Nadia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap jendela yang memantulkan bayangan dirinya. Udara pagi yang sejuk masuk melalui celah tirai, membawa keheningan yang justru menjerat pikirannya dalam lingkaran kenangan lama. Tanpa sadar, tangannya meraih sebuah bingkai foto kecil di atas meja nakas. Foto itu sudah lama ia simpan, terkubur di balik buku-buku, tetapi entah kenapa pagi ini ia merasa ingin melihatnya lagi.
Dalam foto itu, ia dan Reza tersenyum lebar. Reza mengenakan kaus putih polos, sedangkan Nadia memakai gaun sederhana. Mereka terlihat bahagia, tanpa ada bayangan masalah yang akan datang di masa depan.
Nadia mengingat momen ketika foto itu diambil. Saat itu mereka sedang berlibur ke sebuah taman kecil di pinggiran kota, tempat Reza mengajaknya untuk menghabiskan akhir pekan.
“Lihat, Nad,” Reza menunjuk sebuah pohon besar di tengah taman. “Itu pohon yang katanya sudah ada sejak zaman Belanda. Legenda bilang, kalau pasangan menulis inisial mereka di sana, hubungan mereka akan abadi.”
Nadia tertawa kecil. “Kamu percaya hal seperti itu?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Enggak juga,” jawab Reza, tersenyum. “Tapi enggak ada salahnya dicoba, kan?”
Ia kemudian mengeluarkan pisau lipat kecil dari saku celananya dan mulai mengukir huruf "N" dan "R" di batang pohon itu. Nadia hanya menggeleng, tapi dalam hati ia merasa tersentuh.
Saat itu, semuanya terasa begitu sempurna. Kehadiran Reza selalu membuat dunia Nadia terasa lebih cerah, meskipun mereka hidup sederhana.
Namun, kenangan manis itu segera diikuti oleh bayangan momen-momen terakhir mereka bersama. Reza yang tiba-tiba menjadi dingin, menjauh tanpa penjelasan yang jelas.
Nadia mengingat malam itu, ketika ia menangis sendirian di sudut kamar, menunggu penjelasan yang tak pernah datang. Teleponnya tak pernah berdering, pesan-pesannya tak pernah dijawab.
“Kenapa kamu pergi begitu saja?” bisik Nadia pada dirinya sendiri, memandangi foto di tangannya.
Hatinya terasa perih, tapi ia tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam masa lalu. Ia meletakkan foto itu kembali di tempatnya, menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri untuk melanjutkan harinya.
Namun, meski ia mencoba mengabaikannya, kenangan akan Reza tetap seperti bayangan yang selalu mengikutinya, bahwa kisah mereka belum benar-benar usai.
Nadia berjalan menuju dapur, mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuat secangkir kopi. Aroma kopi yang perlahan mengisi ruangan biasanya mampu menenangkan dirinya, tetapi pagi ini, kenangan tentang Reza terlalu kuat untuk diabaikan.
Ia teringat malam terakhir mereka bersama, sebuah malam yang penuh keheningan dan ketidakpastian.
Kenangan Perpisahan
Saat itu, Reza datang terlambat ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Nadia sudah menunggunya hampir satu jam, dengan secangkir teh yang sudah dingin di depannya. Ketika Reza akhirnya tiba, ia tampak gelisah, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Nadia dengan nada khawatir.
Reza hanya mengangguk, tapi tidak menatap matanya. “Iya, aku cuma... banyak hal yang sedang aku pikirkan.”
Nadia menatapnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Kalau ada yang salah, kamu bisa cerita, Reza. Aku di sini.”
Reza tersenyum kecil, tapi senyuman itu terasa hambar. Ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Nad, aku mungkin harus pergi untuk sementara waktu.”
Kata-kata itu menghantam Nadia seperti pukulan. “Pergi? Ke mana? Untuk apa?”
Reza menggeleng, menolak memberikan penjelasan lebih lanjut. “Aku enggak bisa jelasin sekarang, tapi... percayalah, ini yang terbaik untuk kita.”
Nadia mencoba bertanya lebih banyak, tetapi Reza tetap bungkam. Pada akhirnya, ia hanya meninggalkan Nadia dengan janji kosong bahwa suatu hari nanti semuanya akan masuk akal.
Kembali ke Masa Kini
Nadia menggenggam cangkir kopinya dengan erat, berusaha mengusir rasa sakit yang kembali menyelinap. “Kalau ini yang terbaik, kenapa rasanya seperti kehilangan segalanya?” pikirnya dalam hati.
Ia meneguk kopinya perlahan, mencoba fokus pada harinya. Namun, pertemuannya dengan Reza di acara sosial itu telah membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Nadia melangkah ke ruang tamu, menatap kota dari balik jendela apartemennya. Langit mulai cerah setelah semalaman hujan. Ia tahu, ada banyak hal yang harus ia hadapi, dan tidak semuanya akan mudah.
“Tapi aku harus tetap berjalan,” bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.
Meski kenangan tentang Reza terus menghantuinya, Nadia bertekad untuk tidak membiarkannya menguasai seluruh hidupnya lagi. Namun, di sudut hatinya, ia juga tahu bahwa cerita mereka belum benar-benar selesai.
Pagi Hari: Bersiap ke Kantor
Nadia terbangun oleh sinar matahari yang menembus tirai kamar apartemennya. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan yang menyentuh wajahnya sebelum akhirnya bangkit. Seperti biasa, rutinitas paginya dimulai dengan membereskan tempat tidur, mencuci muka, dan membuat secangkir kopi.
Setelah itu, ia membuka lemari pakaian, memilih blazer biru tua dan rok pensil hitam yang selalu menjadi andalannya untuk hari kerja. Ia memoles wajahnya dengan riasan sederhana, lalu menyisir rambutnya yang digerai rapi.
Sebelum keluar, Nadia mengambil tas kerja dan memastikan semua barangnya sudah lengkap. Telepon, dompet, dan catatan kecil untuk presentasi hari ini semuanya sudah siap.
Perjalanan ke Kantor
Nadia keluar dari apartemennya dan berdiri di tepi jalan, menunggu taksi. Hujan semalam meninggalkan aroma tanah basah, dan angin pagi terasa menyegarkan. Sebuah taksi kuning berhenti di depannya setelah beberapa menit menunggu.
“Ke kantor Saya Group, Pak,” ucapnya sambil masuk ke dalam taksi.
Supir taksi mengangguk dan mulai melajukan mobil. Selama perjalanan, Nadia mencoba mengalihkan pikirannya dengan melihat-lihat email di ponselnya, tetapi pikirannya sesekali melayang kembali pada pertemuannya dengan Reza beberapa waktu lalu.
“Aku harus fokus,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Di Kantor
Setibanya di kantor, Nadia langsung disambut oleh kesibukan pagi. Rekan-rekannya sudah berada di meja masing-masing, sibuk dengan tugas mereka. Nadia menuju mejanya, meletakkan tas, dan mulai mempersiapkan materi untuk rapat pagi ini.
Rapat berjalan lancar, dan Nadia berhasil memberikan presentasi yang meyakinkan di depan para kolega dan atasannya. Setelah itu, ia menghabiskan sisa hari dengan memeriksa laporan keuangan dan menyelesaikan beberapa email yang menumpuk.
Pulang ke Apartemen
Saat jam kerja selesai, Nadia keluar dari gedung kantor dengan rasa lelah tetapi puas. Ia menunggu taksi di depan kantor seperti biasa. Setelah beberapa menit, sebuah taksi berhenti, dan Nadia segera masuk.
“Ke apartemen Greenhill, Pak,” katanya dengan suara pelan.
Selama perjalanan pulang, Nadia menyandarkan kepala ke jendela, menikmati pemandangan jalanan yang perlahan berubah menjadi gelap. Lampu-lampu kota yang berkilauan membuat suasana terasa tenang, meskipun kelelahan mulai terasa di tubuhnya.
Di Apartemen
Begitu tiba di apartemen, Nadia membayar ongkos taksi dan masuk ke dalam. Ia langsung menuju kamar, meletakkan tasnya di kursi, dan mengganti pakaian kerja dengan piyama yang nyaman.
Setelah mandi, Nadia merebahkan diri di tempat tidur. Pikirannya kembali melayang pada hari yang panjang dan kejadian-kejadian sebelumnya, tetapi kali ini ia membiarkan rasa kantuk mengambil alih. Dalam keheningan malam, Nadia perlahan tertidur, bersiap menghadapi hari esok yang penuh kemungkinan baru.
Tiga tahun yang lalu
Nadia pertama kali bertemu Reza di sebuah kafe kecil yang sering ia kunjungi untuk bekerja. Saat itu, dia sedang sibuk mengetik di laptopnya, mencoba menyelesaikan laporan untuk pekerjaannya sebagai staf pemasaran junior. Di seberang meja, seorang pria dengan kemeja putih sederhana dan jeans robek sedang sibuk membaca buku.
Mereka bertukar pandang beberapa kali, tetapi tidak ada yang berani memulai percakapan. Baru setelah Nadia tanpa sengaja menjatuhkan kopinya ke atas meja, Reza mendekat untuk membantu.
"Sepertinya harimu tidak berjalan baik," katanya sambil tersenyum, menawarkan tisu.
Nadia tertawa kecil meski merasa canggung. "Bisa dibilang begitu. Terima kasih, ya."
Dari percakapan sederhana itu, mereka mulai mengenal satu sama lain. Reza memperkenalkan dirinya sebagai seorang pekerja lepas yang sedang mencari peluang bisnis. Dia tidak banyak bercerita tentang latar belakangnya, hanya mengatakan bahwa hidupnya tidak terlalu istimewa. Nadia, di sisi lain, merasa ada sesuatu yang berbeda tentang Reza cara bicaranya yang tenang, caranya mendengarkan, dan tatapannya yang tajam, seolah dia memahami lebih dari yang dia tunjukkan.
Hari demi hari berlalu, dan mereka mulai semakin sering bertemu di kafe itu. Pertemuan mereka berkembang menjadi pertemanan, lalu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Reza selalu membuat Nadia merasa dihargai, bukan karena status atau apa yang dia miliki, tetapi karena siapa dirinya.
Hubungan Sederhana, Tapi Penuh Makna
Meskipun Nadia berasal dari keluarga yang cukup berada, dia tidak pernah mempermasalahkan keadaan Reza yang terlihat sederhana. Baginya, kebahagiaan yang mereka ciptakan bersama jauh lebih berarti daripada kemewahan apa pun.
Namun, ada satu hal yang selalu membuat Nadia penasaran: Reza selalu menolak hadiah mahal yang ia coba berikan. Pernah suatu kali, Nadia membelikan Reza jam tangan bermerek sebagai hadiah ulang tahun. Saat dia memberikannya, ekspresi Reza berubah menjadi serius.
"Nadia, aku tidak bisa menerima ini," kata Reza dengan nada pelan.
Nadia mengerutkan dahi. "Kenapa? Ini hanya hadiah, Reza. Aku ingin memberikannya padamu."
Reza menggeleng, mengembalikan kotak jam tangan itu ke tangan Nadia. "Bukan karena aku tidak menghargainya, tapi... aku tidak ingin kita memulai kebiasaan seperti ini. Aku ingin hubungan kita tetap sederhana. Aku ingin kau mencintaiku apa adanya, tanpa semua hal ini."
Nadia terdiam. Dia tidak menyangka Reza akan berkata seperti itu, tetapi di saat yang sama, dia merasa terharu. Di dunia yang penuh dengan orang yang seringkali hanya memandang materi, Reza adalah seseorang yang berbeda.
"Baiklah," kata Nadia akhirnya sambil tersenyum. "Tapi kau harus tahu, aku mencintaimu bukan karena apa yang kau miliki, tapi karena siapa dirimu."
Reza tersenyum tipis. "Itu yang paling penting bagiku."
Mimpi yang Sederhana
Reza sering bercerita tentang mimpinya untuk membangun sesuatu yang berarti. Dia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa mencapai sesuatu dengan usahanya sendiri.
"Aku ingin punya bisnis sendiri suatu hari nanti," kata Reza suatu malam ketika mereka duduk di taman, menikmati malam yang tenang.
"Bisnis apa?" tanya Nadia.
"Aku belum tahu. Tapi aku ingin itu menjadi sesuatu yang benar-benar bermanfaat, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk orang lain."
Nadia mengangguk, merasa kagum dengan ambisi Reza. "Aku yakin kau bisa melakukannya. Kau punya semangat dan kecerdasan yang tidak banyak orang miliki."
Reza tersenyum, tetapi ada keraguan yang terlihat di matanya. "Aku hanya takut... ada hal-hal yang mungkin menghalangi jalanku. Kadang aku merasa seperti ada banyak hal yang harus aku tinggalkan untuk bisa mencapai itu."
"Jangan pernah menyerah," kata Nadia, menggenggam tangannya. "Aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu, apa pun yang terjadi."
Malam itu, mereka membuat janji yang sederhana namun bermakna: mereka akan selalu saling mendukung, tidak peduli apa pun yang terjadi di masa depan.
Nadia duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi jendela yang terbuka. Udara malam masuk perlahan, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi pikirannya terlalu gaduh. Sosok Reza kembali membayangi pikirannya, membuat hatinya terasa sesak.
Tiga tahun berlalu, tetapi kenangan itu tidak pernah benar-benar pergi. Nadia ingat betul bagaimana semuanya dimulai saat-saat indah yang kini terasa seperti mimpi.
Dia dan Reza pertama kali bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantornya. Saat itu, Nadia tidak sengaja menumpahkan kopinya ke meja tempat Reza duduk. Dengan senyumnya yang menawan, Reza menawarkan tisu dan malah meminta maaf terlebih dahulu, meski jelas-jelas itu bukan salahnya.
"Itu hari pertama kita berbicara," gumam Nadia, membiarkan dirinya larut dalam nostalgia.
Mereka mulai bertukar cerita, awalnya tentang hal-hal sederhana seperti pekerjaan dan hobi. Namun, percakapan ringan itu perlahan berubah menjadi diskusi mendalam tentang mimpi dan harapan. Nadia selalu kagum dengan cara Reza memandang dunia, penuh semangat dan optimisme, meski ia tahu hidup Reza tidaklah mudah.
Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Senyum Reza terus bermain di kepalanya, mengisi ruang yang sebelumnya kosong.
Hubungan mereka berjalan begitu alami. Nadia ingat bagaimana Reza selalu berusaha untuk membuatnya tertawa, meski hanya dengan lelucon receh yang sering kali tidak lucu.
Suatu hari, saat hujan deras, Reza menjemputnya dari kantor dengan sepeda motor tuanya. Meski mereka berdua basah kuyup, Reza tetap terlihat senang.
“Kita terlihat seperti dua orang yang baru kabur dari film romantis,” candanya sambil tertawa.
Nadia menggeleng, mencoba menahan tawa. “Film romantis apanya? Kita malah terlihat seperti orang nekat.”
Namun, di tengah dinginnya hujan, Nadia merasa hangat. Bersama Reza, hidupnya terasa lengkap.
Taman kecil itu adalah tempat favorit mereka. Setiap minggu, Reza selalu membawakan Nadia bunga liar yang ia petik di jalan menuju taman.
“Aku tahu ini bukan mawar atau bunga mahal lainnya,” ujar Reza suatu kali, menyerahkan setangkai bunga daisy. “Tapi bunga ini mengingatkanku padamu—sederhana tapi sangat cantik.”
Nadia tersenyum, wajahnya memerah. Ia tahu Reza tidak punya banyak uang, tetapi ia tidak peduli. Baginya, perhatian Reza jauh lebih berharga daripada hal-hal materi.
Mereka sering duduk di bangku kayu tua, berbicara tentang mimpi mereka. Reza pernah berjanji, “Suatu hari nanti, aku akan membuatmu bangga, Nadia. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa memberikan dunia ini padamu.”
Saat itu, Nadia hanya mengangguk, tidak pernah menyangka bahwa janji itu akan menjadi alasan Reza pergi.
Kenangan malam perpisahan mereka kembali menyelimuti Nadia. Taman kecil itu, kata-kata Reza, dan rasa sakit yang begitu dalam semuanya terasa nyata, seolah-olah baru terjadi kemarin.
Dia ingat bagaimana Reza menatapnya dengan mata penuh kesedihan. Saat itu, Nadia tidak mengerti mengapa Reza harus pergi. Hanya kata-kata samar tentang melindunginya dan dunia penuh kebohongan yang membuat Nadia semakin bingung.
“Kenapa kau tidak memberiku kesempatan untuk mengerti?” Nadia berbisik, suaranya terdengar lemah di tengah keheningan malam.
"Kembali ke Masa Kini"
Nadia mencoba mengenyahkan kenangan itu, tetapi semuanya terasa terlalu nyata. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Tangannya gemetar saat memegang gelas.
“Aku harus berhenti memikirkan ini,” katanya pada dirinya sendiri, meski ia tahu itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Dia kembali ke sofa dan memandangi ponselnya. Ia teringat pada pesan dari Lina dan tugas-tugas kantor yang menantinya esok hari.
Namun, meski ia berusaha keras untuk fokus pada kehidupannya sekarang, bayangan Reza selalu ada di sana, mengintip dari sudut pikirannya.
“Reza,” gumamnya pelan, matanya menerawang. “Kau adalah bab yang belum selesai dalam hidupku. Tapi aku tidak tahu apakah aku ingin membuka lembaran itu lagi.”
Malam semakin larut, dan Nadia tahu bahwa ia harus tidur. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, ia hanya bisa berbaring dengan mata terbuka, menatap langit-langit, membiarkan pikirannya bermain-main dengan kenangan yang tidak pernah benar-benar pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!