal yang tidak perlu!” suara Dimas rendah, namun penuh amarah. Tatapannya tajam seperti belati, menusuk langsung ke hati Nanda.
Nanda menatap Dimas dengan mata yang mulai berair. “Aku hanya ingin tahu... kenapa kita harus hidup seperti ini?” Suaranya bergetar, namun ia berusaha untuk tetap tegar.
Dimas mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Nanda. “Kamu pikir pernikahan ini tentang cinta?” Dimas tersenyum sinis. “Ini tentang kesepakatan, Nanda. Aku menikahimu karena keluargaku membutuhkannya. Itu saja.”
Kata-kata itu menghantam Nanda lebih keras daripada tamparan tadi. Kesepakatan. Satu kata itu sudah cukup untuk meruntuhkan semua harapannya. Pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan tentang membangun kehidupan bersama. Hanya sebuah perjanjian bisnis yang dingin dan tanpa perasaan.
Air mata Nanda akhirnya jatuh. “Jadi aku hanya alat?” bisiknya lirih.
Dimas menatapnya tanpa rasa bersalah. “Kamu tahu ini sejak awal. Jangan bertingkah seolah kau tidak mengerti.”
Nanda menggeleng pelan. “Aku menikahimu karena aku berharap... setidaknya ada sedikit cinta. Tapi ternyata aku salah.”
Dimas meraih jas yang tergantung di kursi. “Kamu tidak salah, Nanda. Kamu hanya terlalu berharap,” ujarnya sebelum melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Nanda sendiri dalam luka dan kepedihan yang baru saja terbuka.
***
Sejak malam itu, kehidupan Nanda semakin terasa seperti penjara. Dimas bahkan tidak membiarkannya keluar rumah tanpa ditemani Bu Turi. Kebebasannya terenggut, dan rumah megah yang mereka tinggali berubah menjadi sangkar emas yang membatasi langkahnya.
Setiap kali Nanda mencoba berbicara kepada Dimas mengenai keinginannya untuk keluar, walaupun hanya sekadar berjalan-jalan di taman atau mengunjungi ibunya, Dimas selalu menolak dengan dingin.
“Kalau kamu perlu sesuatu, suruh Bu Turi yang membelinya,” ucap Dimas suatu malam, ketika Nanda memintanya untuk pergi ke luar rumah.
“Aku bukan tahanan, Dimas. Aku butuh udara segar. Aku butuh melihat dunia luar,” Nanda mencoba berargumen dengan suara tenang, meski hatinya bergejolak.
Dimas menatapnya tajam. “Kamu aman di sini. Dunia luar hanya akan membuatmu lemah dan terpengaruh hal-hal yang tidak perlu. Aku tidak ingin kau keluar tanpa alasan.”
Nanda menghela napas panjang. Aman? Yang Dimas maksud adalah kontrol, bukan perlindungan. Ia merasa dirinya seperti boneka yang ditempatkan di etalase, hanya ada untuk dilihat, tapi tidak pernah bebas menjalani hidupnya sendiri.
Setiap pagi, Bu Turi selalu memastikan semua kebutuhan Nanda terpenuhi. Tapi Nanda tahu, Bu Turi bukan hanya seorang pembantu, melainkan juga mata dan telinga Dimas. Setiap pergerakan Nanda dilaporkan, setiap percakapan yang terdengar di rumah pasti akan sampai ke telinga suaminya.
Hari-hari Nanda dihabiskan dalam kesunyian. Membaca buku di ruang tamu yang luas, menyiram tanaman di taman belakang yang kecil, atau sekadar berdiri di dekat jendela, memandang dunia luar yang terasa begitu jauh.
Apakah ini hidup yang harus aku jalani selamanya? pikirnya berulang kali. Tapi ia tahu, jika terus begini, perlahan jiwanya akan terkikis oleh rasa sepi dan ketidakberdayaan. Ia harus menemukan jalan keluar, meskipun belum tahu bagaimana caranya.
***
Marah dan kesal akan suatu hal, Dimas selalu melampiaskannya kepada Nanda. Entah itu karena masalah pekerjaan, tekanan dari keluarganya, atau bahkan hal kecil yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Nanda selalu menjadi sasaran.
Suatu malam, Dimas pulang dengan wajah yang gelap. Langkahnya berat, dan napasnya terdengar kasar. Nanda yang tengah duduk di ruang tamu segera berdiri, mencoba menyambutnya dengan senyum meski dalam hatinya sudah ada firasat buruk.
“Kamu tidak perlu pura-pura ramah,” ucap Dimas dingin, melempar jasnya ke sofa. “Kamu tahu apa yang terjadi hari ini?”
Nanda menggeleng pelan. “Apa ada yang salah?” tanyanya hati-hati.
Dimas mendekat, matanya menatap Nanda dengan tajam. “Investor membatalkan kontrak. Semua itu karena laporan yang kacau. Dan kamu tahu apa yang mereka katakan? Mereka ragu dengan citra perusahaan setelah pernikahan kita.” Suaranya semakin meninggi, penuh kemarahan.
Nanda terdiam, mencoba meredam rasa takut yang mulai merayap. “Aku... aku tidak tahu itu akan mempengaruhi—”
“Diam!” potong Dimas, suaranya menggema di ruangan. “Kamu hanya perlu diam dan mengikuti apa yang aku katakan. Jangan banyak bicara seolah-olah kanu mengerti.”
Nanda menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Aku selalu menjadi pelampiasannya, pikirnya. Setiap kemarahan, setiap frustrasi, selalu diarahkan kepadanya, seolah-olah ia adalah akar dari semua masalah.
Dimas melangkah ke arah meja, meraih gelas dan menuangkan minuman dengan tangan yang gemetar karena marah. “Kamu ini benar-benar tidak berguna. Apa gunanya aku menikahimu kalau hanya membawa masalah?”
Kata-kata itu menusuk Nanda seperti pisau. Tidak berguna. Itulah yang selalu diucapkan Dimas ketika kemarahan menguasainya. Nanda menunduk, memandang lantai sambil mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
“Aku minta maaf...” suaranya hampir tak terdengar, hanya sebuah upaya sia-sia untuk meredakan amarah Dimas. Tapi permintaan maaf itu hanya berakhir sebagai gema di ruangan yang dingin.
Dimas mendekat sekali lagi, menatap Nanda dengan sorot mata yang penuh kebencian. “Ingat, Nanda. Kamu di sini karena aku mengizinkanmu berada di sini. Jangan pernah lupa siapa yang punya kendali.”
Setelah itu, Dimas pergi ke kamar, meninggalkan Nanda sendirian dalam keheningan yang menyesakkan. Ia berdiri di tempatnya, merasa kecil, tidak berdaya, dan semakin terjebak dalam pernikahan yang hanya memberinya luka. Berapa lama lagi aku bisa bertahan? tanyanya pada dirinya sendiri, meski ia tahu jawabannya semakin sulit untuk ditemukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!