“Mil, kapan kamu nyusul? Sinta saja udah hamil anak kedua loh,”
“Iya nih, kami udah gak sabar pengen gendong anaknya Arman. Setelah ini kamu harus nyusul ya, Mil. Masa iya nikahnya bareng, hamilnya enggak?”
Hanya senyum tipis yang mengembang dari kedua sudut bibir Camila tatkala mendengar pertanyaan itu. Lantas, dia memilih pergi dari ruang tamu, “permisi, saya mau ke belakang sebentar, sepertinya kompornya belum mati,” pamitnya.
Bulir air mata mulai membasahi pipi setelah Camila berada di dapur. Dia berdiri di depan meja dengan kedua tangan berpegang pada pinggiran meja. Hatinya bergemuruh setiap mendengar pertanyaan mengenai kehamilan ataupun anak.
“Kenapa sih mereka suka mengulang pertanyaan yang sama?” gerutu Camila sambil menyiapkan minuman untuk kakak iparnya yang baru tiba. “Kenapa masalah anak selalu dipertanyakan kepadaku? Padahal, mereka pun tahu jika semua itu kuasa Tuhan.” Helaan napas berat terdengar saat Camila menggerutu.
Camila menatap nanar ke arah jendela dapur di mana kebun belakang rumah mertuanya terlihat jelas di sana. Wanita cantik itu sedang memikirkan rumah tangga yang dibina selama empat tahun ini. Belum ada tanda-tanda kehamilan meski Camila dan Arman sudah menjalani program hamil di klinik terbaik yang ada di Mojokerto.
“Sayang, kenapa melamun di sini?”
Suara bariton seorang pria terdengar di belakang tubuh Camila. Tentu hal ini membuat sang empu menoleh ke belakang. Rupanya suaminya menyusul ke dapur.
“Mas Arman dengar sendiri ‘kan bagaimana bude Sinah dan bulek Siti bertanya? Aku sedih tahu gak sih,” tanya Camila kepada suaminya dengan suara yang bergetar.
“Sudahlah. Tidak perlu diambil hati, nanti kamu bisa setres,” tutur Arman seraya mengambil nampan di rak. “Sebaiknya cepat bawa minumannya ke depan. Kasihan mas Yudi dan mbak Sinta sudah menunggu. Setelah ini kita pergi jalan-jalan, oke?” bujuk Arman agar istrinya tenang kembali. Dia sengaja datang ke dapur untuk membantu Camila.
Camila hanya menghela napas panjang setelah mendengar penuturan suaminya. Dia segera membawa nampan berisi minuman dan beberapa makanan ke ruang tamu. Sementara Arman termangu menatap punggung Camila yang perlahan hilang dari pandangan.
“Semoga Mila tidak mendengarkan ocehan orang-orang yang ada di ruang tamu,” gumam Arman. Pasalnya di ruang tamu ada beberapa kerabat yang ikut menyambut kedatangan Yudi dan Sinta.
Arman menyusul ke ruang tamu dan dia duduk di sofa yang ada di samping ibunya. Raut bahagia terlihat jelas dari wajah Aminah—ibunda Arman—saat mengamati bocah laki-laki berusia tiga tahun yang ada di atas pangkuan Yudi. Begitu pula beberapa orang yang ada di sana. Mereka sangat antusias ngobrol dengan Sinta.
“Man, masmu akan tinggal sementara di sini karena mbak Sinta kan gak bisa ditinggal sendirian di rumah. Jadi, nanti kamu dan Mila bantu-bantu menjaga Zafi ya. Kasihan Mbakmu sedang hamil muda,” jelas Aminah seraya menatap anak bungsunya itu.
“Iya, Man. Aku dipindahkan ke Surabaya. Kalau Mbakmu aku tinggal di Solo kasihan. Jadi, sekalian aku ajak saja tinggal di sini biar ada temannya. Zafi lagi aktif bergerak sedangkan mbakmu ini sedang hamil muda. Terus aku juga biar bisa pulang walau sebentar.” Yudi ikut menjelaskan perihal penting ini kepada Arman.
Yudi, kakak kedua Arman bekerja di salah satu perusahaan BUMN. Beberapa kali Yudi dipindahkan ke anak cabang yang ada di beberapa kota. Seperti saat ini, dari Solo dia harus pindah ke Surabaya. Alhasil anak dan istrinya ikut diboyong ke kota kelahirannya—Mojokerto—agar lebih dekat dengannya.
“Oh … iya, Mas. Silahkan saja. Lagipula rumah ini pun masih luas. Lalu, rencananya Mas mau PP Surabaya-Mojokerto setiap hari kah?” tanya Arman.
“Tidak, Man. Mungkin akhir pekan baru pulang. Aku tinggal di mes biar gak capek di jalan,” jawab Yudi.
”Ibu senang akhirnya bisa berkumpul dengan kalian. Biasanya Ibu suka kepikiran kamu, Yud. Terus kepikiran Mbakmu yang di Malang. Kalau sudah begini kan lega. Kalian lebih dekat dengan Ibu dan Bapak.” Aminah menimpali obrolan kedua putranya.
Sementara Camila hanya menyimak pembicaraan kakak beradik itu. Entah mengapa firasatnya menjadi tidak enak setelah tahu jika Sinta akan tinggal di rumah ini. Camila membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Pasti penuh dengan siksa batin. Mengingat kakak iparnya itu diam-diam menghanyutkan. Tutur katanya yang halus seringkali menjadi duri di hati Camila.
“Semoga saja mbak Sinta sudah berubah.” batin Camila seraya menatap Sinta sesaat.
Pernikahan Yudi-Sinta dan Arman-Camila dilangsungkan secara bersamaan empat tahun yang lalu. Mengingat, keduanya bertemu dengan jodohnya di waktu yang sama. Setelah menikah Yudi tinggal di rumah peninggalan orangtua Sinta di Solo. Sementara Arman tinggal di rumah orangtuanya. Pria yang berprofesi Guru Negeri SMA itu harus tetap tinggal di Mojokerto karena tuntutan pekerjaan. Alhasil Camila yang harus meninggalkan kariernya sebagai Teller Bank di Surabaya demi mengikuti langkah sang suami.
“Sebaiknya kalian istirahat saja. Pasti capek habis perjalanan jauh. Bapakmu tadi masih kumpulan haji di rumah abah Samsul.” ucap Aminah setelah cukup lama berbincang bersama beberapa kerabat yang masih ada di sana.
“Bu, setelah ini aku mau keluar sama Mila sebentar.” Arman berpamitan kepada orangtuanya.
“Kamu ini bagaimana toh, Man? Mas mu kan baru datang, kok malah mau keluar. Gak pantas lah,” sahut Sinah, kakak tertua Aminah.
“Iya, Man. Benar kata budemu itu. Mending di rumah saja. Lagipula setelah ini Mila juga harus bantu-bantu Ibu menyiapkan makan siang, ya, Mil?” Sahut Aminah seraya menoleh ke tempat Camila.
“Emm … i—iya, Bu.”
Camila hanya bisa pasrah setelah mendengar ucapan ibu mertuanya. Dia merasa kecewa karena rencananya gagal. Lagi dan lagi ibu mertua serta saudara-saudaranya ikut campur urusannya bersama Arman dan mungkin, setelah ini Sinta pun mengikuti jejak mereka.
“Bagaimana jika jalan-jalannya nanti malam saja?” tanya Arman setelah semua orang pergi dari ruang tamu. Dia pindah tempat di samping istrinya.
“Terserah Mas Arman saja,” jawab Camila dengan wajah murung.
“Jangan murung begitu, dong,” bujuk Arman seraya menangkup wajah cantik istrinya. “Akhir pekan nanti kita touring ke kota Batu yuk! Terus mampir ke rumahnya mbak Ana,” Ajak Arman. Ana adalah kakak pertama Arman.
Seketika ekspresi wajah Camila berubah setelah mendengar ajakan suaminya. Dia senang mendengar ajakan itu. Lagipula sudah lama mereka berdua tidak pergi ke luar kota karena ada beberapa kegiatan yang harus Arman lakukan. Musim panen cabai keriting pun menjadi salah satu penghalangnya. Mengingat, kedua orangtua Arman petani cabai keriting. Entah berapa banyak ladang yang dimiliki. Satu hal yang pasti, mereka salah satu keluarga terpandang di desanya. Entah dari segi ekonomi ataupun agama.
“Emmm … tapi sepertinya rencana kita nanti bakal kacau deh, Mas. Pasti ada saja yang menghalangi,” gumam Camila setelah sekelebat wajah Sinta terlintas di kepala. Sementara Arman hanya bisa tersenyum tipis seraya membelai rambut Camila.
...🌹TBC🌹...
...Selamat datang di karya baruku ya teman-teman❤️...
Malam telah datang setelah sang surya kembali ke peraduan. Bertabur bintang menghiasi gelapnya langit malam ini. Suara adzan isyak telah berkumandang beberapa puluh menit yang lalu. Menyisakan suara hewan malam yang berdatangan.
"Sayang, kenapa belum siap-siap?" tanya Arman setelah masuk ke kamar. Dia melihat Camila tengkurap di atas tempat tidur. Bahkan, mukenahnya pun belum terlepas.
"Aku capek, Mas," keluh Camila dengan suara lirih. Lantas, dia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di headboard ranjang.
Tak lama setelah itu, Camila turun dari tempat tidur seraya melepas mukenahnya. Lantas, dia duduk di depan meja rias dan mulai membubuhkan beberapa make-up di wajah. Ya, meski tubuhnya terasa lelah karena seharian penuh membantu mertuanya, Camila tetap bersiap pergi bersama Arman. Setidaknya dia bisa menghirup udara segar di luar sana. Belum sehari Sinta di sini, nyatanya Camila sudah merasakan sesak di dada.
“Kamu yakin jika kita bisa keluar malam ini, Mas?” tanya Camila setelah selesai bersiap. Rambut panjang berwarna hitamnya pun sudah tertutup kerudung.
“Memangnya siapa yang melarang kita? Toh, kita sudah menemani mas Yud seharian.” Arman bertanya balik kepada Camila.
“Ya mungkin saja ibu melarang kita.” Camila mengedikkan bahunya.
“Jangan terlalu berprasangka buruk kepada ibu,” tutur Arman seraya menatap camila dari pantulan cermin.
Camila tak menanggapi penuturan Arman karena tidak mau ada perdebatan. Beberapa kali Camila merasakan kecewa saat Arman lebih membela Aminah padahal dirinya tidak bersalah. “Ayo kita berangkat sekarang, Mas,” ajaknya setelah mengambil slingbag.
Sepasang suami istri itu bergandeng tangan keluar dari kamar. Mereka menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai dasar dan tak lupa mengambil helm yang tersimpan di rak. Motor kesayangan Arman pun sudah siap di halaman rumah.
“Kalian mau kemana?” tanya Aminah yang baru pulang dari masjid bersamaan dengan Arman dan Camila yang sudah berada di atas motor.
“Kami mau jalan ke kota sebentar, Bu,” pamit Arman seraya menatap wanita paruh baya itu.
“Kalian ini kebiasaan keluar malam. Seharusnya keluar itu tadi pagi. Kalau malam di rumah kumpul sama keluarga,” tutur Aminah seraya menatap Arman. “Ya sudah hati-hati. Jangan pulang larut malam.” Aminah menepuk bahu Arman sebelum berlalu menuju teras rumah.
Tentu saja hal ini membuat Camila mengerutkan dahi. Sikap aneh yang ditunjukkan ibu mertuanya itu terkadang menggelitik hati. Tinggal bersama selama empat tahun nyatanya Camila belum memahami jalan pikiran ibu mertuanya itu.
“Lah, tadi gak boleh keluar, terus sekarang jawabnya begitu. Bagaimana sih?” batin Camila.
Sepasang suami istri itu pada akhirnya berangkat menuju pusat kota. Menikmati keindahan malam kota Mojokerto. Hanya menempuh waktu beberapa puluh menit saja akhirnya mereka tiba di salah satu cafe yang biasa dikunjungi.
“Mas, kita nyari tempat di atas aja yuk,” ajak Camila saat memasuki cafe.
Arman menggandeng tangan Camila menuju tempat yang diinginkan. Mereka memilih tempat di balkon karena suasananya lebih asyik. Beberapa menu pun sudah dipesan oleh Camila untuk menemani mereka selama di sana.
“Yang, maaf ya kalau ibu terlalu cerewet. Tolong dimaklumi karena faktor usia.” Arman memulai pembicaraan setelah keheningan sempat menguasai.
“Semoga ibu tidak membedakan aku dan mbak Sinta. Jujur saja aku sangat takut menjalani hari esok dan seterusnya. Sehari ada mbak Sinta saja rasanya dag dig dug,” ucap Camila seraya menatap Arman.
“Jangan overthingking dulu. Siapa tahu dengan hadirnya mbak Sinta di rumah justru membuat kamu bahagia karena gak kesepian lagi.” Arman mencoba menenangkan istrinya.
Belum sempat Camila menanggapi ucapan Arman, seorang waiter datang membawakan minuman yang dipesan. Lantas, Camila mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia menatap lalu lalang kendaraan yang tiada hentinya. Entah mengapa hari ini perasaannya kacau dan merasa tidak tenang.
“Sepertinya ibu nanti bakal pilih kasih. Apalagi kalau dengar omongan bude Sinah dan bulek Siti, pasti semakin kacau nanti. Secara, mbak Sinta itu kalem, penurut, bisa menjadi guru ngaji dan tentunya pandai menjilat. Apalah artinya aku yang apa adanya ini? Guru bukan, santri bukan, berhijab juga kalau pas keluar saja. Ahhhh! Aku harus bagaimana nanti?”
Camila hanya bisa menggerutu di dalam hati karena tidak mungkin mengungkapkan semua ini kepada Arman. Meski Arman sangat mencintainya, tetapi tidak mungkin Arman seratus persen membelanya dan membangkang Aminah. Arman adalah pria yang berbakti kepada orangtuanya bila dibandingkan dengan Yudi.
“Yang,” panggil Arman seraya menyentuh tangan Camila. “Kenapa malah melamun di sini? Sudahlah … kita nikmati saja waktu kita saat ini. Urusan besok dipikirkan nanti,” tutur Arman seraya mengembangkan senyum tipis.
“Eh, Mas, bagaimana kalau aku kerja di bank lagi? Kemarin aku ada info dari teman kalau cabang Bank IR Mojokerto sedang membutuhkan Customer service. Aku boleh kerja lagi gak?” tanya Camila.
“Tidak. Aku tidak mau kamu kerja di bank lagi. Masa iya istriku yang cantik ini harus dilihat nasabah Bank. Aku gak rela,” jawab Arman sambil mengusap pipi Camila. Tak lupa pria tampan itu mengembangkan senyum yang sangat manis.
Camila tersipu malu mendengar jawaban Arman. Kedua pipinya terlihat merona serta hidungnya menjadi kembang kempis. Ya, seperti inilah Arman, selalu bersikap manis dan romantis. Camila tersenyum tipis mendengar jawaban dari Arman meski dia tahu jika bukan itu alasan yang sebenarnya. Aminah dan saudaranya lah yang berperan penting atas berhentinya karier Camila.
“Kita buat instastori yuk! Mumpung lagi sepi di sini,” ajak Arman seraya mengeluarkan ponselnya. Sudah menjadi kebiasaan mereka berdua mengabadikan momen-momen kebersamaan di media sosial.
“Pakai filter yang cantik dong, Mas!” protes Camila setelah Arman mengarahkan kamera ke arahnya.
“Kamu udah cantik gak perlu pakai filter. Bukan makin cantik malah nanti silau seperti mbak Sinta kalau foto,” jawab Arman. Camila terbelalak setelah mendengar jawaban suaminya. Dia heran saja karena tak biasanya Arman berkata seperti itu.
***
Sementara itu, di tempat lain atau lebih tepatnya di rumah orangtua Arman, ada sosok yang sedang kesal. Ya, siapa lagi kalau bukan Sinta. Wanita berbadan dua itu kesal setelah melihat postingan Arman dan Camila. Dia selalu iri melihat keromantisan adik iparnya itu.
“Ndeso! Ngapain coba nongkrong aja di posting di sosial media. Ih!” umpat Sinta seraya meletakkan ponselnya di atas meja.
“Kamu ini kenapa?” Yudi merasa heran melihat istrinya. Dia mengubah posisi duduk bersandar di headboard ranjang.
“Tuh si Arman sama Mila pamer kemesraan di sosmed. Norak banget ‘kan?” Sinta menatap Yudi dengan ekspresi wajah kesal.
“La terus masalahnya apa? Toh itu akun mereka sendiri dan gak merugikan orang lain.” Yudi mengernyitkan kening melihat sikap istrinya.
“Aku kan juga pengen seperti mereka, Pa! Kamu sih kalau diajak foto gak pernah mau. Gak seperti Arman tuh yang kelihatan bucin sama Mila!”
Yudi hanya menghela napas berat setelah mendengar protes dari Sinta. Perihal seperti ini seringkali terjadi di antara mereka karena hal sepele. Sinta sering membandingkan Yudi dengan orang lain hanya karena hal sepeleh.
"Kamu ini aneh, Ma. Jangan bersikap begitu lah. Aku ya aku, Arman ya Arman. Kami memiliki sifat dan karakter berbeda. Memang kamu pikir rumah tangga hanya untuk pamer di sosial media saja?”
“Sudah aku jelaskan sebelumnya ‘kan? Aku tidak suka bermain sosial media dan tentunya gak sempat. Aku harus fokus kerja demi kamu dan anak-anak. Kamu pikir pekerjaan di kantor itu hanya duduk santai di depan laptop? Enggak, Ma. Aku semakin pusing kalau sikapmu seperti ini. Ayolah … kita ini udah mau punya anak dua, bersikap dewasa sedikit. Jangan kekanak-kanakan.”
Setelah mengeluarkan kekesalannya, Yudi keluar dari kamar. Dia meninggalkan Sinta di kamar seorang diri. Menghindar jauh lebih baik daripada harus berdebat perkara tidak penting. Apalagi, kali ini adiknya yang disangkutpautkan.
“Ck. Punya suami gini amat! Gak ada romantis-romantisnya! Kalah kan jadinya sama Mila. Pokoknya aku gak boleh kalah dari Mila. Aku harus menjadi kesayangan semua orang di sini!” ujar Sinta sambil memukul bantal beberapa kali untuk meluapkan kekesalannya.
...🌹TBC🌹...
...Lanjut gak?...
“Hati-hati di jalan, Mas. Jangan tergoda sama ABG.” Seulas senyum manis mengembang dari wajah cantik Camila.
Seperti biasa, setiap pagi Camila selalu mengantar Arman sampai di teras rumah. Tak lupa dia bersalaman dan mengecup punggung tangan Arman. Satu kecupan mesra dari Arman pun mendarat di kening Camila.
“Aku nanti pulang sore, Yang. Anak-anak mau gladi bersih,” pamit Arman. Selain menjadi guru matematika, Arman pun menjadi guru pembimbing ekstrakurikuler musik.
“Iya, Mas. Semoga acaranya lancar dan dapat juara,” ucap Camila dengan diiringi senyum tipis. Doa-doa Camila selalu mengiringi setiap langkah Arman. Termasuk anak didik Arman yang akan mengikuti festival musik di sekolah lain dua hari lagi.
Suara motor hitam yang dikendarai Arman mulai terdengar nyaring di sana. Camila melambaikan tangan saat Arman mulai melajukan motornya. Momen romantis itu setiap pagi menjadi pemanis di rumah dua lantai itu. Para tetangga yang notabene kerabat Aminah pun sudah terbiasa menyaksikan hal ini sejak pertama kali mereka menikah.
“Dek Mila, bisa bantu jaga Zafi sebentar tidak? Aku mau sarapan.”
Camila terkejut setelah mendengar suara Sinta di belakangnya. Entah sejak kapan kakak iparnya itu ada di sana. Satu hal yang pasti, hal ini berhasil mengubah suasana hati Camila.
“Iya, Mbak. Silahkan Mbak Sinta sarapan dulu,” ucap Camila tanpa senyum manis. “Ayo Zafi sama tante.” Camila menatap Zafi seraya mengembangkan senyum.
Camila mengajak Zafi masuk ke ruang keluarga. Dia menyalakan televisi dan mencari serial kartun favorit anak-anak. Zafi terlihat nyaman bersama Camila. Dia duduk anteng di samping Camila seraya memegangi botol susunya.
“Dek Mila, setiap pagi Zafi itu jarang sekali nonton TV. Dia biasanya lari-lari atau naik sepeda di halaman rumah. Olahraga kan bagus untuk anak-anak seusia Zafi ini,” ujar Sinta saat menghampiri Camila di ruang keluarga. Dia membawa sepiring makanan untuk sarapan.
“Nah, Ibu setuju sama Mbakmu, Mil. Anak-anak memang cocoknya banyak gerak di pagi hari, bukan dibiarkan nonton TV karena tidak bagus untuk kesehatan mata.”
Camila menoleh ke samping saat mendengar sahutan ibu mertuanya. Wanita cantik itu rasanya ingin menangis karena terpojok. Hari kedua hidup bersama Sinta berhasil membuat perasaan Camila tak karuan.
“Kalau begitu saya mau ke depan dulu, Bu,” ucap Camila tanpa berlama-lama di sana. “Kita main di depan yuk, Fi,” ajak Camila seraya menggendong Zafi.
Kedua mata indah Camila mulai berembun. Dia seperti dipermainkan Sinta di hadapan mertuanya. Camila menghela napas berat setelah berada di teras rumah. Dia berusaha keras menahan air matanya agar Zafi tidak banyak bertanya. Wanita cantik itu membawa Zafi bermain di halaman rumah tetangga. Biasanya di sana banyak anak tetangga seusia Zafi bermain bersama.
“Eh, ada Mila. Tumben, Mil?” Sang pemilik rumah keluar dari pintu dengan membawa sarapan untuk putranya.
“Iya, Mbak biar Zafi ada teman bermain. Biasanya di sini kan tempatnya anak-anak,” jawab Mila setelah duduk di bangku bambu yang biasa dipakai ibu-ibu ghibah offline.
Benar saja, satu persatu anak tetangga mulai berdatangan. Ada yang datang bersama ibunya, ada yang datang seorang diri. Semakin lama suasana di sana semakin ramai. Senda gurau khas tongkrongan ibu-ibu mulai terdengar di sana. Camila pun ikut tertawa mendengar pembahasan tetangganya. Rasa kecewa kepada Sinta dan Aminah pun mendadak hilang. Dia merasa bahagia karena bisa berbaur dengan tetangga.
“Eh, Mil. Dengar-dengar Yudi dan istrinya tinggal sementara di sini ya?” tanya tetangga Aminah yang bernama Anik.
“Iya, Mbak, soalnya mas Yudi pindah dinas di Surabaya,” jawab Camila.
“Mil, kamu harus kuat mental kalau tinggal satu rumah sama kakak ipar. Katanya orang-orang jaman dulu gak boleh loh satu rumah dihuni tiga kepala keluarga. Gak baik,” tutur tetangga Aminah yang lain.
“Ya … apalagi tinggal bersama orang seperti istrinya Yudi. Siap-siap sakit hati deh, Mil,” sahut Anik lagi.
“Memangnya kenapa istrinya Yudi?” tanya yang lain.
“Kalau dilihat dari gaya bicara dan bentuk bibirnya, dia itu tipe-tipe penjilat. Kalau aku mending bertetangga dengan yang bar-bar daripada orang seperti istrinya Yudi,” jawab Anik dengan serius.
Sementara Camila hanya diam saja seraya mengembangkan senyum tipis. Dia tidak berani menimpali obrolan tersebut karena takut salah dalam berucap. Lagi pula Arman pun sudah mewanti-wanti agar Camila lebih hati-hati saat bersosial. Pasalnya di blok ini kebanyakan dihuni para ibu-ibu tanpa pekerjaan karena harus merawat anak. Alhasil mereka lebih sering berkumpul dan membahas segala hal seperti saat ini.
“Eh, eh, eh. Udah stop! Jangan membahas aneh-aneh. Itu ada bu Minah sama istrinya Yudi ke sini,” ujar salah satu tetangga Camila.
Camila menoleh ke arah rumah mertuanya dan benar saja, ternyata Sinta dan Aminah sedang berjalan ke tempat ini. Entah mengapa, pikiran buruk dan rasa curiga kembali hadir di kepala saat melihat senyum kalem kakak iparnya.
“Pasti dia mau pansos,” batin Camila saat Sinta sampai di tempatnya. “Aku harus bagaimana ini?” Camila membuang napas kasar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!