"Satu digit, dua, tiga, empat, lima hingga sejuta digit pun tidak akan mampu menjelaskan berapa banyak hal yang ku terima. Aku menemukanmu diantara angka-angka dan lembar kertas, kau menemukanku di sela kata dan paragraf, dua hal yang berbeda tapi cukup kuat untuk mengikat kita berdua.
Tapi, aku minta maaf, aku tidak pamit dengan benar, aku tidak mau membuat kekacauan yang lebih besar lagi, pun kehadiranku sudah kesalahan dan membuat kekacauan di mana-mana. Dari awal aku sudah salah tidak berpikir panjang untuk mencintai pria baik-baik berwujud pangeran, tanpa melihat diriku baik-baik yang hanya seorang rendah. Satu hal yang harus ku akui dan kamu pun harus tahu itu bahwa aku, mencintaimu lebih dulu sebelum Numbers. "
Rachel Capistran💜
▪️
▪️
▪️
Deretan kata yang tertulis di secarik kertas di atas meja kerjanya yang membuat Vano keluar gedung dengan gusar, kalang kabut, hatinya sesak dan panik. Kenyataan bahwa Rachel telah menyerah dan bergegas menghilang.
"Berhenti...! ", teriak wanita paruh baya dengan tampilan sosialita berdiri di samping mobil mewahnya dan melangkah mendekati Vano.
Duar...
Tamparan keras mendarat di pipi putih mulus pria itu.
"Mama susah payah mendidik kamu bukan untuk jadi sebodoh ini, Vano! Mama sekolahin kamu jauh-jauh keluar negeri dan kembali sebagai penerus Numbers, taunya malah diem-diem pacaran sama orang yang levelnya jauh dibawah kita. Kamu bener-bener ya...!!! " bentak Margareth.
"Level? Level jenis apa yang mama maksud? Dia dan kita masih sama-sama makan pakai nasi, mandi masih pakai air, dah selama dua tahun ini kite bekerja, dan menghirup udara yang sama di satu atap. Dia bahkan jauh lebih hebat dari pada karyawan-karyawan mama yang katanya lulusan universitas terkenal itu. Bahkan mama juga ngakuin itu dulunya. Sekarang penilaian mama berubah hanya karena aku pacaran sama dia? ", tanya Vano tak habis pikir.
"Ingat Vano, dia pengemis dan kamu pewaris! ", bentak Margareth lagi.
"Dia ngga pernah ngemis apa-apa ke aku Mama!!!", Vano membentak balik.
"VANO....!!!".
"Dengar aku baik-baik, Ma. Untuk pertama kalinya dihidupku aku yang akan nentuin sendiri kali ini. Selama 28 tahun, aku udah cukup jadi anak baik, aku udah cukup mati-matian belajar di bidang yang sama sekali bukan minat ku.
Aku berusaha masuk universitas yang sama sekali bukan tujuanku, aku lupain mimpiku untuk jadi arsitek hanya untuk jadi pebisnis, semua itu demi mama. Tapi kali ini aku bener-bener ngga tahan lagi, Ma. Aku bener-bener ngga sanggup lagi.
Satu-satunya hal baik yang aku terima selama di Numbers adalah bertemu Rachel, jadi untuk yang satu ini aku ngga akan biarin, aku ngga boleh kehilangan, aku udah cukup berpura-puranya. Rachel itu milikku, jangan coba-coba sentuh dia! ", jelas Vano lalu pergi.
"VANO.... REVANO....!!! ", jerit Margareth.
Wajahhya sudah merah padam, bibirnya bergetar menahan emosinya. Tidak habis pikir ia, bisa-bisanya gadis rendahan seperti itu membuat putra semata wayangnya seperti ini. Bisa-bisanya gadis miskin seperti itu mengendalikan pikiran putranya yang sudah 28 tahun patuh, taat pada semua perkataan ibunya itu.
" Ini semua terjadi karena Rachel, gadis cerdas tapi hanya seorang pengemis, yang berharap derajatnya naik karena Revano, putraku yang berharga. Tidak akan ku biarkan Rachel... "
▪️
▪️
▪️
Hellaw yeorobun💜
Masih hidupkah?
Kalau masih jangan jadi silent reader please 😭
di like kek, apa kek 😑
🌼🌼
Btw visualnya otor spill di slide selanjutnya yaw 💜
ps : Seperti biasa, selama di TIMIO UNIVERSE ini, otor akan banyak menggunakan nama kota atau bangunan, ataupun yang lainnya dalam bentuk fiksi, seperti MITHNITE, ORION, SELESTE VILLE, TIMIO MEDICAL CENTRE, EMERY HOSPITAL, dll.
paham yee
Jangan cari di peta, mau dicari sampai Suga selesai wamil juga ngga akan ketemu.
Bhay...
See you next chapter 💜💜
The Numbers Institute adalah bimbingan belajar besar yang tersebar di seluruh dunia, yang berpusat di Indonesia tepatnya di kota Orion. Numbers adalah bimbingan belajar yang terpercaya dan kompeten di bidangnya, dan yang berkesempatan belajar di Numbers kebanyakan dari mereka yang berada, mengingat biaya bulanan yang akan dikeluarkan cukup untuk membeli sebuah mobil baru, begitulah mahalnya menuntut ilmu di bimbingan belajar Numbers.
Margareth Anggasta adalah ibu tunggal yang memiliki seorang utra bernama Revano Anggasta yang ia didik dengan tegas lebih tepatnya dengan keras supaya kelak ia bisa mengelola numbers dengan benar, karena pria itu adalah pewaris satu-satunya.
Mengingat dirinya adalah seorang janda, ia tidak ingin direndahkan orang lain maka dari itu ia selalu mendorong Vano untuk lebih, lebih, dan lebih. Ia ingin dipandang sebagai ibu yang berhasil, tidak punya cacat bahkan sekecil apapun. Ia ingin diakui semua orang bahwa dia adalah ibu yang sempurna meskipun hanya seorang ibu tunggal.
Vano memiliki bakat desain yang luar biasa, Ia sangat senang mengamati struktur bangunan, merancang desain bangunan yang rumit, dan menakjubkan dalam menggambar, ia selalu bercita-cita menjadi arsitek tapi hal itu jelas bertentangan dengan keinginan ibunya yang sempurna, jadi cita-cita itu hanyalah cita-cita tidak akan terwujud sampai kapanpun, karena Margareth menentangnya mentah-mentah.
Ia tidak boleh menyentuh pensil warna atau kertas gambar. Ia mendorong Vano menekuni dunia yang sama dengannya " bisnis" di dunia pendidikan. Sehingga mengharuskan anak tunggalnya itu menghabiskan waktunya untuk mempelajari manajemen bisnis dan seluruh pelajaran begitu juga metode pembelajaran yang berlaku Sesuai dengan standar numbers.
Muak dan lelah karena memang bukan minat Itu sudah pasti, tapi ia selalu berhasil mempertahankan dirinya dengan kalimat "demi mama", hingga suatu hari muncullah seorang gadis bertubuh kecil dengan resumenya di Numbers Institute Pusat. Gadis ini cukup cakap meski resumenya menunjukkan latar belakang yang biasa saja. Dia lulus tahap wawancara, dan sedang menunggu giliran di ruang istirahat untuk tes tertulis.
Pada saat itu Vano lewat begitu saja di depannya membawa sebuah kotak besar, entah karena tidak memperhatikan atau apa,
Duakkkk bugh...
Pria dengan tampilan casual itu tersungkur di depannya, ternyata Tali sepatunya terlepas dan terinjak kakinya sendiri saat melangkah, membuat Gadis itu sangat terkejut dan spontan mendatanginya, berjongkok di depannya.
"Ya ampun, kamu nggak papa mas? ", tanya Gadis itu dengan panik.
Deg
"Ohh.. Ngg ngga apa mba." jawabnya tersenyum sembari memperhatikan pelamar yang lain yang sama sekali tidak perduli dengannya.
Sementara Gadis itu langsung sibuk membantu memunguti barang bawaan Vano yang terjatuh.
"Makasih Mbak." seru Vano menunjukkan gamis mailnya yang indah.
"Iya sama-sama, hati-hati mas berat banget kayaknya." jawab Gadis itu sambil menutup kotak yang sudah diangkat Vano. "Be-bentar mas, tunggu sebentar. " seru Gadis itu lagi dan berlutut untuk mengikat tali sepatu Vano. Hal itu benar-benar membuat Vano tertegun.
"Siapa gadis ini?", batinnya penasaran.
"Emmm sudah.", kini Gadis itu sudah berdiri, mengisyaratkan bahwa tali sepatu pria itu sudah terikat dengan rapi dan kuat.
"Wah, makasih banget ya Mbak maaf ngerepotin. Mbak ngelamar kerja di sini ya? ".
"Iya Mas. Mau ujian tertulis."
"Saya Vano.", seru Vano dengan susah payah menyodorkan telapak tangannya, karena kedua tangannya sedang mengangkat beban berat.
Gadis itu sedikit terkekeh melihat kelakuan Vano.
"Saya... "
"Rachel Capistran." teriak seorang staf dari ruangan yang hendak dimasuki gadis itu.
"Iya, saya."
Belum sempat Rachel menjawab Vano, Gadis itu spontan berlari masuk ke dalam ruangan. Vano tersenyum senang, dan entah kenapa juga Ia senang. Rasanya sulit sekali melihat gadis dengan model seperti itu di zaman sekarang ini, gadis yang dipanggil dengan nama Rachel itu berpenampilan sederhana, dan berkelakuan sepeduli itu kepada orang lain. Iya memandangi tali sepatunya yang diikat rapi oleh Rachel.
"Rachel Capistran." lirihnya tersenyum.
🍀🍀
"Bener bu saya diterima?", Rachel kaget bukan main, mendengar kabar bahwa dia salah satu pelamar yang langsung diterima hari itu juga.
"Iya Rachel, Selamat ya. Kamu cakap sekali, kamu cerdas, dan saya harap kamu memberi yang terbaik untuk numbers." seru wanita paruh baya HRD di numbers.
"Iya Bu terima kasih, terima kasih banyak. Saya akan berusaha."
"Kamu pergi ke ruang direktur ya, beliau sendiri yang minta supaya kamu diarahkan ke sana."
"Hah? direktur? ".
"Iya. Jangan tanya kenapa soalnya saya juga nggak tahu kenapa. Sebaiknya kamu langsung ke ruangan beliau saja, dia tidak suka menunggu. Kamu pergi ke lantai 4 ya, tanya bagian informasi di sana, supaya kamu langsung diantar ke ruangannya. Beliau sendiri yang akan Mengatur pekerjaan kamu."
Rachel Keluar dari itu dengan perasaan bingung, perusahaan macam apa yang sedang dilamarnya ini, dan untuk apa pula seorang direktur menyuruh dirinya yang baru saja melamar sebagai pegawai biasa langsung menghadapnya, bagaimana mungkin seorang direktur yang mengarahkannya secara langsung, apa direktur itu tidak punya asisten yang lebih masuk akal untuk melakukan training pada Rachel?
Tak butuh waktu lama, dengan bantuan staf di lantai 4 itu ia sampai di depan pintu ruangan yang dimaksudkan, ia agak sedikit berdebar, ia gugup. Ia sudah membayangkan tampang seorang wanita atau pria tua yang galak, yang akan mengomelinya habis-habisan Jika ia membuat kesalahan sekecil apapun.
Tok tok tok tok
Ya mengetuk pintu dengan ragu.
"Masuk... ", seru seseorang dari dalam.
Rachel membuka pintu itu dan masuk perlahan. Iya kaget Bukan main hingga matanya membola sempurna, tidak percaya akan apa yang ia lihat. Orang yang tadi dibantunya, duduk di meja direktur dan menyambutnya dengan gummy smile-nya yang sangat manis menurut Rachel.
"Kamu kaget?", tanya Vano mendekat.
"I-iya m-mas, eh pak." Rachel gelagapan.
"Silakan duduk, jangan Canggung. Kelakuan kamu yang ramah dan peduli itu jangan langsung hilang hanya karena sudah tahu saya ini direktur yang kamu bantu."
"I-iya pak."
"Pak? Kenapa sekarang jadi pak? Tadi katanya mas? Saya udah lihat resume kamu, saya lebih tua 3 tahun. Tapi di numbers kita mengarahkan seluruh siswa untuk memanggil pengajarnya "kakak". By the way saya juga pengajar di sini, kamu cukup panggil saya Kak Vano. Semua orang di sini juga memanggil saya begitu, dan di antara sesama pelajar tidak perlu terlalu formal, Panggilan saya itu rasanya terlalu kaku, jadi jangan kaget ketika sesama pengajar di sini berbicara informal.
Oke Rachel kita mulai. Aku Revano, Revano Anggasta, direktur numbers pusat sekaligus pengajar. Di sini kita membentuk tim yang masing-masing terdiri dari dua orang, yaitu pengajar dan asistennya. Jadi aku menunjuk kamu untuk mengisi posisi asisten pengajar. Bagaimana Rachel? ", tawar Vano.
"Baik Pak, eh Kak... ", kaki Rachel.
Vano hanya terkekeh kecil melihat kelakuan pegawai barunya itu, apalagi ketika ia gelagapan, menurut Vano itu sangat menggemaskan, ditambah lagi tubuhnya begitu kecil.
"Oke untuk hari ini cukup, kamu boleh pulang, persiapkan diri kamu untuk besok, kamu bekerjanya mulai besok saja, dan Selamat bergabung di numbers." sembari menyodorkan tangannya dan dijabat Rachel dengan senyum lebar.
"Cantik banget."
"Ganteng banget ya ampun."
Revano Anggasta
Rachel Capistran
Margareth Anggasta
🍀🍀
Like juseyo 🍀💜
.
.
.
TBC... 💜
Numbers pusat dikelola sepenuhnya oleh Vano, sementara Margareth lebih fokus di luar kota untuk membuka cabang baru. Mereka Jarang Bertemu, bahkan saling mengabari hanya karena ada sesuatu yang penting atau sesuatu terjadi di Numbers.
Hari baru bagi gadis itu pun dimulai, pagi hari yang cerah, Rachel muncul di depan number yang bergedung tinggi, Iya tersenyum dan merasa bangga bisa bekerja di sana.
Tap tap temukan kecil di bahunya, Rachel menoleh ternyata dia seorang wanita yang mungkin berusia sama dengannya.
"karyawan baru ya? ", tanyanya dengan girang.
"Oh iya Mbak, Rachel." jawabnya sambil menyodorkan tangannya.
"Mikhaela, panggil aja Mikha."
"Kamu bagian apa?."
"Aku administrasi, di lantai 1."
"Wah enak dong, betis kamu nggak pegel. Aku di lantai 4, asistennya Kak Vano." jawab Rachel dengan enteng.
Seketika mata Mikha membulat, kenapa tiba-tiba direktur yang terkenal sangat dingin itu membutuhkan seorang asisten, sungguh ini sesuatu yang sangat langka.
"Mau lantai 100 juga kaki kamu nggak akan pegel Rachel, toh kamu juga naik lift bukan manjat tangga. Beruntung banget kamu bisa bareng Kak Vano."
"Beruntung?".
"Iya Kak Vano itu spek kulkas incaran cewek satu gedung Rachel, ya Jadi kamu paham lah maksud aku itu kayak apa hehe."
"Mmm, termasuk kamu? ", goda Rachel.
"Yeeee enggak ya, aku nggak ikutan, tipe aku lain, aku udah punya pacar." jawab Mikha.
"Hehehe, Sebenarnya aku nggak tahu loh ini harus ke mana, apa aku ke ruangannya Kak Vano lagi aja ya? ", tanya Rachel ragu.
"Wah kalau yang itu aku juga nggak tahu, masa sih kamu nggak dikabarin Ruangannya di mana?".
"Iya, Mikh, kak Vano emang nggak bilang apa-apa sebelumnya, dan begonya aku juga nggak nanya. "
"Astaga Rachel, Kamu duduk di situ dulu deh, Ntar lagi Kak Vano pasti datang." seru Mikha sambil menunjuk sofa panjang di ruang tunggu. Rachel celingak celinguk dan sedikit canggung di hari pertamanya ini. Heran juga kenapa sang direktur Tampan itu tidak memberinya instruksi dengan jelas, dan bodohnya Ia juga tidak bertanya sama sekali.
Mikhaela
Hampir 20 menit lamanya ia menunggu Vano tak kunjung datang juga, ia mulai bosan dan melangkah ke koridor depan dan mondar-mandir di sana. Sejenak ia mengagumi Bagaimana luasnya numbers Institute ini, dan betapa kayanya pemilik perusahaan pendidikan ini.
"Rachel? ", seru seseorang di belakangnya. Nada suaranya terdengar menunjukkan ketidakyakinannya akan apa yang ia lihat, ada bunyi ragu-ragu di sana.
"Sam? ", begitupun juga Rachel sangat tidak menyangka Siapa yang sedang berdiri di depannya ini dan perlahan melangkah menghampirinya.
"Ka-kamu kerja disini?".
"iya, ini hari pertama aku. "
"Wah, kita pasti bakal sering ketemu nantinya. " senyum sumringah pria itu.
"Kamu kerja di sini juga? ", mata Rachel membulat sempurna tidak percaya apa yang pria itu katakan.
"Enggak di sini banget sih, tapi aku juga bagian numbers, aku tim pengawas jadi aku bakal sering mantau ke sini." jelas Sam.
"Hmmm, bagus deh."
"Kenapa bagus?", Sam mulai menunjukkan senyum saltingnya.
"Ngg, ngga papa, bagus aja, hehe." balas Rachel pendek, dan kini mereka berdua saling berpandangan satu sama lain Dan Tersenyum.
"Rachel... ", seru Vano dari arah lain, wajahnya sedikit datar dan nada suaranya tidak seramah kemarin.
"Iya Kak." Rachel langsung Sigap buru-buru menghampiri Vano.
"Ayo, ikut aku."
Nada suaranya benar-benar dingin, dalam, membuat Rachel sedikit takut. Sangat berbeda dengan pria yang kemarin ditemuinya.
"B-baik kak."
Lalu Rachel mengikutinya dari belakang, dan sempat-sempatnya ia melambai-lambaikan tangannya kepada Sam untuk mengucapkan sampai jumpa, dan Sam juga melambai balik dengan tatapan penuh arti.
🍀🍀
Di ruangan direktur
Note : Ws kepanjangan Work Sheet - lembar kerja.
Rachel mengikuti Vano hingga ke kantornya, terlihat sudah dibuatkan sekat pendek dari lemari buku yang ditata rapi di antara dua meja.
"Woah... Kita kerja sebelahan maksudnya?". Batin Rachel.
"Rachel."
"Iya, kak."
"Itu meja kamu, tepat di sebelah aku. Semoga kamu bisa bekerja dengan nyaman. Karena kamu asisten pengajar, Jadi selama tiga bulan kedepan cukup Ikuti aku ke setiap kelas, ini adalah masa training kamu. Selama itu juga kamu harus sigap dan ikuti semua arahan aku. " jelas Vano yang nada suaranya kembali ramah.
"Baik, kak. "
"Untuk hari ini kamu memprediksi dan menghitung jumlah worksheet yang akan kita order, dan yang akan habis dalam waktu 2 minggu, supaya mengucapkannya lebih mudah kita sebut aja ws ya."
Lalu Vano menjelaskan apa itu worksheet, dan segala rinciannya, bagaimana, Seperti apa cara mengatasi segala kesulitan yang mungkin terjadi. Rachel antusias mendengarkan Vano, keningnya berkerut ketika sedang serius. Diam-diam Vano agak gemas melihat makhluk imut dihadapannya ini.
"Jadi maksud Kak Vano itu, setiap siswa estimasi pemakaian Ws nya sebulannya 30 set gitu ya? ", tanya Rachel membolak balik badan yang diberikan Vano.
"Iya benar, nggak semua siswa sih harus 30 Ws, karena nggak semua siswa itu sama, ada yang males ada juga yang memang nggak sanggup. Jadi total ws-nya dikurangi." tambah Vano.
"Oke Kak, aku ngerti. Boleh aku mulai sekarang? ", tanya Rachel dengan semangatnya.
"Sekarang banget? ", malah Vano yang bingung.
"Iya, dimana Ws nya? ".
"Di lantai 2, paling ujung sebelah kiri nanti ada pintu merah, langsung ada tandanya kok."
"Lantai 2 pintu merah paling ujung sebelah kiri ada tanda, Oke Kak." semangat Rachel dengan senyumnya dan langsung melangkah mendekati pintu.
"Rachel... ", Vano mencegahnya ketika hampir mendekati pintu. "Ini, kamu pakai iPad ini supaya penghitungannya lebih mudah."
Rachel menerima iPad itu lalu berlalu begitu saja. Seperginya gadis bertubuh kecil itu, Vano melanjutkan pekerjaannya, ia agak terpesona melihat Rachel yang kelihatannya cepat sekali mengerti sistem yang ia kenalkan.
"Dan? Kenapa pula ia harus kenal dengan Samuel?", batinnya.
Revano anggasta terkenal akan ketampanannya, kepintarannya dan sikap wibawanya. Image coolnya yang selalu menjaga jarak dengan para karyawan membuatnya sangat disegani. Ia tegas tapi tidak mengekang ataupun kasar, membuat para karyawannya sangat menghormatinya.
Ia terbiasa makan siang sendirian di kantornya dan hari ini ia sudah memesan dua porsi makan siang dan berencana akan makan di sana bersama Rachel. Waktu makan Siang pun tiba tapi Rachel tidak kembali ke kantornya.
"Kok dia nggak balik-balik ya? ", tanya Vano sendirian.
Sementara Rachel ternyata sudah berada di kantin bersama Mikha, teman barunya yang ditemuinya pagi ini. Meja lebar mereka diisi empat orang dan menyisakan satu kursi kosong. Sembari makan siang mereka berbincang, Mungkin sedikit basa-basi perkenalan karena Rachel adalah orang baru, dan sesekali mereka menertawai sesuatu.
Handphone Rachel berdering, dan nomor tanpa nama kontak muncul di layarnya.
📞 Rachel : Halo? Siapa ini?
📞406** : Rachel, ini Vano.
📞 Rachel : Oh, ma- maaf kak,aku nggak tahu nomor kakak.
📞406** : Iya nggak papa. Kamu di mana Masih di gudang Ws kah?
📞 Rachel : Enggak kak, aku udah di kantin, tadi pas jam makan siang Mikha jemput aku.
📞406** : jadi kamu udah makan siang?
Nada suaranya agak panik.
📞Rachel : Iya Kak ini lagi makan bareng, aku perlu naik sekarang, Sebentar ya Kak, ini aku mau naik."
📞 Vano : nggak Rachel, kamu Terusin aja makanya.
Bip
Telepon terputus.
Rachel menaikkan satu alisnya pertanda ia bingung. Random sekali bosnya ini. Tak lama berselang, tawa mereka dan perbincangan yang seru itu tiba-tiba berhenti, semua mata mereka tertuju pada sesuatu di belakang Rachel.
"Ada apa? ", tanya Rachel ikut bingung dan menoleh.
Jreng....
Ternyata Vano sudah berdiri di belakangnya dan menenteng makan siang yang tadi dibelinya.
"Kak Vano, duduk sini Kak... ", girang Rachel sambil menarik sebuah kursi kosong yang tadi memang berada di sampingnya.
Berbeda dengan Rachel yang kelihatan senang didatangi Vano, teman-temannya yang lain justru tiba-tiba menegang, sungguh hal yang aneh dan langka, Ini pertama kalinya. Rachel merasakan atmosfer yang berbeda semenjak Vano datang ke meja mereka, bahkan suasana kantin yang tadinya riuh berubah menjadi sedikit hening, lebih tepatnya seperti suara yang ditahan. Meja mereka yang tadinya diisi canda tawa berubah jadi tenang dan fokus ke makanan masing-masing. Gaya makan yang tadinya demokrasi berubah menjadi gaya makan sok elegan.
Yang paling mengherankannya adalah mereka semua selesai bersamaan, kecuali Rachel. Gadis itu masih menikmati makanannya dengan tenang meskipun Vano tepat berada di sampingnya.
"Kak Vano, Rachel... Kita semua duluan ya", Seru salah satu dari mereka sebagai perwakilan.
Rachel hanya melambai Dan Tersenyum, Vano hanya menganggukan kepalanya. Sekarang pria itu malah curi-curi pandang memandang Rachel yang tidak merasa asing atau kaku akan kehadirannya.
"Kak. " seru Rachel tiba-tiba.
"Hmm? ".
"Mereka Kok jadi aneh gitu ya, padahal kan Kak Vano enggak galak, nggak bossy juga, tapi kok pada ketakutan gitu ya? Mereka atau aku sih yang aneh. " Celetuk Rachel, sementara Vano hanya terkekeh menanggapi protesan Rachel.
🍀🍀
Hari pertama yang ia lalui hari ini tidak terlalu sulit, atasannya mengajarinya dengan sabar, sehingga ia dengan percaya diri melanjutkan pekerjaannya meskipun tidak langsung sempurna. Dalam hati ia mengagumi pria yang menjadi partnernya itu, sudah tampan, soft spoken, manly, minusnya hanya satu agak dingin, spek kulkas ceunah.
"Rachel... ", seru Mikha berlarian mengejarnya yang sudah mendekati gerbang.
"Mikh, mau pulang juga ya?".
"Iya nih, eh, kak Vano kamu apain tuh? ", tanya Mikha dengan senyum aneh.
"Maksudnya? ".
"Ooh, kayaknya kamu memang nggak tahu apa apa deh. Aku udah 2 tahun kerja di numbers, dan selama itu juga nggak sekalipun Kak Vano berbaur sama karyawannya, apalagi sampai makan siang bareng, bukan cuma aku yang bilang Bahkan senior-senior aku juga ngomongin hal yang sama."
"Masa sih Mikh, Kak Vano segitunya? ", heran Rachel.
"Masih Hari pertama kerja loh, impact kamu segitunya, gimana sebulan, setahun, oww... Ciee ciee... ", goda Mikha.
"Dih. Yuk balik. Aku ke arah sana."
"Sama dong, hayuk."
Keduanya pulang dengan candaan dan saling ejek satu sama lain. Kepribadian Mikhaela yang ceria dan berisik, sedangkan Rachel yang sedikit lebih diam, tapi mereka cocok satu sama lain. Mereka berpisah karena menaiki bus yang berbeda. Vano memperhatikan Rachel dari kejauhan.
"Pak Yoo, cari tahu tentang gadis itu dan juga Apa hubungannya dengan kepala pengawas, Samuel Kim. "
"Baik, Tuan muda."
Samuel Kim
.
.
.
Bagaimana yeorobun? Like and Vote ya💜
TBC... 💜
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!