Sebuah mobil sport melintasi jalanan ibu kota yang mulai lenggang karna malam telah larut.
Tipe mobil yang harusnya dapat berlari kencang membelah jalan kali ini melintasi dengan kecepatan yang bisa dibilang sangat santai.
Suara alunan musik slow mengiringi perjalanan pria berwajah tampan, Boy pria tampan yang cool.
Lampu kota berpijar remang. Boy memasuki area perumahan elit dengan tatanan taman yang sangat tertata rapi.
Mata pria itu terus lurus menatap jalan dan fokus, sesekali keluar lirik lagu dari bibirnya yang sensual mengikuti alunan musik.
Kini matanya melihat ke kiri dan ke kanan memperhatikan setiap sudut dalam cahaya lampu.
Pandangan Boy terpaku pada sebuah rumah mewah di sebelah kanan jalan. Dari dalam rumah itu nampak bayangan beberapa orang menunjukkan adegan seperti perkelahian. Pria itu memperlambat laju kendaraannya dan dengan seksama memperhatikan apa yang dia lihat.
Perlahan tapi pasti, Boy menghentikan mobilnya di seberang jalan. Matanya terus memperhatikan adegan demi adegan yang terjadi di depan matanya. Kejadian itu sangat jelas meski dia tidak dapat melihat dengan jelas wajah pemerannya.
Tidak berselang lama terdengar suara sirine mobil Polisi semakin mendekat ke arahnya.
Beberapa orang pria berlarian masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan pintu gerbang rumah mewah itu.
Boy dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah pelaku perampokan atau sejenisnya.
Suara sirine semakin mendekat, beberapa mobil polisi berondongan dengan laju yang sangat cepat.
"Aku harus pergi dari sini. Aku tidak mau ikut campur urusan mereka."
Boy melajukan mobilnya dengan cepat untuk menghindari hal yang tidak dia harapkan.
Naas, saat pria itu melarikan mobil sorotnya, salah satu mobil polisi sedang mengejarnya dan mencoba mengimbangi serta menghentikan mobil Boy.
"Sialan! Kenapa mobil itu terus mengikutiku?"
Boy semakin mempercepat laju kendaraannya dan mencoba menghindari kejaran polisi yang masih setia mengikutinya.
"Kalian pikir kalian bisa mengejarku! Seharusnya kalian mengurusi yang lain dari pada harus mengerjarku!"
Boy semakin lincah menguasai laju sport miliknya seolah sedang berada di lintasan balap mobil. Mobil polisi semakin tertinggal jauh dan lambat laun menghilang dari pandangan Boy.
"Akhirnya kalian menyerah juga," ucap pria itu lega dan mengurangi kecepatan.
Mobilnya terus melaju hingga di persimpangan jalan. Tepat di bawah lampu merah, mata pria itu terbuka sempurna. Dua mobil polis sudah menghadangnya seolah siap beradu muka dengan sport miliknya.
"Sialan!! Kenapa jadi aku yang mereka kejar?!"
Boy memukul setirnya dengan kasar.
Boy mulai memutar otak mencari jalan keluar untuk menghindari Polisi. Sebelah kiri terdapat jalan sedikit sempit.
"Jalan ini pasti cukup untuk aku lewati," ucapnya membelokkan mobil, mematikan lampu mobil dan hanya menyisakan lampu kota saja.
"Aku harus keluar dari masalah ini. Aku harus mencari tempat yang aman, setelah itu aku harus mencari bantuan."
Boy melihat ke segala arah untuk memastikan bahwa dia sudah aman. Setelah di rasa aman, pria itu kembali menuju jalan utama, sekali lagi dia memperhatikan sekitar dengan sedetail mungkin.
Setelah semua kosong dan tidak ada lagi mobil Polisi, Boy melajukan mobil sportnya menyusuri jalan Tol luar kota.
"Sepertinya aku harus meninggalkan kota ini untuk sementara waktu. Aku tidak ingin terlibat dalam kasus apapun."
Pria itu menarik napas lega saat dia sudah berada jauh dari kota yang membuatnya hampir terbunuh.
Boy memasuki sebuah kota kecil yang sangat sepi, wajar saja karna malam sudah semakin larut bahkan sudah hampir pagi lagi. Matanya mulai lelah dan berat.
"Aku harus mencari penginapan dan beristirahat," ucap Boy sambil melihat ke kanan dan ke kiri mencari hotel.
"Tidak, aku tidak boleh menginap di hotel besar," ucapnya saat melihat nama hotel dengan bangunan yang cukup besar.
Pria itu kembali melajukan kendaraannya menyusuri setiap sudut kota.
"Sialan!! Apa tidak ada hotel lagi di sini?"
Boy terpaksa memutar balik dan menuju hotel yang sempat dia lewati.
Boy memarkirkan mobilnya di tempat yang sedikit tersembunyi dan tidak terlalu terekspose.
"Maaf Tuan, kamar kami tinggal tersisa kamar VVIP," ucap salah satu petugas hotel.
"Aku ambil satu."
"Baik Tuan. Silahkan ini kunci kamar Anda. Semoga Anda merasa nyaman menginap di hotel kami."
"Terimakasih."
Boy mengambil kunci dan berjalan menuju kamar yang ditunjukkan oleh petugas.
Sesampainya di kamar, pria itu mengunci rapat pintu dan merebahkan tubuhnya.
Sebelum matanya terpejam, dia mengambil ponsel dari saku celana dan menekan salah satu kontak.
Beberapa kali Boy harus mengulangi panggilan hingga seseorang di seberang sana menjawab.
"Kenapa lama sekali?!"
"Ada apa? Ini masih malam kami sudah menggangguku."
"Aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu menemuiku besok pagi!"
"Iya, besok aku akan menemuimu," ucap orang di seberang dengan malas.
Hubungan telepon mati.
"Ah, sialan!"
Boy kembali menekan nomor yang sama.
"Apa lagi? Besok aku akan menemuimu, jangan khawatir," ucap orang itu kesal.
"Bodoh!! Kenapa kamu tidak tanya aku berada di mana saat ini?!"
"Paling juga kamu sedang dikamar dan tidak bisa tidur makanya kamu menggangguku."
"Sok tau! Sekarang aku sedang berada di kamar hotel."
"What??!! Kamu bilang hotel? Sedang apa kamu malam-malam begini di hotel? Bukannya kamu tidak ada jadwal keluar kota?"
"Ceritanya panjang. Besok kamu harus menemuiku di hotel Arrnoth di kota S!"
"Kamu gila! Ngapain kamu di kota itu?" tanya orang di seberang sana heran.
"Besok aku akan ceritakan semua, tapi ingat! Jangan ada satu orang pun yang mengetahui keberadaanku. Apa bila ada yang mencari tau atau bertanya padamu tentang keberadaanku, bilang saja kamu tidak tau! Tidak terkecuali keluargaku, kamu juga harus merahasiakan keberadaanku pada mereka!"
"Sebenarnya ada apa? Apa kamu kabur?" tanya seseorang di seberang.
"Jangan banyak tanya! Aku sudah mengantuk, aku tunggu kamu besok pagi."
boy menutup ponselnya dan melemparkan di samping tubuhnya.
Boy merentangkan tangan dan menatap langit-langit kamar.
"Kenapa jadi seperti ini?" ucapnya masih tidak percaya dengan apa yang dia alami malam ini.
Kembali bayangan kejadian di rumah itu terlintas jelas dalam ingatannya. Ada tanda tanya besar dalam benak pria itu tentang tragedi yang dia lihat.
Boy mencoba melupakan apa yang sudah dia lewati dan mulai memejamkan mata berusaha untuk tidur. Rasa kantuk dan lelah membuat pria itu dengan cepat dapat memasuki alam mimpi dan melupakan apa yang telah dia alami.
Malam semakin cepat berlalu dan berganti pagi. Tangan Boy menarik selimut dan menutupi tubuhnya hingga tidak menyisakan bagian tubuh manapun bisa terlihat.
Matanya masih terasa berat untuk terbuka, kembali pria itu terlelap dalam dekapan pagi hari.
Waktu terus berjalan dan berputar, pria itu masih dalam dekapan hangat selimut tebal. Perlahan dia membuka mata dan menyingkirkan kain tebal dan menggeliatkan tubuhnya.
Diliriknya jam yang menggantung di dinding, waktu menunjukkan pukul sembilan tepat.
Boy masih malas untuk beranjak, tapi suara mahluk-mahluk di dalam perutnya terdengar sangat berisik. Perut pria itu keroncongan terasa melilit menahan lapar.
Boy beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati meja telepon. Pria itu menghubungi pihak hotel untuk memesan sarapan.
Sambil menunggu pesanannya datang, Boy berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Sial!! Aku khan ga punya baju ganti," ucap Boy kesal.
"Uh, mana nih baju sudah basah lagi. Aku harus cari akal tidak mungkin aku seharian telanjang begini."
Boy memutar otaknya mencari solusi untuk dirinya sendiri.
Boy keluar dari kamar mandi hanya menggunakan balutan handuk yang melingkar sempurna di daerah pinggang menutupi daerah sensitifnya.
Sekali lagi Boy menekan nomor petugas hotel dan meminta tolong untuk membelikan pakaian lengkap untuk dirinya.
Boy duduk di tepi tempat tidur menghidupkan layar TV. Mata Boy terbuka sempurna saat melihat berita tentang kejadian semalam. Nampak jelas kejadian itu merupakan pembunuhan yang diduga sudah direncanakan dengan sempurna.
Hal yang lebih mengejutkan lagi saat warna dan model mobil sport miliknya turut disebut bahkan penyiar televisi mengatakan bahwa dugaan sementara pemilik mobil itu adalah dalang dari pembunuhan satu keluarga yang terjadi semalam.
Pikiran pria itu semakin tidak karuan, dia mengelalkan tangan dan memukul kasur di sampingnya.
"Sialan!! Kenapa aku harus ikut terbawa dalam situasi ini?!"
Boy mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.
"Sialan! Kenapa teleponnya sibuk sih? Siapa yang bisa aku percaya selain Dedy?"
Boy kembali memutar otaknya mencari seseorang yang bisa membantunya dan yang pasti bisa dia percaya. Boy menggelengkan kepalanya tidak menemukan nama yang cocok dalam otaknya.
"Aku tidak mungkin bisa pulang kalau situasinya seperti ini. Pasti para Polisi itu akan mendatangi rumahku dan mencari keberadaanku. Aku harus menghilangkan jejak terutama mobil yang aku pakai semalam."
Boy kembali menekan nomor yang sama, kali ini terhubung tapi tidak ada jawaban.
"Dedy kamu kemana?" ucapnya sendiri.
Tidak berselang lama ponselnya berbunyi.
"Halo, kamu di mana?" ucapnya cepat.
"Aku masih di jalan. Sabar! Kota Semarang itu tidak dekat butuh waktu untuk ke sana."
"Aku harus menghilangkan jejak terlebih mobilku."
"Nanti kita bicarakan! Aku lagi nyetir ini."
"Ya sudah aku tunggu di hotel."
Boy mematikan ponselnya.
Pintu kamar diketuk oleh seseorang. Jantung pria itu berdetak dua kali lipat lebih cepat. Boy berjalan berlahan mendekati pintu, diintipnya untuk mencari tau siapa yang datang.
Pria itu menarik napas lega saat melihat seorang pelayan hotel yang datang membawa sarapan pesanannya.
Boy membuka pintu dan mengambil pesanannya lalu menutup kembali pintu dengan cepat.
Boy dengan lahap menikmati sarapan karna memang perutnya sudah teramat lapar.
Pintu kembali diketuk oleh seseorang.
Boy kembali mengintip.
"Masuklah!" ucap nih membuka pintu dan berjalan masuk.
"Ini pakaian yang Anda pesan Tuan," ucap seorang wanita tanpa melihat Boy.
Wanita itu menunduk mengambil pakaian Boy yang tertumpuk di rak dorong miliknya.
"Auw ...."
Wanita itu berteriak menutup matanya dengan kedua tangan setelah melempar bungkusan yang dia pegang.
Boy terkejut dengan teriakan wanita tersebut dan spontan memandang pemilik suara itu.
"Kenapa kamu berteriak?!" ucap Boy dengan nada tinggi.
"Kenapa Anda menodai mataku?!" ucap wanita itu masih menutup matanya.
"Apa maksudmu?" ucap Boy tidak mengerti.
"Tubuhmu!"
Boy melihat tubuhnya sendiri yang masih berbalut handuk di pinggangnya, lalu tertawa.
"Oh ... pakaianku basah makanya aku minta tolong kamu untuk membelikanku pakaian lengkap."
"Kalau begitu saya permisi," ucap wanita itu membelokkan tubuhnya.
"Hey!! Mana pakaianku?"
Wanita itu berhenti, dia tersadar kalau pakaian pria itu tadi dia lempar sembarang karna terkejut melihat tubuh telanjang dada sang pria. Lalu dia berbalik dan mencari bungkusan yang tadi dia bawa tanpa memperhatikan pria yang berdiri memperhatikannya.
"Nih pakaianmu."
Mata wanita itu terpaku pada dada bidang lelaki di hadapannya tanpa berkedip.
Wow ... gagah sekali tubuh pria ini, ototnya sangat indah dan ... ah, kenapa otakku menjadi mesum begini sih, wanita itu memukul-mukul kepalanya mencoba menyadarkan otaknya.
"Kenapa dengan kepalamu? Apa perlu aku bantu untuk memukulnya?" ucap Boy heran melihat wanita itu terus memukul kepalanya.
Boy menarik bungkusan dari tangan wanita itu, tapi karna wanita itu tidak siap dan masih dalam pengaruh mesum maka tubuh wanita itu turut ketarik limbung ke arah Boy.
Dengan sigap pria itu menopang tubuh wanita itu.
"Auw ...."
Kepala wanita itu membentur dada bidang Boy.
"Kenapa kamu menarikku?!" ucap wanita itu marah.
"Hey!! Siapa yang menarikmu?! Aku hanya mengambil pakaianku dari tanganmu."
"Alasan!!"
Wanita itu menegakkan tubuhnya dan mendorong Boy hingga handuk yang melilit tubuh pria itu merosot sempurna.
"Ahk ...."
Wanita itu kembali menutup matanya dengan kedua tangan.
"Sialan!!" umpat Boy saat mengetahui tubuhnya terpampang tanpa sehelai benang pun yang menempel.
Boy mengambil handuk lalu kembali melilitkannya dipinggang. Kali ini dia mendekati wanita yang masih menutup matanya.
"Apa kamu tidak mau melihatnya?" goda Boy terus mendekati wanita itu.
Wanita itu melangkah mundur hingga tubuhnya membentur tembok di belakangnya.
"Apa maumu?"
"Aku pria normal Nona cantik dan aku bukan pria munafik. Teriakanmu sudah membuatnya bangun dan berdiri sempurna dan itu membutuhkan pelampiasan untuk bisa menidurkannya."
"Tolong jangan lakukan itu!" ucap wanita itu ketakutan.
"Jangan munafik cantik! Aku tau semua wanita yang bekerja sepertimu pasti melakukan itu untuk menggoda tamu hotel."
Boy semakin menghimpit tubuh wanita itu dan tangannya bermain di pipi merah wanita yang ketakutan.
"Aku mohon jangan lakukan itu," ucap wanita itu memejamkan matanya.
Sebagai lelaki normal, hasrat Boy kali ini benar - benar memuncak saat melihat bibir wanita itu. Awalnya Boy hanya ingin bermain-main untuk menghilangkan pikirannya tentang tragedi malam itu, tapi Boy terpancing oleh napsunya sendiri.
"Tolong Tuan lepaskan aku," mohon wanita yang ketakutan.
Boy memegang tengkuknya dan membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya untuk beberapa saat. Air mata jatuh di pipi putih wanita yang tidak mampu melawan kekuatan pria yang sedang dirasuki napsu setan.
Boy melepaskan bibirnya ketika mendengar suara pintu diketuk oleh seseorang.
"Sialan!!"
Boy meninju tembok dengan tangannya.
"Kali ini kamu selamat Nona," ucap boy meninggalkan wanita itu dan berjalan menuju pintu.
Boy kembali mengintip siapa yang datang sedangkan wanita itu telah bersiap-siap untuk kabur ketika pintu terbuka.
Benar saja, begitu Boy membuka pintu wanita itu langsung berlari keluar hingga menabrak pria yang berdiri di depan pintu. Tubuh pria itu menjadi limbung dan hampir jatuh untuk dia adalah pria yang kuat sehingga mampu menjaga keseimbangannya dengan baik.
Dedy memperhatikan Boy dari ujung kepala sampai ujung kaki dan berhenti pada bagian pinggang. Matanya hampir tak berkedip melihat penampilan sahabatnya.
"Buruan masuk!" ucap Boy menarik tangan Dedy untuk masuk dan langsung menutup serta mengunci pintu dengan cepat.
Dedy masih memperhatikan Boy.
"Kenapa melihatku seperti itu?!"
"Sejak kapan kamu bermain wanita?"
"Apa maksudmu?"
"Aku seperti tidak mengenalimu kali ini."
"Aku tidak bermain dengan wanita manapun!"
"Kamu boleh melakukan kejahatan apapun Bos! Tapi jangan bermain dengan sembarang wanita!"
"Hey!! Aku sudah mengatakan padamu, aku tidak sedang bermain dengan wanita mana pun."
"Lalu siapa wanita itu? Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu hanya memakai seperti itu?"
"Dia hanya pelayan hotel dan kami tidak melakukan apapun."
"Apa kamu yakin?" tanya Dedy ragu.
"Ya," ucap Boy ragu.
"Kenapa wajahmu tampak ragu?"
"Ok, ok. Aku salah. Tadinya aku hanya ingin menggodanya agar aku bisa melupakan kejadian semalam, tapi ternyata aku menjadi napsu saat melihat bibir indahnya," aku Boy.
"Ingat Boy! Kita pernah berjanji untuk tidak menyentuh wanita sebelum dia menjadi milik kita seutuhnya. Biarpun kita menjadi berandal tapi harga diri sebagai lelaki harus tetap dijaga."
"Aku ingat."
Boy mengambil bungkusan dan berjalan ke kamar mandi untuk ganti.
"Masalah satu baru datang sudah mau membuat masalah lagi," gerutu Dedy.
"Apa ada orang yang tau kalau kamu kemari?" Tanya Boy saat keluar dari kamar mandi.
"Tidak. Aku tidak memberitau siapapun."
"Baguslah. Lalu apa rencanamu?" tanya Boy lagi.
"Aku? Bukan rencanaku, tapi rencanamu," ucap balik Dedy.
"Buat apa aku menyuruhmu ke sini kalau tidak ada rencana yang keluar dari otakmu?!"
"Aku belum sempet memikirkannya. Di dalam otakku hanya bagaimana caranya aku sampai ke kota ini dengan cepat tanpa ada yang curiga."
Boy menarik napas panjang dan dalam.
"Aku sudah melihat siaran berita di TV pagi ini, mereka sedang mencariku dan mencurigaiku sebagai dalang di balik pembunuhan satu keluarga itu."
"Aku juga sudah mendengarnya. Ini masalah rumit."
"Tapi aku tidak mengenal mereka, kebetulan aku lewat saat itu."
"Aku tau. Masalahnya polisi melihat mobilmu di dekat tempat kejadian dan kamu melarikan diri."
"Bagaimana aku tidak melarikan diri? Mereka mengejarku dan ingin menangkapku."
"Mungkin kalau tadi malam kamu tidak lari, bisa jadi masalahnya tidak serumit ini."
"Maksudmu dengan suka rela aku harus menyerahkan diri pada polisi?"
Boy mulai terpancing emosi.
"Bukan itu maksudku. Seandainya kamu tidak lari, setidaknya polisi bisa memaklumi keadaanmu dan kita bisa menyewa pengacara untuk membantumu."
"Kenapa kita menyewanya sekarang?"
"Masalahnya tidak semudah itu Boy. Saat ini yang kita pikirkan adalah kamu ditetapkan sebagai tersangka dan burunon."
"Apa mereka tau siapa pemilik mobil yang mereka kejar?"
"Sepertinya belum. Sampai saat aku berangkat ke sini belum ada kabar soal itu."
"Baguslah."
"Sekarang di mana mobilmu?"
"Tempat parkir."
"Kita harus melenyapkannya."
"Apa maksudmu?" Boy tidak paham maksud Dedy.
"Kita harus membakar mobil itu."
"Kamu gila!! Kamu tau berapa harga mobil itu?"
Boy tidak setuju dengan ide sahabatnya yang tanpa memikirkan harga mobil miliknya.
"Apa uang lebih berharga dari nyawamu? Apa mobil itu lebih berharga dari nama baikmu? Apa kamu mau mendekam dalam penjara karna mobil itu?"
"Tidak. Aku tidak mau dipenjara."
"Kalau begitu musnahkan mobil itu!"
"Apa tidak ada cara lain?"
"Tidak. Untuk saat ini itu adalah jalan satu - satunya menghilangkan jejakmu."
Boy terdiam sejenak memikirkan ide Dedy. Dia belum rela kehilangan mobil kesayangannya yang dia beli dengan hasil keringatnya sendiri.
"Untuk saat ini hanya itu saranku, kalau kamu setuju aku akan meminta bantuan untuk memusnahkannya."
"Apa itu akan menjamin jejakmu tidak ditemukan polisi lagi?"
"Aku sendiri tidak yakin, tapi paling ga kita sudah berusaha karna hanya mobil itu kunci mereka."
"Apa pembunuh sebenarnya belum tertangkap?"
"Sejauh ini belum. Polisi masih fokus pada pencarianmu."
"Gila!! Kenapa jadi aku tersangka utamanya?!"
"Saat ini bukan waktunya untuk tawar menawar. Kita harus bergerak cepat sebelum polisi mengetahui keberadaanmu."
"Kalau memang menurutmu itu yang terbaik, lakukan saja! Meski sebenarnya aku tidak rela."
"Mana KTP dan SIM milikmu?" minta Dedy mengangkat tangannya.
"Untuk apa?"
"Untuk dimusnahkan juga."
"Kamu gila!!"
Boy tidak mengerti jalan pikiran Dedy, tapi dia tidak mempunyai pilihan lain selain pasrah dengan rencana sahabatnya itu.
Boy menyerahkan KTP dan SIM miliknya pada Dedy dengan berat hati.
"Bagaimana dengan identitasku?"
"Aku akan membuatkan yang baru dengan nama yang lain."
"Maksudmu aku harus menyamar?"
"Untuk sementara lebih baik begitu."
Dedy menghubungi seseorang dan meminta bantuan.
"Jangan sampai kalian meninggalkan jejak satu pun! Aku mau mereka mengira bahwa pemilik mobil ini sudah mati terbakar bersama mobil miliknya yang terjun dari atas jurang."
"..."
"Aku tunggu kalian di hotel sekarang juga."
Dedy mematikan ponselnya.
"Kamu gila! Bagaimana keluargaku bila mendengar aku sudah mati?" ucap Boy tidak mengerti.
"Lebih baik mereka juga mengetahui hal itu karna itu akan membuat rencana kita berjalan dengan baik."
"Lalu bagaimana dengan kehidupanku selanjutnya?"
"Sampai masalah ini selesai, kamu harus bersembunyi dan menyamar. Aku dan pengacaramu akan menyelesaikannya dengan cepat."
"Entahlah, sepertinya aku tidak yakin."
"Bagaimana kalau kamu tetap tinggal di kota ini?"
"Di hotel ini maksudmu?"
"Tidak. Kamu tidak boleh tinggal di hotel karna itu akan menimbulkan kecurigaan."
"Lalu aku harus tinggal dimana?"
"Kamu harus mencari tempat tinggal yang sederhana dan kamu harus menjadi orang yang sederhana pula."
"Aku tidak yakin kalau aku bisa."
"Kamu laki - laki, aku yakin kamu bisa."
Boy merebahkan tubuhnya di atas kasur, memikirkan apa yang harus dia lakukan di hari-hari kedepan.
"Sebentar lagi orang suruhanku akan mengambil mobilmu. Kamu tetap di sini sampai aku kembali, mungkin akan lama. Aku akan mencari rumah untukmu dan malam ini kamu harus segera pergi dari hotel ini."
"Kali ini aku serahkan semuanya padamu, aku percaya kamu akan membantuku."
"Kamu sahabatku tidak mungkin aku tidak menolongmu."
Boy dan Dedy saling beradu pandang sebagia ucapan Persahabatan.
Ponsel Dedy berdering.
"Aku akan mengambil kalian."
Dedy berdiri dan hendak pergi menemui orang-orang suruhannya.
"Mereka sudah datang, aku akan menemui mereka," ucap Dedy dengan langkah keluar.
"Dedy," panggil Boy sembari bangun dari posisi baringnya sebelum pria itu membuka pintu.
"Terimakasih untuk bantuanmu," ucap Boy.
"Santai saja!".
Dedy membuka pintu dan meninggalkan Boy sendirian.
Boy kembali merebahkan tubuhnya dan menatap langit kamar, pikirannya masih kacau.
"Kenapa nasibku menjadi soal seperti ini? Aku menjadi buronan atas kejahatan yang tidak pernah aku lakukan."
Boy hanya bisa menunggu dan berdiam diri di kamar, sesekali dia mondar-mandir menghilangkan kejenuhan. Pria itu selalu mengikuti perkembangan berita tentang kasus uang menimpanya.
Hari ini siaran TV memang sedang viral tentang berita pembunuhan yang melibatkan dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!