Hutan gunung Semaraksa, namanya terdengar seperti pelindung kedamaian, namun di dalamnya terhampar neraka yang hidup. Hutan ini bukan hanya sekedar hutan lindung biasa, ia adalah sebuah contoh berapa mengerikannya alam liar yang sebenarnya.
Bayangkan sebuah kanopi raksasa, dedaunan yang menutup langit, membuat siang terasa seperti senja. Tapi jangan tertipu, karena kegelapan itu bukan pelukan hangat, melainkan jebakan yang mematikan.
Di balik setiap batang pohon tua yang menjulang, ada binatang buas yang matanya bersinar dalam gelap. Macan gunung dengan cakar sebesar pisau. Ular berbisa yang menggantung diam, menunggu mangsanya lewat. Dan jangan lupakan serangga yang ukurannya tidak masuk akal, satu gigitan cukup untuk mengirimkan racun ke aliran darahmu, membuat detik terakhir terasa seperti siksaan abadi.
Namun, bukan hanya binatang yang mengancam di Semaraksa. Tanahnya beracun akibat aktifitas vulkanik. Akar-akar tumbuhan yang tampak indah menyembunyikan perangkap mematikan. Ada bunga yang warnanya merah menyala seperti darah segar mewah, memikat, tapi satu hirupan baunya cukup untuk membuatmu pingsan, dan itu baru awal penderitaan.
Mereka yang masuk ke dalam hutan ini dengan harapan membawa pulang cerita petualangan yang menyenangkan, jarang sekali berhasil keluar dengan selamat. Mereka berbicara tentang suara-suara aneh, bisikan yang tak berwujud, sesuatu yang selalu mengintai namun tak pernah terlihat. ‘Hutan adalah neraka,’ kata mereka yang beruntung.
Namun, terlepas dari bahaya itu, Semaraksa tetap memanggil para penantang. Kenapa? Karena legenda mengatakan, jauh di dalam kegelapan hutan, ada sebuah reruntuhan kuno yang menyimpan harta karun tak ternilai harganya, dan kitab kuno yang di dalamnya terdapat rahasia besar kejayaan masa lampau.
Tidak ada yang tahu secara pasti akan legenda itu merupakan kebenaran atau hanya karangan, namun satu hal yang pasti, hutan ini tak pernah benar-benar membiarkanmu pergi. Jika tubuhmu bisa keluar, jiwamu mungkin tertinggal di sana, tersesat di antara akar-akar tua yang seperti tangan pencabut nyawa.
***
Basecamp 17, sebuah pos yang terletak jauh di jantung Hutan Semaraksa, kini berdiri sunyi dan terbengkalai. Tempat ini pernah menjadi pos penjagaan terjauh di wilayah berbahaya itu, namun tiga tahun yang lalu, penjaga terakhirnya dilaporkan menghilang tanpa jejak.
Kini, pondok kayu yang kusam dan rapuh itu hanya menjadi saksi bisu yang terlupakan oleh waktu.
Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di kulit luarnya.
Pagi itu, keheningan Basecamp 17 pecah. Pintu pondok yang terlihat nyaris hancur perlahan bergeser dengan bunyi berderit. Dari dalamnya, seorang pemuda keluar, tubuhnya disinari lembut oleh matahari pagi yang menerobos kanopi hutan. Lingkaran hitam di bawah matanya dan wajahnya terlihat lelah, mengisyaratkan jika dia kekurangan tidur.
Pemuda itu meregangkan tubuhnya, tulang-tulangnya berbunyi ringan saat ia bergerak. "Ugh... tubuhku terasa remuk. Harusnya aku benar-benar mengurangi waktu bermain game. Berapa bodohnya aku, memilih mengabaikan kesehatan hanya untuk mengejar event permainan online." gumamnya penuh penyesalan.
Jo Wira mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menghinggapi. Tubuhnya masih terasa lemas, seakan setiap ototnya menjerit minta istirahat setelah semalaman terjaga.
Di balik lingkaran hitam di matanya, ada penyesalan yang mengendap, penyesalan atas waktu yang terbuang sia-sia saat dia terlalu tenggelam dalam dunia permainan.
Biasanya, Wira bangun lebih awal, bermain dengan anjing kesayangannya, merawat kuda, lalu menikmati sarapan sambil meresapi ketenangan pagi. Namun hari ini, rutinitasnya terganggu oleh sesuatu yang dia anggap sangat bodoh.
Pagi itu, tubuhnya terasa remuk, seolah setiap ototnya memprotes kebiasaannya semalaman bermain game. Wira menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Tiba-tiba, suara gonggongan keras menyentak keheningan pagi. Seekor anjing berlari mendekat, melompat-lompat dengan semangat yang kontras dengan suasana hati Wira, seolah mengingatkan tuannya yang terlalu sibuk. Wira tersenyum kecil, meskipun matanya masih dipenuhi penyesalan.
“Kintaaaaaa!” serunya sambil menunduk, matanya berkaca-kaca. “Maafkan aku, Kinta... aku terlalu asyik dengan game sampai mengabaikan waktu bermain bersamamu,” ujarnya pelan, memeluk anjingnya erat-erat.
Setelah mengusap wajahnya dan mengusir sedikit rasa malu, Wira berjalan menuju gudang di belakang pondok yang kini sudah diubah menjadi kandang kuda. Begitu pintu terbuka, seekor kuda berbulu coklat kehitaman berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Wira, seolah tahu ada yang salah.
"Sumba... Maafkan aku," kata Wira dengan suara yang lebih lembut. "Pasti kamu kelaparan, ya? Maaf, aku terlambat mengeluarkanmu tadi."
Sumba hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti, sementara Kinta yang masih mendekat, tampak menyaksikan kebingungannya. Wira hanya bisa tersenyum canggung, lalu membukakan pintu kandang untuk Sumba.
Setelah kedua hewan itu dikeluarkan, Wira membiarkan Sumba merumput di halaman luas, sementara dirinya menyiapkan sarapan. Ketika makanan sederhana sudah siap, ia duduk di teras pondok, menikmati sarapannya bersama Kinta.
Udara pagi di hutan Semaraksa terasa segar, membawa aroma khas dedaunan basah dan tanah yang baru terkena embun. Namun, di kejauhan, terdengar raungan samar, suara yang menjadi pengingat bahwa bahaya selalu mengintai di tempat ini.
Bagi Wira, suara-suara itu bukan lagi sesuatu yang mencemaskan. Ia telah terbiasa dengan keheningan yang diselingi kengerian, dan memilih mengabaikan ancaman yang tampak jauh. Baginya, pagi ini adalah tentang menikmati momen singkat di mana ketenangan terasa nyata.
Meski banyak yang menyebut hutan Semaraksa sebagai tempat yang menyeramkan, bagi Wira, ada kedamaian yang tak tergantikan di sini—kedamaian yang hanya bisa ditemukan di tempat sejauh ini dari hiruk-pikuk dunia luar.
Namun, ketenangan yang sedang Wira nikmati sedikit terusik ketika telinganya menangkap suara tak biasa. Kepakan sayap yang kacau. Ia mendongak, melihat kawanan burung terbang berhamburan dari dalam hutan, seolah melarikan diri dari sesuatu. Wira mengernyit, matanya menyipit mencoba mencari penyebabnya.
Kinta dan Sumba yang sedang sarapan juga ikut terdiam, mereka juga merasakan sesuatu yang tidak biasa di dalam hutan. "Hmm, ada apa lagi kali ini?" gumamnya, sedikit waspada, tapi tidak cukup khawatir untuk bergerak.
Jauh di dalam hutan, sesuatu memang sedang terjadi. Tanah yang gelap dan lembap mendadak berguncang pelan. Seekor gagak hinggap di atas ranting, matanya menatap tajam ke bawah sebelum terbang dengan pekikan nyaring.
Di bawahnya, sebuah tangan yang membusuk keluar dari tanah, diikuti oleh tubuh yang bergerak kaku. Bukan hanya satu, beberapa tubuh lainnya, yang sebelumnya tergeletak diam, mulai bangkit perlahan. Wajah mereka pucat dengan mata kosong yang memancarkan kehampaan.
Mayat-mayat itu, tanpa suara, tanpa tanda-tanda kehidupan, kini berdiri di antara pepohonan, menatap kosong ke arah luar hutan. Seolah mereka hanya menunggu perintah... atau mungkin, menunggu korbannya.
Ketenangan Semaraksa mulai retak, diawali dengan munculnya sesuatu yang diluar akal sehat.
Wira berdiri di ladang kecilnya, memegang alat bajak buatan sendiri, sementara Sumba, kuda yang setia, menarik bajak itu dengan langkah tenang.
“Pelan-pelan, Sumba,” Wira dengan tenang mengarahkan tali kekangnya. Kuda cokelat besar itu mendengus pelan, menuruti arahan. Dia sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Setiap musim tanam, mereka bekerja sama untuk mempersiapkan tanah untuk ditanami.
Di sisi ladang, Kinta, berlari-lari kecil sambil mengendus-ngendus tanah. Telinganya yang tajam selalu waspada terhadap suara asing. Kinta tidak pernah jauh dari tuannya, dan dia selalu siap memberi peringatan jika ada bahaya.
Setelah barisan terakhir tanah selesai dibajak, Wira berhenti sejenak, mengusap leher Sumba. “Kerja bagus, Sobat,” pujinya sambil memberinya potongan wortel yang ia simpan di kantong. Sumba mengunyahnya dengan senang hati, sementara Wira mulai menaburkan benih di tanah yang baru saja dibajak.
Hari ini tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pagi dihabiskan di ladang, menyiapkan makanan yang akan menjadi sumber hidup mereka beberapa bulan ke depan. Bagi orang lain, mungkin ini membosankan. Tapi bagi Wira, pekerjaan ini jauh lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya.
"Aku harap kedamaian ini bisa bertahan lebih lama." Gumam Wira sambil menatap lahan yang telah selesai dia tanami.
Setelah menyelesaikan pekerjaan di ladang, Wira kembali ke pondoknya bersama Kinta dan Sumba. Ia mulai mempersiapkan peralatan untuk menjelajahi hutan mencari makanan.
"Saatnya bersenang-senang" Wira mengambil alat pancing dari dinding pondok, dia berniat menangkap ikan di sungai. Tidak lupa Wira membawa sepasang keranjang yang akan dipasang di punggung Sumba untuk membawa hasil tangkapan, dan yang terakhir sebuah busur panah dan selusin anak panah sebagai senjata perlindungan.
Namun, saat ia membuka sebuah lemari kecil untuk mengambil tali, pandangannya tertuju pada laci meja di sebelahnya. Wira tertegun sejenak seakan mengalami pergolakan batin yang sulit.
"Keadaan hutan terasa aneh, apa aku perlu membawanya?." Cukup lama dia berpikir, hingga akhir gonggongan Kinta membuyarkan lamunannya. "Aku pikir panah saja sudah cukup." Pada akhirnya Wira memutuskan untuk tidak mengambil apapun dari dalam laci.
***
Setelah memasang keranjang dipunggung kudanya, Wira menunggangi Sumba, lalu memacunya meninggalkan basecamp diikuti Kinta yang melompat-lompat dengan semangat.
Jarak ke sungai terdekat sekitar tiga kilometer menuruni gunung, melewati medan yang sulit dan berbahaya.Jalur setapak sempit berliku-liku di antara lereng terjal, dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar yang lebat.
Namun, Wira sudah terbiasa dengan rute ini. Setiap suara ketukan langkah kaki Sumba dan setiap gonggongan Kinta yang tajam menjadi pengiring perjalanan mereka. Bagi kebanyakan orang, perjalanan ini adalah uji nyali, tapi bagi Wira, ini seperti berjalan di taman belakang rumahnya.
"Hum?"
Tiba-tiba, telinga Wira menangkap suara samar dari dedaunan bergeser, nyaris tenggelam oleh desiran angin. Tanpa menggerakkan kepala, matanya melirik ke arah sumber suara. “Di atas dahan. Ular hijau,” gumamnya pelan, seolah sudah mengenali ancaman itu hanya dari suara.
Dengan gerakan cepat dan terlatih, Wira menarik busur dari punggungnya. Dalam sekejap, ia melepas anak panah yang melesat tepat ke arah yang ia tuju. Suara panah menembus udara disusul pekikan tajam dari binatang yang terkejut. Detik berikutnya, sesuatu jatuh dari atas dahan ke semak-semak.
Kinta segera melesat menuju semak-semak itu. Dengan gigitan lembut, ia kembali membawa seekor ular hijau besar yang masih memiliki anak panah menancap di tubuhnya. Wira menatap buruannya sejenak lalu mengangguk puas.
“Lumayan,” ujarnya sambil mengambil ular itu dan melemparkannya ke keranjang yang terpasang di punggung Sumba.
Perjalanan dilanjutkan, namun konsentrasi Wira tidak pernah goyah. Sekali lagi, telinganya menangkap sesuatu, kali ini suara langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Ia menyipitkan mata, menghitung jarak dan memperkirakan ukuran targetnya hanya dari suara. “Kelinci,” gumamnya yakin.
Anak panah kedua dilepas dengan presisi yang mengagumkan. Tak lama kemudian, Kinta berlari mengejar target yang sudah jatuh tak berdaya. Saat Kinta kembali dengan kelinci di mulutnya, Wira tersenyum kecil.
“Anjing pintar,” pujinya sambil mengelus kepala Kinta sejenak sebelum memasukkan kelinci itu ke keranjang. Dengan bantuan Kinta, Wira tidak perlu turun dari punggung Sumba untuk mengambil buruannya, membuat perjalanan mereka jauh lebih efisien.
***
Meski medan perjalanan sulit dan penuh bahaya, Wira dan dua peliharaannya tampak seperti sedang berjalan santai di tengah taman. Bagi mereka, hutan ini bukan sekadar tempat berburu, melainkan juga pasar penuh sumber daya.
Sepanjang perjalanan, Wira berhenti beberapa kali untuk memetik bahan-bahan dari hutan. Ia memungut berbagai macam buah hutan, jamur liar dan tanaman hijau untuk dijadikan makanan, lalu memisahkan daun atau buah-buahan yang beracun ke keranjang khusus. Racun itu nantinya akan ia manfaatkan sebagai bahan obat atau alat pertahanan diri.
Setiap langkah Wira menunjukkan pengalamannya yang mendalam tentang alam. Dia tahu mana tanaman yang berguna, mana yang berbahaya, dan bagaimana memanfaatkan semuanya.
Sumba tetap berjalan dengan tenang, Kinta terus mengawasi sekeliling, dan Wira melanjutkan perburuan tanpa terlihat kesulitan. Di tangan mereka, hutan liar berubah menjadi tempat yang bersahabat, penuh dengan peluang dan sumber daya yang melimpah.
Namun, saat hendak melanjutkan perjalanan, Wira melihat sesuatu yang tidak biasa. Sekelompok kambing gunung tampak bergerak menuruni bukit di kejauhan, berlari dengan terburu-buru seolah melarikan diri dari sesuatu.
Ia mengamati lebih saksama. Jumlah kawanan itu jauh lebih banyak dari biasanya. Sebagian terlihat kelelahan, sementara yang lain terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Seakan ada bintang buas yang sedang mengejar mereka.
***
Mendadak udara terasa berat, dan langkah Sumba mulai melambat seolah merasakan hal yang sama. Di belakang, Kinta menggeram pelan, tatapannya tertuju pada sebuah titik di semak-semak di sebelah kanan jalan.
'Ada yang mengawasi,' pikir Wira, memegang tali kekang Sumba lebih erat. Ia melirik Kinta yang mulai menggeram lebih keras.
“Tenanglah kawan,” bisiknya kepada anjingnya, mengangkat tangan untuk memberi isyarat. Kinta, yang pintar dapat memahami perintah itu.
Wira berpura-pura tidak menyadari kehadiran orang yang sedang mengawasinya. Dia menjaga sikapnya tetap santai meski pikirannya mulai memutar rencana jika ada bahaya. Dia kembali menyiapkan busurnya, bersiap untuk segala kemungkinan.
Saat Sumba melangkah keluar dari jalur sempit menuju area lebih terbuka dekat sungai, Wira melihat sosok berdiri di tengah jalan. Orang itu diam tak bergerak, tubuhnya membungkuk dengan pakaian yang lusuh dan robek, penuh tanah dan bercak darah.
Wira berpikir itu hanyalah pengalihan dan segera melihat sekitar, tapi karena tidak melihat ada orang lain yang akan menyergap, Wira menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak langsung menyerang. Ia turun perlahan dari punggung Sumba, meninggalkannya di belakang dan meminta Kinta berjaga.
“Tuan, apa kau baik-baik saja?” tanya Wira dengan suara tenang.
Sosok itu tidak merespons. Ia hanya berdiri di sana, mengerang pelan dengan suara serak seperti seseorang yang tenggorokannya rusak. Wira berjalan lebih dekat untuk memastikan.
“Apa kau tersesat?” tanyanya lagi, mencoba mencari respons. Namun, sosok itu hanya menoleh perlahan ke arahnya.
Ketika jarak mereka tinggal beberapa meter, Wira mencium bau busuk menyengat yang membuat perutnya mual. Bau itu seperti daging yang telah lama membusuk, bercampur dengan bau tanah basah dan darah. Ia berhenti sejenak, instingnya memperingatkan ada sesuatu yang sangat salah.
Tiba-tiba, sosok itu menggerakkan tubuhnya dengan cepat. Dalam sekejap, tangan kotor dengan kuku panjang meluncur ke arah wajah Wira. Namun, refleks Wira lebih cepat. Ia melompat mundur, nyaris kehilangan keseimbangan, tapi berhasil menghindari serangan itu.
Mata Wira melebar saat melihat lebih jelas. Wajah orang itu penuh luka terbuka yang membusuk, dengan kulit mengelupas di beberapa bagian. Matanya berwarna keruh, hampir seperti seseorang yang kehilangan nyawanya, namun tubuhnya bergerak dengan energi liar dan agresif.
“Apa-apaan ini?” gumam Wira, merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Sosok itu menggeram lebih keras, kemudian berlari ke arahnya dengan gerakan yang tidak wajar, terhuyung-huyung namun cepat.
"Zombie? Tidak mungkin. Ini tidak masuk akal," pikir Wira. Namun kenyataan di depannya tidak memberi waktu untuk penyangkalan.
Wira berdiri mematung di dekat mayat yang tergeletak dengan anak panah menancap di dahinya. Pikiran berkecamuk dalam benaknya. "Apakah ini mungkin hanya seseorang yang memakai riasan? Tapi jika benar, aku bisa berada dalam masalah besar." Perasaan bersalah mulai merayapi pikirannya.
Namun, Wira segera menenangkan diri dan memutuskan untuk memeriksa mayat itu lebih dekat. Dia berjongkok dengan hati-hati, mengamati luka-luka di tubuhnya.
Bau busuk yang menyengat semakin kuat saat dia memperhatikan kulit mayat yang penuh luka membusuk. Wira menyentuh luka di lengan mayat dengan ujung anak panahnya, memastikan bahwa pembusukan itu nyata.
“Tidak mungkin ini hanya riasan,” gumam Wira. Dia menyadari bahwa tubuh ini sudah mati selama berminggu-minggu. Darahnya yang mengering, kulit yang hancur, dan bagian tubuh yang membusuk tidak mungkin dipalsukan.
"Lalu bagaimana mungkin mayat ini masih bisa bergerak? Apakah mereka sudah menemukan cara untuk membangkitkan orang mati?" pikirnya dengan alis berkerut.
Pikiran itu langsung mengarah pada organisasi yang pernah memburunya di masa lalu. Baginya, hanya mereka yang cukup gila dan kejam bisa melakukan eksperimen seperti ini.
Namun, Wira tidak memiliki cukup waktu untuk memproses semua itu. Suara gonggongan Kinta yang tiba-tiba menggema di udara membuyarkan lamunan Wira. Ia menoleh cepat ke arah anjingnya, yang berdiri tegang dengan ekor naik, menatap tajam ke semak-semak di seberang sungai.
“Masih ada yang lain?” dari kemampuan pendengarannya, Wira sadar jika lebih banyak mayat hidup sedang bergerak kearahnya.
Kemudian seperti yang sudah dia duga, dari semak-semak itu muncul beberapa sosok yang tampak seperti manusia, tetapi berjalan dengan gerakan kaku dan tidak wajar.
Kulit mereka kusam dan membusuk seperti mayat pertama. Beberapa dari mereka memiliki luka menganga di tubuh mereka, tetapi tampak tidak terpengaruh. Dan yang menjadi masalah kali ini jumlah mereka tidak sedikit.
"Satu, dua, tiga... Sepuluh, sebelas. Ah sial ini akan menjadi sangat merepotkan." Wira mengutuk dalam hati begitu melihat jumlah mayat hidup yang mencapai 20 mayat.
“Apa-apaan ini?” Wira menghela napas panjang. Dia bisa saja menghindari pertarungan, tapi Wira merasa keadaan akan menjadi semakin buruk jika mayat-mayat itu dibiarkan berkeliaran.
“Kinta, Sumba, mundur ke tempat aman!” perintah Wira sambil menepuk-nepuk leher kuda dan memberi isyarat pada anjingnya untuk menjauh. Kinta menggonggong keras sekali sebelum berlari mundur, sementara Sumba mengikuti dengan langkah cepat, membawa peralatan Wira.
Kini Wira berdiri sendirian di hadapan kawanan mayat hidup. Ia memasang anak panah pada busurnya, menariknya dengan tenang. Matanya fokus pada zombie terdekat.
“Kalian hidup untuk kedua kalinya, hanya untuk disia-siakan ditangan ku. Sungguh kehidupan yang tidak berguna.” gumamnya sambil melepas anak panah pertama.
Panah itu melesat dengan kecepatan tinggi, menancap tepat di dahi salah satu zombie, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Namun, yang lainnya terus bergerak tanpa menunjukkan ketakutan atau keraguan.
"Dasar monster tidak berontak. Apa kalian mengejar ku karena ingin memakan otakku?." Celetuk Wira.
Wira menarik napas dalam-dalam, merasakan adrenalin mengalir di tubuhnya. Ia tahu bahwa jumlah anak panahnya terbatas. Dia harus mengatur strategi agar bisa bertahan.
Saat zombie-zombie itu semakin dekat, Wira berusaha memanfaatkan lingkungan. Dia melompat ke atas akar pohon besar untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi, membuatnya lebih mudah membidik kepala musuh.
Anak panah terus dilepaskan satu per satu, menjatuhkan zombie di barisan depan. Namun, jumlah mereka terus bertambah. Setiap kali satu zombie tumbang, dua lagi muncul dari semak-semak.
Wira mulai merasa kewalahan karena busurnya tidak efektif digunakan untuk pertarungan jarak dekat. Wira melihat sekeliling mencari sesuatu yang bisa digunakannya. Matanya menangkap ranting kayu dengan ukuran cukup besar yang berada di dekatnya.
Dengan cepat ia melompat turun, menarik kayu itu, dan menggunakannya sebagai senjata darurat untuk memukul zombie yang sudah berada di depannya.
Pukulan itu cukup kuat untuk menjatuhkan beberapa zombie ke tanah, meskipun mereka tidak sepenuhnya hancur. Wira menggunakan keahlian beladiri untuk mengalahkan setiap zombie yang mendekat, satu persatu zombie berjatuhan tapi lebih banyak lagi yang datang.
Wira berhasil bertahan selama 30 menit, entah sudah berapa banyak zombie yang dia kalahkan, area sekitarnya sudah penuh oleh mayat, bahkan saat ini Wira berdiri diatas timbunan yang menggunung.
Secara perlahan gerakan Wira mulai tumpul, bukan karena dia kehabisan tenaga, melainkan karena fokusnya mulai terganggu akibat dari bau busuk mayat-mayat dibawah kakinya.
Crack! mata Wira terbuka lebar, lalu seketika wajahnya tertekuk menahan rasa sakit dari pinggulnya.
"Ini sangat berbahaya." Wira merasakan cidera tulang belakangnya kambuh. Bersama dengan itu, dari kejauhan terdengar lolongan Kinta, itu merupakan sebuah pertanda jika sudah waktunya bagi Wira menyelesaikan pertarungannya dengan para zombie.
Wira bersiul nyaring, memberi sinyal pada Kinta dan Sumba untuk mendekat. Tak butuh waktu lama, keduanya muncul dari balik pepohonan. Dengan gerakan gesit, Wira melompat ke atas kepala para zombie, menggunakan mereka sebagai pijakan untuk berlari. Dalam satu lompatan besar, dia mendarat dengan mulus di punggung Sumba.
Kinta berlari di samping mereka, menggonggong keras untuk menghalau zombie yang mencoba mendekat. Sumba melaju dengan kecepatan penuh, membawa mereka menjauh dari kerumunan yang terus berdatangan.
Dari punggung kudanya, Wira menembakkan panah ke arah zombie-zombie yang mengejar. Satu demi satu, mereka tumbang, hingga akhirnya jarak antara Wira dan kawanan mayat hidup itu semakin jauh. Perlahan, lolongan dan geraman mereka menghilang di kejauhan.
***
Setelah memastikan bahwa tidak ada zombie yang mengikutinya lagi, Wira berhenti di tengah hutan, menghela napas panjang dan berusaha beristirahat dan menenangkan dirinya. Di sekelilingnya, hutan terasa semakin sunyi, seakan dunia ikut terdiam menyaksikan kekacauan yang baru saja terjadi.
"Apa kalian terluka?" Wira bertanya, suaranya penuh perhatian. Meskipun nafasnya belum stabil, tapi Wira lebih mementingkan peliharaannya.
Sumba tampak baik-baik saja, hanya sedikit lelah setelah mereka terpaksa berlari, namun tidak ada luka yang terlihat. Wira mengelus leher kuda itu dengan lembut, merasa sedikit lega. Kemudian matanya segera beralih ke Kinta.
Di mulut anjing itu terdapat bercak darah hitam, yang mengering dan menodai bulunya. Wira menatapnya dengan ragu. Sepertinya Kinta telah menyerang salah satu zombie saat mereka berusaha kabur tadi.
Jantung Wira berdebar cepat. Ia mengingat plot film zombie apokaliptik yang sering ditemui dalam cerita-cerita zombie, tentang virus yang menyebar melalui gigitan. ‘Tapi, apa yang terjadi jika yang digigit justru zombie itu sendiri?’ pikir Wira bingung, tak yakin apakah Kinta akan terinfeksi atau tidak.
Ia merapatkan bibir, berusaha mengusir kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Meski demikian, Wira tak ingin terlalu terbebani oleh hal itu. Dengan hati-hati, dia membersihkan mulut Kinta, berusaha menghapus darah hitam yang menempel di sekitar gigi anjingnya.
“Apakah daging zombie itu enak?” Wira bertanya dengan nada ringan. Wira tersenyum kecil, meskipun senyum itu lebih untuk dirinya sendiri. Kinta hanya menatapnya, ekornya bergoyang pelan, namun kemudian anjing itu menggelengkan kepala.
"Syukurlah, aku sempat khawatir kau mengembangkan sifat aneh setelah mencicipi daging zombie." Wira sempat berpikir Kinta mungkin akan tertarik memangsa zombie setelah merasakan daging busuk sekali.
***
Setelah merasa cukup beristirahat, Wira bersiap kembali ke basecamp. "Aku harus memusnahkan mereka sebelum zombie-zombie itu menginfeksi para predator," gumamnya penuh tekad.
Namun, sebelum sempat naik ke punggung Sumba, Wira tiba-tiba merasakan sakit kepala yang hebat. Dia terhuyung, satu tangannya mencengkeram pelipis. Sekilas, pikirannya melayang pada kemungkinan terburuk, 'Mungkin aku terkena racun dari darah zombie?" Wira melihat tangannya yang kotor oleh darah hitam.
Tapi, melihat Kinta yang tetap sehat dan penuh energi, Wira ragu. Mungkin ini bukan karena darah zombie, bisa jadi ada faktor lain yang memengaruhinya.
Meski pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi, Wira tidak punya waktu untuk menganalisis lebih jauh. Tubuhnya mulai lemas, dan setiap gerakan terasa menyakitkan. Dia harus segera kembali ke basecamp sebelum kondisinya memburuk.
Dengan susah payah, dia membongkar keranjang yang penuh barang dari punggung Sumba untuk meringankan beban kuda itu. Setelah selesai, dia memacu Sumba secepat mungkin, sementara Kinta terus berlari di samping mereka, setia mengawal perjalanan pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!