Gista berjalan kesana kemari di dalam rumah kontrakannya sembari menggigit kuku-kuku tangannya. Ia berpikir dengan sangat keras. Mencari solusi, dimana atau bagaimana cara mendapatkan uang sebesar seratus lima puluh juta untuk membayar hutang sang bapak pada seorang rentenir.
Gadis bernama lengkap Anggista Anggraini itu tidak pernah tau jika sang bapak selama ini melakukan perbuatan haram demi untuk bisa membiayai kuliahnya.
Beberapa waktu lalu, seorang rentenir ditemani dua orang preman datang dan mengamuk ke rumah kontrakannya. Saat itulah Gista mengetahui jika sang bapak selama ini suka bermain judi online dan meminjam uang hingga ratusan juta.
Rentenir itu mengancam akan membakar rumah kontrakan dan menghabisi sang bapak, jika dalam minggu ini Gista tidak dapat mengembalikan uang mereka.
Para penagih hutang itu tidak mau lagi memberikan kelonggaran waktu pada Gista atau bapaknya untuk melunasi hutang itu. Karena jatuh tempo sudah cukup lama.
“Apa aku harus menghubungi Renatta?”
Gista ingat jika sahabatnya itu menawarkan bantuan dan bersedia memberi pinjaman. Waktu itu, ia memang menolaknya. Tetapi, Gista yakin Renatta mau membantunya saat ini.
Ia pun mengambil ponsel untuk menghubungi Renatta.
“Astaga. Aku lupa jika dia sedang kabur dari rumah.” Ucap Gista ketika nomor ponsel sang sahabat tidak dapat di hubungi.
Terlalu sibuk memikirkan cara mendapatkan uang banyak dalam waktu singkat, Gista lupa jika Renatta sedang pergi meninggalkan rumah suaminya.
“Aku harus bagaimana sekarang?”
Ia tidak memiliki harta bergerak yang bisa dijual saat genting seperti ini. Hanya sebuah motor matic dengan mesin 125cc, jika dijual mungkin hanya akan laku senilai sepuluh juta atau justru di bawah itu.
“Apa aku kabur saja? Toh bapak juga tidak tau ada dimana saat ini.”
Kabur dan membiarkan rumah kontrakan itu di bakar oleh rentenir. Tidak! Gista tidak boleh seegois itu, membiarkan orang lain menghancurkan tempat yang bukan miliknya.
.
Lalu gadis itu harus berbuat apa?
Ia kembali berjalan mondar-mandir di dalam rumah kontrakan sederhananya itu.
Dirgantara Wijaya.
Nama sang atasan pemilik kafe tempatnya bekerja paruh waktu, tiba-tiba muncul di dalam benak gadis itu. Haruskah Gista pergi menemui pria itu untuk meminjam uang?
Bukankah kata Renatta, pria berstatus duda itu sangat baik? Tidak ada salahnya jika Gista mencoba peruntungan.
“Aih. Seperti di dalam cerita novel saja.” Gadis itu mengusap wajahnya dengan kasar. Ia kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tidak ada pilihan lain. Gista harus bertemu dengan Dirgantara Wijaya untuk meminjam uang.
\~\~\~\~
Pukul lima sore, Gista tiba di kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Ia memarkirkan sepeda motornya di tempat parkir khusus karyawan.
Kepala gadis itu sejenak memutar, memindai kendaraan-kendaraan yang berbaris dengan rapi.
“Semoga malam ini pak Dirga datang kemari.” Monolognya ketika tidak melihat mobil sang pemilik kafe.
Dirga biasanya datang di malam hari menjelang kafe tutup. Bahkan pernah tidak datang sama sekali karena kesibukannya sebagai wakil direktur Wijaya Group.
Dan Gista hanya berharap, malam ini pria itu akan datang agar ia bisa berbicara dengannya.
Gadis itu menghela nafas berulang kali. Ia kemudian masuk ke dalam kafe untuk bekerja seperti biasa.
Sudah seminggu lebih ia bekerja paruh waktu di kafe milik Dirga itu. Para rekan kerjanya juga sejauh ini selalu bersikap baik padanya. Apalagi setelah mengetahui jika Gista adalah sahabat dari Renatta, yang kini menjadi kakak ipar Dirgantara Wijaya.
Waktu terus bergulir, sore kini telah berganti malam. Para pengunjung kafe pun semakin ramai. Gista yang bertugas sebagai seorang pramusaji, pun merasa lelah di kedua kakinya. Namun, ia tidak mau mengeluh. Meski gajih bekerja paruh waktu tidak bisa membayar hutang bapak pada rentenir, setidaknya ia memiliki biaya hidup kedepannya.
Ah, mengingat tentang hutang, kepala Gista kembali berotasi untuk mencari keberadaan sang atasan. Jika tidak salah, sepertinya tadi ia melihat pria dewasa itu memasuki kafe. Semoga saja Dirga masih ada di tempat itu.
“Apa kamu melihat pak Dirga?” Tanya Gista pada salah seorang rekan kerja yang bertugas di pintu masuk, menyambut kedatangan para pengunjung kafe.
“Sepertinya beliau di dalam. Itu mobilnya masih disana.” Pramusaji wanita yang usianya tak jauh lebih tua dari Gista itu menunjuk ke arah mobil sedan hitam mengkilap milik Dirga yang terparkir tak jauh dari pintu masuk kafe.
Gista menganggukkan kepalanya. Ia pun kembali masuk ke dalam kafe.
“Itu dia.” Gumam Gista saat melihat Dirga sedang duduk bersama seorang pria berpakaian serba hitam.
“Aku tidak mungkin menghampirinya saat ini ‘kan?” Monolognya gadis itu lagi.
Melihat Dirga yang sedang berbincang serius dengan orang itu, Gista memilih melanjutkan bekerja. Ia hanya bisa berharap dalam hati agar sang atasan tidak pergi dengan cepat.
Satu jam berlalu.
Gista pun melihat Dirga sudah duduk sendirian. Pria itu tengah sibuk dengan ponsel di tangannya. Gadis itu pun memberanikan diri untuk mendekati meja yang di tempati oleh sang atasan.
“Pak Dirga.” Ucap Gista pelan.
“Hmm.” Pria itu menjawab dengan sebuah gumaman, tanpa melihat siapa yang datang.
Gista menghela nafas pelan. Seperti inilah nasib para bawahan ketika menghadap atasannya.
“Maaf, pak. Apa saya boleh meminta waktu anda sebentar.” Gadis itu memberanikan diri untuk berbicara. Ia sudah tidak memiliki banyak waktu.
Nasib bapak dan rumah kontrakan ada di tangannya.
Mendengar ucapan panjang itu, Dirga pun mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Ia menatap pramusaji yang sedang berdiri di samping meja.
Mata elang Dirga mengamati dengan tajam. Membuat jantung Gista berdetak dengan kencang. Bukan karena jatuh cinta. Namun karena takut di sembur Dirga saat ini juga.
“Kamu, sahabatnya Renatta.” Ucap pria itu. Bukan sebuah pertanyaan. Melainkan sebuah pernyataan.
Dirga hafal betul wajah sahabat Renatta itu. Karena sang kakak sepupu memintanya untuk mengawasi gadis itu.
Kepala Gista mengangguk pelan.
“Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?” Tanya pria itu dengan serius.
Gista meremat ujung waist apron yang ia gunakan. Ia tidak mungkin mengatakan akan meminjam uang di tempat terbuka seperti ini ‘kan?
Melihat sang bawahan tak kunjung bicara, Dirga pun melirik arloji mahal di pergelangan tangannya. Dua jam lagi kafe akan tutup. Ia menduga pasti ada hal penting yang ingin gadis itu bicarakan padanya. Mungkin menyangkut kepergian kakak iparnya?
“Setelah selesai berberes, temui saya di ruang kerja.” Ucap Dirga kemudian.
Gista pun menganggukkan kepalanya. Ia pun pamit untuk kembali bekerja.
‘Semoga pak Dirga mau meminjamkan uangnya padaku.’ Monolog Gista dalam hati.
Ia rasa, uang seratus lima puluh juta bukanlah hal besar untuk orang sekelas Dirgantara Wijaya. Tetapi, apa mungkin pria itu dengan mudah meminjamkan pada orang yang baru beberapa hari bekerja dengannya?
...****************...
Pukul sebelas malam, para pekerja kafe telah selesai berberes dan siap untuk menutup kafe. Satu persatu para karyawan pun pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat situasi mulai aman, Gista pun bergegas menemui Dirga yang sedang menghitung pendapatan hari ini di ruang kerjanya.
Pria itu menyimpan laptopnya ketika mendengar suara ketukan pada pintu ruang kerjanya. Ia pun mempersilahkan orang di luar sana untuk masuk.
Dengan jantung yang mulai berdetak lebih kencang, Gista masuk kemudian menutup kembali pintu ruangan itu. Ia tidak ingin jika ada rekan kerjanya yang mendengar pembicaraan mereka.
“Silahkan duduk.” Ucap Dirga sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya.
Gista mengangguk pelan. Kemudian mengambil tempat di seberang meja kerja sang atasan.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan nona— Dirga menjeda ucapannya, salah satu alis pria dewasa itu terangkat. Ia melupakan nama sahabat kakak iparnya itu.
“Anggista Anggraini, pak. Anda bisa memanggil saya Gista.” Ucap Gista yang mengerti maksud isyarat mata pria dewasa itu.
“Apa ini menyangkut kepergian kakak ipar saya?” Tanya Dirga kemudian. Ia harus segera mendapatkan informasi dimana keberadaan Renatta agar sang kakak— Richard Wijaya berhenti mengamuk karena kehilangan istrinya.
Kepala Gista menggeleng pelan. “Saya tidak tau dimana Renatta berada, pak.” Jelasnya.
“Lalu?”
Gista menghirup udara sebanyak mungkin. Ia yang biasanya selalu bicara to the point, entah mengapa saat seperti ini menjadi gugup.
Gadis itu takut mendapat amukan dari sang atasan.
“S-saya ingin meminjam uang pada anda, pak.” Ucap Gista terbata.
Kerutan halus terlukis pada dahi pria tampan itu setelah mendengar ucapan Gista.
“Meminjam uang? Berapa?” Tanyanya kemudian.
Gista menghela nafas pelan. “S-seratus lima puluh.” Gumamnya pelan.
“Seratus lima puluh ribu?” Dirga pun merogoh saku celana bahan yang ia gunakan untuk mengambil dompet.
Kepala Gista menggeleng kencang ketika pria itu menyodorkan dua lembar uang berwarna merah padanya.
“Seratus lima puluh juta, pak.”
Dirga menarik tangannya yang memegang uang, kemudian kembali menyimpan di dalam dompet.
“Untuk apa kamu meminjam uang sebanyak itu?”
“Membayar hutang bapak saya pada seorang rentenir, pak.” Jawab Gista dengan jujur.
Dirga mencebikkan bibirnya. Alasan yang sangat klasik dan sudah sering ia dengar dari beberapa bawahannya di kantor Wijaya Group.
“Kamu ingat ‘kan baru berapa lama kafe ini buka?” Tanya pria itu.
Dan Gista menganggukkan kepalanya.
“Lalu apa kamu pikir, saya sudah mendapatkan keuntungan sebanyak itu setelah tempat ini beroperasi?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Lalu kenapa kamu dengan beraninya ingin meminjam uang sebanyak itu?”
Gista menelan ludah dengan kasar, ketika Dirga menatapnya dengan lekat.
“Tetapi, saya tidak ingin meminjam uang kafe, pak. S-saya ingin meminjam uang pribadi bapak.” Ucap gadis itu kemudian.
Dirga mengamati gadis di hadapannya ini dengan lekat.
Selama hampir dua minggu bekerja di kafe itu, Gista memang tidak pernah membuat masalah. Justru gadis yang berstatus pekerja paruh waktu itu lebih rajin dan cekatan dari pekerja tetap.
Dirga kemudian teringat cerita Renatta ketika wanita itu menanyakan lowongan pekerjaan pada dirinya.
‘Jadi benar gadis ini bekerja untuk membayar hutang ayahnya?’
“Apa kamu yakin saya mempunyai uang sebanyak itu?”
“Tentu saja. Bukankah bapak salah satu ahli waris keluarga Wijaya?” Gista seketika mengatupkan bibirnya setelah menyadari kelancangan dalam berbicara.
Dirga kembali mencebikkan bibirnya.
“Lalu apa kamu yakin saya akan meminjamkan uang pribadi saya sama kamu?”
Kepala Gista menggeleng lemah. “Saya tidak yakin, pak.” Ucap gadis itu dengan sendu.
Sepertinya, ia harus keluar dengan tangan hampa dari kafe itu. Gista harus mencari cara agar segera mendapatkan uang. Waktunya tinggal tiga hari lagi. Ia tidak mungkin membiarkan sang bapak di sakiti oleh rentenir itu.
“Kalau tidak yakin, kenapa kamu datang pada saya?” Pria itu kembali melempar tanya.
Dan kali ini, Gista pun menyerah.
“Karena saya tidak memiliki pilihan, pak. Sebelumnya, Renatta sudah menawarkan diri dan menyuruh saya untuk menghubungi dirinya di saat terdesak. Tetapi, sekarang dia menghilang dan tidak bisa di hubungi, sementara saya sudah tidak memiliki banyak waktu lagi untuk membayar hutang itu.” Gadis itu menjeda ucapannya dengan helaan nafas lelah.
“Dan lagi, menurut Renatta anda orang baik seperti pak Richard. Karena itu saya memberanikan diri meminta bantuan bapak. Tetapi sayang, seperti saya belum beruntung untuk bisa mendapatkan kebaikan bapak.” Imbuhnya kemudian.
Dirga hanya diam tanpa memberikan tanggapan apapun.
Ia menghela nafasnya dengan kuat sekali lagi. Kemudian berdiri dari tempat duduknya. Sudah tidak ada gunanya berdiam diri terlalu lama di dalam kafe itu. Gista harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang seratus lima puluh juta itu.
“Terima kasih atas waktunya, pak. Maaf karena saya telah mengganggu waktu istirahat anda. Saya permisi.”
“Tunggu.”
Langkah kaki Gista terhenti ketika tangannya baru saja mendarat pada gagang pintu. Gadis itu memutar badan untuk melihat ke arah sang atasan.
“Ada apa, pak?” Tanyanya dengan sopan, meski ia ingin sekali cepat pergi dari tempat itu.
“Jadi menurut Renatta, saya pria yang baik seperti suaminya?” Tanya Dirga kemudian.
Dahi Gista berkerut halus. Ia mengira Dirga menghentikannya karena berubah pikiran. Tetapi, pria itu justru menanyakan tentang penilaian Renatta terhadapnya.
“Ya.” Jawab gadis itu singkat. Ia dapat melihat sudut bibir Dirga terangkat. Pria berstatus duda tanpa anak itu sedang tersenyum.
“Kapan kamu memerlukan uang itu?” Tanya Dirga yang membuat Gista semakin mengerutkan dahinya.
Pria itu kemudian bangkit dari atas kursi kerjanya. Berjalan ke arah Gista dengan kedua tangan tersimpan di dalam saku celana.
“Kamu mengatakan sudah tidak memiliki banyak waktu untuk membayar hutang itu. Yang artinya kamu harus segera mendapatkan uang itu ‘kan?”
Kepala Gista mengangguk pelan. “Jika dalam tiga hari kedepan saya tidak bisa melunasi hutang bapak saya, maka rentenir itu akan membakar rumah kontrakan dan meng-habisi bapak saya.” Jelas gadis itu lagi.
Dirga pun mengangguk paham. Ia kemudian mengambil ponselnya dari atas meja.
“Tulis nomor ponsel kamu.” Ia menyodorkan telepon genggam berharga puluhan juta itu pada Gista.
Gadis itu kemudian mengetikan dua belas angka di atas layar benda pipih pintar itu. Lalu mengembalikannya lagi pada Dirga.
Tak berapa lama, ponsel di dalam tas selempang yang Gista gunakan pun bergetar. Gadis itu langsung memeriksanya setelah Dirga memberikan isyarat mata.
“Besok malam datang ke alamat itu setelah kamu selesai bekerja. Saya akan memberikan uang yang kamu minta.” Ucap pria itu kemudian.
Gista sejenak terdiam. Hingga Dirga melambaikan tangan tepat di hadapan wajahnya.
“Terima kasih, pak.” Ucap gadis itu dengan tulus.
...****************...
Dirga tidak pernah memikirkan pendapat orang lain tentang dirinya selama ini. Bagaimana pun orang menilai, toh pria itu tidak meminta makan pada mereka.
Namun, ketika Gista mengatakan jika Renatta menganggap dirinya sebaik Richard, hati Dirga pun bersorak. Ia yang tadinya enggan meminjamkan uang pada Gista, pun langsung berubah pikiran.
Dirga tidak mau jika Gista mengadu pada Renatta, dan membuat penilaian sang kakak ipar berubah buruk pada dirinya. Maka dari itu, pria berusia tiga puluh lima tahun, yang berstatus duda tanpa anak itu pun setuju untuk membantu Gista.
Anggista Anggraini.
Dirga membaca nama yang tertera di atas sebuah kertas putih yang di berikan oleh orang suruhannya. Selain untuk mencari keberadaan sang kakak ipar, Dirga juga menyelidiki latar belakang dari Gista.
“Jadi dia berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dan hanya memiliki seorang ayah yang hanya bekerja serabutan?” Gumam Dirga sembari membaca informasi yang tertera pada kertas putih itu.
Sudut bibir pria itu terangkat. “Ternyata Renatta memang gadis yang baik. Dia mau berteman dengan kalangan bawah. Pantas saja kakak rela melajang hingga berusia empat puluh tahun.” Imbuh pria itu lagi.
Andai sang mantan istri juga memiliki sifat yang sama dengan Renatta, sudah di pastikan hari ini mereka masih berada dalam ikatan rumah tangga yang bahagia.
Ah, Dirga jadi teringat kembali dengan mantan istri yang telah tega mengkhianatinya. Bahkan sehari setelah hari jadi pernikahan mereka yang ketiga tahun.
Tak seharusnya Dirga membandingkan gadis sebaik Renatta dengan Ellena, sang mantan istri.
Pria itu pun mengalihkan pikiran dengan kembali bekerja. Banyak dukomen menumpuk di atas meja yang harus ia tangani, mengingat sang kakak sepupu sedang tidak berkonsentrasi dalam bekerja.
“Beginilah nasib menjadi bawahan.” Decak Dirga. Ia selalu mendapat limpahan pekerjaan ketika Richard sedang sibuk mengurusi urusan pribadinya.
Entah kapan ia bisa bersantai menikmati hari-harinya di kantor. Mungkin ketika Richard sudah pensiun? Dan saat itu tiba, yang ada dirinya akan semakin sibuk karena menggantikan sang kakak menjadi pimpinan Wijaya Group.
Dirga menghela nafas kasar.
Dirinya dan Richard merupakan ahli waris ketiga keluarga Wijaya. Sepasang sepupu itu menggantikan posisi yang sebelumnya di tempati oleh ayah masing-masing.
Richard menggantikan papa Jonathan sebagai pimpinan, sementara Dirga menggantikan posisi papa Jordan sebagai wakilnya.
Seharusnya, papa Jordan yang menjabat sebagai pimpinan Wijaya Group ketika papa Jonathan pensiun. Namun, mama Dirga mengalami sakit keras dan diharuskan untuk melakukan pengobatan dalam jangka panjang, yang membuat sang papa memilih mundur dan menyerahkan tampuk kepemimpinan pada sang keponakan.
“Maaf, pak.” Suara lembut seorang wanita mengalihkan perhatian Dirga dari dokumen yang ada di hadapannya.
Pria itu memutar bola matanya dengan malas ketika melihat Melissa—sekretaris Richard berdiri di ambang pintu ruang kerjanya.
“Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk?” Tanyanya dengan nada tak bersahabat.
Dirga tidak menyukai sekretaris sang sepupu. Terlalu suka menebar pesona. Untungnya ia dan Richard tak terperangkap oleh wanita itu.
“Maafkan aku, pak. Pintu ruangan anda sedikit terbuka. Jadi aku—
“Lain kali, meski terbuka dengan lebar pun kamu harus tetap ingat mengetuk pintu. Ini kantor, bukan rumah pribadimu.” Potong pria itu dengan cepat.
Beginilah jadinya jika Richard terlalu sering bolos kerja. Sekretarisnya menjadi besar kepala dan tidak mengerti sopan santun.
“Sekali lagi maafkan aku, pak.” Ucap Melissa penuh sesal.
“Sudah. Katakan apa kepentinganmu datang kemari?”
Wanita itu kemudian mendekat ke arah meja kerja Dirga, lalu meletakan dua buah map berwarna hitam.
“Laporan dari Manager keuangan.” Beritahu Melissa.
Dirga pun mengangguk paham kemudian meminta wanita itu untuk pergi dari ruangannya.
“Lihat saja nanti, pak Dirga. Kamu pasti akan jatuh dalam pesonaku.” Gerutu Melissa sembari meninggalkan ruangan wakil direktur itu.
\~\~\~
Malam harinya.
Gista menjadi harap-harap cemas ketika Dirga tidak muncul di kafe hingga pukul delapan lewat tiga puluh menit. Bagaimana jika pria itu tidak datang?
Memang mereka sudah membuat janji temu di sebuah apartemen. Namun, Gista tidak yakin dirinya berani datang ke tempat itu sendirian.
“Kamu mencari siapa, Ta?” Tanya salah satu rekan kerjanya.
Gelagat Gista yang selalu melihat ke arah pintu masuk kafe membuat temannya menjadi penasaran.
“Tidak. Aku hanya memperhatikan pengunjung yang datang. Sepertinya, malam ini tidak seramai biasanya.” Kilah gadis itu.
Rekan Gista pun mengangguk setuju. Malam ini suasana kafe memang sedikit lengang dari malam-malam sebelumnya.
Pukul sembilan lewat lima belas menit, Dirga pun akhirnya datang ke tempat itu. Membuat Gista menghela nafas lega.
Ia harus segera mendapatkan pinjaman uang itu. Sebab tadi siang Gista mendapati sang bapak berada di rumah dalam keadaan babak belur karena ulah preman bayaran rentenir itu.
Dua jam berlalu.
Kafe telah tutup dan semua pekerja pun sudah kembali pulang. Sementara Gista masih berada di tempat parkir tempat itu.
Gadis itu memeriksa ponselnya. Saat itu pula sebuah pesan masuk dari Dirga diterimanya.
“Ikuti mobil saya.”
Kepala Gista memutar untuk mencari keberadaan mobil mewah milik sang atasan. Ia pun bergegas menaiki sepeda motornya ketika melihat Dirga melaju keluar dari halaman kafe.
*Menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh menit, mobil Dirga pun berbelok memasuki halaman sebuah gedung tinggi menjulang. Gista masih dengan setia membuntuti dengan motor matic* nya. Hingga sang atasan memarkirkan kereta besinya di basemen apartemen itu.
“Tinggalkan helm kamu disini. Dan jangan lupa kunci motornya.” Perintah Dirga sambil berlalu.
Gista menurut. Ia kemudian mengekori langkah pria berusia tiga puluh lima tahun itu masuk ke dalam lift.
Hening tercipta di dalam kotak besi berjalan itu. Gista sesekali mengamati papan angka, ke lantai berapa mereka akan berhenti.
“Ayo.”
Gista tersentak ketika pintu lift sudah terbuka. Ia dengan cepat mengikuti langkah lebar Dirga. Pria dewasa itu sudah berdiri di depan sebuah unit, kemudian menempelkan kartu pada gagang pintu.
“Silahkan masuk.” Pria itu meminta Gista untuk masuk lebih dulu. Ia pun menyusul setelah menutup pintu.
Gista tercengang. Baru kali ini ia berada di dalam sebuah apartemen. Ruangan itu, tidak seperti yang pernah ia lihat di media sosial. Namun lebih luas, mewah dan memiliki tangga penghubung ke lantai atas.
Mungkin tempat itu adalah apartemen bertipe penthouse. Gista pun menduga dalam hatinya.
“Sampai kapan kamu akan berdiri disana?”
Suara maskulin Dirga membuyarkan kekaguman Gista atas kemewahan apartemen itu. Pria itu sudah duduk di atas sofa, dengan kaleng minuman bersoda di tangan kanannya.
Gista menelan ludah kasar, dengan ragu ia melangkah mendekati sang atasan.
“Jadi, kamu sangat memerlukan uang itu segera?” Tanya Dirga saat Gista baru saja mendaratkan bokongnya di atas sofa yang berseberang dengan pria itu.
Gista menganggukkan kepalanya.
“Lalu, bagaimana cara kamu membayar hutangmu nanti pada saya? Uang seratus lima puluh juta itu cukup banyak. Dan kamu masih berstatus mahasiswa tingkat akhir. Yakin kamu bisa melunasinya nanti?” Tanya Dirga lagi.
Gista menghela nafasnya kasar. Apa mungkin ia di permainkan oleh adik ipar Renatta ini?
“Jangan berpikir saya mempermainkan kamu. Kresek ini— Dirga menunjuk kantong kresek berwarna hitam di atas meja di hadapannya. “Isinya adalah uang yang kamu minta. Saya hanya memastikan saja. Apa saya memberikan pinjaman pada orang yang bisa di percaya? Terlepas dari kamu adalah sahabatnya Renatta.” Imbuh pria itu lagi.
Gista salah. Dirga bisa membaca apa yang ada di pikirannya.
“Saya mau melakukan apapun yang bapak minta.” Jawab gadis itu dengan tegas.
“Contohnya?”
“Saya mau menjadi asisten rumah tangga tanpa di gaji.”
“Lalu? Darimana kamu akan mencari uang untuk biaya hidup? Ingat. Kamu mahasiswa tingkat akhir. Perlu banyak biaya untuk kelulusan nanti.”
Gista kembali menghela nafasnya. Yang Dirga katakan memang benar adanya. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain selain menawarkan dirinya.
Ya. Menawarkan dirinya.
“J-jika bapak mau, s-saya bersedia—
“Tidur dengan saya?”
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!