Penyihir itu ada, tetapi terbatas karena penyihir yang tinggal di bumi buangan dari dunia sihir setelah melanggar aturan. Kementerian sihir menetapkan jika seorang penyihir jatuh cinta dengan manusia sampai menikah, mereka harus meninggalkan dunia sihir selamanya. Sementara, keturunan mereka harus dihukum mati agar tidak menciptakan ras penyihir darah campuran.
Mereka pernah tinggal berdampingan bersama ras elf, devil, goblin, dan lainnya. Namun, manusia membangkang dengan aturan sihir, mereka memilih membuat aturan sendiri sehingga semua ras sepakat untuk mengusir manusia dari dunia sihir. Kementerian sihir ikut mengeluarkan keturunan penyihir darah campuran agar tidak ada lagi ras dari kasta terendah itu.
Ingatan mereka disegel agar tidak mengetahui keberadaan penyihir. Seiring waktu segel itu melemah sehingga darah campuran itu mengingat identitasnya sebagai penyihir. Mereka membuat kekacauan dengan memulai peperangan melawan penduduk sihir.
Sayangnya, mereka hanyalah persilangan manusia yang tidak memiliki kekuatan dan lemah sehingga mereka kalah melawan ras terkuat penduduk dunia sihir. Kementerian sihir mengambil keputusan untuk mencabut kekuatan mereka sehingga menjadi manusia biasa tanpa keturunan penyihir.
Namun, seorang penyihir membuat kesalahan besar, dia jatuh cinta dengan seorang wanita keturunan manusia. Penyihir itu bernama Denzel Seamus yang menikahi Emawati keturunan manusia murni. Denzel mendapatkan hukuman setelah menikahi manusia. Dia memilih jadi manusia seutuhnya, yang membuat hidupnya jauh lebih bahagia sehingga tidak ada penyesalan setelah kekuatannya dikembalikan ke alam sihir.
Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak berusia 7 tahun bernama Difiar Seamus yang menjadi misteri darah siapa yang mengalir di tubuhnya? Mereka bertiga tengah menghabiskan waktu di lapangan menikmati senja yang akan datang. Suami istri itu bahagia anaknya bisa tumbuh normal seperti manusia pada umumnya.
“Ayah, Ibu, aku ke sana sebentar, ya!” teriak anak laki-laki yang melambaikan tangan ke orang tuanya.
Mereka menoleh melihat anaknya menunjuk pinggir lapangan.
“Udah mau sore, Nak. Ke sini dulu, sebentar lagi mau pulang!” jawab ibunya tegas, tetapi Difiar tetap kekeh ingin pergi.
Melihat istrinya cemas setelah kepergian putranya, Denzel meyakinkan jika tidak ada hal buruk yang menimpanya. “Nggak papa, istriku. Biar Difiar bergerak bebas, jangan mengekangnya. Kalau ada apa-apa nanti kita ke sana. Kenapa kamu jadi sering cemas, sih?”
Ema memilin jari-jarinya. “Kamu lupa Difiar keturunan kamu?”
“Terus?”
Karena suaminya yang terus menganggap enteng masalah, Ema menepuk pahanya agar dia cepat sadar. “Kita pasti kena hukuman karena diam-diam menikah. Imbasnya ke anak kita yang keturunan darah campuran!"
“Enggak kok, tenang aja.”
“Bagaimana kalau darah penyihir mengalir di tubuhnya?” tanya istrinya seraya melihat suaminya.
Lantas Denzel mengusap bahu istrinya agar tidak berpikir terlalu jauh lagi. “Aku yakin Difiar manusia seutuhnya!”
“Kita menikah sampai aku hamil kamu masih jadi penyihir. Bisa aja anak kita keturunan penyihir. Aku nggak mau Difiar jadi penyihir. Hidupnya pasti sengsara,” terang Ema diiringi kesedihan mendalam.
“Kita harus melindunginya. Kalau ada hal buruk yang menimpanya, 'kan ada kita yang jadi garda terdepan!” Denzel pun jongkok di depan istrinya sambil menepuk telapak tangannya. “Kamu berjasa di hidupku setelah melepas jabatan dan identitas penyihirku. Aku janji akan membahagiakan keluarga kecil kita.”
Istrinya salah tingkah. Dia tersenyum sambil menepuk bahunya. “Berdiri, nggak! Malu dilihat orang.”
Denzel ikut tertawa lalu kembali duduk di sampingnya. “Semoga dapat pekerjaan yang gajinya lebih besar.”
“Nggak perlu dipaksain, Sayang. Kamu mengurus anak kita aja biar aku yang kerja.” Ema tersenyum ke arah suaminya yang selalu mencemaskan hal itu.
"Memang aku nggak salah ambil keputusan."
Di pinggir lapangan, Difiar tengah mengamati aktivitas kelinci di halaman rumah tetangganya. Kelinci itu menggemaskan ketika makan sampai Difiar ingin memegangnya. Ketika Difiar berhenti di depan pagar, tangannya berusaha menggapai kelinci itu.
Dia ingin menyentuhnya, sayang sekali jarak antara tangan dan kelinci sangat jauh, tetapi tiba-tiba saja kelinci itu terbang mendekatinya. Sontak dia kaget lalu memegang tangannya. “Kenapa kelinci itu bisa terbang?”
Dirasa ada keanehan, Difiar pergi menuju kedua orang tuanya. Namun, anak kecil itu menangkap bayangan aneh di atas sana. Semakin dilihat benda itu kian jelas wujudnya.
“Orang naik sapu terbang? Jadi, penyihir yang diceritakan Ayah sebagai dongeng itu aslinya nyata?” gumamnya merasa heran pasalnya orang berjubah hitam itu menghampiri tempat orang tuanya berada.
Difiar melihat kedua orang tuanya terkejut setelah orang itu membuka tutup kepalanya. Rambut hitam bergelombang dengan campuran warna perak seakan warna yang baru Difiar lihat.
“Apa dia teman mereka?”
Pertanyaan Difiar pun terjawab ketika wanita berjubah itu mengeluarkan tongkat sihir dan mengayunkan ke arah ibunya. Difiar terlonjak ketakutan melihat ibunya kesakitan setelah sihir itu mengenai jantungnya.
“Mereka orang jahat!” tekan anak laki-laki itu yang bersembunyi di balik batu, tetapi dia bisa mengintip mereka. “Dia penyihir, mereka bukan dongeng tapi nyata.”
Denzel berusaha melindungi Ema yang menjadi sasaran penyihir itu. Namun, penyihir itu berusaha menyingkirkan Denzel yang menghalangi tujuannya. Usahanya digagalkan Denzel terus menerus membuat penyihir itu murka.
Sekali ayun tongkat itu mengeluarkan sihir yang memisahkan suami istri itu. Penyihir itu tersenyum miring dan mengayunkan ke arah Ema. Sihir itu dihalangi oleh Denzel yang langsung ambruk di tempat.
Ema menangis seraya memohon menggunakan kedua tangannya. Penyihir itu merasa dirinya menjadi paling kuat karena bisa mengalahkan mantan penyihir terkuat sepanjang sejarah.
Mendengar tawa penyihir itu membuat Difiar marah, sayangnya dia takut ke sana untuk melawan. Penyihir itu menoleh ternyata melihat keberadaan Difiar. Saat berjalan ke arahnya, Ema berusaha mencegah. Namun, penyihir itu melempar sihirnya ke arah Ema langsung tumbang seketika.
Difiar bersembunyi ketakutan setelah ketahuan. “Kalau bersembunyi terus, kapan kamu berani? Kata Ayah nggak boleh takut sama penyihir!”
Waktu Difiar keluar dari tempat persembunyian, penyihir itu tidak ada. Yang ada hanya orang yang menangisi kedua orang tuanya.
“Dia orang yang sama!” teriaknya ketika sadar rambutnya hitam bergradasi perak.
Difiar berdiri di belakang. “Kamu membunuh orang tuaku! Aku melihatnya langsung!”
Wanita itu menoleh, dia menghampiri anak kecil itu untuk menuntut jawaban. “Siapa dia? Siapa yang bunuh orang tuamu, Difiar?”
Difiar pun menunjuknya. Wanita itu menggeleng. “Kamu salah lihat, aku baru aja datang! Kamu ingat baik-baik bagaimana wujudnya!”
“Rambutnya sama seperti kamu!”
Wanita itu menggeleng. Lantas dia berpikir dan bertanya, “Apa dia penyihir?”
Difiar mengangguk. “Kamu nggak usah bohong! Kamu yang bunuh orang tuaku!”
“Ada apa denganmu, Difiar? Aku Bibi kamu, sahabat orang tuamu. Mana mungkin aku membunuh mereka. Lihat baik-baik,” pintanya yang memegang kedua tangan Difiar.
Difiar menyentak tangannya. “Rambutnya bergelombang.”
“Rambutku lurus dari dulu. Aku bukan pelakunya!” elak wanita itu, tetapi Difiar yakin jika dia pelakunya.
Difiar mendorong wanita itu. “Aku akan melapor kalau kamu pelakunya! Nggak usah menutupinya, aku jelas melihatnya!”
“Jangan! Kalau orang tau kematian orang tua kamu, mereka pasti cari tau penyebabnya. Kematian orang tua kamu nggak wajar, Difiar. Biar aku yang mengurusnya,” jelas wanita itu yang berusaha mengeluarkan sihirnya ke arah dua orang itu yang tubuhnya berubah warna menjadi merah jambu.
“Aku mohon bisa!” pintanya yang langsung digagalkan Difiar.
“Apa yang kamu lakukan? Orang tuaku berubah warna!”
Wanita itu melihat dan usahanya semakin parah. “Sihirnya semakin menyebar. Aku yakin dia penyihir terkuat yang berasal dari keturunan darah penyihir murni.”
Difiar tidak paham maksud ucapannya karena yang ada di pikirannya wanita baik itu aslinya seorang penjahat. “Pergi dari sini! Aku benci kamu pura-pura baik ternyata aslinya pembunuh!”
Wanita itu menggeleng. “Dia akan pergi setelah menyembunyikan kematian mereka.”
“Kenapa? Biar nggak ketahuan kamu pembunuhnya?”
“Bukan. Biar mereka nggak tau orang tua kamu dibunuh penyihir, karena masih ada manusia keturunan penyihir yang memiliki kenangan hidup di dunia sihir. Untuk mencegah keributan, biar aku yang mengurus mayat mereka, Difiar.”
Seorang wanita tua keturunan penyihir murni diam-diam masuk ke dunia manusia untuk mencari cucunya setelah diberi tahu anaknya dibunuh oleh penyihir. Wanita tua itu bernama Matilda Seamus yang memiliki kekuatan meracik ramuan. Sama halnya dengan sihir penyembuh, sihir meracik ramuan pun bisa mengobati segala macam penyakit.
“Nenek,” panggil wanita yang membantu pemakaman kedua orang tua Difiar. “Kenapa Nenek ke sini?”
“Kamu siapa?” tanya Matilda yang berusaha meraih tangan wanita itu.
Wanita itu bernama Endora Demona, memegang telapak tangan Matilda yang buta. “Saya sahabat Denzel, Nek.”
“Kamu Endora, ya?” tanya Matilda lalu menepuk-nepuk tangannya. “Seseorang mendatangiku, dia mengatakan jika Denzel punya anak dari manusia. Kamu tau siapa orangnya?”
“Ada di dalam pemakaman. Dia nggak mau pulang sama aku, Nek. Dia kira aku pelaku yang membunuh kedua orang tuanya.” Lantas Endora menggelengkan kepala lalu melanjutkan perkataannya, “Tapi, bukan aku. Pelakunya penyihir."
Wanita tua itu mengangguk paham. “Biar kementerian sihir yang mencarinya. Aku akan mengurus anak Denzel sendiri.”
“Nenek masih penduduk sihir, nanti kalau ketahuan bahaya, ancamannya nyawa, Nek. Nenek jangan cemas, biar aku yang mengurusnya,” larang Endora dengan memohon agar Nenek itu tidak mengambil keputusan yang beresiko.
Matilda meyakinkan wanita muda yang mengkhawatirkannya. “Nggak papa selagi kamu diam.”
“Tapi, Nek—”
“Nggak perlu khawatir!” potong Matilda meninggalkan Endora yang mencemaskannya.
Endora menganggukkan kepala guna meyakinkan dirinya. “Itu lebih baik daripada aku yang berusaha mengurusnya.”
Lewat mata batin yang menggantikan fungsi penglihatan Matilda yang rusak akibat meracik ramuan, dia tetap bisa mengerti jalan walaupun sering salah arah.
“Siapa nama ayahmu?” Matilda berdiri di samping anak kecil tengah sesenggukan itu.
Anak kecil berlinang air mata mendongak keheranan menatap seorang Nenek yang kedua matanya berwarna putih. “Denzel Seamus.”
Sang Nenek pun tersenyum lebar lalu mengulurkan kedua tangannya. “Ayo, kita pulang ke rumah.”
“Nenek siapa?” tangan Difiar yang belum mengingat Nenek tua di depannya.
“Aku Nenek kamu, Cu. Sekarang kebutuhan kamu Nenek yang urus,” jawabnya seraya tersenyum lebar.
Sontak Difiar berdiri menerima uluran tangan itu sampai memeluknya. “Aku senang masih punya Nenek. Aku kira nggak punya siapa-siapa di sini. Aku nggak mau tinggal sama Tante jahat itu!”
Matilda mengusap kepala anak kecil itu kemudian mengajaknya pergi meninggalkan pemakaman. “Kenapa? Dia baik.”
“Enggak! Dia yang bunuh orang tuaku, Nek! Aku lihat sendiri!” seru Difiar yang masih menahan duka dalam hatinya.
Sementara Matilda hanya mengusap kepalanya, dirinya hanya bisa menyembunyikan fakta yang harus dirahasiakan. Kelak Difiar pasti mengetahui rahasia sebenarnya.
“Cu, kamu percaya sama penyihir?”
“Penyihir?” Difiar menengok sebentar lalu melihat ke depan. “Yang membunuh orang tuaku penyihir!”
“Mereka nyata, tapi tinggalnya jauh dari manusia.” Sebelah tangan merentang ke atas sehingga Difiar tertarik dengan dunia sihir.
“Aku ingin ke sana, Nek. Ayo tinggal di dunia sihir aja!” ajak Difiar menarik tangan Neneknya.
Kepala Matilda menggeleng yang membuat Difiar menurunkan pundaknya. “Dunia sihir hanya untuk orang punya sihir. Manusia biasa seperti kamu nggak bisa melihat portal masuk dunia sihir.”
Ucapan sang Nenek mematahkan semangat anak kecil itu yang kini memilih diam daripada ingin tahu dunia yang belum pernah dia pikirkan, karena dunia itu hanyalah dongeng belaka dan hanya sebatas mimpi saja.
Batinnya mengatakan jika orang yang tengah bersamanya terlalu banyak mendengarkan cerita orang daripada berpikir jernih tentang hal yang dianggap tabu.
Mana mungkin dunia sihir itu ada?
“Nek, masih jauh, ya? Aku capek,” keluh anak kecil itu setelah sadar jalan yang dilalui bagaikan berada di gurun pasir.
“Sebentar lagi, semakin kamu mengeluh dan putus asa, kamu akan cepat sampai di tempat tujuan.”
“Kenapa bisa gitu?” herannya karena Matilda lebih menyuruhnya menyerah daripada menyemangati.
Matilda menjelaskan seraya mengusap kepala anak kecil di sampingnya. “Karena sejatinya manusia itu selalu mengeluh dan putus asa, dia selalu menuntut agar sampai tujuan dengan cepat, kalau enggak mereka akan mengamuk. Itulah sifat manusia yang enggak disukai penyihir karena mereka bergantung pada penyihir, tetapi saat keinginannya terwujud mereka jadi angkuh seolah melupakan peran penyihir yang membantu mereka.”
“Benar sekali.” Difiar pun mengambil napas lalu melanjutkan perjalanan.
“Kamu menyerah menempuh perjalanan jauh?” tanya Matilda menertawakan cucunya yang selalu saja mengeluh.
Difiar mengangguk, benar perkataan Matilda jika dirinya putus asa mencari rumah yang dimaksud maka akan sampai ke tempat tujuan.
Matilda mengajak Difiar masuk ke dalam gubuk yang berisi banyak ramuan serta tanaman yang asing baginya. “Ini tempat persembunyianku di bumi untuk membuat ramuan rahasia yang nantinya digunakan di sana. Jangan bilang-bilang, ya!”
Difiar mengangguk sebagai jawaban.
Ketika Difiar memegang pohon yang batangnya seperti wajah manusia itu dia dikejutkan oleh suara teriakan yang entah dari mana asalnya.
“Jangan sentuh, aku lagi istirahat!”
Difiar mencari di mana asal suaranya, ternyata berasal dari pohon yang bisa berbicara. Difiar sampai tidak berhenti menatap pohon aneh itu.
“Itu Mandrake, lebih baik jangan disentuh. Dia sensitif,” sahut Neneknya tengah bersih-bersih tempat tinggalnya selama mampir di bumi.
“Nenek bisa lihat?” Difiar menghampirinya.
“Enggak, aku hanya bisa merasakan sekeliling menggunakan mata batin,” jelasnya yang memang tampak seperti orang buta, tetapi seolah bisa melihat sekeliling.
Anak lelaki yang masih kebingungan antara mimpi dan kenyataan itu kembali membahas penyihir. “Sebelum tidur, Ayah selalu bercerita tentang penyihir. Mereka menyalurkan sihirnya lewat tongkat sihir.”
Matilda mengeluarkan tongkat yang Difiar maksud. “Seperti ini?”
Difiar terpesona akan keindahan ukiran tongkat itu, ketika dia ingin menyentuhnya seketika digagalkan oleh Neneknya sendiri.
“Tongkat sihir ini udah memilih tuannya, kalau jatuh di tangan orang lain nanti disalahgunakan atau tongkat itu akan rusak,” terangnya agar Difiar paham.
“Nenek, aku ingin jadi penyihir.”
Perkataan cucunya itu membuatnya ragu. “Kamu bukan seorang penyihir karena nggak punya kekuatan sihir. Lebih baik kamu jadi manusia.”
“Aku pasti bisa jadi penyihir yang punya kekuatan paling kuat!”
Neneknya ingin melarang, tetapi apa boleh buat, darah penyihir pasti mengalir dalam tubuhnya. “Kamu merasa punya kekuatan sihir?”
“Enggak.”
“Ya udah, sekarang kamu bantu Nenek racik ramuan untuk perang nanti. Manusia pasti membutuhkannya.”
Anak kecil itu berpikir keras. “Perang? Memang kita nanti diserang siapa?”
“Sesama manusia merebutkan wilayah kekuasaan dan mengambil harta kekayaan. Penjajah mengincar hasil bumi untuk kekayaan mereka sehingga pribumi sengsara harus kerja tanpa bayaran, justru mereka dijadikan budak di wilayahnya sendiri. Maka dari itu, kita harus membantu,” terang Matilda selembut mungkin sehingga Difiar bisa memahaminya.
“Manusia serakah!”
“Enggak juga. Mereka ada yang baik. Kamu harus jadi manusia baik untuk orang sekitar kamu.”
“Enggak mau, Nek. Aku ingin jadi penyihir!”
...****************...
Difiar membenarkan ucapan Neneknya, Indonesia akan dijajah. Pribumi perang melawan Portugal untuk pertama kalinya sehingga Difiar membantu mereka yang terluka.
Ketika mereka tengah bersembunyi mengobati luka dan memulihkan tenaga, ledakan besar terjadi begitu saja yang menewaskan semua orang kecuali Matilda. Tempat persembunyian mereka terbakar tidak ada satu orang pun yang selamat.
“Cucuku!” Matilda mencari sekeliling berharap bisa menemukan Difiar.
Ketika Difiar meringis kesakitan, Matilda bisa bernapas lega. “Cepat pulang lalu ambil ramuan hijau di rumah! Jangan ke sini lagi biar Nenek yang urus!”
“Tapi, Nek. Kalau Nenek kenapa-kenapa bagaimana?” Difiar cemas sehingga dia menolak perintah Neneknya.
Matilda memaksa pergi. “Kamu yang buat Nenek cemas. Aku bisa menjaga diri sendiri, buruan pergi!”
Secepatnya Difiar pergi menahan luka dalam perutnya. Berulang kali dia batuk mengeluarkan darah sambil lari secara diam-diam, Difiar tetap kena tembak oleh penjajah yang melihatnya.
“Argh!!”
Laki-laki yang beranjak dewasa itu terkena tembakan berulang kali, anehnya dia tidak tumbang sama sekali. Dirinya masih bisa berlari walaupun tertatih-tatih sehingga mengharuskannya bersembunyi di semak-semak.
“Semoga Nenek baik-baik aja,” pintanya sepenuh hati ketika penjajah pergi, Difiar kembali menuju rumah.
Saat ini Difiar tengah meninggalkan kota yang terbakar habis tanpa sisa. Difiar hanya bisa menangis sambil jalan menuju rumahnya yang sepanjang jalan harus melihat mayat manusia dimana-mana sehingga menciptakan darah yang menggenang.
Setelah melewati genangan darah yang mengingatkan kejadian orang tuanya dibunuh. Tubuh Difiar ambruk karena dia pikir sebentar lagi akan mati.
“Kamu nggak papa?” tanya gadis yang lebih muda dari usianya lalu membantu berdiri.
Difiar melihat gadis itu penuh curiga pasalnya paras cantik serta rambut panjang bagaikan musuhnya. “Kamu anak penjajah?”
“Aku benci mereka!”
“Jadi, kamu pribumi. Bantu aku sampai ke rumah, nggak masalah, kan?” Difiar pun meliriknya yang langsung mendapatkan jawaban lewat anggukan.
Mereka pun menuju ke gubuk Matilda sementara anak perempuan itu melihat langit. Difiar merasa gadis di sampingnya tidak fokus karena sering kesandung, sehingga mencari apa yang dia lihat.
“Lihat apa?”
Gadis itu gelagapan langsung fokus ke depan. “Nggak ada apa-apa. Masih jauh?”
“Enggak kok.”
Ketika melihat hanya ada satu-satunya gubuk yang berada di hamparan luas membuat gadis itu iri.
“Aku bisa main di sini karena punya halaman yang luas. Di lingkunganku padat penduduk, mau lari-lari pasti kena marah!” Gadis itu jengkel yang membuat Difiar senyum.
“Kamu tunggu di sini, aku masuk ke dalam dulu.”
Difiar langsung lari ke dalam mencari botol hijau yang dimaksud neneknya. Ketika menemukan botol hijau, Difiar minum sampai habis.
“Segarnya,” gumam Difiar yang merasakan sakitnya berangsur-angsur hilang.
Dirinya melihat tubuhnya kini tidak merasakan sakit, hanya tersisa darah yang menempel di luka tembak. Difiar pun ke luar yang mendapati gadis itu duduk seraya melihat ke arah bulan yang berwarna merah.
“Lihat apa?” tanya Difiar yang ikut duduk di sampingnya.
Gadis itu membalas dengan gelengan. “Aku menyebutnya bulan berdarah. Kata tetanggaku bulan yang warnanya merah hanya terjadi 195 tahun sekali dan saat ini waktu yang nggak pas untuk melihatnya. Aku yakin di masa depan bisa lihat kejadian ini lagi dengan tenang sampai puas!”
“Memang bisa hidup sampai seratus tahun lagi?” Difiar melirik gadis itu yang juga tengah melihatnya.
“Mau berjanji?”
“Apa?”
Gadis itu mengulurkan jari kelingkingnya. “Ayo kita janji bertemu lagi saat bulan berwarna merah. Kita habiskan malam bersama melihat bulan merah sampai selesai.”
Difiar mengangguk lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking milik gadis itu. “Walaupun hidup kita nggak tau sampai kapan, tapi aku janji kita bertemu lagi saat bulan berwarna merah.”
Lantas mereka tertawa karena tau hidup mereka tidak akan selama itu. Namun, mereka berharap penderitaan segera berakhir supaya orang-orang di masa depan dapat menikmati keindahan gerhana bulan merah.
“Kamu bisa main ke sini kalau ada waktu luang,” kata Difiar seraya melihat ke arah langit.
Gadis itu mengangguk memamerkan deretan gigi rapih dan putih. “Iya, kalau aku masih hidup.”
Difiar pun setuju. Saat ini cuma ada hari ini dan kemarin. “Aku ingin hidup yang lama.”
“Aku juga.”
Difiar mendengar langkah sepatu mendekat ke arahnya sehingga mengajak teman barunya berdiri. Mereka langsung diam hendak bersembunyi, tetapi penjajah lebih dulu menemukannya.
Mereka terkejut di kepung penjajah sehingga Difiar menggenggam tangannya erat. Tidak ada celah untuknya kabur.
“Aku takut.”
“Kita akan selamat!”
Suara tambakan membuat keduanya terkejut, anehnya Difiar tidak merasa sakit. Dia pikir ramuan itu mampu membuatnya mati rasa, ternyata yang ditembak bukan dirinya melainkan gadis itu yang berdiri di depannya.
Tubuh gadis itu tumbang yang langsung ditangkap oleh Difiar. Tembakan itu mengeluarkan darah yang terus bercucuran. Difiar pun menghampirinya berusaha menutup darah itu yang keluar.
Suara tembakan kembali terdengar, kini mengenai Difiar. Para penjajah heran Difiar tidak tumbang sehingga dia ditembak berulang kali.
Tiba-tiba gadis itu menyeretnya lalu berbisik. “Hey! Pura-pura mati!”
Difiar kebingungan, secepatnya dia mengikuti perintah gadis itu sehingga penjajah pergi dengan tertawa puas.
Gadis itu bangun dengan kesakitan sambil tersenyum ke arahnya. “Semoga kita bisa bertemu lagi, aku ingin main bersama kamu.”
"Kali ini kamu nggak bercanda, kan?" Difiar memastikan jika gadis itu masih hidup.
"Kita pasti bertemu lagi karena udah janji. Kamu harus menepati janji kamu! Pokoknya, kamu harus lebih dulu datang sebelum aku!" Gadis itu tersenyum melihat Difiar yang menangis.
Kepala Difiar menggeleng saat gadis itu perlahan menutup matanya. "Jangan sekarang! Bertahanlah sebentar, Nenekku pasti datang. Dia bisa menyelamatkan kamu!" Tidak ada yang bisa Difiar perbuat. Sepanjang hidupnya harus melihat orang mati secara langsung sehingga menimbulkan luka di hatinya karena semua orang terdekatnya meninggalkan dirinya sendiri.
“Aku janji saat bulan berwarna merah, bagaimana pun caranya kita akan bertemu!”
Masa kini 2021
Pemilik sepatu pantofel hitam mengkilat berjalan angkuh memasuki kantor perusahaan yang dia pimpin selama 50 tahun. Anehnya, dia masih terlihat seperti sejak awal perusahaan berdiri. Banyak karyawan yang merasa janggal tidak ada perubahan dalam dirinya, bahkan umurnya tidak ada yang tahu.
Namun, pimpinan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan itu seolah mengunci rapat identitasnya bersama sekretarisnya sekaligus asisten pribadinya itu. Lagi pula sudah tidak ada yang berani mengulik urusan pribadi mereka setelah ada karyawan yang mati mengenaskan saat mencari tahu identitas mereka. Beberapa karyawan ada yang menyangkut pautkan kasus kematian orang itu dengan hal yang dia selidiki.
Sekarang para karyawan sudah tidak peduli lagi tentang identitas atasan mereka daripada pekerjaan yang diraih susah payah lenyap begitu saja. Iya kalau dipecat, nyawa melayang saja sudah membuat mereka bergidik ngeri.
Pemilik nama Difiar Seamus itu ikut mengantri masuk ke dalam lift. Semua karyawan yang mengetahui kehadirannya langsung menyapa penuh kegembiraan, tetapi tidak ada balasan keramahan yang selalu mereka harapkan. Seperti biasa, balasannya hanya lirikan mata sekilas lalu memalingkan wajah. Difiar selalu menunjukkan wajah dingin seolah mulutnya diselotip.
“Bapak pakai baju formal mau ada meeting, ya?” tanya salah satu karyawan yang ada di sampingnya setelah memasuki lift.
Tanpa menatap lawan bicara, Difiar menggerakkan bibirnya. “Lagi mau aja.”
Sontak respon para karyawan menghebohkan seisi lift, akhirnya ada yang di notice sama atasannya setelah menunggu pergantian generasi, kini ada yang mampu membuat atasan mereka menjawab pertanyaan yang tidak penting sehingga si pelempar pertanyaan pantas menjadi karyawan terbaik tahun ini.
Setelah keluar dari lift, dia berjalan lebih dulu menghiraukan semua yang masih mempertahankan kehebohan karena tiga kata yang diucapkan atasannya.
“Ada kemajuan dari Bapak. Dia baru aja dapat cewek baru kalik, ya?”
“Bisa aja habis ulang tahun. Btw, umurnya berapa sih? Ganteng banget mau jadi pacarnya!”
“Hush! Nggak usah bahas gituan!”
Seketika raut wajah Difiar berubah tambah datar seiring jarak mereka semakin jauh. Telinganya terasa panas sehingga dia mengusapnya beberapa kali. “Manusia hobi banget ngobrol nggak jelas!”
Langkah kaki jenjangnya seketika berhenti di depan pintu berwarna cokelat. Terdengar sayup-sayup suara desahan yang masuk ke telinganya. Dia melihat sekeliling memastikan sumber suara yang dia dengar. “Sial! Jangan-jangan ada di dapur!”
Kakinya melangkah gesit ke arah ruangan yang berjarak 2 meter dari ruangannya. Namun, tidak ada tanda-tanda hal aneh di dalam. “Suaranya masih terngiang-ngiang di telinga!”
“Samuel?”
Terlintas ingatan ruang kerja mereka jadi satu. Ada kemungkinan jika ruangannya menjadi tempat beradu keringat di pagi hari. Dia berlari kembali ke ruangannya. Menurunkan gagang pintu kemudian membuka selebar-lebarnya.
Benar dugaannya, ruang kerja mereka menjadi pemuas napsu pria mata keranjang yang hanya memanfaatkan lubang wanita dengan rayuan mautnya. Tidak segan-segan membawa pelacur masuk ke perusahaannya yang terbilang ketat dengan orang asing.
Baru beberapa detik melihat posisi mereka diluar nalar. “Shitt! Nggak ada duit buat sewa hotel apa gimana? Ini tempat kerja bukan motel! Pergi sekarang juga! Mulai saat ini kamu nggak boleh pakai ruanganku dan bulan ini nggak ada ruangan untuk kamu.”
“Bangsat! Terus aku kerja di mana? Perusahaan ini berjalan karena aku!” protes pria itu masih berada di posisi yang sama.
“Terserah kamu mau kerja di mana! Yang jelas ruangan ini harus steril dari cairan kotor kalian!”
“Aishh! Udah aku ingatkan kunci pintu!” teriak pelaku utama mendadak mendorong wanita di bawahnya. Wajahnya terlihat putus asa karena gagal mendekati puncaknya.
“Perasaan tadi udah aku kunci!” elak wanita tanpa busana yang sibuk mengumpulkan pakaian yang berserakan di lantai.
“Haduh! Bukannya kamu mati rasa? Kenapa masih mengandalkan perasaan juga? Sakit ini bocah. Buruan pergi bayarannya nanti aku transfer!” perintah Samuel disela menaikkan ritsleting celana.
Mereka buru-buru memakai baju seadanya sehingga terlihat jelas habis melakukan hal senonoh. Sang wanita pun tanpa malu keluar ruangannya tanpa memakai underwear, terlihat jelas lekukan tubuh yang paling menonjol. Wanita itu hanya mengangguk kemudian melenggang tanpa berani menatap Difiar.
Sementara Samuel melempar dirinya ke sofa dengan putus asa. “Bayar mahal-mahal cuma dapat setengah servis. Bangsat, ya, kamu penyihir abal-abal!”
“Salah siapa pakai ruangan nggak sesuai fungsi?” Difiar masih kesal dengan kelakuan asistennya itu. Dia menghidupkan penyejuk udara serta meneliti setiap ruangan. “Hey!”
“Salah siapa? Kalau kamu penyihir pasti dengar keadaan di dalam!” balas Samuel yang langsung menatap atasannya. “Apalagi, sih? Masih nahan gejolak ini loh!”
“Makanya itu aku harus mencegah ruanganku sendiri dari hal menjijikan itu!” geram Difiar yang langsung menaikkan kedua alisnya. “Kamu keluar di dalam? Tanpa pengaman?”
“Belum keluar, setan! Lagian nggak masalah, toh semua jalang udah ada cara kerjanya biar nggak hamil,” jawab Samuel merapikan rambutnya yang berantakan. “Menjijikkan? Bagian mana? Proses mengeluarkan hal menjijikkan itu sangat nikmat banget. Kamu aja yang belum pernah coba.”
“Buang-buang tenaga! Bukannya kerja lebih enak, sama-sama menguras tenaga, kan?”
Seketika Difiar ingat telah membuang beberapa waktu berharga hanya untuk mengobrol hal yang tidak penting. “Waktu adalah uang! Pokoknya nggak mau tau, kita harus pisah ruangan dan kesepakatan tadi berlaku saat ini!”
Samuel hanya bisa mengembuskan napas kasar. “Gini nih penyihir kolot yang harus diubah cara pandangannya.”
Mereka mulai terdiam sampai Samuel mendapatkan ide cemerlang. “Hey! Kamu beneran nggak mau pertukaran energi?”
Kening Difiar berkerut mencoba memahami maksud Samuel. "Bicara yang jelas!”
Samuel menabrakkan kedua telapak tangannya sehingga Difiar menangkap maksud perkataannya tadi lewat suara. Namun, dia menunjukkan wajah sepolos mungkin. "Hah?"
“Ck! Udah pernah one night stand belum, sih? Minimal sekali seumur hidup kek!”
“Cium bibir cewek udah termasuk?”
“Yang bener aja? Jangan-jangan gosip kamu gay itu benar?”
Penyihir tampan yang satu itu memutar bola matanya malas. "Nggak jelas.”
“Coba, buruan coba! Dijamin ketagihan. Biar aku carikan cewek yang pas buat kamu. Kriteria yang seperti apa?” Kedua alis Samuel naik turun lalu kedua tangannya merentang ke samping.
Melihat karyawannya itu bersantai-santai di jam kerja buat dirinya kesal. "Kerja, ped*fil!”
Samuel melotot mendengar atasannya itu memanggilnya sangat kasar. Dia mau marah, tetapi dia hanya bisa menahannya. “Kamu beneran mau menyia-nyiakan kesempatan? Uang kamu banyak kasih ke wanita yang membutuhkan kek. Bantu perekonomian mereka. Nanti dapat barter yang sesuai sama harga.”
“Punya otak buat mikir hal positif bukan hal mesum. Pikirannya tuh jadi sempit!” sindirnya seraya mengetuk-ngetuk kepalanya.
Pria yang masih telanjang dada itu berdecak kesal. Terbesit keinginannya menggoda atasannya itu. “Difiar, bayangin coba kamu punya tongkat keluar masuk ke lubang sempit berulang kali. Dok ... dok ... dok! Terus keringat kamu bercucuran dan darah kamu mendidih bergejolak meminta lebih—”
Telinganya berdengung menyebabkan tubuhnya meremang setelah masuk ke dalam perangkat temannya. Tangan kekar Difiar mengambil penghapus kecil lalu melemparnya ke arah pria yang telah merubah suhu tubuhnya. “Diam!”
Tepat sasaran!
Samuel berteriak memegang dahinya yang terkena amukan atasannya. “Kurang ajar!”
“Siapa, hah? Lupa tadi disuruh ngapain sama bos kamu?”
Yang dilempar pertanyaan pura-pura tidak dengar. Dia kembali iseng ke atasannya sampai dia dapat apa yang dia mau. “Kamu pernah uleni adonan roti nggak sih? Itu loh buat adonan jadi bulat sebelum masukin ke loyang. Nah, rasanya jauh lebih kenyal tapi padat. Kamu bisa dapat ukuran yang pas di genggaman kamu atau yang lebih besar dari genggaman kamu tergantung harga! Serahkan ke aku kalau kamu lupa rasanya.”
Mulut Difiar hendak meloloskan umpatan kasar, tetapi ketukan pintu membungkamnya. Mereka langsung melihat orang yang menyembul dari balik pintu.
“Permisi, Bapak. Ada yang habis dari Jogja bawa oleh-oleh. Bapak mau?” tanya gadis yang menyodorkan sekotak bingkisan dari bambu.
Difiar beralih menatap Samuel mengisyaratkan untuk mengambilnya. Samuel langsung menghampiri dengan senyuman nakal.
“Thank you, Darling! Hari ini kamu secerah masa depan kita, ya?” goda Samuel yang mengambil barang dari tangan lentik gadis di depannya.
Gadis itu langsung mual dan menyentak tangan Samuel yang hendak mengecup telapak tangannya. “Nyamuk di ruangan Bapak besar banget, ya?”
Samuel melihat hal yang ditunjuk gadis itu lewat matanya. Lantas dia memalingkan tubuhnya lupa jika telanjang dada. “Iya, besar banget! Ambilkan semprotan nyamuk, cepat!”
Kedua tangan gadis itu terlipat di dada. “Semprotan itu nggak mempan buat nyamuk yang bisa bicara, Samuel!”
Difiar melihat jam di pergelangan tangannya. “Jam 8 kita meeting pastikan kalian bekerja sekeras mungkin hari ini!”
Gadis itu langsung mematung ingat jika atasannya ada di sana. “Siap, Pak!” Kemudian dia berbisik ke arah Samuel, “Pakai parfum sesuai genre, Samuel! Aroma nyamuknya masih nempel di tubuh kamu.”
Pintu telah tertutup, Samuel tidak memedulikan gadis tadi. Dia melihat makanan yang ada di dalamnya dengan bibir menyungging. Dia sengaja mengigit klepon itu sesensual mungkin sehingga isi dalam klepon itu keluar mengenai tubuhnya.
“Ups! Muncrat sampai mana-mana,” kata Samuel diiringi tawa menggelegar.
Kejadian tadi dilihat langsung oleh Difiar sesuai keinginan Samuel. Secepatnya dia berpaling lalu merapikan setelan jasnya. “Siapkan aku satu perawan malam ini dengan harga yang terbaik.” Telunjuknya mengarah pada asisten pribadinya lewat tatapan mata saja dia bisa menangkap keseriusannya. “Pastikan tanpa goresan apapun di tubuhnya!”
Samuel terkikik geli. “Pria semurni apapun kalau diracuni hal mesum tamengnya pasti runtuh. Pilihan yang tepat, Difiar. Mari kita berpesta malam ini!”
“Siapkan wanita yang sempurna. Jauh dari perkataan yang kamu ucapkan tadi!” perintah Difiar tanpa melihat bawahannya yang terkikik geli mengejeknya.
Samuel langsung terbahak-bahak, dia telah masuk ke dalam jebakannya. Sebenarnya, Difiar menahan malu, tetapi dialihkan dengan hal yang tidak mau kalah darinya. “Bukannya malam ini kita kerja juga?”
Difiar menghentikan langkahnya. “Seminggu ini kita tutup, kan? Bukannya itu hal yang kamu sengaja?”
“Hey! Semua pekerjaan aku yang pegang. Mana sempat cari bahan-bahan di dunia sihir! Kamu ngapain aja selama ini? Aku juga mau bersenang-senang di dunia manusia!” bela Samuel mengeluarkan kekesalannya.
“Ck! Makanya jangan sering-sering birahi!”
Kekesalannya benar-benar memuncak. Samuel terus berharap agar atasannya itu memberikan asisten untuknya. Namun, dia selalu menutup mata dan telinga saat mengajukan keluhan. “Malam ini aku akan carikan wanita yang buat kamu ketagihan sampai buat kamu malas kerja dan terus jajan di langgananku!”
Difiar menutup pintu sekencang-kencangnya. Dia bersandar pada pintu menatap sekeliling dengan embusan napas berat. “Cepatlah kita bertemu lagi biar nggak ada orang yang bisa menggantikan posisi kamu.”
“Seratus tahun lebih aku menahannya demi dia. Seharusnya, waktu itu perjanjian pertemuan kita untuk selamanya. Bukan masa terjadinya gerhana blood moon aja!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!