Alanna Aizza adalah wanita yang mampu membuat Rayyan jatuh cinta begitu dalam. Apapun akan dia beri untuk Alanna. Juga akan melakukan apa yang diminta olehnya. Bahkan, tanpa sadar dia banyak mengesampingkan keluarga. Tak ikut hadir di acara penting. Atau datang terlambat karena harus menemani Alanna terlebih dahulu.
Ponsel Rayyan bergetar di tengah pertemuan. Mata Erzan sudah bagai elang. Begitu juga dengan Regara yang sudah memberikan lirikan tidak suka. Sedangkan sang papi bersikap datar, tapi terus memperhatikan.
Rayyan meraih ponsel tersebut dan sontak Erzan membanting pulpen yang dia pegang ke atas meja hingga menimbulkan suara cukup nyaring. Semua atensi yang ada di ruangan itupun tertuju pada Erzan. Begitu juga dengan Rayyan yang langsung meletakkan ponselnya kembali.
Tak profesional, begitulah sifat Rayyan semenjak berpacaran dengan Alanna. Banyak meeting yang dia tinggalkan, bahkan acara keluarga pun banyak yang terlewatkan.
Ketika pesan itu tak dibalas, teror panggilan terjadi. Ponsel pun terus bergetar. Erzan yang sudah menahan kesal akhirnya berdiri.
"Saya akhiri pertemuan ini. Akan saya atur waktu bertemu lagi."
Sang kakak ipar menatap ke arah Rayyan. Begitu juga sang ayah. Walaupun tak berkata apapun, tatapannya begitu menakutkan. Dua pria berbeda usia itu pergi dari ruangan meeting mengikuti yang lain. Rayyan pun menghela napas kasar.
"Sayang, aku lagi ada meeting. Tolong pengertiannya."
Rayyan segera mengejar sang Abang. Dia sangat tahu jikalau Erzan begitu marah. Orang diam seperti Erzan jika sudah marah amatlah menyeramkan.
Pintu ruangan sang Abang dia ketuk. Tatapan tajam dilayangkan ketika Rayyan baru beberapa langkah masuk ke ruangannya.
"Bang--"
"Ini kantor."
Singkat, tapi mematikan. Jantung Rayyan sudah berdegup tak karuhan. Padahal, Erzan sudah mengubah kefokusannya.
"Adek minta maaf."
Pulpen yang sedang Erzan pegang dia letakkan dengan cukup keras hingga membuat Rayyan sedikit terlonjak. Dia sudah menelan ludah ketika sorot mata yang penuh kemarahan sang Abang berikan.
"Tadi cew--"
"Apa saya bertanya?"
Rayyan semakin terdiam. Sungguh dia sangat ketakutan sekarang. Kalimat formal yang keluar dari bibir sangat amat mengerikan.
"KELUAR!"
Rayyan segera memutar tubuhnya dan berjalan kembali menuju pintu. Pekikan sang Abang seperti auman singa jantan di tengah hutan. Memegang dadanya sembari bersandar di dinding. Rayyan mengatur napasnya.
Seorang pria yang sangat dia kenali melewatinya begitu saja. Rayyan segera mengejarnya.
"Kakak ipar!"
Regara Bumintara pun menghentikan langkahnya. Namun, dia tak menoleh sama sekali. Rayyan pun berjalan ke hadapannya. Senyum Rayyan terukir.
"Tolo--"
"Utamakan keprofesionalan!" potong Rega dengan nada penuh penekanan.
"Seposesifnya Achel, dia tahu waktu. Kapan papinya kerja dan kapan papinya istirahat. Jangan kekanak-kekanakan."
Masuk ke dalam keluarga singa membuat kalimat yang keluar dari mulut Rega begitu pedas dan tajam. Dan sekarang mampu membungkam Rayyan.
"Semakin bertambahnya umur harusnya semakin dewasa. Bukan malah kayak ABG labil yang baru jatuh cinta."
Rega meninggalkan Rayyan yang masih terdiam. Tak ada lagi yang berpihak kepadanya sekarang. Sang papi? Dia tak memiliki keberanian untuk menghadap kepadanya.
Rayyan sungguh pusing sekarang. Kepala rasanya mau pecah. Di kantor sangat kacau. Bahkan pekerjaannya pun begitu menumpuk. Itu ulah dirinya karena selalu menunda dan memilih menemani wanitanya.
"Bang sat!" erangnya ketika melihat tumpukan pekerjaan yang mengharuskan dia lembur selama seminggu ini.
.
"Kamu ke mana aja sih? Aku tuh butuh kamu."
"Maaf, Sayang."
Rayyan mencoba untuk meraih tangan Alanna. Namun, dia menolak.
"Kamu tuh gak sayang aku, Ay!"
"Mana ada, Sayang?"
Rayyan mulai mendekat. Dia berusaha meraih tangan wanitanya. Siluet kekecewaan dapat dia lihat.
"Aku beneran sibuk. Pekerjaan aku lagi banyak banget. Ditambah banyak pertemuan di mana aku gak boleh absen dari sana."
Begitu lembut penjelasan dari Rayyan kepada Alanna. Begitu bucinnya anak bungsu Restu Ranendra ini. Sayangnya, sang wanita masih terdiam dengan wajah datar.
"Kan aku udah kasih kamu black card. Aku liat juga kamu udah bersenang-senang dengan black card itu."
"Aku bukan hanya butuh uang, Ray. Aku juga butuh perhatian kamu."
Sakit sekali Rayyan mendengarnya. Dia menarik tangan Alanna ke dalam dekapannya.
"Maafkan aku, Sayang. Aku bekerja keras untuk masa depan kamu. Aku gak mau ketika kita menikah kamu harus bekerja keras. Cukup kamu di rumah dan menikmati hasil kerja keras aku."
Kedua tangan Alanna mulai melingkar di pinggang Rayyan. Pelukan itu seolah mengatakan kerinduan yang mendalam dari keduanya.
"I love you, Sayang."
"Love you too, Ay."
.
Setiap akhir pekan anak serta menantu juga cucu papi Restu juga mami Sasa akan datang berkunjung. Siapa lagi jika bukan keluarga Erzan. Radja yang sudah mulai menggemaskan akan menjadi bahan rebutan, terutama Achel.
"Mami, taluh Adja di kalpet. Achel mau main sama Adja."
Hampir semua keluarga memanggil anak Erzan jabrik. Tapi, tidak dengan Achel. Dia malah memanggil baby El Radja. Berhubung bicaranya masih belum jelas, jadi dia memanggilnya Adja.
Tengah seru berbincang, suara mesin mobil berhenti di halaman terdengar. Dan tak berselang lama langkah seseorang terdengar. Senyum seorang pria tampan terukir jelas. Juga seorang wanita yang dia gandeng dengan erat membuat enam orang dewasa di sana terdiam.
"Mi, Pi," sapa Rayyan dengan begitu lembut.
Alanna, wanita yang Rayyan gandeng menunduk sopan ketika menghadap kedua orang tua Rayyan. Beda halnya dengan Abang juga kakak Rayyan. Wajah mereka begitu datar.
"Kenalin, ini pacar Adek."
Alanna mencium tangan kedua orang tua Rayyan dengan sopan. Juga menunjukkan senyum termanisnya. Namun, dia juga merasakan hawa yang begitu dingin.
"Kenalin itu kembaran aku, namanya Reyn dan yang di sampingnya Kak Rega, suaminya."
"Hai, Kak Reyn!" sapa Alanna dengan senyum yang terukir indah.
Sayangnya, wajah Reyn nampak datar. Seperti ada yang tengah dia rasakan.
"Hai, Kak Rega!"
Hanya sebuah anggukan yang Rega berikan. Lalu, Rayyan memperkenalkan sang Abang juga istrinya.
"Hai, Abang Erzan."
Mode es kutub Erzan berikan. Hanya tatapan tajam yang dia tunjukkan.
"Hallo, Kak Cyra."
Sedangkan istrinya tersenyum manis kepada Alanna.
"Achel, gak rindu Amang?"
Balita yang tengah sibuk dengan bayi laki-laki itu menoleh. Seketika alisnya menukik tajam melihat sang paman dengan seorang wanita.
"Hug, Amang," pintanya sambil merentangkan tangan.
Balita cantik itu menggeleng. Tatapannya begitu datar.
"Kenapa?"
Bukannya menjawab, Achel kembali fokus kepada baby El. Mengajak bicara hingga baby El menguceh bagai burung.
Ada sedikit sedih di hati Rayyan karena tak ada sambutan dari sang keponakan, tapi kedatangan dia ke rumah besar di akhir pekan memang ada yang harus dia bicarakan.
"Pi, Mi--" ucapnya dengan begitu serius.
"Tolong lamarkan Alanna untuk Adek. Dan tolong percepat pernikahannya."
Alis mereka beradu mendengar kalimat akhir Rayyan. Sedangkan Erzan tersenyum teramat tipis nyaris tak terlihat.
"Kenapa? Udah bunting?"
Semua orang terkejut mendengar kalimat yang keluar dari bibir Erzan. Begitu juga dengan Alanna yang seketika membeku. Sedangkan Rayyan sudah mulai emosi.
"JAGA UCAPAN LU, BANG!"
...*** BERSAMBUNG ***...
Ayo dong tekan ♥️ dan banyakin komennya ...
Gak akan panjang kok bab-nya.
Mami Sasa terkejut ketika mendengar putra bungsunya membentak Erzan yang notabene kakak kandungnya. Jarinya pun menunjuk ke arah Erzan yang tengah duduk dengan tenang. Sang mami hanya takut dua putranya ini akan bertengkar. Dia paham betul bagaimana watak kedua putranya.
"Adek," panggil sang mami dengan begitu lembut. Mencoba mendinginkan hati Rayyan.
"Adek gak terima tiba-tiba ada orang yang memfitnah wanita yang Adek cinta."
Kalimat itu penuh penekanan. Tatapannya begitu tajam terhadap sang Abang. Serta menunjukkan wajah marahnya kepada sang ibu. Dia sungguh tak bisa mengendalikan emosi.
"Bicaralah yang sopan pada Abangmu, Dek."
Rayyan tersenyum tipis mendengar ucapan maminya. Dia sangat tahu bahwa tak akan ada yang membelanya. Bahkan Achel sekalipun seakan acuh pada dirinya yang sudah berteriak. Dia lebih asyik bermain dengan baby El daripada melihatnya.
"Kenapa harus Adek yang Mami tekan? Yang memulai siapa?" Rayyan menjeda ucapannya. Sekuat tenaga dia tak berteriak kepada wanita yang juga sangat amat dia sayang.
"Apapun yang Adek pasti selalu salah di mata kalian. Hanya Abang yang kalian lihat."
Kalimat penuh kekecewaan lolos begitu saja dari bibir Rayyan. Keadaan semakin hening. Rayyan meraih tangan Alanna. Membawanya keluar dari ruangan tersebut tanpa pamit sedikit pun.
"RAYYAN RAJENDRA!"
Sang papi sudah berseru. Langkah Rayyan pun terhenti. Sebelum memutar tubuh, dia menghela napas kasar terlebih dahulu. Wajah serius dengan sorot mata tak mampu Rayyan baca telah sang papi berikan.
"Mau kamu apa?"
"Jika, Papi tidak bisa melamarkan Alanna untuk Adek. Adek bisa sendiri menghadap orang tua Alanna," tegasnya dengan wajah yang masih menahan amarah.
Sudah tak ada rasa takut karena emosi sudah menguasai hati dan diri. Sang papi pun dia tatap dengan penuh kekecewaan juga kekesalan.
"Adek pamit."
Mereka semua menatap punggung Rayyan yang mulai menjauh. Suasana di ruang keluarga semakin hening.
"Pi--"
Restu menoleh sekilas kepada sang istri. Lalu, dia beranjak dari tempatnya meninggalkan semuanya tanpa berbicara sedikit pun. Kini, Erzan yang menjadi pusat perhatian.
"Apa Abang terlihat seperti tukang fitnah?" Pertanyaan pun dilempar kepada mereka semua.
"Mami," panggil Achel yang ternyata sudah berada di hadapan Reyn.
"Who is she?"
"Calon Aunty Achel."
Balita itu menggeleng dengan cepat. Matanya tiba-tiba berair.
"Achel tak mau dia jadi Aunty Achel. Achel gak suka. She' s not good."
Erzan tersenyum tipis mendengar ucapan dari sang keponakan. Sedangkan yang lain mencoba menasihati Achel untuk tidak berkata seperti itu.
.
Hanya keheningan yang tercipta di dalam mobil. Tangan Rayyan terus menggenggam tangan wanitanya dan yang satunya memegang pada kemudi.
"Inilah alasan kenapa aku terus menunda," imbuhnya dengan menatap lurus ke depan.
"Jelas sekali terlihat kalau keluargamu tak menyukai aku," lirihnya.
Hati Rayyan sangat sakit mendengar kalimat yang terucap dari bibir wanitanya. Dia menatap Alanna yang terlihat begitu sendu.
"Aku tak peduli. Aku akan tetap menikahi kamu, Sayang. Yang menikah dan menjalani rumah tangga itu aku. Mereka tak berhak mengatur."
"Kalau perlu kita kawin lari," tukasnya dan mampu membuat Alanna menoleh.
"Harusnya kita tak saling jatuh cinta. Supaya tak ada yang tersakiti seperti sekarang ini."
Mobil berhenti mendadak membuat tubuh Alanna terhuyung ke depan. Untungnya memakai seatbelt.
"Kenapa berkata seperti itu?" tanya Rayyan dengan sorot mata yang begitu dalam.
"Tuhan mempertemukan kita untuk menyatukan kita. Kita sudah ditakdirkan untuk bersama, Alanna."
Alanna terdiam. Matanya mulai berair. Seatbelt yang terpasang di tubuh Alanna Rayyan buka dan dia menarik tangan Alanna ke dalam dekapannya.
"Aku sangat mencintai kamu, Sayang."
"Apa kurang effort-ku selama ini?" Alanna menggeleng dengan pelan dengan air mata yang dia tahan.
Mengajak Alanna untuk ke jenjang pernikahan sangatlah sulit. Rayyan harus berusaha sangat keras. Sudah ratusan kali membujuk wanita yang sangat amat dia sayang agar mau dilamar olehnya. Dan ketika Alanna berkenan, Erzan malah menghancurkan semua.
Kecewa dan sedih bercampur jadi satu. Tak seharusnya kalimat tajam yang berakhir menyakitkan keluar dari mulut Erzan. Padahal, dia begitu menghargai kakaknya. Nyatanya, sang kakak yang mengacau.
Semakin beranjak dewasa, Rayyan semakin mengerti dan merasakan jika dia selalu dianaktirikan. Hanya sang Abang yang dilihat oleh kedua orang tuanya. Selalu dibela oleh mereka juga keluarga besar.
Rayyan menghela napas kasar. Tangan satunya masih menggenggam tangan Alanna. Seketika rasa takut mulai menghampiri dan genggaman tangan itu semakin dieratkan.
"Ay, apa kita akhiri saja hubungan ini?"
Untung mobil sedang berhenti di lampu merah. Jika, tidak sudah pasti Rayyan akan mengerem mendadak lagi.
"Enggak," jawab Rayyan dengan tegas.
"Aku akan terus mempertahankan hubungan kita. Bagaimanapun caranya."
.
Rayyan membawa Alanna ke apartment miliknya. Tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk melepas rindu. Bahkan, Alanna sering tidur di apartment Rayyan jika dia malas pulang.
Tangan Rayyan sudah memeluk erat tubuh Alanna. Kebiasaannya jika tengah ada masalah. Awalnya Alanna merasa nyaman. Lima menit kemudian dia seperti menahan sesuatu. Ada yang bergejolak. Sekuat tenaga Alanna tahan.
"Ay," panggil Alanna dengan pelan.
Rayyan yang tengah nyaman memeluk tubuh wanitanya terpaksa memundurkan tubuh.
"Aku mau pulang, ya. Perut aku gak enak banget."
"Kamu sakit?" Wajah Rayyan sudah panik.
"Enggak, Ay." Alanna menggeleng seraya meyakinkan kekasihnya itu.
"Sepertinya magg aku kambuh."
"Kita ke rumah sa--"
"Enggak perlu, Ay. Aku hanya perlu istirahat. Soalnya semenjak seminggu kita gak ketemu tidurku gak teratur. Makanku juga."
"Maafkan aku, Sayang," sesak Rayyan. Lalu, memeluk tubuh Alanna kembali.
Rayyan hendak mengantar Alanna pulang. Namun, Alanna menolak.
"Kamu sedang kacau, Ay. Aku gak mau setelah kamu nganterin aku kamu malah ngebut di jalanan. Apalagi sekarang udah malam."
"Aku gak ijinin kamu pulang naik gocar," balasnya dengan penuh ketegasan.
"Sepupu aku udah di jalan."
"Zidane?"
"Iya."
Terpaksa Rayyan mengijinkan. Dia tidak boleh egois apalagi wajah Alanna sudah sangat pucat.
"Aku antar ke bawah."
Mobil hitam mengkilap sudah berhenti di depan apartment. Seorang pria tersenyum ke arah Rayyan.
"Jaga calon istri gua." Zidane hanya mengacungkan jempol.
Di tengah perjalanan, Zidane menatap Alanna dengan penuh khawatir. Tangannya mulai mengusap perut Alanna hingga membuat Alanna menoleh kepadanya.
"Apa kita periksa saja?"
Alanna menggeleng. Dia menyandarkan tubuhnya. Gejolak di perutnya perlahan menghilang ketika telapak tangan Zidane ada di atas perutnya.
"Jangan dilepas tangannya," pinta Alanna ketika Zidane hendak menjauhkan tangannya pada perut Alanna.
Kedua alis Zidane menukik dengan tajam. Alanna pun memberikan tatapan yang begitu dalam. Perlahan, Zidane meletakkan tangannya kembali di atas perut Alanna.
"Better?" tanya Zidane.
Hanya anggukan yang Alanna berikan. Senyuman pun terukir di bibir Zidane dengan begitu lebar.
"Ternyata dia tahu siapa pemilik saham sebenarnya."
...*** BERSAMBUNG ***...
Boleh minta komennya? Banyakin atuh ...
Empat orang pria berpakaian formal membuat seorang wanita yang baru membuka pintu rumahnya terkejut. Dia mematung untuk beberapa saat.
"Apa benar ini rumah Alanna Aizza?" Suara yang begitu sopan dapat wanita itu dengar.
"Be-benar."
"Saya Rangga Ardana om dari Rayyan Rajendra."
Mulut wanita itu terbuka ketika mendengar ucapan pria berwajah teduh.
"Apa kami boleh masuk?" tanya Papi Rangga dan membuat ibu Anne mengangguk cepat.
"Ini beneran keluarga Rayyan?"
Ibu Anne pun mempersilahkan tiga pria itu untuk duduk. Dia menawarkan minum, tapi ditolak oleh papi Rangga. Sedangkan tiga orang yang ada di samping papi Rangga hanya diam saja dengan ekspresi datar.
"Kedatangan saya, Rangga Ardana, Restu Ranendra selaku ayahnya Rayyan juga Khairan Kharisma serta Rio Addhitama selaku om dari Rayyan ingin bertemu putri Ibu."
Ibu Anne sulit bernapas ketika mendengar nama yang disebutkan. Ternyata Rayyan bukan anak pengusaha biasa. Ibu Anne juga sering mendengar nama Restu Ranendra yang tak lain adalah pemilik Zenth Corporation perusahaan besar yang ada di Zurich.
"Apa putri Ibu ada?"
Seketika Ibu Anne terdiam. Dia terlihat berpikir untuk beberapa saat. Mata dua pria yang sedari tadi memasang wajah datar terus menelisik.
"Alanna kan sedang sama Rayyan."
Senyum yang sangat tipis dan nyaris tak terlihat terukir dari bibir dua pria yang sedari tadi hanya bersikap datar. Siapa lagi jika bukan papi Restu juga papi Rio.
Rangga menatap ke arah sang adik ipar. Dia mengangguk pelan menandakan papi Restu yang kini harus berbicara. Deheman terdengar sebelum papi Restu membuka suara.
"Ibu pasti sudah tahu hubungan putra saya dengan putri Ibu." Ibu Anne pun mengangguk.
"Kedatangan saya ke sini untuk melamar putri Ibu untuk putra saya."
Senyum bahagia tak bisa ibu Anne sembunyikan. Matanya terlihat berbinar.
"Saya akan menerima lamaran Anda, Pak Restu. Saya yakin Alanna pun tidak akan menolak. Putri saya dan putra Anda kan sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Mereka sangat saling mencintai."
Tak ada reaksi apapun dari papi Restu mendengar jawaban dari calon besannya.
"Pernikahannya akan diadakan Minggu ini."
Ibu Anne dibuat terkejut lagi dengan ucapan ayahnya Rayyan. Baru juga hendak membuka suara, suara paman dari Rayyan terdengar.
"Ini permintaan Rayyan. Dia ingin segera menikahi putri Ibu," jelas Papa Khairan dengan begitu tegas.
"Kenapa begitu mendadak? Kan harusnya ada persiapan. Dari menentukan tema pernikahan, fitting baju, undangan dan--"
"Semuanya sudah pihak kami atur. Jadi, Ibu tinggal terima beres saja," potong Khairan lagi.
"Engga bisa begitu dong."
Dahi keempat orang itu kompak mengkerut. Mereka tahu arah ucapan ibu Anne itu akan berujung ke mana.
"Saya dan putri saya juga berhak menentukan semuanya. Kan yang menikah itu putri saya dengan putra Pak Restu. Jadi, yang berhak memilih dan mengatur itu mereka berdua."
"Jadi maunya seperti apa?" Papi Restu mulai bertanya.
"Saya ingin tema pernikahannya seperti di negeri dongeng. Putri saya sangat menyukai kartun-kartun princess dan bercita-cita kelak ketika menikah ingin seperti princess di film kartun."
Papi Restu melirik ke arah Papa Khairan. Adik iparnya tersebut hanya mengangguk. Tangannya dengan cekatan meraih ponsel di saku dalam jasnya untuk mencatat keinginan pihak Alanna.
"Alanna adalah putri kesayangan saya. Jadi, Rayyan harus mampu memberikan mahar yang sesuai dengan kualitas diri putri saya. Banyak yang melamar Alanna, sayangnya hanya mampu memberikan mahar kecil. Langsung saya tolak karena saya tidak mau hidup putri saya susah setelah menikah."
"Sepuluh Milyar."
Ibu Anne tak bisa berkata ketika mendengar nominal yang papi Restu ucapkan. Sungguh di luar ekspektasinya. Padahal, dia berniat meminta tiga milyar.
Bukan hanya Ibu Anne yang terkejut. Papa Khairan, papi Rangga juga papi Rio terkejut mendengar nominal yang jumlahnya tak sedikit.
"Bagaimana?" tanya Papi Restu memastikan.
"S-saya terima."
Papi Restu pun mengangguk. Dia kembali melirik ke arah papa Khairan agar mencatatnya.
"Satu lagi."
Sontak empat pria itu memfokuskan matanya ke arah ibu Anne kembali.
"Saya ingin gaun pengantin yang mewah untuk putri saya dari merk diyor."
"Noted."
Papa Khairan pun mengangguk. Mencatat semua yang diinginkan oleh ibunda Alanna. Setelah tak ada yang perlu dibicarakan lagi, mereka pamit pulang.
"An Jing! Enggak ngotak tuh permintaannya." Papa Khairan sudah bersungut ketika mobil sudah melaju.
"Separuh meras sih ini mah," tambah Rio dengan senyuman tipisnya.
Papi Restu masih bergeming. Tak mengeluarkan sedikit pun suara.
"Ngga, posisi Rayyan."
"Dia emang beneran lagi lembur. Varo standby di samping dia," jawab papi Rangga.
"Tadi juga gua udah chat dia. Nanyain posisi, katanya masih di kantor." Papi Rio menambahkan sambil fokus ke jalanan.
Restu tersenyum tipis mendengar laporan dari papi Rio dan juga papi Rangga. Dia sendiri pun memang sudah mengecek posisi Rayyan. Hasilnya sama seperti ipar juga sahabat sekaligus adik angkatnya.
Mobil berhenti di sebuah restoran ternama. Keempat pria tersebut dibawa masuk ke sebuah ruangan private. Papa Khairan menyerahkan apa yang sudah dia tulis. Namun, tak Papi Restu baca sama sekali.
"Lu yakin Kak mau ngikutin semua kemauan emaknya Alanna?" tanya Papa Khairan.
"Sorry to say, semua ini gak pantas buat Alanna terima."
Atensi Papi Restu beralih pada Papa Khairan. Biasanya Papa Khairan takut, tapi tidak untuk kali ini.
"Uang segitu gak ada apa-apanya," balas papi Restu dengan nada dinginnya.
"Gua enggak mau buat Rayyan selalu merasa dianaktirikan. Makanya, sekarang gua ikutin maunya dia seperti apa," tambah papi Restu.
"Lu yakin mau menjadikan Alanna menantu?" Sedangkan--"
"Gua tahu yang terbaik buat anak gua."
Sebuah kalimat yang mengandung banyak makna. Mereka diharuskan untuk menerka-nerka.
.
Tibanya di rumah, papi Restu sudah ditunggu oleh ketiga anaknya, serta dua menantu dan juga istrinya. Sengaja dia mengabarkan jikalau ada hal penting yang ingin dia katakan.
"Pi," panggil sang istri seraya menyambut kedatangannya.
"Mau kopi atau--"
"Tidak usah, Lovely."
Papi Restu merangkul pundak sang istri dan mengajaknya duduk kembali. Tatapan penuh keingintahuan terpancar dari sorot mata mereka semua.
"Papi sudah melamar Alanna."
Semua orang terkejut, kecuali Erzan yang tersenyum begitu tipis. Dan Rayyan dia menganga tak percaya.
"Papi serius?" tanya Mami Sasa. Dan sebuah anggukan yang menjadi jawaban.
"Pernikahan akan dilangsungkan Minggu depan sesuai dengan kemauan kamu, Rayyan."
"Beneran, Pi?" Akhirnya, Rayyan membuka suara.
Hanya anggukan yang sang papi berikan. Rayyan berhambur memeluk tubuh papinya dengan mata yang berair.
"Makasih, Pi."
"Besok sudah harus mulai fitting baju," ujar sang papi.
"Untuk Abang dan istri Abang juga baby El skip aja," sahut Erzan hingga membuat semua mata tertuju padanya sekarang.
"Abang harus berangkat ke Zurich dan stay di sana kurang lebih tiga sampai enam bulan."
Reyn, Mami Sasa serta Rayyan terhenyak mendengar ucapan Erzan. Sedetik kemudian, Rayyan tersenyum tipis dan mulai membalas perkataan abangnya itu.
"Bilang aja sih lu gak mau liat gua nikah sama Alanna." Erzan hanya tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya.
"Yan--"
"Jangan coba-coba mengompori keluarga atas ketidakhadiran lu itu. Gua gak mau nunda pernikahan yang gua impikan ini hanya karena lu gak bisa hadir."
...*** BERSAMBUNG ***...
Boleh minta komennya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!