Tiga orang berpakaian serba hitam saling memunggungi sambil bersiaga dengan senjata masing-masing. Terlihat beberapa orang berpakaian serba merah mengepung mereka seraya mengacungkan pedang.
"Sial! Ini jebakan!" Umpat seorang pria tampan berpakaian hitam sambil menghunuskan pedangnya yang diselimuti asap hitam. Mata hitamnya menatap sekelompok orang itu dengan waspada.
"Jangan lengah dan lindungi nona Carvina, Hadeon!" Ucap seorang pria berparas cukup tampan seraya bersiaga dengan array nya. Mata merahnya menyala di gelapnya malam.
"Jangan fokus padaku, Hadeon, Erebos. Fokus dengan musuh yang ada di hadapan kita. Saat ini bukan untuk melindungi ku, tapi untuk kalian juga." Seorang wanita berambut ash blue berkata dengan santai. Manik oranye kemerahan menatap liar mencari dalang penyerangan yang terjadi di wilayahnya.
"Menyerahlah, Carvina!"
Suara familiar membuat Carvina menoleh ke asal suara itu, seketika tatapannya berubah menjadi dingin.
Diantara kerumunan itu, terlihat beberapa orang berjalan angkuh ke arahnya. Carvina terkekeh sinis melihat seorang gadis bersurai pirang berada diantara orang-orang itu.
Beberapa orang yang mengepungnya menurunkan senjata dan memberi jalan, membuat mereka bertiga meningkatkan kewaspadaan nya.
"Oh, Ayah." Carniva berkata sinis pada seorang pria bersurai biru gelap yang berdiri angkuh di depannya. Mata jingga kemerahan menatap gadis cantik yang memiliki mata yang sama dengannya.
"Kau sudah keterlaluan, Carniva!" Desis pria itu dingin.
"Oh, ya?" Carvina memiringkan kepalanya angkuh, "Kali ini apa yang diadukannya padamu? Menyembah iblis? Menyiksa pekerja? Katakanlah." Cercanya seraya menatap seorang gadis bersurai pirang yang bersembunyi di balik tubuh seorang pria tampan sambil memasang wajah takut-takut. Tetapi Carvina melihat seringai di wajah gadis itu.
Mereka menatap Carvina marah.
"Kau bersekongkol dengan iblis, Carvina! Espera melihat kau membuat altar untuk persembahan dan kau juga ingin mengorbankannya!" Seru Derrez marah.
Carvina Amarillia Azhura, gadis berparas sangat cantik dengan rambut ash blue yang indah, mata jingga kemerahan yang menyala serta memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Sayangnya, gadis cantik itu diabaikan oleh keluarganya sendiri. Mereka lebih memilih mengadopsi seorang anak dari panti asuhan. Esperanza Azhura, gadis cantik yang dicintai semua orang. Memiliki rambut pirang bagaikan lelehan emas dengan mata biru yang indah seperti malaikat. Tutur katanya yang lembut membuat siapapun jatuh cinta mendengarnya.
Tapi, dimata Carvina tidak berlaku. Gadis itu sangat ceroboh dan suka memutar balikkan fakta. Membuat namanya jatuh dengan mengorbankan dirinya sendiri.
"Sungguh omong kosong yang bodoh." Carvina tersenyum sinis, "Jika aku memuja iblis, hal yang paling aku inginkan adalah menjadi anaknya. Menjadi bagian keluarga dari sampah seperti kalian sangat membuatku menyesal terlahir di dunia ini."
Mereka tersentak kaget mendengar perkataan gadis itu.
"Beraninya kau berbicara seperti itu!" Araldo emosi dan menghunuskan pedangnya.
'Jleb!'
Carvina membelalak saat melihat pria yang merupakan orangnya tertusuk pedang. Satu-satunya orang yang dekat dengannya kini bersimbah darah di depannya.
"Erebos!" Pekik Hadeon dan Carvina bersamaan.
'Brukh!'
Pria itu jatuh tersungkur, sebelah tangannya digunakan untuk menahan darah yang merembes dari luka tusukan di dada yang tembus ke jantung.
Carvina bersimpuh di sebelah Erebos dan memangku kepala pria itu di pangkuannya, "Kenapa kau melakukan hal bodoh seperti ini, Erebos?"
Erebos tersenyum dan menatap gadis itu dengan tulus.
"Sa..ya sangat bangga bisa melindungi Nona. Terimakasih telah menyelamatkan saya dari tempat terkutuk itu dan melatih saya hingga menjadi sekuat ini," Erebos berkata dengan sekali tarikan nafas, membuat mereka yang berada di sana tercengang.
Carvina menatapnya sedih, air matanya tumpah dan mengenai wajah pria yang sedang sekarat, "Apa yang kau katakan, Erebos? Aku memilihmu karena kau memiliki potensi yang bagus."
Pria itu tersenyum. Dia menjulurkan tangannya, mengusap air mata yang mengalir di wajah gadis yang menjadi penyelamatnya, "Terimakasih, Nona. Kelak, di kehidupan berikutnya, saya berharap bisa bertemu dengan Anda lagi."
"Apa yang kau katakan, Erebos?! Bertahanlah dan jangan mati, bodoh!" Seru Hadeon marah. Terlihat wajah pria itu banjir air mata, membuat Erebos terkekeh lirih. Sesekali pria itu terbatuk dan memuntahkan seteguk darah.
Dia bersyukur telah bertemu dengan orang sebaik Carvina dan Hadeon. Meski sikap Carvina menimbulkan banyak salah paham, tetapi gadis itu sangat baik dan peduli yang ditutupi dengan sikap cuek dan pendiamnya.
"Berjanjilah padaku, Hadeon," Pria itu terbatuk dan kembali memuntahkan darah, "Jaga dan lindungi Nona. Aku...merasa..waktuku tak lama...lagi.." Ucapnya lirih disertai hembusan nafas berat yang menjadi nafas terakhirnya.
"Erebos?" Hadeon mengguncang tubuh Erebos yang mulai dingin dan kaku. Rekan seperjuangan nya telah tiada dan hal itu membuatnya terguncang, "Kelak, semoga kita bertemu lagi. Jika sampai saat itu tiba, biarkan aku menghajarmu sampai puas."
"Kau telah membunuh salah satu orang ku, Araldo," Desis Carvina dingin.
Pria itu tersentak, dia terdiam cukup lama dan menatap Carvina dengan emosi yang sulit dijelaskan. "Dia yang mengorbankan nyawanya sendiri. Seorang budak memang sudah seharusnya seperti itu."
"Ya, dimatamu seperti itu, tapi tidak dimataku." Sinis Carvina, "Mereka yang kau anggap budak adalah keluarga bagiku. Karena orang yang memiliki hubungan darah denganku tidak pernah menginginkan kehadiranku."
Perkataan Carvina sukses membuat mereka tersentak.
"Beraninya kau berbicara seperti itu?!" Seru Araldo marah.
"Su-sudah Kak. Ini salahku. Seharusnya aku tidak tinggal di sini dan merebut milik nona Carvina." Espera mencicit ketakutan.
"Kau berpikir begitu? Sungguh kekanakan."
Carvina meletakkan kepala Erebos di lantai dengan hati-hati. Dia berdiri menatap orang-orang yang berada di sana dengan datar.
Espera meringsut mundur, bersembunyi di balik tubuh Derrez dengan tubuh bergetar hebat.
Derrez yang merasakan getaran tubuh Espera hanya bisa mengepalkan tangannya. Dia tidak dekat dengan Carvina, putri kandungnya sendiri.
Derrez Oryxia Azhura, salah satu Duke terhebat di Kerajaan Azterzha. Dijuluki sebagai perisai kerajaan sekaligus monster berdarah dingin, mengingat sebagian besar waktunya dihabiskan dalam medan perang.
"Kau keterlaluan, Carvina. Sebagai hukuman, kau tidak boleh keluar kamar selama sebulan penuh dan aksesmu di cabut!"
"Ah, kau lupa, ya? Aku tidak mendapatkan apapun darimu." Carvina berkata enteng sambil angkat bahu tak acuh. "Sayang sekali, putra kesayanganmu telah membunuh pemburu handal milikku, bagaimana kami bisa berburu?"
"Jangan bicara omong kosong!" Araldo membentak seraya menghunuskan pedang berlumuran darah ke arah leher Carvina, tetapi di hadang oleh Hadeon. Ujung pedang itu menembus dada pria itu dan bernasib sama seperti Erebos.
Carvina menatap nanar dua tubuh kaku milik bawahannya. Orang-orang kepercayaan sekaligus orang terdekatnya tewas di tangan Araldo, membuat Carvina menatap benci mereka.
"Kau telah membunuh orang ku, Araldo Oryza Azhura. Kalian akan menyesali semua ini!"
Segera gadis itu mengambil sesuatu yang terselip di saku celananya. Mereka membelalak saat melihat Carvina menenggak isi botol itu.
Racun mematikan yang tidak ada penawarnya.
"Aku bersumpah kalian akan menyesali ini sampai mati! Jika ada kehidupan berikutnya, aku tidak akan pernah memaafkan kalian!"
✨
Jiwa Carvina melayang di kegelapan selama beberapa lama. Mungkin puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun. Entahlah.
Dia tidak mengingatnya dengan jelas, hingga sesosok iblis tiba-tiba menangkap jiwanya yang terombang-ambing.
Dia tidak menyesali perbuatan nekatnya. Hatinya mati rasa.
Bahkan para iblis yang memainkan dan menyiksa jiwanya tidak dia hiraukan, meskipun rasa sakit di tangan mereka lebih hebat dari rasa sakit di kehidupan sebelumnya.
"Aku membebaskan mu, Carvina." Seorang pria tampan berkata dengan datar, membuat gadis itu mendongak.
Mata hitam dengan iris merah, rambut hitam pekat dengan dua tanduk di kepalanya. Sepasang sayap hitam di punggungnya yang kokoh memberi wibawa tersendiri bagi gadis itu.
Pria itu berjalan mendekati Carvina yang duduk dengan tubuh terikat rantai lengkap dengan sulur tajam. Terdapat noda darah di sekitar sulur yang membelit gadis itu.
Pria itu mengibaskan tangannya. Seketika sulur hitam nan tajam itu menghilang dari tubuh Carvina, meninggalkan noda darah yang menempel di tubuh gadis itu.
Sebuah cahaya hitam mengelilingi tubuh Carvina, membuat tubuh penuh luka itu kembali seperti sedia kala.
"Aku sudah memainkanmu cukup lama." Pria itu mengangkat dagu Carvina, "Kau tidak ingin bebas?"
Carvina menatap iblis itu datar, "Katakan, apa yang kau inginkan?"
Iblis itu tertawa, "Aku pikir kau akan berjingkrak bahagia. Seribu tahun berlalu dalam penyiksaan dan kau tidak ingin bebas? Sayang sekali."
"Aku tak percaya jika kau akan membebaskanku dengan mudah."
Carvina ingat, ada sebuah jiwa yang berhasil di tangkap oleh bangsa iblis dan menjadi mainan mereka selama beberapa waktu. Tetapi jiwa itu hancur karena sudah lama di siksa.
"Hohoho! Gadis pintar." Seringai lebar tersampir di wajah tampannya itu.
"Lihat ini."
Sang iblis memperlihatkan sesuatu di cermin yang berada di sana, membuat Carvina menatap cermin itu dengan datar.
"Aku tidak peduli," Carvina menatap pantulan keluarga Azhura dengan datar.
Kehidupan mereka baik-baik saja setelahnya.
Esperanza menikah dengan putra mahkota lalu berakhir bahagia untuk sementara. Tak lama, wanita itu terlihat menyedihkan akibat tekanan, bahkan keluarganya mengalami kehancuran dan hal itu tidak menarik perhatian Carvina.
"Mereka telah mengalami kehancuran. Sungguh hal yang menyenangkan, bukan? Apa kau tidak ingin menyaksikannya?"
Carvina mendengus, "Tidak."
Lalu cermin itu memperlihatkan sebuah dunia, dimana teknologi menguasai dunia itu yang membuat Carvina sedikit tertarik.
"Kau tertarik? Sebaiknya kita lihat dulu~" Iblis itu bersenandung riang.
Mereka berdua memperhatikan kehidupan beberapa manusia diiringi senandung dari iblis itu. Tetapi senandungnya terhenti tatkala melihat sebuah tayangan di kaca besar itu.
Sebuah kehidupan manusia yang membuat sang iblis mengernyitkan dahinya dengan ekspresi tak suka tatkala melihat tayangan itu.
"Meskipun kami bangsa iblis yang dianggap jahat, kami tidak pernah menyiksa pasangan hidup maupun keturunan kami. Itu benar-benar menjengkelkan," Pria itu berdesis marah.
Carniva melihat tayangan itu dalam diam. Seorang wanita hamil diperlakukan seperti binatang, bahkan kelahiran anaknya tidak di sambut. Sama seperti dirinya di beberapa kehidupan.
"Carvina, bagaimana menurutmu?" Tanya pria itu sambil menyeringai kesal, "Bukankah tindakan mereka mengotori nama bangsa iblis? Kami memang kejam dalam menyiksa, tetapi kami tidak memperlakukan orang hamil seperti itu."
Carvina tau. Selama tinggal di dunia iblis, mereka menyiksa jiwa Carvina dengan begitu hebat. Mereka memainkan jiwa-jiwa tersesat dengan sangat kejam, lebih kejam dari siksaan dalam kehidupan manusia. Tetapi mereka tidak memperlakukan pasangan mereka seperti apa yang dia lihat di cermin itu.
Bangsa iblis sangat setia. Hanya memiliki satu pasangan dalam hidupnya, kecuali mereka yang terikat pernikahan kontrak yang sama-sama menguntungkan mereka.
Carvina sendiri melihat bagaimana kehidupan mereka. Kejam dengan musuh dan pengkhianatan, tapi setia dan royal dengan pasangan.
Dan setelah tujuh ratus tahun menjalani penyiksaan, mereka menghentikan penyiksaan itu dan melatih Carvina, merekrut gadis itu sebagai pasukan Ksatria khusus saat melihat kemampuan bertahan gadis itu.
"Mereka hanyalah orang-orang bodoh," Carvina menjawab pelan sambil memperhatikan kehidupan wanita malang itu dengan malas.
"Bertahan karena cinta, ya~ Wanita memang makhluk unik. Menunggu janji yang diucapkan oleh pria tanpa membuat surat perjanjian. Tidak menguntungkan sama sekali."
Pria itu menatap Carvina sambil bersenandung, "Aku sudah menahanmu selama seribu tahun. Sayang sekali, kau harus kembali melakukan reinkarnasi."
Carvina mendengus. Dirinya sudah mengalami kelahiran berulang kali dan masih mengingat jelas bagaimana kehidupan sebelumnya, dan itu memuakkan.
Pria itu memiringkan kepalanya saat merasakan sesuatu yang familiar, "Hmmm?"
Carvina menatapnya dengan datar.
"Ah, aku memberikan sesuatu yang istimewa untukmu, Carvina. Temukan raja iblis yang tersembunyi di sana. Aku akan memberikan kekuatan untukmu begitu kau terbangun nanti." Pria itu menatap Carvina serius.
"Raja iblis? Bukankah kau rajanya? Cari saja sendiri." Tolak Carvina.
"Aku hanyalah salah satu orang kepercayaan raja iblis. Kau tau, Nona~ Raja kami disegel entah kemana dan sepertinya dia terperangkap di dunia itu~" Pria itu menatap Carvina dengan tatapan memohon.
"Sudahlah." Carvina memalingkan wajahnya.
Pria itu terus merengek, membuat Carvina bosan dan memutuskan menyetujui permintaan pria itu, membuatnya tersenyum ceria.
✨
Gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi bersamaan, membuat bumi gelap gulita.
Terlihat seorang gadis kecil dengan tubuh kurus kering dan penuh luka meringkuk di sebuah jalanan gang, tanpa seorangpun yang peduli.
Gadis itu menggeliat, mendongak menatap sebuah rumah berlantai dua dengan kebingungan. Kenapa dirinya di usir dari rumah?
Apakah karena memakan sepotong paha ayam yang membuat sang ibu marah?
Dia tidak mengerti.
Suara petir menggelegar membuat gadis kecil itu gemetar menahan takut. Mati-matian gadis kecil itu menahan tangis, khawatir sang ayah akan memukulinya seperti yang sudah-sudah.
Hujan deras diiringi guntur yang menggelegar, lolongan anjing sahut menyahut memberikan kesan horor meski cuaca masih siang yang tertutup gerhana matahari total.
Gadis kecil itu memutuskan bangun dengan tertatih-tatih, mengabaikan rasa sakit dan perihnya luka yang terbasuh air hujan.
Kapan lagi dia merasakan air hujan sebebas ini?
Gadis kecil itu tertawa riang melupakan rasa sakitnya dan sesekali berteriak tatkala petir menyambar, memamerkan suara keras yang membuat orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumah.
Tanpa di sadari siapapun, sebuah portal kehitaman terbuka di bawah lingkaran kemerahan, memunculkan dua sosok asing yang kini menuruni langit secara perlahan.
"Aku merasakan esensi raja iblis di sekitar sini. Aku harap kau menemukannya dan menendang si bajingan itu ke dalam dunia iblis. Gara-gara dia, dunia iblis kacau." Racaunya kesal.
Carvina berdehem sebagai jawaban. Memang, selama tinggal bersama bangsa iblis, banyak hal yang dipelajari oleh gadis itu.
Mereka akan mengangkatmu setinggi langit, lalu menjatuhkanmu sedalam-dalamnya. Menghujani dalam pujian sebelum digantikan dengan hinaan dan cacian. Begitu terus menerus hingga membuat Carvina terbiasa.
Manipulasi, arogansi, keindahan dan ketamakan, membuat Carvina kebal dan tak tertarik lagi.
Dua sosok dewasa tak kasat mata memperhatikan gadis kecil tersebut. Seorang gadis bersurai ash blue menatap gadis kecil itu dalam diam. Dia sangat mirip dengan kehidupannya di masa lalu.
"Apakah kau tidak tertarik dengan anak kecil itu, Carvina~?" Seorang pria tampan dengan dua tanduk di kepalanya menatap gadis kecil itu dengan mata berbinar, "Dia tampak lucu menggemaskan. Sayangnya dia memiliki keterbelakangan mental akibat kecelakaan," Lanjutnya prihatin sambil mengusap air mata imajinernya.
"Oh, dia memiliki fisik yang kuat dan otak istimewa meski dalam keadaan seperti itu." Pekiknya riang setelah memperhatikan kondisi gadis kecil itu.
"Kau benar."
"Kalau begitu, pergilah~ Cari keberadaan raja kami. Aku akan memberikanmu kekuatan istimewa yang tak pernah kau miliki selama kehidupan mu~ Selamat bersenang-senang dan semoga kau bahagia, hihihihi!"
Pria itu membuka portal hitam dan menghilang dari sana, meninggalkan Carvina seorang diri di bawah hujan gerhana. Tiba-tiba pandangan gadis itu menggelap dan tubuhnya tersedot dengan kuat entah kemana, bertepatan dengan suara benturan menyapa pendengaran gadis itu diiringi dengan rasa sakit yang hebat, sebelum kegelapan kembali menguasainya.
✨
Suara tangisan anak kecil menggema di telinga Carvina, menggugah kesadarannya. Gadis itu membuka mata, menatap sekeliling ruangan temaram yang mengingatkannya pada kelahiran-kelahirannya di masa lalu. Namun, kali ini, dia tidak sendiri.
Di hadapannya, seorang anak perempuan kecil duduk terisak-isak, tubuhnya gemetar, air matanya mengalir deras di pipi. Rambut ash blue bergelombangnya berantakan, dan mata hijau yang seharusnya indah kini redup, basah oleh kesedihan.
Carvina memandang anak itu dalam diam sebelum berjalan mendekat. Anak perempuan itu mendongak sesaat, menangkap pandangannya, lalu kembali menangis dengan putus asa.
"Hiks... hiks... Mereka tidak menginginkan kelahiranku... Hiks..." isaknya di antara jeda nafas yang tersendat.
Senyuman miring muncul di wajah Carvina, seperti pemangsa yang baru menemukan mangsanya.
"Apa kau ingin membalas dendam, Nak?" tanyanya dengan nada datar namun penuh arti.
Tangisan anak itu seketika terhenti. Ia mendongak perlahan, memperlihatkan wajahnya yang seperti boneka kaca retak—cantik, tapi menyedihkan. Dia menatap Carvina dengan mata yang dipenuhi kesedihan dan keputusasaan.
"Tapi aku sudah meninggal, Kak... Aku tidak bisa membalas dendam. Aku bahkan tidak bisa pergi dari sini..." suaranya lirih, penuh penyesalan.
Carvina menunduk sedikit, menatapnya dengan intens. "Aku bisa membantumu," ucapnya tanpa ragu.
Anak itu mengangkat kepala dengan tatapan penuh harap. "Sungguh?"
"Mm," angguk Carvina singkat.
Sejenak, anak itu terdiam, pikirannya bergulat antara keraguan dan harapan. Namun, akhirnya dia menatap Carvina dengan tekad yang baru ditemukan.
"Kalau begitu... Tolong balaskan dendamku pada mereka," ucapnya dengan suara yang mulai samar. Tubuh kecilnya perlahan memudar, berubah menjadi serpihan cahaya yang berkilauan seperti kunang-kunang, menghilang satu per satu.
Carvina menatap pecahan cahaya itu hingga hilang sepenuhnya, bibirnya melengkung membentuk seringai kejam.
Ah, misi pertamanya dimulai hari ini.
Bayangan mereka yang menyia-nyiakan anak istimewa itu terpantul di cermin milik pria iblis yang memberinya tugas. Mereka yang bodoh, yang bahkan tidak menghargai darah daging mereka sendiri.
Carvina mengepalkan tangan, membayangkan bagaimana menyiksa mereka akan membawa kesenangan tersendiri. Dia menutup matanya, membiarkan kesadarannya menyatu dengan tubuh barunya.
"Selamat datang, dunia," bisiknya. Seringai di wajahnya semakin lebar. "Mari kita bersenang-senang."
Sunyi, gelap, ringan, dan hening.
Hanya itu yang dirasakan Carvina saat perlahan kesadarannya pulih. Suara berirama nyaring mulai menyusup ke telinganya, semakin jelas seiring bau tajam obat-obatan yang menusuk indera penciumannya.
Kegelapan yang menyelimuti berubah menjadi cahaya terang, membuat matanya tidak nyaman. Perlahan, dia membuka mata. Namun, bukannya ketenangan, suara panik langsung menyambutnya, menggema di sekeliling.
"Dia siuman! Cepat panggil dokter!"
"Syukurlah! Harapan kita tidak sia-sia!"
Carvina memicingkan mata, mencoba memahami situasinya. Hal pertama yang dia lihat adalah ruangan serba putih. Orang-orang dengan wajah asing mengerubunginya, menatap dengan ekspresi campuran antara cemas dan khawatir.
Tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa lemah. Dia menggerakkan kepala, mencari sesuatu untuk diminum.
"Kau sudah sadar, Nak? Bagaimana perasaanmu?" tanya seorang wanita paruh baya dengan suara lembut. Namun, sesuatu yang lain menyusup di telinga Carvina, membuatnya menegang.
"Sialan! Kenapa anak ini tidak cepat mati?!"
Mata Carvina membelalak kecil, menatap wanita itu dengan alis berkerut. Wanita tersebut terlihat tersenyum ramah di luar, tetapi suara batinnya menusuk seperti belati.
Ketegangan itu terputus ketika seorang pria berseragam dokter diikuti perawat masuk ke ruangan. Dokter itu tersenyum ramah pada Carvina.
"Kau sudah sadar, Nak? Bagaimana keadaanmu?" Tanya dokter itu ramah sambil memeriksa nya.
"Air..." Lirihnya serak.
Dokter itu segera mengambil sebuah botol air minum yang terletak di atas nakas, membuka tutupnya laku menyerahkan pada gadis kecil itu. Matanya menatap lembut gadis kecil yang minum dengan rakus.
"Siapa namamu, Nak?" tanyanya lembut.
Carvina terdiam dan menyerahkan botol air yang tersisa setengah pada pria berjas dokter itu. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah Carvina Amarillia Azhura. Tubuh ini bukan miliknya, dan ingatan pemilik tubuh ini tidak memberinya nama. Apa mungkin dia memang tidak pernah diberi nama?
Melihat Carvina hanya menggeleng, sang dokter melanjutkan pertanyaannya. "Kalau begitu, apakah kau mengenal mereka?"
Carvina mengalihkan pandangannya ke wajah-wajah yang mengelilinginya. Wajah mereka pias seketika. Mereka saling melirik, mencari siapa yang akan menjadi tumbal pertanyaan ini.
Dia menggeleng lagi.
Raut prihatin muncul di wajah dokter itu. "Gadis sekecil ini pasti telah mengalami sesuatu yang mengerikan," pikirnya sambil melirik kondisi fisik Carvina. Tubuhnya kurus, penuh bekas luka, memar, dan jelas kekurangan nutrisi. Bahkan, beberapa waktu lalu, kepala gadis ini mengalami pendarahan hebat hingga nyawanya hampir tak bisa diselamatkan.
"Kau sungguh tidak mengenal mereka?" tanya sang dokter lagi, memastikan.
Carvina mengangguk mantap. Dalam ingatan pemilik tubuh ini, orang-orang itu adalah monster. Tidak ada sedikit pun kenangan manis di memorinya.
Bahkan, dalam pengamatannya melalui cermin pria iblis, ayah dari tubuh ini tidak pernah sekalipun memeluk atau menginginkan kelahirannya. Yang ada hanya kebencian.
"Anak sialan itu benar-benar menyusahkan!"
"Kenapa dia tidak mati saja menyusul ibunya?!"
Suara-suara itu terus terngiang di kepalanya, membuat Carvina memutar pandangan. Dia menangkap tatapan dingin dua wanita yang menatapnya penuh kebencian. Seringai kecil terbit di sudut bibirnya, nyaris tak terlihat.
"Apa dia benar-benar tidak tahu namanya?" Suara batin seorang pria terdengar samar. Pria itu tampak menunduk dengan ekspresi bersalah.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada anak sekecil ini?" gumam batin sang dokter yang turut didengar Carvina.
Tiba-tiba, Carvina mengangkat wajah dengan mata berbinar. "Dokter, aku baru ingat namaku!" ucapnya, memecah keheningan.
Semua orang di ruangan itu menatapnya bingung. Wajah mereka berubah-ubah, sebagian terlihat panik. Wanita paruh baya yang hendak bicara tiba-tiba terdiam, mulutnya terbuka separuh.
Sang dokter, yang nametag-nya bertuliskan Joshua, menatap Carvina dengan antusias. "Oh, begitu? Apa namamu?" tanyanya lembut, berusaha menunjukkan dukungan.
Carvina tersenyum tipis. "Namaku... adalah kenangan yang mereka lupakan," batinnya penuh teka-teki. Tapi untuk saat ini, dia akan memberikan mereka satu kejutan kecil.
"Namaku Reina. Salam kenal," ucap gadis kecil itu dengan nada lembut.
Seisi ruangan langsung terdiam, menatapnya tak percaya. Beberapa saling melirik, tampak bingung.
"Nama yang cantik, seperti orangnya," ujar dokter Joshua dengan senyum hangat. Ia menepuk kepala Reina pelan, penuh kelembutan.
Carvina—sekarang Reina—memutuskan untuk memakai nama itu. Nama yang penuh kenangan. Reina adalah seorang pahlawan di kehidupannya yang ketiga puluh, seorang penyihir hitam yang pernah menyelamatkan dunia dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Nama itu menyiratkan kekuatan dan keberanian.
Kini, nama tersebut akan menjadi bagian dari kisah barunya.
"Boleh aku meminjam cermin?" tanya Reina polos, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. Dia ingin melihat seperti apa rupa tubuh yang sekarang dia tempati.
Dokter Joshua mengangguk. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan cermin kecil, lalu menyerahkannya kepada Reina. "Ini," katanya sambil tersenyum.
Reina menerima cermin itu, menatap pantulannya dengan seksama. Mata hijau cerah dengan pupil berbentuk kupu-kupu hitam memandang balik ke arahnya. Fitur wajah putih pucatnya dihiasi tahi lalat kecil di bawah mata kiri. Rambut ash blue panjang yang sedikit berantakan mengingatkannya pada salah satu dirinya di masa lalu.
Namun, semakin lama ia menatap, dahinya mengernyit. Wajah ini sangat tirus, seolah hanya tulang yang terbalut kulit. Tanda-tanda kelaparan dan kelelahan terpatri jelas.
Setelah beberapa detik, Reina mengembalikan cermin itu kepada dokter Joshua. "Terima kasih," katanya singkat, kembali memasang wajah polos.
Di dalam hatinya, dia mendumel, "Sepertinya kali ini kelahiranku cukup mengenaskan."
✨
Selama menjalani perawatan, Reina hanya bertemu dengan keluarga pemilik tubuh ini satu kali—tepat setelah dirinya bangun. Namun, berdasarkan ingatan tubuh ini, keluarga tersebut tidak pernah menginginkan kehadirannya.
Mereka memperlakukan anak kecil ini seperti binatang, menyiksa tanpa henti hingga tubuh mungilnya penuh luka. Bahkan, menurut Reina, para iblis di dunia sebelumnya tidak pernah menyiksa anak kecil dengan kekejaman seperti ini.
Hari-hari Reina di rumah sakit penuh kesendirian. Tidak ada satu pun dari keluarganya yang datang menjenguk. Hanya dokter Joshua yang sesekali mengunjungi, berbicara singkat dengannya. Dari pria itu, Reina akhirnya mengetahui letak kota ini dan mulai memahami dunianya yang baru.
Setelah beberapa minggu perawatan, Reina akhirnya diperbolehkan pulang. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu duduk di bangku depan rumah sakit, memperhatikan dunia di sekitarnya dengan seksama.
Dunia ini... mirip dengan dunianya terdahulu, meski terasa jauh lebih maju. Kendaraan melaju di jalan raya, orang-orang sibuk berjalan sambil menatap benda persegi kecil di tangan mereka. Di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi.
Di dunianya dulu, jalanan dipenuhi kereta kuda. Beberapa kereta tampak megah, dihias lambang khusus yang menunjukkan pemiliknya adalah bangsawan atau tokoh berkuasa.
Reina menghela napas panjang, menatap matahari yang kini tepat di atas ubun-ubun. Dia menunggu ayah dari pemilik tubuh ini—seseorang yang dikatakan akan menjemputnya hari ini. Namun, hingga berjam-jam berlalu, pria itu tak kunjung datang.
"Hai, adik kecil~ Menunggu siapa?" Suara ramah seorang pria menyadarkannya dari lamunan. Reina menoleh dan mendapati dokter Joshua berjalan ke arahnya dengan senyum hangat.
Reina menatap pria itu dengan tenang, meski dalam hatinya bergemuruh. "Pria ini harus kujadikan pion. Dengan bantuannya, aku bisa mencari Raja Iblis serta membalas dendam pemilik tubuh ini."
Tanpa ragu, Reina mengaktifkan kemampuan barunya—melihat jiwa seseorang. Pandangannya menembus lapisan luar Joshua, menatap jiwa yang bersinar di balik tubuhnya.
"Hanya sedikit ternoda... dia pria baik," pikir Reina. "Sayang jika melibatkannya dalam aksi balas dendam, tapi dia akan berguna untuk langkah awal."
"Katanya hari ini aku dijemput," jawab Reina polos. "Tapi tidak ada yang datang menjemputku."
Joshua mengernyit. Anak sekecil ini dibiarkan sendiri hingga siang tanpa orang dewasa yang menemani? Itu membuatnya geram.
"Bagaimana kalau kita menunggu mereka di dalam? Sekalian makan siang? Kau pasti lapar, kan?" tawarnya dengan nada lembut.
Reina hendak menolak, tetapi suara perutnya yang keroncongan mendahuluinya. Wajahnya memerah, dan ia menunduk malu.
Joshua terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. "Jangan khawatir, aku tidak akan menculikmu. Anak kecil harus makan banyak biar cepat tumbuh besar," ujarnya sambil mengulurkan tangan, mengajak Reina untuk bangkit dari tempat duduknya.
Reina akhirnya mengangguk, mengikuti dokter itu masuk ke rumah sakit. Dia tahu ini langkah pertama dalam rencananya yang lebih besar.
Joshua segera mengajak Reina menuju kafetaria yang tidak jauh dari sana. Gadis kecil itu mengikuti langkah dokter sambil memperhatikan sekelilingnya dengan penuh rasa ingin tahu. Tidak ada perbedaan status yang mencolok seperti di kehidupannya dulu, di mana bangsawan dan rakyat jelata terpisah jauh.
"Kamu mau pesan apa? Biar Om yang traktir," tawar Joshua dengan senyum ramah. Ia memperhatikan Reina yang tampak kagum melihat keramaian di kafetaria itu, seakan baru pertama kali berada di tempat seperti ini.
Reina mengambil sebuah buku menu yang terletak di meja, lalu membukanya. Dahinya segera mengernyit bingung saat melihat tulisan-tulisan yang asing baginya. Meski mencoba menggali ingatan pemilik tubuh ini, Reina tidak menemukan memori apapun selain rasa sakit dan penyiksaan.
"Aku… tidak bisa membaca, Om," kata Reina polos. "Aku tidak diizinkan belajar."
Mendengar itu, mata Joshua membelalak. Sebagai seorang dokter, dia terbiasa mendengar kisah-kisah sedih pasiennya, tetapi pernyataan gadis kecil ini benar-benar memukul hatinya.
Sementara itu, Reina berpikir dalam hati. "Ada untungnya aku tidak menghapus ingatan pemilik tubuh ini. Meski menyakitkan, ingatan ini mungkin akan berguna suatu hari nanti."
"Biar Om yang pesankan, ya," ujar Joshua sambil tersenyum lembut.
Reina mengangguk patuh.
Selagi menunggu pesanan tiba, Reina memperhatikan suasana di sekelilingnya dengan penuh rasa takjub. Dunia ini begitu menarik, penuh warna dan kebisingan yang terasa hidup. Di kehidupannya dulu, segalanya lebih sunyi dan serba formal, diwarnai kemegahan aristokrat yang dingin.
Sementara itu, Joshua diam-diam memandang gadis kecil di depannya. Mata hijau cerah dengan pupil berbentuk kupu-kupu berwarna merah. Rambut ash blue yang terlihat seperti sutra. Semua ini bukan hanya langka, tetapi hampir mustahil dalam dunia kedokteran.
Dia masih mengingat hari pertama Reina tiba di rumah sakit—dalam kondisi memprihatinkan, tubuh penuh luka, nyaris tak bernyawa. Gadis kecil itu ditemukan pada hari yang aneh, ketika dua gerhana terjadi bersamaan.
Joshua dan tim medis berjuang keras untuk menyelamatkan nyawanya. Gadis kecil itu sempat mengalami gagal jantung, tetapi setelah upaya keras, jantungnya kembali berdetak. Sayangnya, ia terbaring koma selama enam bulan.
Selama masa itu, pihak rumah sakit bekerja sama dengan kepolisian untuk mencari data atau keluarga Reina. Anehnya, tidak ada catatan resmi tentang gadis itu, seperti dia muncul dari ketiadaan.
Lamunan Joshua terhenti ketika seorang pramusaji datang membawa makanan mereka. Reina memandang hidangan di hadapannya dengan mata berbinar. Hidangan itu tampak lezat, dengan aroma yang menggugah selera.
"Makanlah yang banyak supaya kamu sehat," ujar Joshua hangat.
Reina mulai menyuap makanan itu dengan ragu, tapi begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, air mata langsung menetes. Rasa makanan yang luar biasa lezat memenuhi inderanya, membuat dadanya sesak.
"Aku sudah sering makan makanan mewah di kehidupanku yang dulu. Tapi… apakah pemilik tubuh ini tidak pernah mencicipi makanan layak sekali pun?" pikir Reina dalam hati.
Joshua yang melihat gadis kecil itu menangis langsung panik. Ia meletakkan alat makannya dan berpindah ke sisi Reina. "Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada cemas.
Reina menggeleng pelan, lalu berkata di antara isakan, "Ini… sangat enak. Terima kasih."
Joshua tertegun, lalu tersenyum penuh simpati. "Kamu pantas mendapat yang lebih baik," ujarnya sambil menepuk kepala Reina lembut.
Reina sesenggukan, berusaha mengendalikan dirinya. Tapi ia tahu, air mata ini bukan miliknya. Ini adalah tangisan jiwa pemilik tubuh ini, yang akhirnya merasakan sedikit kebahagiaan setelah sekian lama menderita.
Dalam hati, Reina bersumpah. "Aku akan membalas perlakuan keluarga ini dengan manis. Mereka akan merasakan apa yang tubuh ini alami, bahkan lebih."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!