Di sebuah dunia yang kental akan nuansa kultivasi dan seni bela diri, terdapat sebuah sekte terkemuka bernama Sekte Naga Putih yang terletak di puncak Gunung Tianlong.
Banyak murid dari penjuru negeri datang untuk belajar dan menyempurnakan kemampuan mereka. Di antara mereka, seorang anak bernama Liang Fei dikenal sebagai jenius bela diri.
Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, ia sudah mencapai Transformasi Qi tingkat 5. Umumnya tahap itu biasanya dimiliki oleh pendekar usia 20 hingga 23 tahun.
Liang Fei adalah murid terpandai, menguasai banyak teknik dengan cepat dan menimbulkan kekaguman serta iri hati di kalangan murid lainnya.
Namun, nasib tidak berpihak pada Liang Fei. Dalam sebuah insiden tragis, sebuah kecelakaan membuatnya kehilangan penglihatan.
Dunia yang pernah begitu cerah dan penuh tantangan kini berubah menjadi kegelapan yang tak berujung.
Kepandaiannya menghantarkannya ke puncak, namun kehilangan indra penglihatannya menjatuhkannya ke jurang kehinaan di mata teman-temannya.
Dalam sekejap, ia berubah dari jenius yang dipuja menjadi objek cemoohan dan ejekan.
Di halaman latihan sekte, suara tawa menghina seringkali memenuhi udara.
"Lihat! Jenius kita kini tak bisa membedakan arah utara dan selatan salah satu murid mengejek, disusul oleh gelak tawa yang lain.
"Hei, Liang Fei! Apa kau bisa melihat keindahan langit hari ini?"
"Sudahlah, dia bahkan tak bisa melihat bayangannya sendiri," sambung murid lain sambil tertawa terbahak-bahak.
Liang Fei, yang dulu berjalan dengan percaya diri dan kepala tegak, kini berdiri terdiam, menyadari bahwa setiap langkahnya diawasi dengan sinis.
Liang Fei menunduk, menahan sakit yang menghimpit dadanya. Lelah oleh hinaan, ia mengisolasi diri jauh dari keramaian.
Suatu hari, saat Liang Fei sedang duduk di sudut terpencil halaman, seorang gadis bernama Mei Lin mendekatinya. Mei Lin adalah satu dari sedikit murid yang tidak mengejeknya.
"Liang Fei," panggil Mei Lin lembut, membuat Liang Fei menoleh ke arah suara itu. "Kenapa kau membiarkan mereka berbicara seperti itu padamu?"
Liang Fei menghela napas panjang. "Apa yang bisa kulakukan, Mei Lin? Aku tak bisa melihat. Untuk apa keahlian bela diriku yang dulu jika sekarang aku bahkan tak bisa membela diriku sendiri?"
Mei Lin duduk di sampingnya, menyentuh bahunya dengan lembut. "Kegelapan ini hanya ada di matamu, Liang Fei, bukan di hatimu. Kau masih bisa mendengar, bukan? Kau masih bisa merasakan kekuatan Qi yang mengalir di tubuhmu. Apa mungkin, meski tanpa penglihatan, kau tetap bisa mengasah kemampuanmu?"
Liang Fei terdiam, meresapi kata-kata tersebut. Ia sudah beberapa kali mencoba berlatih kembali, namun tetap kalah oleh orang yang lebih lemah darinya.
Bagaimana cara Liang Fei menyerang musuh jika dia tidak bisa dia lihat?
Dalam hatinya, ia sudah menyerah. Namun, Liang Fei tidak ingin membuat Mei Lin yang sudah sering menyemangatinya kecewa.
"Lain kali aku akan coba berlatih seni beladiri lain."
"Baiklah, aku akan selalu mendukungmu!" Mei Lin tersenyum lembut dengan pipi yang memerah, seandainya Liang Fei bisa melihat senyuman gadis cantik seperti mentari itu.
Mei Lin merupakan anak dari salah satu penatua sekte, ia sudah memperhatikan Liang Fei sejak dirinya mulai dipanggil sebagai jenius, tapi tak berani mendekatinya.
Sekarang, setelah berbagai kecelakaan yang menimpa Liang Fei, gadis itu akhirnya memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Mei Lin, bisakah kau membantuku seperti biasa?"
"Tentu saja."
Mei Lin menuntun Liang Fei ke perpustakaan sekte. Karena tidak bisa membaca teknik yang tertulis, Liang Fei akhirnya mengajak Mei Lin untuk membacakan buku teknik beladiri sementara Liang Fei mencoba untuk mempraktekkannya.
Berjalan menuju ke perpustakaan, beberapa ejekan dari para murid kembali terdengar.
"Apa si buta sekarang mencoba untuk membaca buku? Apa dia ingin mengganti matanya dengan seonggok kertas agar bisa membaca?"
Beberapa murid tertawa sebelum Mei Lin melotot ke arah mereka. Hanya dengan diam, Mei Lin berhasil membuat mereka kicep dan segera pergi.
Jelas sekali mereka takut dengan latar belakang Mei Lin sebagai anak salah satu penatua sekte.
"Tidak usah didengarkan, mereka hanya membual padahal mereka tidak sehebat dirimu," ucap Mei Lin, takut jika perasaan Liang Fei terluka.
"Terima kasih." Liang Fei tersenyum lembut ke arah Mei Lin, walaupun ia tidak bisa melihatnya.
Sesampainya di perpustakaan, Mei Lin langsung mengambil beberapa buku dengan antusias, membuat rak buku berguncang dan menjatuhkan beberapa buku ke kepala Liang Fei.
"Ah, maafkan aku, aku tidak sengaja membuat masalah."
Mei Lin yang panik segera mengelus rambut Liang Fei, takut jika kepalanya ada yang terluka karena di timpa cover buku yang terbuat dari kayu cendana. Cukup berat hingga bisa membuat seseorang terluka.
"Tenang saja, aku tidak terluka, tubuhku sekarang jauh lebih kuat semenjak mencapai tahap Transformasi Qi."
"Syukurlah kalau begitu. Em, buku apa ini? Kenapa tidak ada tulisannya?"
Mei Lin heran melihat buku yang menimpa kepala Liang Fei. Itu adalah buku yang cukup besar dengan banyak halaman namun tidak memiliki satupun tulisan di atasnya.
"Apakah penjaga perpustakaan salah menyimpan buku kosong?"
Mei Lin bertanya tanya keheranan, sementara Liang Fei mengalami sesuatu yang tidak terduga. Matanya yang hanya bisa melihat kegelapan kini dapat melihat cahaya putih yang menyilaukan.
'Cahaya apa ini?' Liang Fei bertanya tanya dalam hatinya, ia kemudian memutuskan untuk menggapai cahaya itu.
"Ah, kenapa kau mengambil buku kosong itu?" Mei Lin bertanya kebingungan melihat Liang Fei yang mengambil dan melihat buku kosong itu seolah sudah mendapatkan penglihatannya kembali.
"Apa benar ini buku kosong?"
"Darimanapun aku melihatnya, itu memang buku kosong."
Liang Fei keheranan, pasalnya meskipun matanya buta tapi ia bisa melihat tulisan dari buku yang dipegangnya. Tulisan tersebut seolah melayang dalam kegelapan yang biasa dia lihat.
Liang Fei membaca tulisan putih itu dan menemukan warisan terkuat dari leluhurnya, Teknik Dewa Naga.
Dijelaskan dalam tulisan tersebut, Naga putih tidak memiliki penglihatan layaknya makhluk lainnya. Dunia yang dilihat oleh Dewa Naga sangat berbeda, ia bisa melihat unsur yang membentuk alam semesta.
Buku itu berisi ajaran bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada apa yang terlihat, tetapi pada apa yang dirasakan.
"Liang Fei, kenapa kau hanya diam?"
Liang Fei kembali tersadar, "Ah, tidak. Kurasa kita bisa menunda latihannya untuk besok. Aku baru ingat punya urusan penting."
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi, kalau begitu ayo kita pergi."
"Sebelum itu, bisakah kau meminjamkan buku kosong ini untukku," tanya Liang Fei, ia ingin segera memahami teknik warisan yang baru dia dapat.
"Aneh sekali, tapi baiklah."
Setelah menyelesaikan urusan peminjaman buku, mereka berdua akhirnya kembali ke rumah mereka masing-masing.
Awalnya tempat tinggal Liang Fei adalah rumah yang terletak di bagian dalam sekte Naga Putih. Namun, sekarang ia dipindahkan di bagian terluar sekte yang menjadi tempat dimana murid-murid tingkat rendah berada.
Rumah yang tinggali oleh Liang Fei jauh dari kata layak, bahkan daripada disebut rumah, itu lebih mirip seperti gubuk. Namun, ia tidak masalah dengan itu karena sekarang ia punya hal yang lebih penting.
"Sekarang, saatnya untuk berlatih teknik warisan ini."
Tiga hari kemudian, saat Liang Fei terbangun dari meditasinya, dia merasakan sesuatu yang berbeda.
Meskipun mata fisiknya tetap gelap, dia mulai merasakan aliran Qi dari benda-benda dan serangga di sekitarnya. Dia seperti "melihat" kembali, tapi dengan cara yang sangat berbeda.
Semua objek dan makhluk di sekitarnya memancarkan energi yang unik, warna-warni yang hanya bisa dia rasakan dalam benaknya.
"Inikah teknik Warisan Dewa Naga?" Liang Fei mengepalkan tangannya; dari penglihatannya yang lebih dalam, dia bisa melihat aura Qi berwarna putih yang berkumpul di kepalan tangannya. Begitu halus dan kuat. "Aku ingin segera mencoba kekuatan ini."
Tepat ketika Liang Fei memikirkan hal itu, sebuah teriakan keras tiba-tiba terdengar dari depan pintu rumahnya.
"Jenius sampah! Apa yang kau lakukan selama ini? Kenapa kau tidak datang kepadaku untuk membayar hutang-hutangmu? Apa kau berniat melarikan diri!?"
Di luar rumahnya, terlihat seorang pria seumuran dengannya. Ekspresinya menunjukkan rasa jijik ketika harus menginjakkan kakinya di lokasi yang ia anggap kumuh itu.
Pria itu adalah Liu Bei, putra dari salah satu penatua dan orang yang pernah dikalahkan oleh Liang Fei ketika dalam masa jayanya.
Sejak Liang Fei buta, Liu Bei kerap mengejek dan mengajak murid lainnya untuk merundungnya. Dia masih tidak terima dengan kekalahannya melawan Liang Fei.
Beberapa kali, Liu Bei tampak memeras sejumlah uangnya, dan membuatnya berhutang untuk beras yang seharusnya dibagikan secara gratis kepada para murid sekte.
Kedatangan Liu Bei, yang dikenal sebagai seorang penindas, membuat banyak murid berkumpul di sekeliling rumah Liang Fei. Beberapa dari mereka tampak tertarik melihat nasib malang yang menimpa Liang Fei.
"Habis sudah nasib si jenius buta itu." Sekiranya begitulah perkiraan orang-orang yang menonton.
"Hmph, masih belum keluar juga. Kalau begitu hancurkan rumahnya agar dia tidur di jalanan seperti gelandangan."
Kesal dengan peringatannya yang tidak diacuhkan, Liu Bei dengan arogan memberikan perintah kepada dua pria bertubuh besar di belakangnya. Sambil mengepalkan tangan, kedua pria itu berniat untuk merusak kediaman kumuh itu.
Namun, sesaat setelah salah satu pria masuk, ledakan Qi tiba-tiba terdengar bersamaan dengan pria itu yang terlempar jauh hingga menabrak tanah.
Kejadian itu membuat semua orang terdiam. Suara dan bisikan kaget terdengar dari kerumunan. Liu Bei, yang awalnya penuh percaya diri, mundur satu langkah ke belakang karena terkejut.
Liang Fei perlahan keluar dari rumahnya, dengan langkah yang lebih mantap daripada sebelumnya. Meskipun matanya tetap tertutup selaput buta, aura yang terpancar darinya seolah menyiratkan bahwa dia bukan lagi orang yang bisa diremehkan.
Liang Fei memperhatikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya yang memancarkan energi Qi yang bisa dia rasakan lebih jelas dari sebelumnya.
"Liu Bei," suara Liang Fei terdengar tenang tapi berwibawa, "Aku mungkin kehilangan penglihatan, tapi aku tidak kehilangan kemampuan untuk mengetahui siapa musuhku."
Liu Bei mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik tawa sarkastik, "Hmph, hanya kebetulan saja. Kau hanya beruntung kali ini!"
Liang Fei tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi bagaimana jika kita mencobanya lagi?"
Melihat ketegasan Liang Fei, Liu Bei merasa tidak nyaman. Murid lainnya mulai berbisik, beberapa dari mereka tampak terkesan dan mulai meragukan keputusan mereka mengikuti Liu Bei selama ini.
Liu Bei mendengus, serta memerintahkan satu anak buahnya yang lain untuk maju.
Namun, sebelum sempat pria itu bergerak, Liang Fei sudah menyalurkan Qi-nya ke udara. Setiap murid yang menonton dapat merasakan perubahan energi di sekitar mereka.
Pria itu berhenti seketika, terintimidasi oleh tekanan yang dikeluarkan oleh Liang Fei. Ini bukan sembarang tekanan; ini adalah kekuatan dari seseorang yang telah melampaui batas yang sebelumnya.
Mereka kini tidak menatap Liang Fei seperti jenius yang buta, tetapi melihatnya sama seperti dalam masa jayanya.
"Aku baru bergabung di sekte Naga Putih ini dan mendengar sedikit tentang si jenius Liang Fei yang menjadi buta. Seperti apa dirinya sebelum buta?"
"Kau tidak tahu? Dia dikenal sebagai pengendali Naga karena kemampuannya yang unggul dibandingkan usianya sendiri."
"Sebenarnya, meskipun dirinya buta, dia masih punya kekuatan yang cukup untuk menghancurkan seseorang."
Semua orang, termasuk Liu Bei, mengingat kembali kejadian dahulu saat Liang Fei baru saja kehilangan penglihatannya, bersamaan dengan berlangsungnya turnamen beladiri.
Liang Fei yang sudah terlanjur mendaftar harus mengikuti pertandingan tersebut. Saat itu, lawannya terus mengejeknya dan bergerak lincah sehingga Liang Fei tidak bisa menangkapnya.
Liang Fei yang emosi langsung mengeluarkan Qi-nya ke segala arah, menghancurkan seluruh arena dan membuat lawannya sekarat, bermandikan darah. Akibat dari hal itu, Liang Fei akhirnya didiskualifikasi dari pertandingan.
"Sepertinya tidak ada yang ingin melanjutkan perintahmu, Liu Bei," kata Liang Fei dengan suara yang tetap tenang namun tegas. "Jika kamu masih ingin bermain kekuatan, aku siap menyambutmu kapan saja."
Liang Fei mengarahkan jari telunjuknya tepat ke arah Liu Bei meskipun ia dikenal buta, hal itu membuat semua orang kebingungan.
"Bukankah dia buta? Kenapa aku merasa dia sedang menatapku?" pikir Liu Bei.
Liu Bei gemetar dalam kemarahan dan keputusasaan. Ia tahu hari ini tidak seharusnya diselesaikan dengan pertumpahan darah, apalagi setelah mengingat kembali kekuatan Liang Fei.
Ia memiliki firasat bahwa kekuatan Qi Liang Fei meningkat dibanding sebelumnya.
"Baiklah, kau menang kali ini, tapi tidak lain kali," kata Liu Bei sinis, sebelum mengajak anak buah dan murid-murid lain bubar dari tempat itu. Namun, dalam hatinya, ia bersumpah untuk membalas dendam di lain waktu.
Setelah semua orang pergi, Liang Fei menghela napas lega. Meskipun ia tidak menunjukkan itu di wajahnya, perlawanan tadi menguras energi Qi-nya lebih banyak dibandingkan yang ia perkirakan.
'Aku baru saja menembus Transformasi Qi tingkat delapan dari yang awalnya tingkat lima; menembus tiga tingkat sekaligus benar-benar membuat aliran Qi milikku tidak stabil.'
Namun lebih dari itu, ia menyadari potensi sebenarnya dari teknik Mata Naga Putih. Teknik ini benar-benar memberikan dia jalan kembali ke puncak kemampuan tanpa harus bergantung pada penglihatan fisiknya.
Di sisi lain, Liu Bei yang baru saja kembali dari kediaman Liang Fei diliputi oleh amarah yang membara. Ia membanting gelas dan merobek kain yang menghiasi kamarnya.
Liu Bei berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan rasa malu. Bagaimana mungkin Liang Fei, yang telah dianggapnya sebagai sampah buta, tiba-tiba memiliki keberanian melawan dengan begitu besar?
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" gumamnya geram. "Tidak mungkin dia memperoleh kekuatan itu dalam waktu singkat. Apakah dia sudah bisa melihat?"
Setelah sejenak menenangkan diri, Liu Bei memutuskan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi Liang Fei adalah dengan mencari bantuan dari luar.
Dia tak bisa mengalahkan Liang Fei sendirian, setidaknya tidak untuk sekarang. Dia butuh sekutu, seseorang yang cukup kuat untuk membantunya menyingkirkan musuh bebuyutannya tersebut.
"Kenapa kau membuat keributan di ruanganmu sendiri?" Penatua sekte, Liu Zhang, yang juga adalah ayah Liu Bei, datang setelah mendengar keributan itu.
"Ayah, aku ingin membunuh si sampah Liang Fei!"
Liu Zhang mengernyitkan kening mendengar pernyataan Liu Bei. "Kenapa kau tiba-tiba ingin membunuhnya? Bukankah kau menikmati hidupnya yang penuh penderitaan?"
"Itu dulu, sebelum dia membuatku kesal pagi ini."
"Ceritakan apa yang terjadi."
Liu Bei menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan emosinya sebelum mulai menjelaskan kejadian pagi itu.
Matanya masih menyala penuh amarah, tetapi ia tahu bahwa harus berhati-hati dalam menyampaikan masalah ini kepada ayahnya.
Liu Zhang mengelus dagunya setelah mendengar cerita dari anaknya.
"Jika Liang Fei memang benar menemukan cara baru untuk mengolah Qi-nya, dia bisa menjadi ancaman yang lebih besar daripada sebelumnya," kata Liu Zhang dengan nada serius. "Kita harus berhati-hati dalam menghadapi situasi ini. Aku akan mempertimbangkan langkah apa yang sebaiknya kita ambil."
Liu Bei terlihat frustrasi mendengar respons ayahnya yang tidak langsung mendukungnya. "Tapi, Ayah! Kita tidak bisa membiarkannya menghina kita seperti ini!"
Liu Zhang menatap putranya dengan tajam. "Kau harus bersabar, Liu Bei. Bertindak gegabah akan lebih merugikan kita. Pertama, kita perlu mengamati Liang Fei lebih jauh. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya dan bagaimana dia menjadi lebih kuat."
Liu Bei mendengus, merasa sedikit tidak puas, tetapi ia tahu bahwa ayahnya benar. Mereka tidak bisa bertindak sembarangan tanpa mengetahui kondisi sebenarnya dari Liang Fei.
"Baiklah, Ayah. Aku akan mencari cara untuk memantau Liang Fei dengan lebih seksama," ujarnya akhirnya, mencoba menekan amarahnya.
Berkat teknik Warisan Dewa Naga, kemampuan Liang Fei dalam mengumpulkan energi Qi menjadi jauh lebih cepat daripada kebanyakan orang. Selain itu, tahap kultivasinya juga berkembang dengan pesat.
Hanya dengan meditasi selama tiga hari, ia bisa menembus 3 tingkat Transformasi Qi sekaligus.
Semakin tinggi tingkat kultivasi, semakin sulit juga meningkatkannya. Oleh karena itu, Liang Fei harus lebih bersabar untuk mencapai tingkat 9 sebelum menerobos ke tahap berikutnya.
Setelah meditasi untuk menstabilkan aliran Qinya, Liang Fei bangkit dengan tubuh yang terasa lebih bugar.
"Uh, aku harus mencari makan," gumam Liang Fei menyadari perutnya yang keroncongan.
Meski meditasi umumnya bisa melambatkan sistem pencernaan selama berhari-hari, namun ia masih harus makan untuk menambah nutrisinya.
Ia menoleh ke tempat menyimpan makanan, tidak ada apa pun di sana, kecuali jamur yang tumbuh dari meja busuk dan dikerumuni segerombolan lalat.
"Sial sekali aku harus tinggal di tempat kumuh ini," gumam Liang Fei prihatin.
Ia mulai merindukan kehidupannya ketika menjadi jenius yang tidak tertandingi; semua hal begitu mudah untuknya. Makanan disiapkan, tempat tinggal nyaman, dan yang terpenting, sumber daya kultivasi yang melimpah.
Namun lihatlah sekarang, ia dibuang seperti sampah yang siap untuk di daur ulang.
"Setelah dipikir-pikir, mereka hanya ingin kekuatanku untuk bersaing dengan sekte lainnya. Mereka sama sekali tidak peduli siapa diriku."
Sekte Naga Putih adalah salah satu sekte terbesar di kekaisaran Fengyin dengan sejarah selama 1000 tahun.
Banyak praktisi beladiri dari sekte Naga Putih yang telah mencapai Immortal Realm. Itu adalah pencapaian tertinggi bagi seorang kultivator.
Itulah kenapa banyak yang tertarik untuk menjadi murid sekte Naga Putih, termasuk Liang Fei.
Dalam diamnya, Liang Fei kembali mengingat kehidupannya sebelum memasuki sekte Naga Putih. Dulu, ia hanyalah anak yatim piatu biasa yang dipungut oleh Patriak sekte sebelumnya.
Liang Fei dilatih dengan keras namun masih dalam batas wajar. Kecepatannya dalam memahami seni beladiri membuat Patriak sebelumnya sangat menyayangi Liang Fei seperti cucunya sendiri.
Namun, nasib buruk menimpanya, membuatnya kehilangan nyawanya 7 tahun yang lalu dalam sebuah penyerangan oleh sekte Demonic.
"Seandainya kakek masih hidup sampai sekarang," gumam Liang Fei, kesedihan mulai menggerogoti hatinya sebelum dia sadar bahwa bersedih tidak akan membuat semuanya semakin membaik.
"Sudahlah, bersedih tidak akan membuat perutku kenyang."
Liang Fei keluar dari kediamannya, berniat untuk pergi mencari makanan yang bisa mengganjal perutnya.
Kali ini, ia pergi sendirian tanpa ditemani oleh Mei Lin. Lagipula, ia sudah bisa melihat jauh lebih jelas sekarang, meski pupil matanya masih terlihat putih.
Untuk menghindari kecurigaan bahwa dirinya bisa melihat, Liang Fei tetap menggunakan tongkat bantu jalannya.
Liang Fei menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar dari kediamannya.
Angin sepoi-sepoi pagi itu menyentuh wajahnya dengan lembut, mengingatkannya pada hari-hari yang lebih baik di masa lalu.
Namun, meskipun banyak yang telah berubah, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memulai kembali. Dia menyesuaikan posisi tongkatnya dan melangkah ke jalan berbatu.
Semua mata mengarah padanya ketika Liang Fei berjalan keluar dari sekte.
"Dia serius ingin turun gunung sendirian, apa dia tidak takut dimakan makhluk buas?"
"Tapi bukannya dia sudah bisa melihat saat melawan tuan muda Liu Bei?"
"Kau mungkin salah lihat. Dia memang masih buta seperti sebelumnya."
Orang-orang mencoba berbisik sepelan mungkin agar tidak didengar oleh Liang Fei, namun itu tidak berguna karena Liang Fei bisa mendengar semuanya. Seluruh fungsi indranya kini sudah meningkat pesat.
Liang Fei tidak menghiraukan orang-orang yang membicarakannya, ia tetap berjalan hingga sampai di tengah hutan Tianlong.
Hutan itu terkenal di kalangan masyarakat sebagai hutan para beast, tempat di mana jutaan hewan buas tinggal.
Liang Fei mendengar suara dari semak-semak di belakangnya, serta geraman binatang buas kelaparan.
"Aku bisa melihatmu walau kau ada di belakangku, keluarlah sekarang dan biarkan aku membunuhmu," ucap Liang Fei tak gentar.
Berkat teknik Mata Naga Putih, Liang Fei dapat melihat apa pun di sekelilingnya hingga sejauh 50 meter. Tidak ada yang luput dari penglihatan batinnya.
Mendengar ancaman Liang Fei, tiga ekor serigala putih muncul di belakangnya. Hewan buas dengan tinggi tiga meter, cakar tajam, dan dua gigi yang meruncing ke atas itu menatap Liang Fei sebagai mangsa.
Liang Fei mengamati setiap pergerakan serigala putih itu dengan tenang. Meskipun secara fisik matanya buta, tetapi dengan kemampuan warisannya, ia mampu merasakan energi kehidupan dari makhluk di sekitarnya.
Liang Fei mengayunkan tongkatnya secara naluriah, membentuk lingkaran di sekelilingnya untuk meningkatkan kewaspadaan serigala, sebuah trik sederhana untuk menakut-nakuti pemangsa.
"Ada apa, apa kalian takut?"
Seolah mengerti ejekan Liang Fei, seekor serigala tiba-tiba menerjang dengan cepat dan gesit. Liang Fei menggeser tubuhnya ke samping, menghindari cakaran tajam yang mengancam.
Energi Qi mulai mengalir di sepanjang nadinya, siap digunakan untuk pertahanan atau serangan balik.
“Sepertinya aku tidak punya pilihan, aku akan menguji kekuatan baruku pada kalian,” gumam Liang Fei.
Dia segera mengonsentrasikan energi Qi ke telapak tangannya, bersiap melancarkan jurus seni bela diri yang dia kuasai.
Serigala kedua ikut menyerang dengan suara raungan yang membuat bulu kuduk merinding.
Kali ini Liang Fei tidak menghindar. Dia menggunakan tenaga dalamnya untuk memperkuat pukulannya, menargetkan tepat di tenggorokan serigala, mengakhiri ancaman dua hewan buas itu dalam satu gerakan.
Serigala terakhir, tampaknya menyadari ancaman dari lawannya, melangkah mundur sejenak, matanya yang tajam menilai setiap pergerakan Liang Fei.
Namun, Liang Fei tidak memberinya waktu untuk berpikir lebih lama. Dalam sekejap, di bawah kekuatan penuh Mata Dewa Naga, Liang Fei segera maju, serangannya secepat kilat dan sekuat guntur.
Tubuh serigala itu terjerembab setelah diterjang oleh ledakan energi Qi. Perlahan, hutan kembali sunyi, suara makhluk lain pun senyap, seakan menghormati pertempuran singkat yang baru saja berlangsung.
“Sial, lapar sekali aku,” gumam Liang Fei dan dia teringat dengan niat awalnya.
Dengan cepat dia mencari kayu kering dan menyalakan api kecil, berencana untuk memasak daging serigala tersebut untuk mengganjal perutnya yang keroncongan.
"Jika kau ingin memangsa, maka kau harus siap juga untuk dimangsa."
Dengan tebasan tangan yang diselimuti oleh energi Qi yang tajam, Liang Fei mulai menguliti daging serigala tersebut.
Setelah berhasil menyalakan api, Liang Fei kemudian menyiapkan potongan-potongan daging serigala untuk dimasak.
Aroma daging yang terbakar perlahan memenuhi udara hutan, menyatu dengan aroma daun dan tanah yang lembap.
Liang Fei tersenyum kecil, merasa senang dengan hasil kerjanya. Ia duduk bersila sambil memandangi api yang menari, pikirannya melayang mengingat hari-hari yang telah berlalu.
"Hidup seperti ini tidak buruk juga," gumamnya.
Dulu dia hanya seorang yatim piatu dengan sedikit harapan untuk masa depan. Namun, berkat keberuntungan dan kerja keras, ia menjadi salah satu murid di sekte Naga Putih.
Ingatan tersebut memberikan Liang Fei motivasi yang lebih kuat lagi. “Hidup memang penuh dengan kesulitan, tapi aku harus tetap berjuang. Demi kakek, dan untuk diriku sendiri.”
Liang Fei sadar kalau dia tidak sendirian dalam perjalanan ini, kenangan akan kakeknya yang penuh kasih sayang selalu menyertainya.
Liang Fei menyantap makanan dengan khidmat. Meskipun rasanya tidak terlalu nikmat dan terkesan pahit, namun ia memakannya sampai habis.
Setelah membersihkan sisa-sisa makanan dan memastikan api padam, Liang Fei mengambil sisa-sisa bagian serigala putih tersebut.
"Bulu dan taring serigala putih berharga tinggi, aku akan menjualnya di kota," gumamnya sebelum melanjutkan turun gunung, menuju kota di bawah lereng gunung Tianlong.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!