NovelToon NovelToon

Loving You Till The End

LYTTE 01 — Fate

Ia tak bisa lagi menyembunyikan senyum lebarnya dan merasa bangga atas pencapaiannya sejauh ini. Akhirnya, Faza Nawasena bisa berkata pada dunia dan orang-orang yang telah meremehkannya dahulu, bahwa ia sudah berada di puncak karirnya setelah berbagai usaha dan rintangan yang dilaluinya selama 7 tahun terakhir.

Menjadi pimpinan tertinggi di perusahaan real estate terkenal di ibukota adalah mimpi yang akhirnya berhasil diraihnya dengan kucuran keringat dan air mata. Masih segar dalam ingatannya, hinaan orang-orang itu dan bagaimana mereka memperlakukan Faza layaknya seorang pembantu.

Namun, bukannya menyerah, Faza justru menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit. Dengan tekad dan ketekunannya selama bertahun-tahun, Faza kini mendapat hasilnya.

Ia pandangi ruang kerjanya yang mewah dengan interior kelas atas. Gelar Chief of Executive di meja dengan disertai namanya, berhasil membuat senyum Faza melebar.

"Akhirnya ... akhirnya aku bisa mendapatkan semua ini," katanya bangga dengan diikuti suara tawanya yang khas.

"Selamat atas pencapaian Anda, Tuan!" ucap Albert Kanagara, seorang asisten yang dipercaya oleh Faza untuk mengurus dan mengatur segala hal yang berkaitan dengannya.

"Oh, Albert! Kemarilah. Aku punya pekerjaan untukmu." Faza duduk di kursi kebesarannya dan mengambil sebuah map yang berada di bawah laci meja kerjanya.

Map itu, selalu ia simpan dengan rapi. Karena ia yakin, suatu saat, ia akan membutuhkannya untuk rencana jangka panjang yang ia buat.

"Ya, Tuan. Saya bersedia melakukan apapun untuk Anda dengan senang hati."

"Aku ingin kau mencari seseorang, beberapa hal yang berkaitan dengannya ada di dalam map ini."

Albert meraih map itu, membukanya sesaat lalu mengangguk mantap. "Siap, Tuan. Anda akan mendapatkan semua informasinya besok." Setelah itu, Albert beranjak dari sana.

"Saatnya untuk membalas dendam," kata Faza dengan senyum menyeringai terukir di bibirnya. Wajahnya yang tampan dengan rambut disisir klimis membuat kesan dirinya semakin berwibawa.

Ia selalu membanggakan penampilannya yang paripurna bak model kelas atas. Dengan setelan jas mahal, jam tangan mewah dan gelar di belakang namanya, perempuan mana yang tak terpesona dengan dirinya sekarang?

"Akan kubalas semua hinaan itu dengan setimpal!" katanya dengan penuh percaya diri.

•••

Ashana Lazuardi mengusap pipinya berkali-kali, tetapi air matanya tetap jatuh tanpa diminta. Tiga jam lalu, seorang dokter yang merawat ayahnya selama beberapa hari terakhir, mengumumkan kematian ayah tercintanya, Danendra Lazuardi dengan riwayat serangan jantung.

Ia pandangi lekat-lekat wajah ayahnya yang sudah memucat, seolah ingin merekam wajah itu dengan baik untuk terakhir kalinya.

"Aku sayang Ayah, tapi Tuhan lebih sayang Ayah. Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah menempatkan Ayah di sisi terbaik-Nya." Sekali lagi, ia pandangi wajah Danendra sebelum menutupnya dengan kain putih.

Meski sulit, pada akhirnya, Ashana harus melepas kepergian orang-orang tercintanya. Tak peduli seberapa tak siapnya ia untuk kehilangan, semesta tetap memaksanya untuk ikhlas.

Walau terasa sulit untuk menerima, tapi apalah daya seorang Ashana, sebagai manusia, ia hanya bisa berusaha kuat dan tabah menerima takdir yang telah digariskan-Nya. Bahwa hidup dan mati, adalah pasti.

Proses pemakaman Danendra berlangsung begitu haru, beberapa kerabat yang datang turut mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya seorang Danendra Lazuardi.

Pada saat seperti ini, Ashana dapat melihat dengan jelas, siapa yang benar-benar peduli pada keluarga mereka dan mana yang hanya sekadar hadir untuk mengucapkan empati.

Ragam ucapan penyemangat pun turut menggema di telinga Ashana, seolah menjadi nada yang sering didengarnya hari itu. Saat doa-doa selesai dilafalkan, semua orang berbalik pergi.

Tetapi, Ashana masih berdiam di sana, memandangi kedua nisan yang berdampingan. Tahun lalu, ibunya, Nirmala Manawari, yang berprofesi sebagai juru rawat di tempatnya bekerja sekarang, berpulang ke hadapan-Nya karena suatu kecelakaan, kini ayahnya pun menyusul. Sepertinya cinta mereka tak terpisahkan satu sama lain.

"Ayah ... Ibu ... " lirih Ashana sambil mengusap kedua nisan itu secara bergantian. Pelupuk matanya kembali menggenang. Kini hanya tinggal ia sendiri.

Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup setelah ini? pikirnya. Dadanya terasa sesak, pundaknya terasa berat. Begini kah rasanya kehilangan semua orang tercinta? Begini kah rasanya ditinggalkan?

"Maafkan aku, jika selama kalian hidup, Asha belum bisa menjadi anak yang berbakti. Maaf jika Asha belum bisa mewujudkan keinginan Ayah dan Ibu."

"Tapi setelah ini, Asha janji akan belajar hidup dengan baik. Asha akan menjadi seorang dokter yang hebat, seperti yang Ibu inginkan, dan menjadi perempuan kuat, seperti yang Ayah mau."

Tangan Asha berganti meraih bunga-bunga yang berada di keranjang tepat di sampingnya. "Meskipun rasanya sulit hidup tanpa kalian, tapi Asha akan tetap mencoba. Asha tidak akan menyerah."

Usai menabur bunga-bunga di atas makam mendiang orang tuanya, Asha berjalan pergi. menjauhi pemakaman.

Ia memilih langsung pulang, setelah serangkaian kejadian selama 3 hari terakhir yang menyita sebagian waktu tidurnya, ia hanya ingin beristirahat dan merebahkan diri.

•••

Keesokan paginya, Asha bangun dengan wajah yang sedikit sembab lantaran menangis semalaman. Netranya melirik jam yang ada di atas nakas. Jarum jam menunjukkan pukul 09.35 pagi.

"Astaga! Aku terlambat!" katanya panik.

Lalu, ia meraih ponselnya yang berada di atas nakas, begitu menyala, puluhan notifikasi membanjiri ponselnya.

Perlahan, ia baca pesan yang masuk. Beberapa pesan berisi ungkapan bela sungkawa, beberapa lagi berisi pesan pengingat bahwa ia ada jadwal kunjungan hari ini.

Dengan waktu yang tersisa, Ashana bergegas membersihkan dirinya. Memoles sedikit riasan pada wajahnya lalu meraih kunci mobilnya dan langsung melaju menuju rumah sakit tempatnya bekerja.

•••

"Maaf, aku terlambat," katanya begitu sampai di ruangan dokter Abi. Abimanyu tersenyum lalu mempersilakan Asha untuk duduk.

"Bagaimana perasaan kamu? Aku turut berduka, ya, Sha. Maaf juga kemarin aku tak bisa ikut ke pemakaman Ayahmu, kebetulan kemarin ada jadwal operasi," kata Abimanyu bersimpati.

Ia turut sedih karena tak bisa menghadiri pemakaman itu padahal dialah yang mengumumkan kematiannya. Ia juga menyesal karena tak bisa mendampingi Ashana di saat-saat terberat baginya.

Perempuan di hadapannya itu memang terlihat kuat dari luar, namun sebenarnya sangat rapuh. Bak kaca yang hampir pecah, sekali saja salah saat disentuh, maka ia akan hancur berkeping-keping.

Ashana mengangguk lalu tersenyum sopan, "Tidak apa-apa Kak Abi, semuanya sudah berlalu. Aku justru mau berterima kasih karena Kak Abi sudah bersedia membantuku merawat Ayah selama beberapa hari terakhir."

"Itu memang sudah tugasku sebagai dokter, Asha." Abimanyu tersenyum lembut, entah mengapa melihat Asha dan wajahnya yang teduh membuat detak jantungnya berdebar lebih cepat.

"Oh ya, kau ada jadwal Sabtu malam?" tanya Abi kemudian.

Ashana mendongak menatapnya, "Entahlah, sepertinya tidak ada. Kenapa Kak?"

"Ehm ... tidak ada apa-apa, tapi jika kau luang, aku ingin mengajakmu pergi, jika kau berkenan." Abimanyu memperbaiki posisi duduknya, sedikit takut jika ajakan kencannya ditolak lagi.

Belum sempat Asha menjawab, dering ponselnya berbunyi. Ia lihat notifikasi dari layar ponselnya, nama seseorang yang amat penting baginya muncul di bagian teratas.

"Maaf Kak Abi, aku harus mengangkat telepon ini. Akan kukabari nanti, ya." Setelahnya Asha berjalan ke luar ruangan Abimanyu.

Dokter spesialis jantung itu, bersandar pasrah, gagal lagi rencananya untuk mengajak Ashana keluar. "Semakin sulit didapatkan, semakin aku ingin mendapatkannya. Yah, mari berdoa saja Abi, semoga ada kabar baik nanti."

•••

Selamat Membaca

Semoga kamu suka dengan cerita ini.

LYTTE 02 — A Responsibility

"Ya? Halo, Om? Ada apa?" kata Ashana begitu teleponnya tersambung.

"Apa? Apakah benar-benar mengkhawatirkan? Baiklah kalau begitu, aku akan pulang sekarang juga." Ashana menutup teleponnya. Lalu berjalan ke ruangannya untuk mengecek jadwalnya hari ini.

Ia beruntung karena jadwalnya hari itu kosong.

"Sepertinya aku bisa pergi," gumamnya lalu mengambil tas dan berjalan keluar rumah sakit. Sebelum memasuki mobilnya, ia sempat menitipkan pesan pada resepsionis rumah sakit bahwa ia akan pulang untuk mengurus sesuatu yang penting.

Sesampainya di sana. Bartha Mahendra. Akuntan perusahaan ayahnya sudah duduk di ruang tamu dengan ditemani secangkir kopi hitam.

"Maaf, Om. Sudah lama menunggu?" tanya Ashana begitu masuk ke rumahnya. Melemparkan tasnya ke sofa, ia duduk berhadapan dengan Bartha.

Bartha Mahendra terduduk tegak, meletakkan cangkir kopinya di meja, lalu berkata, "Tidak, kok, tidak terlalu lama. Aku datang untuk menyampaikan hal penting terkait perusahaan ayahmu, Sha."

Mendengar itu, detak jantung Ashana berdetak dua kali lebih cepat. Rasa-rasanya ia tak cukup sanggup untuk mendengar pernyataan apapun yang keluar dari laki-laki yang usianya lebih tua dua dekade darinya itu.

"Maaf jika aku menyampaikan hal seperti ini di saat yang tidak tepat, tapi aku harus memberitahumu hal ini sebagai pewaris utama," lanjut Bartha serius.

"Tidak apa-apa, Om, aku mengerti. Jelaskan saja, Asha akan mencoba memahaminya," kata Asha mencoba berlapang dada.

Rasa sedihnya atas kepergian sang ayah memang belum hilang, tapi ia tahu bahwa sudah tanggung jawabnya untuk mengurus perusahaan ayahnya itu.

Bartha mengulas senyumnya, kemudian, ia pun mulai menjelaskan krisis yang terjadi pada perusahaan Danendra.

Sejak beberapa bulan terakhir, yang Ashana tahu, perusahaan ayahnya memang mengalami beberapa kerugian yang cukup besar. Hal itu pula yang membuat kondisi kesehatan ayahnya mendadak menurun drastis.

"Kita tidak akan bisa mempertahankan perusahaan jika tidak melunasi hutang-hutang perusahaan pada pihak kreditur, belum lagi kita harus membayar gaji karyawan yang sudah tertunggak selama dua bulan." Bartha terlihat menarik napas panjang beberapa kali. Jelas sekali bahwa ia tengah frustasi.

Ashana yang tak terlalu paham dengan urusan perusahaan itu masih mencoba memahami keadaan yang Bartha sebut sebagai krisis perusahaan dengan sebaik-baiknya.

"Apakah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan perusahaan ayah, Om?"

Bartha tampak berpikir sejenak, "Mungkin ada, kita harus mencari investor, jika kau menyetujuinya, aku akan mencoba mencari beberapa investor yang tepat."

Kepala Ashana tertunduk, memerhatikan jari-jarinya yang lentik sambil berfikir. "Jika kita tidak menemukannya?" tanyanya penasaran, masih mencoba cara lain yang memungkinkan.

"Yah, kita terpaksa harus menjual perusahaan, setidaknya dengan begitu gaji karyawan masih bisa dibayarkan." Bartha kembali menyesap kopinya.

Ashana tampak berpikir, ia benar-benar tak mengerti persoalan apapun yang menyangkut perusahaan. Selama ini ia hanya belajar tentang cara merawat dan menyembuhkan orang yang sakit bukan tentang neraca dan angka yang menurutnya sangat rumit untuk dipahami.

"Seingatku, Ayah masih memiliki beberapa properti seperti villa kami di Bandung dan mansion di HongKong. Tidak bisa kah kita menjualnya untuk menutupi kerugian itu, Om?" Ashana masih mencoba mencari jalan keluar yang lebih mudah. Meski ia juga tak yakin dengan hal itu.

Bartha menggeleng lemah dan menghela napas panjang sebelum berbicara. "Ayahmu sudah menjual properti itu dua bulan yang lalu, Ashana. Sudah tak ada lagi, kecuali rumah yang sekarang kau tinggali ini," jelasnya.

Pundak Ashana semakin terasa berat, kepalanya bahkan mulai berdenyut memikirkan masalah rumit ini. Ia bahkan tak berani mempertanyakan saham-saham yang kemungkinan masih dimiliki ayahnya, ia takut jawaban yang sama akan diterimanya.

Selama beberapa saat, keduanya sama-sama diam. Memikirkan jalan keluar terbaik untuk mereka semua. Asha menatap sekeliling rumahnya, rumah tempatnya tumbuh, tempat di mana kenangan-kenangan bersama orang tuanya merekah.

Tanpa sadar, kedua mata Ashana mengembun, ia selalu merasa sentimentil dengan rumah ini. Rumah yang dibangun sang ayah dengan jerih payah. Ia tak akan bisa melepaskan rumah ini begitu saja.

"Baiklah, Om, jika hanya itu cara yang kita punya, aku mohon bantuan Om Bartha untuk mencari investor yang tepat. Dengan begitu, setidaknya kita masih memiliki sebagian kepemilikan perusahaan," kata Ashana da akhirnya. Setelah menimbang baik dan buruk, ia memilih mencoba pada kemungkinan pertama.

Tak ada salahnya mencoba, pikir Asha.

"Kau yakin?" tanya Bartha kembali memastikan. Asha mengangguk mantap, ia akan mencoba segala hal yang ia bisa untuk mempertahankan perusahaan dan rumah penuh kenangan miliknya.

"Baiklah kalau begitu, aku akan segera mencari investor yang cocok. Aku akan mengabarimu jika aku sudah mendapatkannya." Bartha mulai berdiri, ia harus segera mencari investor itu dengan cepat dan tepat.

"Baik, Om, terima kasih atas bantuannya. Aku sangat menghargai apapun usaha Om untuk membantuku."

"Sudah menjadi tugasku. Jaga dirimu, ya, aku pergi dulu." Bartha lalu berjalan keluar dan mengendarai mobilnya. Sedangkan Asha kembali duduk dan meletakkan kepalanya pada sandaran sofa.

"Kak, makan siang sudah siap." Bi Ani datang memberitahunya. Sudah pukul dua belas siang ternyata. Pantas saja perutnya terasa perih.

"Nanti saja, Bi, aku tak selera makan sekarang." Asha justru berjalan naik ke tangga, meninggalkan Bi Ani yang mengkhawatirkan dirinya. "Tolong buatkan aku kopi, Bi."

Bi Ani hanya menghela napas, turut kasihan pada anak majikannya itu. "Baik, Kak. Nanti Bibi bawakan ke atas kopinya."

•••

Langkah kaki Albert menghentak lantai perusahaan menuju sebuah ruangan, meninggalkan bunyi yang seirama dengan langkah kakinya yang lebar. Satu tangannya terulur mengetuk pintu, saat sahutan dari dalam didengarnya, ia langsung mendorong pintu.

Wajah tampan dan serius atasannya langsung tersaji di depan mata. Faza tengah sibuk memeriksa dokumen, tetapi begitu melihat Albert berdiri di depannya, ia langsung melepaskan kacamatanya.

"Ada perlu apa?" tanyanya. Ia harap Albert, asistennya, membawa kabar baik.

Albert mengambil langkah mendekat, sedikit membungkuk hormat. "Saya sudah mengatur pertemuan dengan akuntan perusahaan Lazuardi. Seperti yang Anda duga, Tuan, mereka menyetujui kesepakatan yang ditawarkan. Tetapi, mereka meminta bertemu secara langsung dengan Anda untuk membahas kesepakatan itu lebih lanjut."

Penjelasan yang diberikan Albert, membuat sudut bibir Faza terangkat. Ia tersenyum puas, bersorak dalam hati dan menantikan pertemuannya dengan sang mantan pujaan hati.

Faza mengangguk, "Baiklah, jam berapa pertemuannya?" tanyanya mulai antusias.

"Di Hotel Royal Continental, Tuan, pukul 19.00 malam," jawab Albert penuh hormat.

"Baik, tolong persiapkan segalanya. Kau boleh pergi," kata Faza sambil mengibaskan tangannya. Meminta sang asisten untuk keluar.

"Baik, Tuan. Saya permisi." Menunduk hormat, Albert mundur dan berjalan ke luar dari ruangan sang atasan.

Setelah kepergian sang asisten, Faza kembali fokus pada pekerjaannya sambil tak henti-hentinya tersenyum. "Aku sangat menantikan pertemuan ini, Ashana Lazuardi."

LYTTE 03 — Meet Him Again

Ashana sibuk memilih pakaian yang pantas untuk ia kenakan dalam pertemuan pentingnya malam ini. Meskipun ia bukan tipe yang terlalu mementingkan penampilan, tapi untuk malam ini, ia bebar-benar ingin membuat kesan yang baik pada calon investornya.

Setelah setengah jam memilih, pilihannya jatuh pada maxi dress berwarna cokelat tua, ia padankan dress itu dengan hijab warna senada. Setelahnya, Ashana membubuhkan make up tipis guna mempercantik dandanannya malam itu.

Tak lupa sebuah belt yang melingkari pinggangnya, dan sebuah clutch di tangan semakin melengkapi penampilannya.

Beberapa menit kemudian, ia dengar deru suara mobil Bartha memasuki pelataran rumahnya. Ashana meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas, memasukkannya ke dalam tas, lalu berjalan ke bawah.

Benar saja, Bartha sudah berdiri di depan pintu. Ketika melihat Ashana menuruni tangga, ia pun tersenyum.

"Kau sangat cantik malam ini, Ashana," pujinya tulus, ia harap Ashana baik-baik saja.

"Kau sudah siap?" tanyanya yang langsung diangguki perempuan itu. "Baiklah, ayo kita pergi."

30 menit berkendara, mereka akhirnya sampai di tempat tujuan. "Kau sudah tahu kan apa yang harus kau katakan?" tanya Bartha memastikan. Ternyata, bukan hanya Ashana yang gugup dengan pertemuan ini, namun Bartha juga.

Ashana mengangguk, seraya mengikuti langkah Bartha menuju sebuah restoran. "Reservasi untuk empat orang atas nama Albert," kata Bartha kepada seorang waiter.

Sang waiter terlihat mengecek daftar reservasi kemudian berkata, "Maaf, Pak, tapi reservasi atas nama Tuan Albert hanya untuk dua orang saja, dan beliau sudah menunggu di dalam," katanya sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.

"Apa kau yakin? Bisa tolong diperiksa kembali?" pinta Bartha masih tak yakin. Wajahnya berubah panik dan cemas.

"Maaf, Tuan. Tapi reservasinya memang hanya untuk dua orang," jawab sang waiter.

Bartha beralih pada Ashana, "Jangan khawatir, aku akan melakukan reservasi ulang. Kau tunggu di sini."

Belum sempat Bartha melangkah, tangannya sudah dicekal Ashana. "Aku rasa tidak perlu, Om."

Ashana mengedarkan pandangannya ke sekeliling. restoran yang mereka kunjungi sangat ramai dan ia tak yakin akan mendapatkan tempat duduk jika mereka melakukan reservasi ulang.

"Sepertinya, calon investor kita hanya ingin membicarakan kesepakatan itu hanya denganku. Aku akan menemuinya sendirian," kata Ashana sambil mengulas senyumnya.

"Kau yakin?" tanya Bartha memastikan, melihat Ashana mengangguk ia pun menjadi yakin.

Bartha menghela napas lalu berkata, "Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu di lobi, kabari aku jika kau membutuhkan sesuatu dan ingatlah untuk tidak mengambil keputusan apapun jika kau merasa ragu. Katakan padanya kau akan mengambil keputusan setelah berdiskusi denganku. Kau paham itu Ashana?"

Jelas sekali bahwa Bartha mengkhawatirkan Ashana, pasalnya, calon investor yang akan mereka temui itu menolak memberitahukan informasi detail mengenai dirinya, membuat sebagian kepercayaan Bartha menipis. Tapi, ia dan Ashana tak memiliki jalan lain lagi.

Perempuan itu mengangguk paham lalu tersenyum, berusaha meyakinkan Bartha dengan kemampuannya untuk bernegosiasi. "Aku paham, Om, kalau begitu aku ke dalam dulu, ya. Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini."

Setelahnya, Ashana mengikuti seorang pelayan yang membawanya menuju meja untuk dua orang yang berada di tengah-tengah ruangan. Jantungnya berdegup kencang saat melihat seorang pria berdiri tak jauh dari meja.

Ashana tersenyum lalu mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang sudah mengantarnya itu. Pandangannya beralih pada sosok tinggi tegap dengan setelan formal yang tersenyum ramah padanya.

"Ibu Ashana Lazuardi?" tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya.

Ashana menerima jabatan tangan itu, "Benar. Anda Tuan Albert Kanagara?"

Pria itu tersenyum ramah, "Panggil Albert saja, silakan duduk dulu, Bu." Albert menarikkan kursi dan membantu Ashana untuk duduk dengan nyaman.

"Saya permisi untuk memanggil atasan saya. Mohon menunggu sebentar," ujar Albert sambil menarik diri dari sana.

Ashana hanya menganggukkan kepala, meskipun ia merasa sedikit aneh, tapi ia tak ingin banyak berkomentar. Apalagi di saat ia tak tahu apapun tentang calon investor yang akan ia temui itu.

Matanya mengikuti sosok Albert yang berjalan keluar restoran dan terlihat menelepon seseorang, gelagatnya terlihat tak biasa dan Ashana tak bisa menampik perasaan janggal yang mulai muncul ke permukaan.

Tak lama setelah Albert pergi, Ashana menangkap sosok seorang pria yang sangat dikenalnya berjalan mendekat ke tempat di mana ia duduk sekarang. Napas Ashana tercekat, perasaan dingin yang menusuk mulai merambati kaki dan tangannya.

Ini mustahil, pikir Ashana.

Pria itu tersenyum miring, berjalan dengan angkuh dan penuh determinasi saat mendapati Ashana yang menatapnya tanpa berkedip. Sepasang mata Ashana terpaku pada wajah tampan pria itu.

Tak ada yang berubah, pikir Ashana. Yang membedakan penampilan pria itu sekarang hanyalah penampilannya yang menunjukkan seberapa tinggi jabatan dan betapa terhormatnya ia. Pria itu terlihat lebih tua dan dewasa dari yang pernah diingatnya.

7 tahun berlalu begitu cepat.

Selama beberapa saat, Faza Nawasena mengunci pandangannya pada Ashana yang sepertinya sangat terkejut dengan kehadirannya. Faza dapat melihat dengan jelas gurat keterkejutan itu dari wajah Ashana.

Merasa dipandang dengan begitu intens, hati Ashana kembali berdesir untuk pertama kalinya setelah 7 tahun tak bertemu dengan pria yang pernah dicintainya itu.

Pandangan mata Faza yang tertuju padanya berhasil mengusik kepingan-kepingan kenangan yang telah dikuburnya dalam-dalam.

"Ashana," sapa Faza dengan senyum khasnya.

Senyum dan suara yang sama, yang pernah membuat Ashana tergila-gila pada pria itu. Menelan saliva, ia sekuat tenaga mempertahankan raut wajahnya agar terlihat biasa-biasa saja. Setidaknya, pria itu tak boleh tahu jika kehadirannya membuat hati Ashana terguncang hebat.

"Faza," ucap Ashana lirih. Pada akhirnya, nama itu harus ia sebut atas nama kesopanan. Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, nama itu tetap terasa getir di bibirnya. "Jadi kau calon investor kami?"

Faza tersenyum, ia tak menjawab melainkan menarik kursinya dan duduk dengan arogan di hadapan Ashana. Tangannya terangkat ke atas untuk memanggil seorang waitress.

"Aku ingin Ratatouille dan Tarte aux pommes dan berikan aku minuman terbaik." Sang waitress terlihat menulis pesanan.

Faza beralih pada Ashana yang masih menatapnya tak percaya. "Kau mau pesan apa?"

"Aku tidak lapar," kata Ashana seraya memalingkan wajahnya ke samping. Muak sekali rasanya melihat rupa pria yang selama bertahun-tahun ini berusaha untuk ia lupakan.

"Well, apa kau masih ingat? Aku tidak ingin membicarakan apapun dalam keadaan perut kosong dan tidak akan pernah membiarkan lawan bicaraku kelaparan," kata Faza penuh penekanan.

Ashana mendengus, "Steak au poivre dan air putih saja, thanks," ujarnya, lalu sang pelayan itu mundur setelah berkata akan mengantarkan pesanan mereka selama beberapa menit lagi.

"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanya Ashana tak ingin berbasa-basi setelah pelayan itu pergi.

Faza tersenyum miring, "Coba tebak."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!