NovelToon NovelToon

Campur Tangan Mertua

Kedatangan Kakak Ipar

“Mil, kapan kamu nyusul? Sinta saja udah hamil anak kedua loh,”

“Iya nih, kami udah gak sabar pengen gendong anaknya Arman. Setelah ini kamu harus nyusul ya, Mil. Masa iya nikahnya bareng, hamilnya enggak?”

Sebagian pertanyaan yang selalu didengar Camila dari kedua saudara ibu mertuanya. apalagi saat ini, kakak ipar Camila datang dari Solo untuk tinggal sementara di rumah ini. Camila hanya mengembangkan senyum untuk menanggapi pertanyaan itu.

“Berapa bulan, Mbak?” Tanya Camila seraya menatap kakak iparnya.

“Tiga bulan, Dek Mila. Kamu buruan nyusul ya. Aku udah mau dua nih,” jawab Sinta dengan diiringi senyum kalem. Lagi dan lagi Camila hanya mengembangkan senyum untuk menanggapi ucapan kakak iparnya itu.

Penantian akan kehadiran buah hati selama empat tahun ini membuat perasaan Camila tak karuan. Seringkali dia mendapatkan ucapan pedas dari orang-orang di sekitarnya dan kali ini beban hidupnya semakin bertambah. Kehadiran Sinta di rumah ini tentu menjadi Bumerang bagi Camila.

“Kami hanya tinggal sementara di sini karena aku dipindahkan dinas di Surabaya. Aku tidak tega jika meninggalkan istriku sendirian di Solo dalam keadaan hamil muda dan mengurus Zafi yang sedang aktif bermain.”

Ya, itulah yang diucapkan Yudi—kakak kedua Arman—kepada semua orang. Tentu kehadiran mereka disambut hangat kedua orang tua Arman. Rumah dua lantai itu masih cukup luas untuk ditinggali. Camila tak mungkin pergi dari sana karena sejak awal menikah, dia sudah bersepakat dengan Arman untuk tinggal di rumah ini. Mengingat, kedua mertuanya sudah lanjut usia.

“Mil. Buatkan minum untuk mas dan mbakmu ini. Kok ya malah bengong di sini,” suruh ibu mertua Camila yang bernama Aminah seraya menatap Camila.

Segala angan hilang begitu saja saat mendengar suara lantang itu. Camila bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman. Bulir air mata mengalir tanpa dikomando. Pedih. Ya, itulah yang dirasakan Camila saat ini.

“Sayang.” Terdengar suara Arman di belakang Camila. “Jangan menangis di sini,” bisik Arman sambil memeluk Camila dari belakang.

“Sampai kapan mbak Sinta tinggal di sini, Mas?” tanya Camila sambil mengusap air matanya.

“Aku juga tidak tahu. Mungkin sampai melahirkan,” jawab Arman sambil melepaskan dekapannya. Dia berdiri di sisi Camila. “Jangan diambil hati. Abaikan ucapan bude Sinah dan bulek Siti. Maklumi saja, mereka sudah tua,” tutur Arman seraya menatap Camila.

Hanya helaan napas berat yang terdengar dari Camila. Wanita asal Surabaya itu sibuk menyiapkan teh hangat untuk kedua kakak iparnya itu. Dia tak menghiraukan Arman yang berusaha menghiburnya.

“Setelah ini kita pergi jalan-jalan, Yuk,” ajak Arman.

“Memangnya Mas yakin kita bisa pergi hari ini? Coba saja kalau bisa,” tanya Camila seraya menatap Arman sekilas.

Setelah selesai menyuguhkan makanan dan minuman untuk kakak iparnya, Camila pamit ke kamar. Dia tidak sanggup jika berada terlalu lama di ruang tamu dengan orang-orang yang dianggap toxic itu. Arman pun menyusul kepergian Camila. Dia tahu jika perasaan istrinya itu sedang tidak baik-baik saja saat ini.

Benar saja. Baru membuka pintu kamar, Arman sudah mendengar suara isak tangis Camila. Guru matematika itu segera menghampiri Camila yang sedang duduk di tepi tempat tidur. Arman memeluk erat tubuh Camila yang bergetar itu.

“Kenapa kamu sesedih ini? Biasanya kamu biasa saja saat menghadapi bude dan bulek. Lalu, kenapa sekarang menangis seperti ini?” Tanya Arman sambil memberikan usapan lembut di punggung Camila.

“Aku tidak siap menghadapi mbak Sinta. Kamu tahu sendiri ‘kan jika mbak Sinta itu bermuka dua. Dia kalem tapi hatinya busuk. Mbak Sinta pasti bakal mencari perhatian orang-orang yang ada di sekitar sini. Secara aku dan mbak Sinta berasal dari background yang berbeda.” Camila mengungkapkan kekhawatirannya kepada Arman.

Ya, kedua menantu Aminah itu memiliki background yang berbeda. Jika Sinta berasal dari lingkungan pesantren, lain halnya dengan Camila. Istri Arman itu berasal dari lingkungan kota metropolitan. Sebelum menikah, Camila bekerja sebagai teller bank yang cukup ternama di Surabaya. Setelah menikah dengan Arman, Camila diboyong ke kota kelahiran Arman. Berat hati dia harus meninggalkan pekerjaannya itu dan hidup di desa bersama Arman.

“Sayang. Ini bukan masalah besar yang perlu kamu tangisi. Kamu pasti bisa menghadapi mbak Sinta. Jangan berprasangka buruk dulu,” tutur Arman seraya menatap wajah Camila dari samping.

“Jangan terlalu setres. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Kita akan menghadapi semua masalah bersama-sama. Oke?” Arman memberikan semangat kepada istrinya itu.

Lagi, Camila mengela napas berat setelah mendengar tutur kata Arman. Bagi Camila kehadiran Sinta di rumah seperti musibah. Dia takut tidak bisa mengontrol diri menghadapi kakak iparnya itu. Paras manis serta tutur kata yang lembut menjadi tameng bagi Sinta.

“Sebaiknya sekarang kamu siap-siap deh. Kita jalan-jalan ke mall,” ajak Arman setelah berpikir sejenak.

“Kamu yakin Ibu mengizinkan kita pergi?” Camila menatap Arman penuh arti. “Di ruang tamu banyak penghalang yang siap menggagalkan rencana kita loh,” ujar Camila.

“Jangan berpikir negatif dulu, Sayang. Udah sana buruan ganti!” titah Arman.

Camila segera bersiap seperti perintah sang suami. Tak butuh waktu lama, sepasang suami istri itu akhirnya siap berangkat jalan-jalan. Mereka berjalan menuju lantai satu untuk berpamitan kepada keluarga yang masih berkumpul di sana.

“Kalian mau kemana?”

Satu pernyataan dari Aminah menyambut kedatangan mereka saat tiba di ruang tamu. Semua mata tertuju ke arah Arman dan Camila. “Mau keluar sebentar, Bu,” jawab Arman.

“Keluar?” Ulang Aminah dengan tatapan nyalang. “Kamu gak lihat ada Mas mu di sini? Harusnya di rumah saja. Jangan kemana-mana!” protes wanita lanjut usia itu.

“Gak pantas, Man, ada tamu malah ditinggal pergi,” sahut bude Arman.

Praduga Camila tidaklah keliru. Rencana apapun di rumah ini tidak bisa berjalan lancar. Ada saja penghalang yang menggagalkan. Apalagi jika saudara ibu mertuanya berkumpul seperti ini. Pasti ada saja masalah yang terjadi.

“Udah mending sekarang kamu ganti baju, Mil. Bantu ibu menyiapkan makan siang. Kalau kamu pergi sekarang. Siapa coba yang akan membantu ibu di dapur?” ujar Aminah dengan tegas.

Kecewa. Ya, itulah yang dirasakan Camila saat ini. Tanpa mengucap sepatah katapun, wanita cantik asal Surabaya itu berlalu begitu saja dari ruang tamu. Rasanya sangat tidak adil jika dirinya dituntut untuk membantu pekerjaan rumah dan melayani kakak iparnya itu.

“Sudah aku bilang dari awal ‘kan?” ujar Camila setelah masuk ke dalam kamar. “Kita tidak akan diizinkan pergi. Mas Arman dengar sendiri ‘kan jika aku yang harus membantu Ibu di dapur bukan mbak Sinta!” Camila meluapkan emosinya setelah berada di dalam kamar.

🌹TBC🌹

Takut Dibedakan

“Kamu kok jadi emosi begitu? Memang salahnya di mana jika ibu meminta bantuanmu?”

Emosi Arman tersulut setelah mendengar ucapan Camila yang dianggapnya tidak pantas itu. Sikap hangat yang semula ditunjukkan Arman berubah menjadi dingin. Guru matematika itu tidak suka jika Camila menyinggung tentang ibunya.

“Kok jadi aku yang salah, Mas?” Camila menatap tajam ke arah Arman.

Hanya karena masalah sepeleh, mereka berdua menjadi salah paham. Camila tak melanjutkan ucapannya karena malas berdebat dengan siapapun hari ini. Tak butuh waktu lama, wanita cantik itu telah mengubah pakaiannya kembali seperti setelan awal. Camila menatap sinis ke arah Arman sebelum keluar dari kamar.

“Kenapa jadi begini sih?” gumam Arman dengan helaan napas berat.

Sikap dingin di antara suami istri itu terus berlangsung hingga sore hari. Camila lebih memilih menghindari Arman karena takut tidak bisa menahan emosi. Mereka tak bertegur sapa meski istirahat di tempat yang sama.

Detik demi detik telah berlalu. Langit cerah telah berubah menjadi gelap. Arman baru saja selesai menunaikan sholat maghrib berjamaah di Masjid yang tak jauh dari rumah. Pria tampan itu mengayun langkah pulang menuju rumah. Setelah bertegur sapa dengan Yudi sebentar, Arman bergegas masuk ke dalam kamar.

“Aku harus mengakhiri semua ini. Kenapa aku mengikuti egoku? Kasian juga Mila kalau aku bersikap seperti ini,” batin Arman saat melihat Camila tidur tengkurap di atas tempat tidur dengan mukenah yang masih menutupi tubuhnya.

Arman mendekat ke tempat tidur. Dia duduk di tepian dan setelah itu mengusap punggung Camila beberapa kali. “Maaf atas sikapku hari ini,” ucap Arman singkat. “Sebagai permintaan maafku, bagaimana kalau jalan-jalannya diganti sekarang?” tanya Arman.

“Tanya dulu sana sama ibu!” Nada bicara Camila masih ketus.

“Tidak perlu. Kalau ada yang menghalangi nanti aku yang akan bicara. Sekarang sebaiknya kamu ganti baju terus dandan yang cantik. Kita keliling kota,” ujar Arman sambil menarik tangan Camila.

Malam itu, Arman menepati janjinya. Meski sempat dilarang Aminah pergi, pria tampan itu tetap membawa istrinya jalan-jalan. Sempat terjadi perdebatan dengan Aminah. Namun, semua itu tidak bisa menghalangi rencana Arman.

Wajah murung yang ditunjukkan Camila selama seharian ini telah berubah sumringah. Wanita cantik asal Surabaya itu menikmati kebersamaan bersama suaminya. Mulai dari keliling kota hingga belanja di satu-satu nya mall yang ada di Mojokerto. Mereka berakhir di salah satu cafe yang ada di sana. Istirahat sejenak di balkon cafe dengan pemandangan lampu kota.

“Kenapa melamun di sini? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?” tanya Arman setelah cukup lama memandang wajah cantik Camila.

Camila menatap suaminya dengan lekat. Lantas, dia termenung lagi merangkai kata yang tepat untuk disampaikan kepada Arman. “Mas, kalau aku kerja di bank lagi boleh gak?” tanya Camila.

“Apa uang bulanan dariku masih kurang?” Arman bertanya balik.

“Tidak. Lebih dari cukup malah. Aku kerja bukan berarti merendahkan kamu, Mas. Aku hanya ingin mencari kesibukan agar tidak terlalu sering bertemu mbak Sinta,” jelas Camila dengan suara lirih.

“Sayang. Sudah ya.” Arman mengela napas berat. “Mbak Sinta belum sehari loh tinggal di rumah. Tapi kamu sudah berpikir negatif terus. Kalau kamu terus begini, yang ada kamu semakin tertekan.” Emosi Arman mulai tersulut lagi, tetapi dia berusaha menahannya.

“Mas, aku itu gak mau kalau sampai ibu membandingkan aku dengan mbak Sinta. Paling tidak aku ada kerjaan. Secara mbak Sinta setelah ini pasti jadi guru ngaji di TPQ. Kamu itu gak paham dengan kekhawatiranku, Mas,” jelas Sinta dengan helaan napas yang berat.

Sekali lagi Arman harus menghela napas berat. Dia terus berusaha meyakinkan istrinya jika semua pasti baik-baik saja. Pembicaraan itu terus berlangsung sampai pada keputusan jika Arman tidak mengizinkan Camila bekerja lagi di Bank.

“Aku gak rela lah, istriku yang cantik ini harus dipandang nasabah bank setiap harinya. Aku lebih suka kamu berada di rumah. Menunggu aku pulang dari sekolah seperti biasanya,” ucap Arman sambil mengerlingkan mata. Dia sengaja menggoda Camila untuk menghilangkan ketegangan yang sempat terasa di sana.

****

Sementara itu, di tempat lain atau lebih tepatnya di rumah orangtua Arman, ada sosok yang sedang kesal. Ya, siapa lagi kalau bukan Sinta. Wanita berbadan dua itu kesal setelah melihat postingan Arman dan Camila di sosial media. Dia selalu iri melihat keromantisan adik iparnya itu.

“Ndeso! Ngapain coba nongkrong aja di posting di sosial media. Ih!” umpat Sinta seraya meletakkan ponselnya di atas meja.

“Kamu ini kenapa?” Yudi merasa heran melihat istrinya. Dia mengubah posisi menjadi duduk bersandar di headboard ranjang.

“Tuh si Arman sama Mila pamer kemesraan di sosmed. Norak banget ‘kan?” Sinta menatap Yudi dengan ekspresi wajah kesal.

“La terus masalahnya apa? Toh itu akun mereka sendiri dan gak merugikan orang lain.” Yudi mengernyitkan kening melihat sikap istrinya.

“Aku kan juga pengen seperti mereka, Pa! Kamu sih kalau diajak foto gak pernah mau. Gak seperti Arman tuh yang kelihatan bucin sama Mila!”

Yudi hanya menghela napas berat setelah mendengar protes dari Sinta. Perihal seperti seringkali terjadi di antara mereka karena hal sepele. Sinta sering membandingkan Yudi dengan orang lain hanya karena sesuatu yang tidak pernah dia lakukan kepada Sinta.

“Kamu ini aneh, Ma. Jangan bersikap begitu lah. Aku ya aku, Arman ya Arman. Kami memiliki sifat dan karakter berbeda. Memang kamu pikir rumah tangga hanya untuk pamer di sosial media saja?”

“Sudah aku jelaskan sebelumnya ‘kan? Aku tidak suka bermain sosial media dan tentunya gak sempat. Aku harus fokus kerja demi kamu dan anak-anak. Kamu pikir pekerjaan di kantor itu hanya duduk santai di depan laptop? Enggak, Ma. Aku semakin pusing kalau sikapmu seperti ini. Ayolah … kita ini udah mau punya anak dua, bersikap dewasa sedikit. Jangan kekanak-kanakan.”

Setelah mengeluarkan kekesalannya, Yudi keluar dari kamar. Dia meninggalkan Sinta di kamar seorang diri. Menghindar jauh lebih baik daripada harus berdebat perkara tidak penting. Apalagi, kali ini adiknya yang disangkutpautkan dalam pembahasan.

Semetara Sinta semakin kesal melihat sikap suaminya. Yudi selalu pergi setiap mereka berdebat. Padahal yang diinginkan Sinta adalah perubahan sikap Yudi kepadanya. Wanita berbadan itu kembali membuka ponselnya sambil menatap foto kebersamaan kedua adik iparnya. Rasanya begitu sakit melihat Arman yang selalu perhatian dengan Camila.

“Ck. Punya suami gini amat! Gak ada romantis-romantisnya! Kalah kan jadinya sama Mila. Pokoknya aku gak boleh kalah dari Mila. Aku harus menjadi kesayangan semua orang di sini!” ujar Sinta sambil memukul bantal beberapa kali untuk meluapkan kekesalannya.

🌹TBC🌹

Bertetangga

Kehangatan mentari pagi mulai terasa. Suara kicauan burung terdengar saling bersahutan. Seusai sarapan Arman siap berangkat ke sekolah. Guru matematika itu sedang menyiapkan motor di halaman rumah dengan ditemani Camila. Sesekali mereka bercanda dan tersenyum ceria. Rutinitas ini sudah mereka lakukan sejak awal pernikahan. Keromantisan di pagi hari bukan hal baru lagi bagi tetangga yang melihat mereka berdua.

"Hati-hati di jalan. Jangan genit kalau di sekolah," ucap Camila setelah mengecup punggung tangan Arman.

"Aku nanti pulang sore. Ada gladi bersih pementasan musik," pamit Arman sebelum berangkat.

Camila masih berdiri di sana sampai Arman hilang dari pandangan. Entah apa yang sedang dipikirkan Camila saat ini hingga dia masih termenung di teras rumah. Rasanya dia tidak siap menghadapi ipar dan mertuanya saat sendirian seperti ini. Wanita cantik itu terkesiap karena tiba-tiba merasakan tepukan di pundaknya.

"Ada apa, Mbak?" tanya Camila setelah membalikkan badan. Ternyata Sinta sudah berdiri di belakangnya.

"Tolong bantu jaga Zafi. Aku mau sarapan, Dek," pinta Sinta dengan diiringi senyum kalem.

"Iya. Silahkan Mbak Sinta Sarapan," ucap Camila sambil meraih tangan bocah berusia tiga tahun itu.

Camila mengajak Zafi masuk ke dalam rumah. Dia mengajak bocah kecil itu bermain di ruang keluarga. Jurus paling ampuh yang dilakukan Camila adalah memberikan ponselnya kepada Zafi. Serial kartun yang menjadi favorit anak-anak pun terputar di sana. Namun, semua itu tak bertahan lama setelah Sinta ikut hadir di sana. Wanita berbadan itu mengatakan sesuatu hal yang memancing Aminah ikut nimbrung di sana.

"Benar kata Mbakmu. Anak-anak itu tidak baik kalau terlalu sering main handphone. Nanti kesehatan matanya terganggu. Kamu itu harus belajar banyak sama mbakmu ini, biar nanti kalau sudah punya anak gak kaget," ujar Aminah seraya menatap Camila penuh arti.

Camila mencengkram erat ujung roknya saat mendengar penuturan ibu mertuanya. Tanpa banyak basa-basi lagi, dia membawa Zafi keluar dari rumah. Menjaga jarak dari mereka berdua jauh lebih baik. Alhasil, Camila membawa Zafi bermain ke rumah tetangga.

Kedatangan Camila di sana disambut hangat beberapa tetangga yang berkumpul di sana. Seperti hari-hari biasanya, mereka selalu menghabiskan waktu dengan berkumpul dan ngerumpi sambil menjaga anak bermain. Berawal dari membahas tentang resep makanan, makin lama pembahasan itu merembet tentang kehadiran Sinta di sana.

"Kamu harus hati-hati, Mil. Sepertinya Sinta itu penjilat. Jangan terlalu ngalah," tutur salah satu tetangga yang bernama Anik.

"Eh, mending ganti bahas yang lain yuk. Tuh orangnya mau datang ke sini," ujar ibu-ibu yang lain saat melihat Sinta dan Aminah berjalan dari rumah menuju tempat Camila berada saat ini.

Suasana berubah menjadi canggung setelah Sinta dan Aminah bergabung di sana. Rupanya wanita berbadan dua itu tak mau kalah dari Camila. Beberapa kali dia menunjukkan keberhasilan dalam rumah tangganya. Tak hanya itu saja, Sinta pun melayangkan jawaban menohok saat ada yang bertanya tentang kehamilan keduanya.

“Tapi ya, Mbak. Meskipun rasanya hamil itu gak nyaman dan terkadang bikin sakit, tetapi saya sangat menikmati momen ini loh. Saya sangat bersyukur karena gak terlalu lama menunggu anak pertama dan kedua. Alhamdulillah sekali meski rasanya melahirkan itu sakit banget,” ucap Sinta dengan nada bicara yang sangat halus.

Anik dan beberapa ibu-ibu di sana seketika bungkam seraya melirik Camila. Mereka tidak menyangka jika Sinta akan mengatakan hal ini. Entah dia sengaja atau lupa jika keadaan adik iparnya justru berbanding terbalik.

“Setelah ini Mila sama Arman pasti menyusul kamu, Sin. Ah ibu tidak sabar ingin menggendong anaknya Arman,” sahut Aminah dengan diiringi senyum tipis. Harapan besar terlihat jelas dari sorot matanya.

“Tuh, Dek Mila, Ibu udah pengen gendong anaknya Arman. Jangan ditunda-tunda lagi,” ujar Sinta dengan entengnya. Dia tersenyum lebar tanpa beban.

Sementara Camila hanya tersenyum tipis mendengar ocehan kakak ipar dan mertuanya. Bola matanya mulai berembun karena segala ucapan Sinta. Dia tahu jika Sinta hanya ingin menjatuhkan mental di hadapan semua orang.

“Santai, Mil. Nikmati saja masa-masa pacaran sama Arman. Gak usah terlalu diambil pusing. Jangan sampai setres. Lagipula punya anak itu bukan ajang perlombaan, Mil. Jadi kamu jangan khawatir kalah dari siapapun,” ujar wanita berhijab bernama Eva. Dia merasa risi saja mendengar penuturan Sinta, mengingat dia sendiri pernah ada di posisi Camila.

“Iya, Mbak. Saya pasrahkan semuanya kepada Allah. Saya pun sedang menyiapkan mental agar benar-benar siap menjadi seorang ibu,” balas Camila seraya melirik Sinta sekilas.

Setelah mengatakan hal itu, Camila pamit pulang dan menyerahkan Zafi kepada Sinta. Dia enggan terlalu lama berada di sana karena bisa menghancurkan mentalnya. Camila terus melangkah hingga sampai di dapur rumah. Dia duduk di salah satu kursi yang ada di sana dengan kepala tertunduk. Bulir air mata pun lolos begitu saja dari pelupuk mata.

“Mbak Sinta itu benar-benar keterlaluan!” gerutunya sambil menghapus air matanya. “Sok kalem, sok paling benar, sok ramah. Padahal, hatinya busuk banget!” Camila beranjak dari tempatnya karena teringat jika harus menyiapkan minuman untuk ayah mertuanya.

Rasa tidak nyaman mulai membebani kehidupan rumah tangga Camila. Sebelum Sinta datang ke rumah ini, dia baik-baik saja meski harus mendengar ocehan Aminah. Kecerewetan mertua dan saudara-saudaranya hanya dianggap angin lalu. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Sinta benar-benar membuat suasana di rumah ini berubah.

“Eh, Dek Mila. Sekalian nitip buatkan susunya Zafi ya? Mumpung ada air panas kan itu?”

Suara Sinta tiba-tiba terdengar di dapur hingga membuat Camila terkejut bukan main. Dia hanya menganggukkan kepala sebelum Sinta pergi dari sana. Camila heran saja kenapa Sinta mengikutinya pulang.

“Memang dia pikir aku ini pembantu di rumah ini? Dasar manusia tidak tahu diri!” umpat Camila dengan suara lirih. Kekesalannya kepada Sintapun semakin bertambah.

🌹TBC🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!