Senja mulai memeluk kota Jakarta ketika Naura Amelia merapikan meja kerjanya di sebuah agensi desain ternama. Layar komputernya masih menyala, menampilkan desain poster yang baru saja ia selesaikan. Namun, perhatiannya kini tertuju pada notifikasi di ponselnya – pengumuman peluncuran buku terbaru Ryan Rizky yang akan diadakan akhir pekan ini.
Jemari lentiknya dengan cepat men-screenshot pengumuman tersebut. Senyum tipis tersungging di bibirnya, membayangkan akhirnya bisa melihat langsung sosok yang selama ini menginspirasinya lewat lagu dan tulisan. Naura bukanlah penggemar fanatik yang mengikuti setiap gerak-gerik idolanya, ia hanya seorang profesional muda yang menemukan resonansi dalam karya-karya Ryan.
"Kamu masih di kantor?" Suara Dina, rekan kerjanya, mengejutkan Naura dari lamunannya.
"Ah, iya. Baru mau pulang ini," jawab Naura sambil memasukkan laptop ke dalam tasnya. "Kamu sendiri?"
"Same. Eh, lihat ini deh!" Dina menunjukkan ponselnya yang menampilkan poster yang sama. "Ryan Rizky mau launching buku baru. Kamu kan fans-nya, mau dateng bareng?"
Naura tertawa kecil. "Aku bukan fans dalam artian yang seperti itu. Tapi... boleh deh, sekalian weekend nggak di rumah aja."
Hari peluncuran buku pun tiba. Mall yang menjadi lokasi acara sudah dipenuhi penggemar Ryan sejak pagi. Naura dan Dina memilih datang satu jam sebelum acara dimulai, bergabung dengan antrian yang sudah mengular panjang. Beruntung mereka masih mendapat tempat duduk yang cukup strategis.
"Nggak nyangka bakal seramai ini," gumam Naura, mengamati berbagai banner dan poster Ryan yang terpasang di sekitar venue. Desainnya menarik perhatiannya sebagai seorang desainer grafis – clean, minimalis, namun tetap berkarakter.
Tepat pukul dua siang, pembawa acara mengumumkan kedatangan Ryan Rizky. Suara riuh tepuk tangan dan teriakan fans memenuhi ruangan. Naura merasakan jantungnya berdebar lebih kencang ketika sosok yang selama ini hanya ia lihat lewat layar kaca dan media sosial, kini berdiri nyata di hadapannya.
Ryan Rizky tampil sederhana namun memikat dengan kemeja putih dan celana hitam. Senyumnya hangat, dan cara bicaranya tenang namun penuh passion ketika membahas proses kreatif di balik buku terbarunya. Naura mencatat setiap kata-kata inspiratif yang keluar dari mulut Ryan dalam notes kecil yang selalu ia bawa.
"Menulis dan bermusik bagi saya adalah cara untuk berbagi cerita dan pengalaman," ujar Ryan di sela-sela diskusi. "Saya percaya setiap orang punya kisahnya sendiri yang layak dibagikan, dalam bentuk apapun."
Kata-kata itu menggema dalam benak Naura. Sebagai desainer grafis, ia sering merasa bahwa karyanya hanyalah sebatas pekerjaan. Namun mendengar Ryan berbicara tentang makna di balik setiap karya membuat semangatnya kembali menyala.
Acara berlanjut dengan sesi tanya jawab. Naura memberanikan diri mengangkat tangan ketika moderator membuka kesempatan untuk pertanyaan terakhir.
"Silakan, mbak yang pakai dress biru," moderator menunjuk ke arah Naura.
Dengan suara yang sedikit bergetar namun jelas, Naura bertanya, "Bagaimana cara Anda tetap konsisten berkarya di tengah ekspektasi publik yang kadang memberatkan?"
Ryan tersenyum, matanya menatap langsung ke arah Naura. "Pertanyaan yang sangat relevan. Kuncinya adalah tetap ingat untuk siapa kita berkarya. Bukan untuk memenuhi ekspektasi siapapun, tapi untuk menyampaikan apa yang kita yakini perlu disampaikan."
Tatapan mereka bertemu sejenak, dan Naura merasakan sesuatu yang berbeda – bukan perasaan seorang fan kepada idolanya, tapi resonansi antara dua jiwa kreatif yang saling memahami.
Seusai acara, Naura dan Dina bergabung dalam antrian untuk mendapatkan tanda tangan. Ketika gilirannya tiba, Ryan terlihat sedikit terkejut.
"Ah, penanya terakhir tadi," ujarnya ramah. "Terima kasih untuk pertanyaannya yang dalam."
"Saya yang berterima kasih untuk jawabannya," balas Naura. "Buku-buku Anda selalu menginspirasi saya dalam berkarya."
Ryan menandatangani buku Naura, menambahkan sebaris pesan: "Untuk sesama penjelajah kreativitas. Teruslah berkarya dengan hati."
Pertemuan singkat itu mungkin hanya sepenggal momen bagi Ryan, tapi bagi Naura, hari itu adalah awal dari sebuah perjalanan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Dalam perjalanan pulang, ia membuka halaman pertama buku barunya, membaca kata demi kata dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya, tanpa menyadari bahwa di suatu tempat, seseorang telah mengabadikan setiap gerak-geriknya sejak ia melangkah masuk ke mall.
"Kamu seneng banget kayaknya," komentar Dina sambil menyetir. "Nggak nyesel kan dateng?"
Naura mengangguk antusias. "Thanks ya udah ngajak. Aku nggak nyangka dia bakal se-down to earth itu. Maksudnya, jawaban-jawabannya bener-bener thoughtful."
"Terus, gimana perasaannya ditanya balik sama dia? Tadi kalian sempet ada eye contact gitu lho," goda Dina.
"Ih, apaan sih!" Naura tertawa, menutup wajahnya yang mulai memerah dengan buku barunya. "Biasa aja kali. Dia gitu ke semua fans-nya."
Mobil Dina melaju pelan menembus kemacetan Jakarta di Sabtu sore. Langit mulai menggelap ketika mereka berhenti di sebuah kafe untuk makan malam. Naura masih tenggelam dalam euphoria pertemuan tadi, sesekali membuka sosial medianya untuk melihat foto-foto yang diunggah dari acara.
"Eh, ini kamu ya?" Dina menunjukkan sebuah postingan di Instagram. Foto itu menangkap momen ketika Naura sedang bertanya pada Ryan, angle-nya dari samping dan terlihat sangat natural.
"Iya... tapi aku nggak tau siapa yang motret." Naura mengernyitkan dahi, zoom in ke foto tersebut. Kualitas gambarnya bagus, seperti diambil oleh fotografer profesional.
"Panitia kali? Atau mungkin fotografer event?" tebak Dina sambil menyesap kopinya.
"Mungkin..." Naura bergumam, tapi ada sesuatu yang mengganggunya. Foto itu terlalu... personal. Terlalu fokus padanya, bukan pada Ryan atau interaksi mereka.
Getaran ponselnya mengalihkan perhatiannya. Sebuah notifikasi DM di Instagram dari akun yang tidak ia kenal: @creative.shadow.
'Hai Naura. Kamu cantik sekali hari ini. Dress biru itu sangat cocok untukmu.'
Naura merasakan sensasi dingin menjalar di tengkuknya. Dengan cepat ia mengecek profil pengirim pesan tersebut, tapi tidak ada foto atau informasi apapun di sana. Hanya ada beberapa foto abstrak yang di-posting beberapa jam lalu.
"Kenapa?" tanya Dina, menyadari perubahan raut wajah sahabatnya.
"Nggak... nggak apa-apa." Naura menggeleng, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia tidak ingin merusak hari yang sempurna ini dengan pikiran-pikiran negatif. Mungkin hanya fans Ryan yang kebetulan melihatnya di acara tadi.
Tapi ketika taksi membawanya pulang ke apartemen malamnya, Naura tidak bisa mengenyahkan perasaan bahwa sepasang mata tengah mengawasinya. Di tengah keramaian mall, di antara puluhan penggemar Ryan Rizky, seseorang telah menjadikannya sebagai objek perhatian khusus.
Dan ini baru permulaan.
Sesampainya di apartemen, Naura langsung mengunci pintu dan menyalakan semua lampu. Entah mengapa, ruangan yang biasanya terasa nyaman ini kini seperti menyimpan bayangan-bayangan yang mengintai. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, mencoba menenangkan diri.
"Kamu terlalu paranoid, Naura," gumamnya pada diri sendiri, mencoba mengenyahkan perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya.
Matanya tertuju pada buku Ryan yang tergeletak di meja. Ia meraihnya, membuka halaman yang bertanda tangan. Ada sesuatu yang berbeda dengan pesan yang dituliskan Ryan untuknya. Di bawah tulisan "Untuk sesama penjelajah kreativitas. Teruslah berkarya dengan hati," ada sebuah simbol kecil – seperti not balok yang dipadukan dengan kupu-kupu.
Naura mengambil ponselnya, berniat memotret tanda tangan unik tersebut. Namun, notifikasi baru dari @creative.shadow kembali muncul:
'Simbol yang cantik ya? Sepertimu. Tidur nyenyak, Naura.'
Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamannya. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang simbol di bukunya? Tidak mungkin terlihat dari foto manapun yang diambil di acara tadi.
Dengan tangan gemetar, Naura mengecek seluruh pintu dan jendela apartemennya. Semuanya terkunci rapat. Ia menarik semua tirai, menciptakan benteng tipis dari dunia luar. Tapi tetap saja, perasaan diawasi itu tidak hilang.
Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka laptop, berniat menyelesaikan beberapa desain yang harus dikumpulkan besok. Di tengah pekerjaannya, sebuah email masuk:
Dari: shadows.and.melodies@gmail.com
Subjek: Inspirasi Malam Ini
"Desainmu selalu indah, seperti orangnya. Tapi kamu lebih cantik saat sedang serius bekerja di balik laptop biru mu."
Naura tersentak. Laptopnya memang berwarna biru. Ia segera menutup tirai workspace-nya yang sedikit terbuka, jantungnya berdegup kencang. Apartemennya di lantai 15, tidak mungkin ada yang bisa mengintip, kan?
Ponselnya berdering – Dina.
"Halo?" suara Naura bergetar.
"Ra? You okay? Kok feeling ku nggak enak ya?"
Naura menggigit bibirnya, menimbang apakah harus menceritakan semua kejadian aneh ini pada sahabatnya.
"Din..." ia memulai, tapi ragu.
"Kenapa? Ada yang ganggu kamu?"
"Aku... aku nggak tau. Mungkin cuma overthinking aja."
"Want me to come over?"
Naura melirik jam dinding – 11:45 malam.
"Nggak usah Din, udah malem. Aku... aku tidur aja."
"You sure? Call me if anything happens okay?"
"Okay..."
Setelah menutup telepon, Naura memaksakan diri untuk bersiap tidur. Ia memasang alarm di ponselnya dan hampir meletakkannya ketika satu notifikasi terakhir muncul:
'Sweet dreams, butterfly. Besok akan jadi hari yang lebih indah.'
Di sudut gelap sebuah ruangan tak jauh dari apartemen Naura, seseorang tersenyum menatap layar laptop yang menampilkan berbagai sudut pengambilan gambar. Jemarinya mengelus sebuah foto – Naura sedang tersenyum pada Ryan Rizky.
"Seharusnya senyum itu untukku..."
Ryan Rizky menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang kerjanya, masih mengenakan kemeja putih yang ia pakai saat acara peluncuran buku. Matanya menerawang ke langit-langit, mengingat berbagai wajah yang ia temui hari ini. Namun entah mengapa, satu wajah tertentu terus muncul dalam benaknya – gadis dengan dress biru yang mengajukan pertanyaan terakhir.
"Pertanyaan yang bagus ya?" Mas Andi, manajernya, muncul dengan dua cangkir kopi.
"Yang mana?" Ryan menegakkan duduknya, menerima kopi yang disodorkan.
"Yang terakhir itu lho. Tentang ekspektasi publik. Jarang ada yang nanya sampai sedalam itu."
Ryan mengangguk, menyesap kopinya perlahan. "Ada yang beda dari cara dia bertanya. Bukan sekedar fan yang pengen dapet perhatian."
"Oh?" Alis Mas Andi terangkat. "Tumben kamu notice?"
"Bukan gitu..." Ryan menggeleng, tersenyum tipis. "Dari cara dia ngomong, keliatan kalau dia juga creator. Ada... resonansi gitu."
Mas Andi tertawa kecil. "Namanya siapa tuh? Naura ya? Dia desainer grafis kalau nggak salah."
Ryan menoleh cepat. "Kok tau?"
"Pas antri tanda tangan, dia sempet ngobrol sama tim dokumentasi kita. Katanya beberapa karyanya pernah menang kompetisi desain nasional."
Ryan meraih laptopnya, membuka Instagram. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan akun Naura – tagged photos dari acara hari ini membawanya ke profil @naura.designs.
"Impressive..." gumamnya, melihat-lihat portfolio desain yang dipajang. Ada sentuhan unik dalam setiap karyanya, perpaduan minimalis dengan detail-detail yang mendalam.
Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Di beberapa foto acara yang di-posting fans, ada sosok yang sama yang muncul di latar belakang, selalu dalam posisi mengamati ke arah yang sama.
"Mas Andi," panggilnya. "Coba lihat ini deh."
Manajernya mendekat, mengamati foto-foto yang ditunjukkan Ryan.
"Kayaknya ada yang... stalking salah satu fans?" Ryan mengernyitkan dahi. "Di semua foto ini, orang yang sama selalu muncul, dan arah pandangnya..."
"Ke arah cewek berbaju biru itu?" Mas Andi melengkapi.
Ryan mengangguk, perasaan tidak enak mulai mengganggunya. Ia teringat bagaimana Naura terlihat begitu tulus dan murni sebagai penggemar. Pikiran bahwa ada yang mungkin mengancam keamanannya membuat Ryan gelisah.
"Mau aku cek CCTV mall-nya?" tawar Mas Andi.
"Tolong, Mas. Mungkin bukan apa-apa, tapi lebih baik kita pastikan."
Setelah Mas Andi keluar, Ryan kembali mengamati profil Naura. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya – di beberapa desain terbarunya, ia menggunakan quotes dari buku-buku Ryan sebagai inspirasi. Caranya menginterpretasikan kata-kata menjadi visual sungguh kreatif.
Ponselnya bergetar – notifikasi dari Instagram. Seseorang dengan username @creative.shadow baru saja mengomentari salah satu foto dari acara:
'Indah ya moment-nya? Tapi dia lebih pantas dengan yang lain.'
Ryan mengerutkan kening. Komentar itu muncul di foto dimana ia sedang menandatangani buku Naura. Ada sesuatu yang mengancam dalam pilihan katanya.
Belum sempat ia mengecek lebih jauh, Mas Andi kembali dengan wajah serius.
"Ryan, kamu harus lihat ini."
Di laptop yang dibawa Mas Andi, rekaman CCTV menunjukkan sosok mencurigakan yang tidak hanya mengikuti Naura di dalam mall, tapi juga sampai ke parkiran. Bahkan ada footage yang menangkap orang yang sama mengambil foto dari kejauhan.
"Ini udah nggak bener," gumam Ryan. "Kita harus..."
Kata-katanya terpotong oleh notifikasi email baru:
Dari: shadows.and.melodies@gmail.com
Subjek: Peringatan
"Jangan terlalu dekat dengannya, Ryan Rizky. Dia milikku."
Ryan dan Mas Andi bertukar pandang. Ini bukan lagi sekedar feeling tidak enak – ini ancaman nyata.
"Mas," Ryan bangkit dari kursinya. "Besok pagi kita ke kantor polisi."
Di tempat lain, sosok dalam kegelapan tersenyum puas melihat reaksi Ryan membaca emailnya. Panel-panel di hadapannya menampilkan berbagai sudut pandang – apartemen Naura, ruang kerja Ryan, dan beberapa lokasi lain.
"Saatnya permainan dimulai..."
Sosok itu membuka laci mejanya, mengeluarkan sebuah album foto. Halaman demi halaman dipenuhi foto Naura – di kantornya, di kafe favoritnya, bahkan di lobby apartemennya. Tiga bulan pengamatan yang teliti terangkum dalam setiap gambar.
"Kamu pikir Ryan Rizky bisa melindungimu?" ia berbisik pada foto terbaru Naura. "Dia bahkan tidak tahu separuh hal yang aku tahu tentangmu."
Tangannya dengan cekatan mengetik di keyboard:
@creative.shadow: 'Besok pakai baju merah ya? Itu favoritku.'
Setelah mengirim pesan itu ke Naura, ia beralih ke email untuk Ryan:
"Apa yang akan kamu lakukan, Ryan? Lapor polisi? Mereka tidak akan menemukan apa-apa. Aku selalu selangkah di depan. Selalu."
Di apartemennya, Ryan masih terjaga. Laptop di hadapannya menampilkan berbagai artikel tentang kasus stalking dan cara penanganannya. Mas Andi sudah pulang sejam lalu setelah mereka menyusun rencana untuk besok.
Ponselnya berdering – nomor tidak dikenal.
"Halo?"
Hening. Hanya terdengar suara nafas.
"Siapa ini?"
"Tidur yang nyenyak, Ryan Rizky. Besok akan jadi hari yang... menarik."
Telepon terputus. Ryan segera mencoba melacak nomor tersebut, tapi hasilnya nihil – nomor tak terdaftar.
Sementara itu, di apartemennya, Naura terbangun oleh suara notifikasi. Tangannya gemetar membaca pesan dari @creative.shadow. Bagaimana orang ini bisa tahu besok ia berencana memakai baju merah untuk meeting?
Ia mengambil baju lain dari lemari – yang berwarna hitam. "Kita lihat seberapa banyak yang kamu tau," gumamnya, mencoba memberanikan diri.
Di sudut gelap ruangannya, sosok misterius itu tertawa pelan melihat Naura mengganti pilihan bajunya.
"Masih mau bermain-main rupanya..." ia membuka sebuah file di komputernya – denah lengkap kantor tempat Naura bekerja. "Baiklah, sayang. Mari kita buat permainan ini lebih... intimate."
Malam semakin larut di Jakarta. Tiga orang terjaga dalam pikiran masing-masing – Naura dengan ketakutannya, Ryan dengan kekhawatirannya, dan sang penguntit dengan obsesinya. Besok, takdir mereka akan mulai terjalin dalam cara yang tak terduga.
Di atas meja sang stalker, sebuah foto terakhir terpajang – Naura dan Ryan dalam satu frame, dengan tanda silang merah di wajah Ryan.
Jemari pucat itu bergetar mengusap permukaan foto. Sudah seminggu sejak Naura menolak pesan-pesannya. Tujuh hari penuh dimana setiap notifikasi ponsel yang berbunyi membuat jantungnya berdegup kencang, berharap nama gadis itu akan muncul di layar. Namun hanya kesunyian yang menyapa.
"Kau yang membuatnya menjauh," bisiknya parau, mata nyalang menatap sosok Ryan dalam foto. "Kau yang merebutnya dariku."
Ruangan itu dipenuhi puluhan foto Naura – di kampus, di café tempat dia bekerja paruh waktu, bahkan di depan apartemennya. Semuanya diambil dari jauh, tanpa sepengetahuan objeknya. Dan di setiap foto dimana Naura tidak sendirian, selalu ada tanda silang merah yang sama.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi Instagram: Naura baru saja memposting story baru. Tangannya dengan cepat membuka aplikasi itu.
Napasnya tercekat.
Di sana, Naura tersenyum bahagia. Tangannya bertautan dengan Ryan, dan caption di bawahnya membuat darahnya mendidih:
"Finally saying yes to forever ♥️💍"
Foto di tangannya jatuh ke lantai. Pecahan kaca bingkai berserakan, memantulkan cahaya temaram lampu meja. Matanya terpaku pada notes kecil di sudut meja – alamat rumah Ryan yang dia dapatkan setelah berminggu-minggu mengikutinya.
"Kalau aku tidak bisa memilikimu," desisnya sambil meraih pisau lipat dari laci, "tidak akan kubiarkan siapapun memilikimu."
Dalam kegelapan malam, sebuah mobil hitam meluncur pelan meninggalkan kompleks apartemen. Di kursi penumpang, selembar foto sobek tergeletak – kali ini dengan dua tanda silang merah.
Layar ponsel Naura berkedip lemah dalam keremangan kamarnya. Jam digital menunjukkan pukul 23:47, tapi matanya masih terjaga, memandangi notifikasi Instagram yang baru masuk: "ryanrizky started following you."
Jantungnya berdegup kencang. Naura mengerjapkan mata berkali-kali, memastikan ini bukan halusinasi akibat kelelahan setelah seharian menyelesaikan proyek desain untuk kliennya. Tapi notifikasi itu masih di sana, nyata dan mengejutkan.
"Ya ampun," bisiknya pada diri sendiri, "ini beneran?"
Dengan jemari gemetar, dia membuka profil Ryan. Verified badge biru itu menegaskan bahwa ini memang akun asli sang musisi. Naura menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Sebagai desainer grafis profesional, dia sudah terbiasa berinteraksi dengan berbagai klien. Tapi ini berbeda – ini Ryan Rizky, musisi yang karyanya selalu menjadi soundtrack pengiring saat dia bekerja.
Scroll feed Instagram-nya berhenti pada sebuah post yang dia unggah minggu lalu – ilustrasi digital terinspirasi dari salah satu lagu Ryan. Dia ingat menggunakan hashtag judul lagu itu, tapi tidak menyangka karyanya akan sampai ke timeline sang musisi.
Notifikasi baru muncul: "ryanrizky liked your post."
Lalu, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi. Sebuah pesan masuk ke DM-nya.
@ryanrizky: Ilustrasimu untuk lagu "Melodi Sunyi" keren banget. Konsep visual yang unik, tepat menggambarkan essence lagunya. You're talented! 👏
Naura membaca pesan itu berulang kali. Dia telah mengikuti karya Ryan selama bertahun-tahun, menghadiri peluncuran bukunya minggu lalu, dan sekarang – secara tidak terduga – mereka terhubung dalam lingkaran digital yang sama.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, Naura membalas:
@naura.design: Makasih banyak! 🙏 Lagumu itu salah satu inspirasi terbesar untuk karyaku. Syairnya dalam banget, terutama bagian "dalam sunyi ku temukan melodi, dalam sepi ku dengar harmoni."
Dia menekan 'send' dengan campuran perasaan antusias dan gugup. Lima menit berlalu tanpa balasan. Naura mulai berpikir mungkin Ryan hanya sekadar memberi apresiasi singkat. Tapi kemudian...
@ryanrizky: That's exactly what I tried to convey! Btw, aku lihat portfolio-mu. Your style is distinctive. Ada rencana bikin ilustrasi untuk lagu2 lain?
Percakapan mengalir natural setelahnya. Mereka membahas proses kreatif, interpretasi lagu dalam bentuk visual, dan passion masing-masing dalam berkarya. Ryan berbagi cerita di balik penciptaan lagunya, sementara Naura menjelaskan bagaimana dia menerjemahkan emosi dalam musik menjadi elemen visual.
"Eh, udah jam 1 pagi," gumam Naura terkejut saat melihat jam. Waktu berlalu tanpa terasa.
@naura.design: Anyway, udah malem banget nih. Thanks for the chat and appreciation! 🙏✨
@ryanrizky: Thank you juga udah bikin karya sekeren itu! Keep creating ya. Looking forward to see more of your work.
Naura tersenyum, menutup aplikasi Instagram-nya. Ada perasaan hangat yang menenangkan – bukan karena dia baru saja berinteraksi dengan seorang idola, tapi karena menemukan sesama seniman yang memahami prosesnya berkarya.
Sambil berbaring, pikirannya melayang ke peluncuran buku minggu lalu. Saat itu dia hanya penggemar di antara ratusan yang lain, mengantri untuk tanda tangan. Sekarang, takdir menghubungkan mereka melalui karya.
"Profesional, Naura. Tetap profesional," dia mengingatkan diri sendiri. Sebagai penggemar yang juga seorang kreator, dia paham pentingnya menjaga batasan. Interaksi ini murni tentang apresiasi karya, dan dia bertekad untuk menjaganya tetap seperti itu.
Sebelum terlelap, Naura membuka notes di ponselnya, menuliskan ide baru untuk seri ilustrasi berikutnya. Percakapan dengan Ryan memberinya perspektif baru tentang musik dan visual art. Ada inspirasi segar yang mengalir, dan dia tidak sabar untuk menuangkannya dalam karya.
Di sudut kamarnya, laptop masih menyala dengan tab portfolio-nya yang terbuka. Ada notifikasi baru – beberapa penggemar Ryan mulai mengikuti akun desainnya. Lingkaran kecil itu mulai melebar, membawa karyanya pada audiens yang lebih luas.
Malam itu, Naura tertidur dengan senyum tipis. Dalam mimpinya, warna-warna menari mengikuti melodi, menciptakan harmoni antara musik dan visual yang selama ini dia impikan.
Pagi menyapa dengan secercah sinar matahari yang menerobos tirai kamar Naura. Notifikasi ponselnya berdering pelan – sebuah email dari klien tentang revisi desain logo. Tapi bukan itu yang pertama menarik perhatiannya. Ada notifikasi Instagram: Ryan Rizky baru saja membagikan story.
Jemarinya dengan cepat menggeser layar. Ryan memposting screenshot ilustrasi Naura dengan caption: "Amazing interpretation of 'Melodi Sunyi' by @naura.design. Art truly connects souls. Check out her other works!"
"Ya ampun," Naura terduduk di tempat tidurnya, masih tidak percaya. Followers-nya mulai melonjak dalam hitungan menit. Notifications-nya dipenuhi likes dan comments dari penggemar Ryan.
@designstudio.id: Keren banget interpretasi visualnya!
@musicart_community: Colaboration when? 🔥
@rizkystan_official: OMG! Ryan noticed you! 😍
Di tengah euphoria itu, ponselnya bergetar – panggilan dari Lisa, sahabatnya.
"Naur! Udah liat Instagram-nya Ryan? Dia share karya lo!" suara Lisa terdengar lebih excited dari biasanya.
"Iya, Lis... Masih ga nyangka aja."
"Tapi lo tetep keep cool kan sama dia? Jangan sampai fan-girl mode on," Lisa tertawa kecil.
"Please deh," Naura memutar bola matanya. "Gue professional kok. Semalam juga obrolannya pure soal karya."
"Good. By the way, ada yang aneh deh. Coba lo cek comments di post lo yang dishare Ryan. Ada satu akun yang... well, agak creepy."
Naura membuka postingan ilustrasinya. Di antara ratusan komentar positif, matanya menangkap satu username yang mencolok: @silent_admirer23.
@silent_admirer23: Kamu sempurna seperti karyamu. Aku sudah lama mengagumimu dari jauh. Sekarang Ryan juga melihatmu. Tapi ingat, aku yang pertama.
"Weird banget ya?" Lisa berkomentar di telepon.
Naura mengernyitkan dahi. "Mungkin cuma fans yang terlalu excited?"
"Maybe. Tapi tetep aja creepy. Block aja Naur, buat jaga-jaga."
Naura mengangguk meski Lisa tak bisa melihatnya. Jemarinya bergerak untuk memblokir akun tersebut. Tapi sebelum dia sempat melakukannya, notification baru muncul – DM dari akun yang sama.
@silent_admirer23: Aku selalu ada di setiap pameranmu. Setiap karya yang kau upload. Setiap coffee shop yang kau kunjungi. Kau mungkin tidak menyadariku, tapi aku selalu di sana. Dan sekarang, Ryan mencuri spotlightmu dariku.
Napas Naura tercekat.
"Naur? Lo masih di sana?" suara Lisa menyadarkannya.
"Lis... kayaknya lo bener. This is creepy."
Setelah memblokir akun tersebut, Naura mencoba menenangkan diri. Dia membuka laptop, berniat fokus pada pekerjaan. Tapi pikirannya terus melayang pada pesan misterius itu. Benarkah selama ini ada yang mengawasinya?
Ponselnya berdering lagi. Kali ini DM dari Ryan.
@ryanrizky: Hey, maaf ya kalo post story-ku bikin notifications-mu explode. But really, your work deserves the recognition!
Naura tersenyum kecil. Setidaknya ada hal positif yang bisa dia fokuskan.
@naura.design: No worries! Thank you for the appreciation. Means a lot! 🙏
Dia memutuskan untuk tidak memberitahu Ryan tentang akun aneh itu. Tidak ada gunanya membuat masalah dari sesuatu yang mungkin hanya sekedar fans yang terlalu antusias. Lagipula, hari ini dia punya deadline desain yang harus diselesaikan.
Tapi ketika dia membuka email, ada satu pesan yang membuat darahnya berdesir. Dari alamat email anonim, dengan subject: "I saw you first."
Attached di email itu: fotonya sedang mengantre di peluncuran buku Ryan minggu lalu, diambil dari jarak jauh.
Lingkaran kecil itu mulai terasa mencekam.
Naura menatap foto di emailnya dengan tangan gemetar. Dia ingat hari itu – mengenakan kemeja putih dan jeans biru, rambutnya dikuncir tinggi. Tapi yang membuatnya merinding adalah sudut pengambilan foto. Siapapun yang memotretnya, jelas mengambil gambar itu secara diam-diam dari seberang jalan.
"Lis," suaranya bergetar di telepon, "kayaknya ini lebih serius dari yang kita kira."
"Foto apa? Send ke gue sekarang!"
Naura mem-forward email tersebut ke Lisa. Beberapa detik kemudian terdengar pekikan tertahan dari seberang.
"Naur, ini udah masuk kategori stalking. Lo harus lapor!"
"Tapi lapor apa, Lis? Kita bahkan ga tau siapa orangnya."
Saat mereka berdiskusi, notification baru muncul di Instagram. Akun baru, @silent_watcher45, mengomentari foto lama Naura di sebuah pameran desain enam bulan lalu.
@silent_watcher45: Gaun hitam itu cocok banget di kamu. Masih kamu simpan kan? Aku ingat kamu membelinya di Central Mall, sabtu sore, jam 4.
Naura merasakan kakinya lemas. Dia memang membeli gaun itu di Central Mall, dan memakainya ke pameran. Tapi bagaimana orang ini bisa tahu detail seperti itu?
"Naur," Lisa memecah keheningan, "gue ke apartment lo sekarang. Lo ga boleh sendirian."
Belum sempat Naura menjawab, ponselnya bergetar lagi. Ryan mengirim DM.
@ryanrizky: Hey, sorry if I'm overstepping, but I noticed some weird comments on your posts. You okay?
Naura menggigit bibir, ragu apakah harus menceritakan situasinya pada Ryan. Di satu sisi, dia tidak ingin merepotkan atau terkesan mencari perhatian. Di sisi lain, ini mulai terasa menakutkan.
@naura.design: Actually... there's something weird going on.
Dia memutuskan untuk jujur, menjelaskan tentang komentar-komentar aneh dan foto misterius yang dia terima. Ryan membaca pesannya dengan cepat.
@ryanrizky: This is serious. I've dealt with stalker cases before. Mind if I connect you with someone who can help? She's a cyber security consultant, helped me with similar issues.
Sebelum Naura sempat membalas, email baru masuk.
Subject: "Remember our first meeting?"
Body: "Kamu mungkin tidak ingat, tapi aku tidak pernah lupa. Galeri Seni Kota, 2 tahun lalu. Kamu mengenakan cardigan biru, membawa sketchbook coklat. Aku duduk dua bangku darimu, mengamati bagaimana tanganmu menari di atas kertas. Sudah kuduga sejak saat itu, kita ditakdirkan bersama. Tapi Ryan... dia tidak berhak merebutmu dariku."
Attached di email itu: foto lama Naura di Galeri Seni, sedang melukis. Foto yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah diambil.
Bel apartment berbunyi, membuat Naura terlonjak.
"Naur! Ini gue!" suara Lisa terdengar dari intercom.
Dengan tangan gemetar, Naura membuka pintu. Lisa langsung memeluknya.
"We need to do something about this," kata Lisa tegas. "Terima tawaran Ryan. Contact sama cyber security consultant itu."
Naura mengangguk pelan, menyadari bahwa lingkaran kecil yang awalnya terasa aman ini mulai berubah menjadi pusaran yang mengancam. Dia membuka Instagram-nya, berniat membalas pesan Ryan, ketika notification baru muncul.
@silent_observer89: Siapa gadis yang baru masuk ke apartmentmu? Sahabatmu? Dia tidak akan mengerti hubungan kita, sayang. Tidak ada yang akan mengerti.
Naura dan Lisa saling berpandangan. Mereka baru sadar – siapapun stalker ini, dia ada di dekat sini, mengawasi mereka saat ini juga.
"Kita harus keluar dari sini," Lisa berbisik, menarik tangan Naura. "Sekarang."
Tapi sebelum mereka bergerak, ponsel Naura berdering – panggilan dari nomor tidak dikenal. Layarnya menampilkan angka yang terasa familiar.
"Itu... prefix kantor polisi," gumam Lisa, yang bekerja sebagai pengacara.
Dengan ragu, Naura mengangkat telepon. "Halo?"
"Selamat siang, dengan Naura Amelia? Saya Inspektur Rama dari Unit Cyber Crime." Suara di seberang terdengar profesional namun menenangkan. "Kami baru saja menerima laporan dari Ryan Rizky mengenai dugaan kasus stalking yang Anda alami."
Naura menoleh ke Lisa, lalu mengaktifkan speaker phone.
"Kami sarankan Anda tidak meninggalkan lokasi saat ini. Tim kami sedang dalam perjalanan ke apartment Anda. Ada indikasi pelaku berada di sekitar area tersebut."
Lisa segera mengunci pintu dan menutup semua tirai. Naura membuka DM-nya:
@ryanrizky: I've contacted the police. Stay inside. Help is coming. I'm so sorry you have to go through this.
@naura.design: Thank you, Ryan. Really.
Notification Instagram berbunyi lagi. Kali ini dari akun baru:
@forever_yours101: Polisi tidak akan mengerti. Kita ditakdirkan bersama. Lihat saja.
Naura menonaktifkan ponselnya, merasa muak dengan pesan-pesan itu. Lisa memeluknya erat, sementara mereka menunggu bantuan datang.
Sepuluh menit kemudian, suara sirine polisi terdengar mendekat. Dari jendela lantai 5 apartment Naura, mereka bisa melihat tiga mobil polisi memasuki area parkir.
"Nona Naura?" suara ketukan di pintu membuat keduanya terlonjak. "Ini Inspektur Rama. Kami sudah di depan pintu Anda."
Lisa mengintip melalui lubang pintu, memastikan identitas mereka sebelum membuka pintu. Dua orang polisi berseragam dan seorang pria berjas – Inspektur Rama – memasuki apartment.
"Tim kami menemukan aktivitas mencurigakan dari CCTV apartment," Inspektur Rama menjelaskan sambil mengeluarkan tabletnya. "Seorang pria terekam mengikuti Anda sejak minggu lalu. Kami butuh Anda melihat rekaman ini."
Saat Naura hendak melihat tablet tersebut, listrik di seluruh gedung tiba-tiba padam.
Dalam kegelapan, ponsel Naura yang baru dinyalakan kembali bergetar pelan. Satu pesan masuk, kali ini dari nomor tidak dikenal:
"Sampai ketemu di bab selanjutnya, sayangku. Ini baru permulaan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!