Namaku Assyifa Senja, orang-orang memanggilku Senja. Nama itu pemberian ayah, yang katanya karena aku lahir saat matahari terbenam. Aku suka namaku, meskipun hidupku tak pernah seindah langit senja.
Aku dikenal sebagai gadis tomboy. Dengan penampilan jauh dari kesan feminin, jeans belel, kaus oversized, dan sneakers yang sudah lusuh. Aku sering dianggap aneh oleh orang-orang di lingkunganku. Perempuan seperti ini? Bukannya terlihat manis atau anggun, aku malah sering dianggap keras kepala, terlalu bebas, bahkan tidak jarang ada yang berbisik bahwa aku penyuka sesama jenis.
“Kalau memang iya, mau apa?” gumamku di depan cermin suatu pagi, mengulang kembali ucapan salah satu teman kampus yang meledek. Sebenarnya aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan, tapi kadang, semua bisikan itu seperti duri kecil yang menancap di hati.
Aku punya alasan kenapa memilih menjadi seperti ini. Aku hidup sendiri, tanpa siapa pun yang bisa kujadikan tempat bersandar. Ayah meninggal karena kecelakaan kerja di pelabuhan, sedangkan ibu pergi menyusulnya setahun kemudian karena kanker yang menggerogoti tubuhnya. Sejak itu, aku belajar mandiri, membiayai hidupku sendiri dari pekerjaan serabutan.
Tapi, hidupku tidak melulu soal kerja keras. Aku punya kafe kecil-kecilan yang kubangun dari tabungan. Kafe itu adalah hasil kerja keras bertahun-tahun, dan aku bangga bisa menciptakan sesuatu dari nol. Selain itu, ada dua hal lain yang selalu membuatku bahagia: membantu anak jalanan dan memberi makan hewan-hewan liar.
Namun, meski aku sering terlihat kuat, aku tetap manusia biasa. Ada saat-saat di mana kesepian begitu menyiksa. Di saat seperti itu, aku selalu berharap ada seseorang yang datang, menepuk bahuku, dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Hari itu, aku tidak tahu bahwa harapan kecil itu akan segera menemukan jalannya.
...***...
Pagi itu, aku mendapat pesan dari seorang teman, Rani. Dia memintaku datang ke acara penggalangan dana untuk anak yatim di masjid dekat kafe. Sejujurnya, aku jarang menghadiri acara seperti ini. Tapi kali ini, ada sesuatu yang membuatku ingin datang.
Saat aku tiba, masjid sudah penuh dengan orang-orang. Aku mengambil tempat di barisan belakang, berusaha tidak menarik perhatian. Tapi, mataku tertuju pada seseorang di sudut ruangan. Seorang wanita paruh baya dengan gamis syar’i berwarna cokelat muda dan cadar hitam.
Dia duduk dengan tenang, sesekali mengangguk saat ada orang yang menyapanya. Wajahnya tidak terlihat, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan keteduhan yang luar biasa.
Setelah acara selesai, aku melihat wanita itu masih duduk di tempatnya. Orang-orang sudah mulai meninggalkan masjid, tapi dia tampak kebingungan. Aku mendekatinya tanpa alasan yang jelas.
“Assalamu’alaikum,” sapaku.
“Wa’alaikumussalam,” jawabnya, lembut.
“Um… maaf, apa saya bisa membantu?” tanyaku, merasa canggung.
Dia tersenyum di balik cadarnya. “Terima kasih, Nak. Saya sedang menunggu kendaraan, tapi tampaknya taksi yang saya pesan tak kunjung datang.”
Tanpa berpikir panjang, aku menawarkan tumpangan. “Saya bisa mengantar, kalau tidak keberatan.”
Dia tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. “Terima kasih. Nama kamu siapa?”
“Senja,” jawabku.
“Nama yang indah. Panggil saja saya Ummi.”
Perjalanan pulang bersama Ummi menjadi awal dari sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
...***...
Setelah pertemuan itu, aku mulai sering mengunjungi Ummi. Dia tinggal sendirian di rumah yang tidak terlalu besar, tapi nyaman dan penuh dengan suasana hangat.
Dari obrolan kami, aku tahu bahwa Ummi adalah istri almarhum seorang ustadz yang cukup terkenal. Dia memiliki tiga anak, seorang putri yang sudah menikah, seorang putra yang masih kuliah, dan seorang putri yang sedang belajar di Tarim, Yaman.
“Aku merasa seperti menemukan sosok ibu lagi,” kataku suatu hari, saat kami duduk di beranda rumahnya.
Ummi tersenyum lembut. “Dan aku merasa seperti memiliki seorang putri lagi. Allah selalu punya cara untuk mempertemukan hati-hati yang membutuhkan.”
Sejak itu, aku mulai menganggap Ummi sebagai ibuku sendiri. Dia sering memberiku nasihat, mendengarkan keluh kesahku, dan bahkan membantuku dalam urusan kafe. Tapi, aku tidak tahu bahwa di balik semua itu, dia menyimpan niat lain.
...***...
Suatu hari, Ummi mengajakku bicara serius.
“Senja, bagaimana kalau kamu mengenal anak keduaku?”
Aku mengernyit. “Maksud Ummi?”
“Namanya Galaksi Malik Hadyan. Dia kuliah di kampus yang sama denganmu. Aku ingin kamu dan dia… mencoba saling mengenal.”
Aku terdiam. Dalam benakku, nama itu tidak terdengar asing, tapi aku tidak bisa mengingat di mana aku pernah mendengarnya.
Namun, pertemuan pertama kami tidak berjalan baik. Itu terjadi di kantin kampus, saat aku sedang bertengkar kecil dengan salah satu temanku.
“Hei, jangan asal bicara!” seruku, menunjuk wajah temanku.
Galaksi muncul entah dari mana, menatapku dengan sorot mata dingin. “Bisa tenang sedikit? Ini tempat umum.”
Aku mendengus kesal. “Bukan urusanmu.”
Dia tidak membalas, hanya mengangkat bahu dan pergi.
Aku tidak menyangka bahwa lelaki yang membuatku kesal itu adalah putra Ummi. Sungguh dunia ini kecil sekali, apa yang terjadi jika dia tahu aku sering mampir kerumahnya.
...***...
Hari demi hari, aku dan Galaksi terus bertemu tanpa sengaja. Entah itu di kampus, di kafe, atau di acara-acara sosial. Awalnya, kami tidak pernah berbicara banyak. Aku merasa dia terlalu kaku dan perfeksionis, sementara dia mungkin menganggapku terlalu berisik dan tidak teratur.
Namun, ada sesuatu yang perlahan berubah.
“gue tidak mengerti kenapa lo suka membantu anak jalanan,” katanya suatu hari, saat melihatku membagikan makanan di depan kafe.
“Dan gue tidak mengerti kenapa lo harus mempertanyakannya,” balasku.
Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Mungkin karena gue ingin tahu lebih banyak tentang lo.”
Kata-katanya membuatku terkejut. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku mulai berpikir, mungkin dia tidak seburuk yang kupikirkan.
Namun, di balik semua itu, ada rahasia besar yang kusimpan rapat-rapat. Rahasia tentang masa laluku, tentang luka yang masih membekas di hatiku. Aku takut, jika Galaksi atau Ummi mengetahuinya, mereka akan melihatku dengan cara yang berbeda.
Tapi, semakin aku mencoba menyembunyikannya, semakin berat rasanya. Aku tahu, jika aku ingin melangkah maju, aku harus menghadapi masa laluku. Tapi, apakah aku cukup kuat untuk melakukannya?
Cerita ini masih panjang, dan perjalananku baru saja dimulai.
...****************...
...To Be Continued...
Assalamualaikum sahabat Salju, aku hadir lagi dengan novel terbaru. Cerita ini berbeda dengan novel yang lain. Yuk simak lanjutannya. Mohon dukungannya ya semuanya dengan like, komen and vote. Happy reading 🤗🤍
Setiap orang punya masa lalu. Bagiku, masa lalu adalah sesuatu yang ingin kuhapus, tapi selalu kembali menghantuiku, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar pergi.
Saat aku pulang dari kampus, kenangan itu kembali menghantam. Di depan pintu apartemenku yang kecil, ada amplop cokelat tebal. Aku membukanya dengan ragu, dan isinya langsung membuatku merasa seperti ditarik ke dalam jurang.
"Ini tidak mungkin," bisikku.
Foto-foto itu adalah potongan dari masa laluku, saat aku masih tinggal bersama tanteku setelah orang tuaku meninggal. Foto-foto itu menampilkan kekerasan yang dulu selalu kuterima. Pukulan, makian, bahkan sikap dingin tanteku yang lebih memilih melampiaskan frustrasinya padaku daripada anak kandungnya sendiri.
Kekerasan itu membuatku tumbuh menjadi gadis yang keras dan cenderung tidak peduli pada dunia. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun. Luka itu kusimpan rapat-rapat. Tapi sekarang, ada seseorang yang mencoba menggali kembali semuanya.
Aku mencoba mencari tahu siapa yang meninggalkan amplop itu, tapi tidak ada jejak apa pun. Aku membuang amplopnya ke tempat sampah, tapi isinya tetap menempel di pikiranku sepanjang malam.
Aku tahu, aku harus melawan bayangan ini.
...***...
Keesokan harinya, aku bertemu Galaksi di kampus. Kami sedang berjalan ke arah yang sama, dan meskipun kami jarang berbicara, hari itu dia terlihat berbeda.
“lo terlihat lelah,” katanya tiba-tiba.
Aku mendengus. “Itu hal yang biasa. Tidak ada yang perlu dibahas.”
Tapi dia tidak menyerah. “Kadang, tidak apa-apa untuk membiarkan orang lain tahu kalau kamu sedang tidak baik-baik saja.”
Aku menatapnya. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa dia tidak sekadar basa-basi.
“lo tahu, kan, gue hidup sendiri?” tanyaku, mencoba memotong pembicaraan.
Galaksi mengangguk. “Tahu. Tapi gue tidak tahu apa yang membuat lo menjadi seperti ini.”
Aku terdiam. Aku tidak siap untuk membicarakan masa lalu.
Namun, Galaksi tidak menekan lebih jauh. Dia hanya berkata, “Kalau suatu saat lo ingin bercerita, gue di sini.”
Kata-katanya sederhana, tapi menyentuh hatiku. Untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin aku tidak benar-benar sendirian.
Setelah percakapan itu, hubungan kami perlahan berubah. Kami mulai saling memahami, meskipun kadang tetap bertengkar kecil karena perbedaan sifat.
Suatu sore, saat aku sedang sibuk di kafe, Galaksi datang tanpa pemberitahuan.
“lo mau pesan apa?” tanyaku, setengah bercanda.
Dia mengangkat alis. “lo pikir gue datang untuk makan?”
Aku terkekeh. “Kalau bukan untuk makan, kenapa lo di sini?”
Dia tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengambil buku catatan kecil dari tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Apa ini?” tanyaku bingung.
“Proposal untuk acara amal. gue dengar lo suka membantu anak jalanan. gue ingin kita bekerja sama.”
Aku menatapnya dengan ragu. “lo serius?”
Dia mengangguk. “lo bisa bilang tidak kalau tidak tertarik.”
Aku tidak tahu apa yang membuatku setuju, tapi melihat caranya berbicara dengan penuh keyakinan, aku merasa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
...***...
Hari-hari berlalu dengan persiapan acara amal. Aku dan Galaksi semakin sering bertemu, dan meskipun kami kadang berselisih pendapat, aku merasa ada ikatan yang mulai terbentuk di antara kami.
Namun, bayangan masa laluku tetap menghantuiku. Amplop cokelat itu bukan satu-satunya. Ada lagi yang datang, surat tanpa nama yang berisi ancaman untuk mengungkap semuanya jika aku tidak “membayar kembali apa yang pernah kuambil.”
Aku tidak tahu apa yang dimaksud. Tapi aku tahu satu hal, seseorang dari masa laluku sedang mencoba menghancurkan hidupku.
Aku memutuskan untuk berbicara dengan Ummi.
“Ummi, bagaimana jika seseorang dari masa lalu kita kembali dan mencoba menyakiti kita?” tanyaku suatu sore.
Ummi menatapku dengan lembut. “Setiap orang punya masa lalu, Nak. Tapi Allah selalu memberi kita kekuatan untuk menghadapinya. Jangan takut untuk melangkah maju, karena masa lalu tidak akan bisa menyentuhmu jika kamu tidak mengizinkannya.”
Kata-kata Ummi memberiku sedikit keberanian. Aku tahu, aku harus menghadapi orang itu, siapa pun dia, dan menyelesaikan semuanya.
...***...
Surat-surat itu akhirnya membawaku kembali ke tempat yang paling tidak ingin kukunjungi, rumah tanteku.
Aku berdiri di depan pintu, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengetuk. Saat pintu terbuka, wajah tanteku terlihat terkejut, tapi tidak ramah.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dingin.
“Aku ingin bicara,” jawabku tegas.
Kami duduk di ruang tamu yang tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku di sini. Aku langsung ke intinya.
“Apa kamu yang mengirimkan surat-surat itu?” tanyaku.
Tanteku mengerutkan kening. “Surat apa? Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”
Aku tidak percaya sepenuhnya, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa dia jujur.
Kami berbicara lama, dan untuk pertama kalinya, aku mendengar sisi ceritanya. Tanteku mengaku merasa tertekan setelah kematian kedua orang tuaku, dan dia melampiaskan semuanya padaku.
“Aku tahu aku salah,” katanya, dengan suara bergetar. “Tapi itu semua sudah lama. Aku sudah berubah, Senja.”
Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkannya, tapi aku merasa lega setelah berbicara dengannya. Mungkin ini langkah pertama untuk berdamai dengan masa lalu.
Setelah pertemuan itu, aku merasa lebih ringan. Tapi surat-surat itu masih menjadi misteri.
Aku menceritakan semuanya pada Galaksi. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa bisa mempercayainya.
Dia mendengarkan dengan serius, lalu berkata, “Kalau ada sesuatu yang mengancammu, aku akan membantumu. Kita bisa menyelesaikannya bersama.”
Aku terkejut. “Kenapa lo peduli?”
Dia tersenyum tipis. “Karena gue tahu bagaimana rasanya kehilangan keluarga. Dan gue tidak ingin lo merasa sendirian.”
Kata-katanya membuatku merasa hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padaku.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan menghadapi semuanya sendirian lagi.
...****************...
...To Be Continued...
Jangan lupa like, komen and vote
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang perlahan kembali normal. Surat ancaman berhenti, tetapi pikiranku masih dihantui. Aku tahu ini belum berakhir. Bagaimanapun, surat-surat itu berasal dari seseorang yang tahu tentang masa laluku.
Galaksi tetap di sisiku, meski aku tidak banyak bercerita. Dia selalu mendukungku, meski terkadang hanya dengan keberadaannya. Hubungan kami semakin akrab, dan meski aku sering menyangkalnya, ada rasa nyaman yang mulai tumbuh.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Sore itu, aku sedang membersihkan kafe ketika seorang pria masuk. Wajahnya asing, tapi cara dia menatapku membuatku gelisah.
“Senja, lama tidak bertemu,” katanya.
Aku mengerutkan kening. “Kamu siapa?”
Pria itu tertawa kecil, seolah tidak percaya aku melupakannya. “Kamu benar-benar melupakan masa lalumu, ya? Aku Ferdi, tetangga lama di rumah tante kamu.”
Aku terdiam. Nama itu membangkitkan ingatan yang sudah lama kulupakan. Ferdi adalah salah satu anak nakal di lingkungan lama kami. Dia sering mengganggu, bahkan pernah mencuri uangku ketika aku masih kecil.
“Apa yang kamu mau?” tanyaku dingin.
Ferdi menyeringai. “Aku hanya ingin menyapamu. Tapi kalau kamu mau tahu, aku yang mengirim surat-surat itu. Aku pikir kamu butuh pengingat dari mana kamu berasal.”
Dadaku berdebar. Jadi dia pelakunya?
“Kenapa?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Karena kamu harus tahu tempatmu, Senja. Jangan lupa siapa kamu dulu,” katanya sambil tersenyum sinis.
Aku tidak tahu dari mana keberanian itu datang, tapi aku menatapnya tajam. “Aku bukan anak kecil yang bisa kamu ganggu lagi. Kalau kamu mencoba menghancurkan hidupku, aku tidak akan tinggal diam.”
Ferdi hanya tertawa kecil sebelum pergi, meninggalkan aku dengan emosi campur aduk.
Setelah Ferdi pergi, aku merasa kehilangan kendali. Rasa takut dan marah bercampur, membuatku sulit bernapas.
Di tengah kekalutanku, Galaksi datang ke kafe. Dia langsung menyadari ada yang tidak beres.
“Ada apa, Senja?” tanyanya lembut.
Aku mencoba menyembunyikan kegelisahanku, tapi akhirnya aku menyerah. Aku menceritakan semuanya, tentang Ferdi, surat-surat itu, dan masa laluku.
Galaksi mendengarkan tanpa menyela. Setelah aku selesai, dia menatapku dengan mata penuh empati.
“lo tidak sendiri, Senja. Kalau dia mencoba menyakiti lo lagi, aku gue ada di sini untuk melindungi lo,” katanya tegas.
Aku terharu. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar dilindungi.
Keesokan harinya, aku dan Galaksi membuat rencana untuk menghadapi Ferdi. Kami sepakat untuk mengumpulkan bukti, sehingga jika dia mencoba mengganggu lagi, kami bisa melaporkannya ke polisi.
Galaksi bahkan memperkenalkan aku pada seorang teman yang bekerja sebagai pengacara. Dengan bantuannya, aku mulai merasa lebih percaya diri untuk melawan.
Namun, masalah ini juga membuat aku semakin bergantung pada Galaksi. Meski aku masih menyangkal perasaanku, aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadirannya memberikan rasa aman yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Di sisi lain, Galaksi juga mulai menunjukkan perhatian lebih. Dia sering mengajakku bicara tentang hal-hal kecil, mencoba menghiburku di tengah kekacauan ini.
“gue tidak tahu bagaimana cara membalas semua ini,” kataku suatu hari.
"Lo tidak perlu membalas apa pun,” jawabnya sambil tersenyum. “Cukup percaya bahwa lo tidak harus menghadapi semuanya sendirian.”
...***...
Hari itu akhirnya tiba. Ferdi kembali datang ke kafe, tapi kali ini aku sudah siap.
“Aku ingin bicara,” kataku dengan suara tegas.
Ferdi tampak terkejut, tapi dia tetap menyeringai. “Oh, jadi sekarang kamu punya keberanian, ya?”
“Dengar, aku tidak tahu apa tujuanmu, tapi aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku,” kataku sambil menatap matanya.
Ferdi tertawa kecil. “Kamu pikir kamu siapa? Gadis tomboy seperti kamu tidak akan pernah bisa melawan dunia ini.”
Tapi aku tidak gentar. Dengan dukungan Galaksi, aku berhasil menghadapi Ferdi dan memperingatkannya bahwa jika dia mencoba mengganggu lagi, aku tidak akan ragu untuk melaporkannya.
Untuk pertama kalinya, Ferdi terlihat ragu. Mungkin dia tidak menyangka aku akan melawan.
Saat dia pergi, aku merasa lega. Aku tahu ini belum benar-benar berakhir, tapi setidaknya aku telah mengambil langkah pertama untuk menghadapi masa laluku.
Setelah insiden itu, aku mulai merasa lebih bebas. Beban yang selama ini menghantui perlahan menghilang, digantikan oleh rasa percaya diri yang baru.
Aku juga semakin dekat dengan Galaksi. Hubungan kami bukan lagi sekadar teman, ada sesuatu yang lebih dalam, meski aku masih ragu untuk mengakuinya.
“Apa lo pernah berpikir bahwa hidup ini penuh kejutan?” tanya Galaksi suatu sore.
Aku tersenyum. “Selalu. gue tidak pernah menyangka akan bertemu seseorang seperti lo.”
Galaksi tertawa kecil. “Mungkin itu takdir.”
Takdir? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk menjalani hidup dengan kepala tegak.
Masa lalu mungkin meninggalkan luka, tapi aku tahu aku tidak akan membiarkannya menguasai hidupku lagi. Dengan dukungan dari orang-orang di sekitarku, terutama Galaksi, aku siap menghadapi apa pun yang akan datang.
...****************...
...To Be Continued...
Jangan lupa like, komen and vote
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!