cup
Erlangga mengecup puncak kepala Bundanya dengan penuh kasih sayang. Bunda Winda mengusap kepala putranya dengan lembut. Meski Bunda Winda bukan Ibu kandungnya, namun kasih sayang keduanya sangat tulus seperti anak dan Ibu kandung.Meski ia sudah dewasa, Bunda Winda masih menganggapnya seperti anak kecil.
"Ehem... jangan selalu dimanja, Bunda. Putramu itu sudah dewasa."
"Bilang saja Papa cemburu." Sahut Erlangga.
"Pa... bagaimana Bunda tidak memanjakannya. Satu tahun dia nggak pulang hanya untuk menyelesaikan studinya di Jerman."
"Tapi kita kan sering mengunjunginya."
"Tuh kan, Papa cemburu kok Bun."
"Lagian kamu sudah mau jadi CEO, belum juga dapat pasangan."
"Pa, usia Er masih 22 tahun. Biarkan Er membantu Papa dulu. Lagian dalam islam nggak boleh pacaran, haram. Meski begini Er masih ingat ajaran di pesantren, Pa."
"Ya, ya... tapi kalau tahun depan kamu belum dapat juga, Papa yang akan bertindak dan langsung menikahkanmu."
"Terserah Papa."
Oma Widia dan Opa Wangsa hanya bisa tersenyum melihat perdebatan mereka. Erlangga memang belum ada niat untuk mencari pasangan. Ia bercita-cita memilik istri seperti sang Bunda. Ia sangat ingat masa kelamnya saat almarhum Mamanya mengkhianati Papanya dan berbuat tidak baik kepadanya. Namun meski begitu, ia sudah memaafkan Mamanya sejak lama.
Erlangga baru dua hari pulang ke Indonesia. Setelah mengenyam pendidikan di pesantren selama 6 tahun, ia melanjutkan pendidikan S1 di luar negeri. Ia baru saja lulus sarjana di salah satu Universitas terbesar di Jerman. Selain alasan kuliah, di sana Erlangga juga ingin dekat dengan saudaranya.
Datanglah ketiga adik Erlangga yang baru keluar dari kamar masing-masing. Ada Tania, Talita, dan Taufan. Sedangkan kedua adiknya yang lain masih berada di pesantren.
Keluarga mereka saat ini tengah sarapan bersama. Setelah selesai sarapan, Erlangga mengantar ketiga adiknya sekolah. Saat ini mereka masih duduk di kelas 6 SD. Namun sebentar lagi mereka akan lulus.
"Hati-hati, Bang. Jangan ngebut!"
"Iya, Bunda."
"Ayo Bang, jalan! Nanti kita telat." Ujar Tania.
"Iya, adikku yang cantik. Ini abang udah siap."
Erlangga pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Ia melewati jalan alternatif agar terhindar dari macet.
10 menit kemudian, mereka sampai di sekolah.
Ketiga adik Erlangga mencium punggung tangannya. Erlangga yang penuh kasih, ia tidak lupa mengecup kening adiknya. Kecuali Taufan yang pasti menolaknya.
"Dah... sekolah yang rajin."
"Iya, Bang. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam... "
Erlangga kembali masuk ke mobil lalu melanjutkan perjalanannya. Kali ini ia akan pergi ke rumah Oma Salwa. Ia sengaja tidak memberitahu kedatangannya agar menjadi kejutan bagi keluarga Bundanya. Meski Erlangga bukan cucu kandung mereka. Namun kasih sayang terhadapnya tidak dibedakan dengan cucu yang lain.
Erlangga mampir di sebuah toko kue untuk membeli oleh-oleh.
Bug...
"Au... "
Saat akan masuk ke dalam toko, tanpa sengaja Erlangga membentur tubuh seorang perempuan. Alhasil perempuan tersebut tubuhnya menghantam daun pintu toko kue. Posisi mereka berpapasan. Perempuan tersebut ingin keluar.
"Maaf... maaf... tidak sengaja." Ujar Erlangga, seraya membuka kacamata hitamnya."
"Ah, iya tidak apa-apa."
Sejenak pandangan mereka bertemu. Perempuan tersebut menundukkan pandangannya.
"Sekali lagi, saya minta maaf."
"Iya."
"Bahkan kamu tidak mengenaliku." Batinnya. Ia pun meninggalkan toko kue dan masuk ke dalam mobil.
Erlangga pun memakai kacamatanya kembali lalu berlalu masuk ke dalam. Ia mencari kue kesukaan Oma Salwa. Yaitu brownis cheers. Ia juga membeli kue yang lainnya. Bahkan penjaga toko pun dibuat terpana dengan ketampanannya.
"Mbak.. saya tanya totalnya berapa?"
"Eh, iya. Maaf Mas... "
"Jaga pandangan Mbak!" Canda Erlangga. Dan hal tersebut berhasil membuat Mbak kasir tersipu malu.
"Total Dya ratus dua puluh ribu."
Erlangga menyerahkan uang sebesar dua ratus lima puluh ribu.
"Kembaliannya untuk Mbak."
"Ya Allah, makasih ya Mas."
"Oke, sama-sama."
Erlangga membawa kue yang ia beli. Lalu keluar dari toko tersebut. Ia tidak sadar jika ada yang memperhatikannya dari dalam mobil yang terparkir di sebelah mobilnya.
"Masih seperti dulu, tampan dan tidak sombong. Aku masih menyebut namamu dalam do'aku Er."Lirihnya.
Qonita Andini, gadis berusia 21 tahun merupakan adik kelas Er dulu waktu SD. Ia selalu mencari tahu tentang Erlangga melalui laman profil pengusaha di Surabaya. Diam-diam ia mengagumi Erlangga sejak dirinya lulus SD. Baginya sosok Erlangga adalah laki-laki yang santun dan tidak sombong seperti anak orang kaya pada umumnya. Saat itu mereka biasanya bertemu dalam acara pertemuan keluarga pengusaha di Surabaya. Erlangga remaja yang saat itu masih di pesantren kadang juga ikut pertemuan tersebut. Di sanalah mereka bertemu. Namun Erlangga tidak cukup ingat kepada Qonita. Karena sejak belajar di pesantren, Erlangga cukup membatasi diri dari perempuan selain keluarganya.
Erlangga pun melajukan mobilnya menuju rumah Oma Salwa. Ia memutar lagu kesukaannya untuk menemani perjalanannya.
Sementara Qonita, ia melajukan mobilnya menuju kantor tempatnya bekerja. Saat ini Qonita bekerja di perusahaan milik keluarganya sendiri sebagai seorang Manager.
Erlangga baru saja sampai di Rumah Oma Salwa. Keadaan rumah cukup sepi, mungkin karena yang lain sedang bekerja dan sekolah.
"Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikum salam. "
"Er.... "
"Oma.... "
Erlangga langsung memeluk Oma Salwa. Bahkan ia mengangkat tubuh Omanya.
"Er, turunkan! Nanti Oma jatuh."
"Oma, mana Opa?"
"Ada, sedang memberi makan burungnya. Kamu kapan pulang? Kok nggak ngasih tahu Oma, hem?"
"Kemarin Oma. Bahkan Mama dan Papa tidak tahu. Ayo Oma kita masuk. Er kangen sama Opa."
Erlangga sangat senang melihat Omanya sehat. Begitupun Oma Salwa yang sangat senang melihat cucunya pulang. Erlangga menggandeng tangan Oma Salwa menuju belakang.
"By... lihat siapa yang datang?"
Opa Tristan menoleh.
"Erlangga Putra Prasetyo, cucuku yang paling posesif... "
"Hehe... Opa, apa kabar Opa?"
"Seperti yang kamu lihat, Er. Opa masih gagah dan sehat. Bukan begitu?"
"Ya, ya... Opa sangat gagah."
Erlangga memberikan oleh-olehnya kepada Oma Salwa. Ia duduk di taman belakang bersama Oma dan Opanya.
Tidak lama kemudian, Tante Kamelia turun dari kamar. Ia mencari keberadaan mertuanya.
"Bi', Bunda mana?"
"Itu Bu, di belakang sama Tuan. Ada tamu, ini Bibi disuruh bikin minuman."
"Oh, iya, makasih bi."
"Iya, Bu. Sama-sama."
Karena penasaran, Tante Kamelia pun pergi je belakang untuk melihat tamu yang datang. Karena kedengarannya mereka sedang asyik ngobrol.
"Erlangga.... "
Erlangga menoleh.
"Tante... "
Erlangga pun berdiri menghampiri Tante Kamelia.
"MasyaAllah, kamu tambah keren saja.Erika pasti senang kalau tahu kamu datang."
"Ah iya, kemana dia?"
"Sekolah, Er."
"Yang lain?"
"Om Fadil ke kantor, Anak-anak yang lain dengan kesibukan masing-masing."
"Ah iya, Tante. Aku akan melepas rindu dulu bersama Oma dan Opa."
"Iya, Er. Dilanjut saja. Tante mau beres-beres."
Erlangga duduk kembali bersma Opa dan Omanya.
Bersambung....
...****************...
Keesokan harinya.
Erlangga sudah bersiap-siap pergi ke kantor. Ia mengenakan kemeja jas dan dasi yang sudah disiapkan oleh Bundanya.
"Pilihan Bunda memang keren."
Erlangga merapikan rambutnya. Ia pun segera keluar kamar. Dan meminta pendapat Omanya soal penampilannya.
"MasyaAllah cah bagus. Sudah rapi kok."
"Ini Bunda yang nyiapin, Oma."
"Bundamu itu memang the best ya. Ndak salah dulu kamu ngotot pingin ngelamar Bundamu untuk Padamu yang tipe robot Jepang itu."
"Ehem... siapa yang Mama bicarakan?" Bariton Pras terdengar agak berat.
Oma Widia dan Erlangga hanya bisa mengulum senyum. Karena sebenarnya mereka tahu kalau Pras mendengar ucapan mereka. Winda berjalan menyusul suaminya, membawakan tas kerjanya.
Lagi-lagi Erlangga meminta pendapat Bundanya soal penampilannya. Ia ingin melihat reaksi Papanya.
"Bunda, apa dasiku miring?"
"Coba Bunda lihat."
Bunda Winda mengeceknya.
"Sudah rapi, Bang." Ucapnya, seraya menepuk bahu putranya.
"Honey, coba lihat ini kerahku rapi tidak?"
Bunda Winda menoleh kepada suaminya tanpa menyentuhnya.
"Tidak kok, Pa. Sudah rapi ini."
"Hahaha.... Papa cuma pingin diperhatiin, Bun. Takut kalah sama Er."
"Dasar, awas kamu ya!"
Papa Pras menjawab telinga Erlangga.
"Aw aw... ampun Pa. Maafin Er."
"Pa... ya ampun, sama anak sendiri iri. Sudah sana berangkat. Sudah jam 9 ini."
"Ya sudah, Papa berangkat dulu."
Pras mengecup kening istrinya, Bunda Winda pun mencium punggung tangan suaminya. Erlangga pamit kepada Oma dan Bundanya. Kaki ini ia hanya mengecup kening Omanya, karena Bunda sedang ada pawangnya. Winda mengantarkan suami dan putranya ke depan.
"Do'ain lancar ya, Bun."
"Pasti, Bang."
Erlangga dan Papanya masuk ke dalam mobil. Kali ini Erlangga yang mengemudi mobil. Bunda, Winda melambaikan tangannya kepada mereka.
Di perjalanan, Erlangga banyak ngobrol dengan Papanya. Mereka membahas proyek dan saham perusahaan serta kendala yang dialami perusahaan mereka saat ini. Tidak terasa mereka sudah sampai di depan kantor.
Kabar kedatangan CEO baru yang merupakan putra dari pemilik perusahaan santer terdengar sejak beberapa hari yang lalu. Papa Pras sudah memerintahkan Pak Ruben untuk mengumpulkan mereka di aula. Karena hari ini ia akan memperkenalkan CEO yang baru. Sebelumnya CEO nya adalah Arjuna, adiknya. Sekarang Arjuna sudah memimpin perusahaan milik mertuanya.
Staf karyawan sudah berkumpul di aula. Mereka menunggu kedatangan pimpinannya.
"Harap tenang, Pak Pras akan memasuki ruangan." Ujar, Pak Ruben.
Desas desus pun terdengar saat Erlangga memasuki ruangan tersebut. Terutama dari para wanita. Tak sedikit dari mereka yang memuji ketampanan Erlangga serta senyumnya yang ramah.
"Tolong perhatiannya. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. "
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
"Langsung saja. Perkenalkan ini Erlangga, putra saya. Dia yang akan menggantikan Pak Juna di perusahaan ini sebagai CEO. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengannya."
Erlangga menangkup kan kedua tangannya di depan dada kepada mereka.
"Baik Pak."
"Cukup sekian, kalian bisa kembali ke tempat masing-masing. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
Erlangga dan Papanya meninggalkan aula dan naik ke atas menuju ruangannya. Ruangan mereka bersebelahan. Erlangga mulai sibuk menata meja kerjanya. Ia tersenyum saat melihat foto kecilnya terpajang di dalam ruangan tersebut.
"Pasti Bunda yang naruh. Keren juga ya kecilku. " Monolognya.
Erlangga pun membaca berkas-berkas yang harus ia pelajari. Sebelumnya, di Jerman Erlangga tidak hanya kuliah tapi juga magang di perusahaan Aldi sebagai arsitek. Jadi, ia sudah punya tabungan sendiri. Uang yang dikirim orang tuanya pun ia simpan.
Saat sedang mencocokkan data, Tiba-tiba telpon kantor berdering.
"Hallo... "
"Er, setelah shalat Dhuhur ikut Papa ke luar."
"Ke mana, Pa?"
"Bertemu klien. Kamu harus mulai action dan kenal banyak orang."
"Iya, Pa."
Erlangga membuka jam tangan dan jasnya, lalu menekuk kemejanya sampai siku. Kemudian ia keluar dari ruangannya dan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu'.
Banyak mata yang diam-diam memperhatikannya. Terutama para staf perempuan. Ada tiga karyawan perempuan yang sedang membicarakannya.
"Ya Allah... Pak Erlangga ganteng banget ya."
"Hus, jangan keras-keras!"
"Lihat itu, sepertinya dia mau shalat. Udah ganteng, sholeh, kaya.... "
"Jangan berharap mendapatkannya!"
"Haha... bermimpi kan boleh, siapa tahu jadi nyata."
Erlangga pun pergi ke Musholla kantor. Ia shalat Dhuhur. Ternyata Papanya juga baru saja akan shalat dan menjadi imam. Selesai shalat, Erlangga dan Papa Pras berjalan bersama kembali ke ruangannya.
"10 menit lagi kita berangkat, Er. Sekalian makan siang."
"Oke, Pa."
Erlangga memakai jam tangannya kembali lalu merapikan pakaiannya dan memakai jasnya.
Akhirnya mereka pun berangkat ke salah satu restoran ternama di Surabaya. Perjalanan agak sedikit macet, sehingga mereka agak telat sampai di restoran.
Sesampainya di restoran, Erlangga memarkirkan mobil. Kemudian, mereka turun dan masuk ke dalam. Mereka langsung menuju ruang VIP. Di sana sudah ada beberapa orang. Dan yang Erlangga kaget, salah satu dari mereka adalah perempuan yang kemarin berpapasan dengannya di toko kue. Erlangga membuka kacamata hitamnya.
"Maaf Pak Dion dan yang lain, kami telat. Tadi sedikit macet."
"Tidak masalah Pak Pras. Cuma telat 10 menit."
Pras memperkenalkan Erlangga kepada mereka. Erlangga menjabat tangan merea. Kecuali kepada perempuan tadi ia hanya tersenyum dan menangkup kan kedua tangannya.
"MasyaAllah, Er tersenyum kepadaku." Batinnya.
Mereka mulai membahas rencana kerja sama. Mereka akan membangun sebuah pabrik bahan tekstil. Erlangga mendengarkan pembahasan mereka dan sekali-kali nimbrung.Qonita pun demikian. Erlangga tidak sadar jika dari tadi ada yang memperhatikannya.
Setelah beberapa menit kemudian, pembahasan mereka pun selesai. Makanan yang mereka pesan datang. Mereka makan sambil ngobrol santai.
"Erlangga ini punya banyak potensi lho, Pak Pras." Puji Pak Dion.
"Ya, dia memang selalu mau belajar hal baru."
Perlu diketahui bahwa Pak Dion merupakan Paman Qonita. Papa Qonita sudah meninggal sejak ia lulus SMA. Pak Dion sudah menganggap Qonita seperti anaknya sendiri, karena ia tidak memiliki anak perempuan. Dulu Papa Qonita yang bekerja sama dengan Pras.
"Qonita, kamu harus banyak belajar kepada Erlangga."
"Iya, Om."
"Erlangga, Qonita ini masih mau menyelesaikan S1 nya. Sekarang dia sedang melakukan penelitian untuk skripsinya. Boleh lah kamu bantu dia."
"Dengan senang hati, Om." Jawab Erlangga, enteng. Karena memang sebaik itu Erlangga.
Tentu saja hal tersebut membuat Qonita senang dan menaruh harapan yang selama ini ia pendam.
"Pak Pras selain tampan, putramu ini sangat humble rupanya."
"Jangan dipuji terus, Pak Dion. Dia ini gampang terlena haha... "
Erlangga hanya menyunggingkan senyum menanggapi ucapan sang Papa.
Pov Qonita:
Aku akan semakin dekat dengannya. Apa ini jawaban dari do'aku? Bahkan selama ini aku selalu menjaga hati untuknya. Belajar agama untuk bisa menyeimbanginya.
Bersambung...
...****************...
Maaf belum bisa maksimal kak, karena author ada tugas negara 😂
Setelah selesai melakukan pertemuan, Erlangga dan Papa kembali ke perusahaan. Sebelumnya Pak Dion meminta nomor kontak Erlangga takut sewaktu-waktu butuh.
Sore pun tiba. Sudah waktunya mereka pulang ke rumah. Semua staf karyawan bersiap untuk pulang. Papa dan Erlangga shalat Ashar di kantor sebelum pulang ke rumah, karena biasanya kalau sore jalanan akan lebih macet. Mereka takut waktu shalat Ashar mepet.
Selama perjalanan pulang, Papa bercerita tentang kedua adik Pras yang saat ini berada di pesantren, yaitu Syakir dan Syakira.
"Kapan waktunya kunjungan, Pa?"
"Satu minggu lagi. "
"Er mau ikut, Pa."
"Harus, karena Syakira selalu menanyakan abangnya. "
Tidak lama kemudian, mereka sampai di rumah. Winda duduk di kursi depan rumah menyambut kedatangan mereka. Ia meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangannya. Erlangga pun mencium punggung tangan Bunda Winda.
"Bang, gimana kesan pertama jadi CEO?"
"Ya... lumayan."
"Lumayan apa, Bang?"
"Lumayan menyenangkan. Er ke dalam dulu ya, Bun. Lihat suami Bunda udah ngelirik dari tadi. Haha... "
Pras kesal karena ia tidak ditanyakan apa-apa oleh istrinya.
"Gitu ya, sekarang? Mentang-mentang sudah ada Er."
"Hehe... Papa jangan ngambek dong. Udah tua masih suka ngambek."
Winda merangkul suaminya dan melangkah menuju kamar.
Erlangga sudah masik ke kamarnya.
Ia membuka buku agendanya. Masih banyak yang harus ia lakukan ke depannya. Erlangga belum ke kampung Neneknya di Kediri. Nenek dari Mama Erlangga tinggal sendiri di kampung. Sudah tidak ada satu keluarga pun di sana. Beruntung tetangga Nenek yang bernama Bu Endang orangnya baik. Bahkan salah satu cucunya ia relakan untuk tinggal bersama Nenek agar bisa menjaganya. Pras selama ini masih mengirimkan sejumlah uang untuk mertuanya itu. Bahkan Pras juga membayar cucu Bu Endang. Hitung-hitung balas budi. Karena anak tersebut pun sampai tidak jadi ke kota untuk bekerja karena menjaga Nenek. Bagi Pras tidak ada mantan mertua. Walau bagaimana pun Bu Fatimah Neneknya Erlangga, Putra mahkotanya. Erlangga juga belum main ke rumah Om Juna dan Tante Mimi.
Keesokan harinya.
Setelah shalat Shubuh, Erlangga mengaji sebentar. Setelah itu ia berolahraga di tempat olahraga yang berada di lantai paling atas rumahnya. Tiba-tiba handphone Erlangga berdering. Erlangga menghentikan kegiatannya dan melihat handphonenya.
"Nenek... "Lirihnya.
Ia segera menerima panggilan telpon.
"Assalamu'alaikum.... "
Bulan suara Nenek yang ia dengar, tapi suara seorang wanita muda dari seberang sana.
"Wa'alaikum salam.... "
"E... maaf ini Mas Er?"
"Iya... kamu?"
"Ini Aira, Mas."
"Oh iya Aira, maaf aku lupa. Kenapa kamu menelpon dari nomor Nenek?"
"Maaf, Mas. Tadi sebelum pingsan Mbah Fatimah minta Aira suruh telpon Mas Er. Beliau saat ini sedang ada di ruang UGD puskesmas, Mas."
"Apa, kenapa dengan Nenek?"
"Maaf Mas, tadi Mbah Fatimah nyapu di belakang rumah. Saat mau ambil sampah ndak lihat kalau ada ular. Beliau digigit ular, Mas."
"Astagfirullah....bagaimana keadaan Nenek?"
"Mbah ndak belum sadar, Mas. Tadi Masku yang gendong Mbah ke puskesmas.
" Aira, tolong kabari selanjutnya. Aku akan segera berangkat ke sana."
"Baik, Mas."
Erlangga segera turun dan pergi ke kamar orang tuanya. Winda membuka pintu kamarnya. Ia melihat mata Erlangga sudah berkaca-kaca. Anak itu sangat sensitif sejak kecil. Apa lagi setelah dirinya mengalami trauma dulu.
"Ada apa, Bang?"
Tanpa berkata, Erlangga memeluk sang Bunda.
Winda yang sudah memahami putranya pun mengusap punggungnya.
"Hei, ada apa?"
"Bunda, nenek digigit ular, saat ini sedang di UGD. "
"Innalillah.... siapa yang kasih kabar, Bang?"
"Aira yang telpon pakai handphone Nenek. Bunda, Er mau ke sana. Tolong bilang Papa Er nggak bisa ke kantor. "
"Iya, Papamu lagi mandi. Nanti Bunda bilang. Kamu jangan terlalu panik ya. Kamu harus berpikir jernih. InsyaAllah Nenek baik-baik saja."
"Iya, Bun."
Erlangga kembali ke kamarnya. Ia segera mandi dan bersiap-siap untuk berangkat. Dengan tergesa-gesa, ia pamit kepada orang rumah.
"Hati-hati, Er."
"Iya, Oma."
"Bang, nanti kabari kami ya."
"Iya, Bun."
Erlangga tancap gas. Ia melewati jalan tol agar lebih cepat sampai di Kediri. Selama perjalanan, Erlangga terus menghubungi nomor Neneknya menanyakan perkembangannya. Ternyata Bu Fatimah sudah sadar. Racunnya sudah bisa dinetralisir. Namun Bu Fatimah harus tetap dirawat inap di puskesmas untuk memulihkan tubuhnya. Karena racunnya sudah sedikit menyebar sehingga membuat tenaganya terkuras dan ia tidak dapat menggerakkan tangannya.
Erlangga menaikkan kecepatan mobil. Ia sangat mengkhawatirkan Neneknya. Setelah 3 jam perjalanan, akhirnya ia sampai di kampung. Erlangga meminta Aira untuk mengirim lokasi puskesmas. Karena Erlangga tidak tahu letak puskesmas. Ia lansung menuju ke sana.
"Aira, aku sudah di depan puskesmas."
"Nenek ada di kamar apa?"
"Kamar Dahlia 1, Mas."
"Baiklah, aku ke sana. Terima kasih."
Sebelum Aira menjawabnya, Erlangga sudah menutup telponnya. Ia segera masuk dan mencari kamar tersebut. Karena puskesmas tidak terlalu luas dan hanya satu lantai, mudah bagi Erlangga menemukan kamar Neneknya.Aira sedang berdiri di pintu kamar. Di dalam sudah ada Bu Endang.
"Mas... "
"Aira, mana Nenek?"
"Di dalam Mas, mari masuk."
Bu Fatimah berbaring tak berdaya di atas brangkar.
"Nenek... "
"Er... Er.... "
"Maafkan Er baru sempat mengunjungi Nenek."
"Nenek tahu, Er sibuk."
Erlangga mengusap tangan Neneknya. Ia menahan air matanya. Bu Fatimah mengusap pipi Erlangga.
"Nenek sudah makan?"
Bu Fatimah mengangguk.
"Sudah kok, Nak Er. Tadi Aira yang suapin." Sahut Bu Endang."
"Aira, Mbah Endang. Terima kasih sudah menjaga Nenekku."
"Sama-sama, leh."
"Mbah Endang sama Aira pulang saja dulu. Mungkin kalian mau istirahat. Biar Er yang jaga Nenek."
"Nak Er, ndak capek? "
"Tidak, Mbah."
"Ya sudah, kalau begitu Mbah pulang dulu. Nanti sore kita ke sini lagi. Oh iya Nak Er, administrasinya masih kurang tadi."
"Iya, Mbah nanti buat Er yang urus."
Erlangga belum makan. Tadi saat berangkat ia tidak sempat makan. Di pertengahan jalan ia sempat berhenti sebentar di rest area untuk membeli roti di minimarket. Baru sekarang ia sempat memakan rotinya.
Bu Endang dan Aira pulang dengan menggunakan sepeda ontel. Jarak antara rumah mereka dan puskesmas sekitar 500 meter.
"Nduk, Erlangga tambah ganteng yo?"
"Iya, Mbah." Jawab Aira, seraya tersenyum.
"Ganteng banget, bukan hanya ganteng. Dia penyayang dan sangat baik. Aku hanya bisa berandai menjadi pasangannya." Batin Aira.
"Aduh aduh.. nduk, pelan."
"Maaf mbah, Aira ndak lihat ada batu. "
"Makanya yang fokus, nduk. Jangan keinget si toleh."
"Mbah, apaan sih."
"Hehe... mbah bercanda."
Aira mengatuh sepedanya dengan penuh semangat. Entah mengapa hatinya saat ini sedang berbunga-bunga.
Bersambung...
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!