Ini bukan novel poligami yg lumrah pada umumnya. Novel ini akan membuatmu tertawa melihat kekompakan Istri pertama dan istri ke dua yang bersekongkol merenggut kesucian suaminya, sedangkan suaminya yang teraniaya.
“Ciyee yang bentar lagi mau nikah.”
“Mau ke mana nih, anak ibu udah ganteng aja?”
“Mendekati hari H jangan keseringan keluar, Kelana. Pamali buat calon pengantin.”
Semua ucapan itu terlontar dari bibir Agustina -- ibu kandung Kelana. Seorang ibu yang sudah berjasa membesarkan ke dua anaknya hingga menjadi orang berpendidikan.
“Jaman sekarang nggak ada pamali-pamali, Bu. Itu mitos. Nikah ya nikah, keluar ya keluar, aku nggak percaya hal begituan,” sahut Kelana.
Kelana Alsaki Bragha, dia bukan CEO, bukan Direktur, dan bukan sultan. Kelana hanya seorang pria biasa yang bekerja sebagai Manager keuangan di pabrik beha. Ia merupakan tulang punggung keluarga yang harus menghidupi ibunya di rumah yang sudah ia bangun dengan keringatnya.
“Yang namanya pamali tetap pamali, Kelana. Mendingan diem aja di rumah. Biasanya banyak calon pengantin yang celaka kalau keluar di hari min pernikahan. Ada yang hamil lah, ada yang kecelakaan lah, ada yang meninggal lah, calon pengantin itu sasaran empuk buat kesialan,” sahut Agustina, yang sedang mengupas bawang di meja makan.
3 hari lagi, Kelana akan menikahi gadis yang sudah ia pacari selama 1 tahun lamanya. Pria itu tampak senang karena akan melepas masa lajang, di tengah progres persiapan yang sudah 94% selesai.
Pria mana yang tak senang bila akan melangsungkan pernikahan. Apalagi Kelana merupakan perjaka ting - ting, yang belum pernah makan permen Ting - Ting.
“Ucapan itu sugesti, Bu. Mendingan bilang yang baik-baik aja biar nggak ada apa-apa. Lagian aku cuma mau ke rumah Dara. Mau antar ini –“ Kelana mengangkat bag berisi gaun pengantin untuk calon istrinya. “Sebentar aja, nggak lama.”
“Ya udah, tapi hati-hati ya, Kelana. Di luar mulai gerimis, kayaknya mau hujan besar. Titip salam buat Pak Rusli dan Tante Dewi, ya.”
“Siap, Bu. Nanti aku sampaikan salam ibu ke calon besan.”
Kelana mengambil kunci mobil dari hasil jerih payahnya, untuk pergi ke rumah Kadara Maheswara – calon istrinya.
**
**
**
Suasana langit di sore itu semakin mendung, namun belum turun hujan. Tak henti-hentinya Kelana bersenandung karena sangat senang akan berjumpa dengan calon istrinya setelah 2 hari tak bertemu.
Kadara merupakan cinta pertama Kelana. Pria itu tak pernah berpacaran dengan siapa pun kecuali dengan Kadara, karena masa mudanya sudah habis digunakan untuk kuliah sambil bekerja, hingga bisa memiliki harta yang sudah lumayan banyak ia kumpulkan.
Proses pertemuan Kelana dan Kadara pun cuma karena tak sengaja, berawal dari Agustina yang merupakan sahabat baik ibunya Kadara. Dan lewat ibunya itu lah Kelana bisa mengenal gadis itu, sampai merasa jatuh cinta secara ugal-ugalan.
“Sayang, kamu di rumah, kan?” Kelana menelepon Kadara di tengah rintik gerimis yang semakin rapat.
[Iya, aku di rumah, Mas. Kenapa?] tanya Kadara.
“Aku otw ke rumah kamu. Aku udah beli gaun pengantin yang paling bagus buat kamu.”
[Sama berliannya?] tanya Kadara.
“Iya, aku udah beliin cincin berlian yang kamu minta. Kamu jangan ngambek lagi, ya? Janji?”
[Janji, Mas. Makasih ya kamu selalu turutin semua keinginan aku. Aku beruntung punya calon suami kayak kamu.] Suara Kadara terdengar bersemangat.
“Sama-sama, sayang. Udah dulu, bentar lagi aku sampai.” Kelana menutup telepon itu.
"Akhirnya sebentar lagi Dara akan sah jadi istriku. Gimana ya rasanya malam pertama? Kata orang, malam pertama harus hati-hati biar istrinya nggak sakit?" gumamnya, sambil senyum-senyum sendiri.
Pikiran random Kelana mulai ke mana-mana. Ia benar-benar tak sabar ingin lepas perjaka hingga 3 hari itu terasa sangat lama.
Sesampainya di depan rumah Kadara yang sangat sederhana, Kelana langsung disambut calon istrinya yang selalu menggunakan pakaian sexy. Sebenarnya Kadara bukan anak orang kaya, namun penampilannya itu selalu hedon dan terbuka, yang semuanya dimodali oleh Kelana.
“Mas, aku kangen.” Kadara memeluk Kelana, namun langsung didorong pelan oleh calon suaminya itu.
“Kita belum sah jadi suami istri, sayang. Tunggu 3 hari lagi baru boleh peluk-peluk. Lagian aku nggak enak kalau sampe ketauan ibu bapak kamu,” tolak Kelana sangat halus.
Benar, Kelana juga merupakan pria yang masih suci dari sentuhan wanita. Bahkan ia tak pernah berani menyentuh-nyentuh Kadara meskipun pacarnya itu sering memancingnya. Ia hanya menghargai seorang wanita, apalagi ia juga punya seorang kakak wanita dan ibu singgel parents yang sangat ia hormati. Ia sangat menjaga Kadara seperti menjaga permata indah yang tak boleh disentuh siapa pun.
Sebenarnya Kelana sudah sering menasehati Kadara untuk memakai pakaian yang lebih tertutup. Namun semua perintahnya itu tak diindahkan, karena Kadara sudah terbiasa memakai pakaian terbuka ke mana-mana.
“Kebiasaan deh, kamu itu selalu sok alim, Mas. Padahal gaya pacaran orang sekarang itu banyak yang udah kayak suami istri,” ujar Kadara, yang sedikit kesal karena tak pernah berhasil memancing kekasihnya.
"Kita kan sebentar lagi akan jadi suami istri, sayang. Sabar sebentar lagi."
"Tapi aku ingin kayak orang-orang, Mas." Kadara menumbangkan kepalanya di bahu Kelana.
“Itu orang lain, sayang. Kita pacarannya biasa-biasa aja, ya. Biar setelah menikah lebih spesial.”
“Nggak mau, aku itu gemes banget pingin peluk kamu.” Kadara memeluk Kelana lagi.
“Dara sayang.” Kelana mendorong pelan tubuh pacarnya hingga pelukan itu terlepas. “Kalau ibu bapak kamu liat, gimana?”
“Ibu sama Bapak aku lagi gak di rumah, Mas. Mereka lagi ke Cianjur buat sebarin undangan pernikahan kita ke keluargaku di sana. Ibu dan bapak juga mau nginep di rumah Abah sama Umi.”
“Oh, ya udah kalau gitu. Ini gaun kamu, cincinnya juga ada di dalam. “ Kelana menyerahkan barang bawaannya. “Kalau gitu aku pulang dulu, ya. Bentar lagi ujan, aku nggak enak kalo main ke rumah kamu tapi nggak ada siapa-siapa.”
“Ih, kenapa buru-buru sih, mas? Aku kan masih kangen sama kamu. Pokoknya kamu harus temenin aku. Aku takut sendirian di rumah, Mas.” Kadara ingin memeluknya lagi, tapi sadar, pasti akan didorong lagi.
“Tapi –“
“Masuk dulu, Mas.” Kadara menarik tangan Kelana hingga berhasil membuat pacarnya masuk ke dalam rumah yang tak ada siapa-siapa.
Hujan di luar pun tiba-tiba turun sangat deras, seolah pertanda Kelana harus melipir dulu. Namun pria itu agak terkejut saat melihat Kadara mengunci pintu.
“Dara, kenapa kamu kunci pintunya? Buka aja, nggak enak sama tetangga,” titah Kelana yang mulai panas dingin saat melihat pakaian sexy pacarnya. Ia tak biasa berduaan bersama wanita di ruang tertutup karena tak pernah melakukannya.
“Hujan gini semua tetangga nggak ada yang keluar, Mas. Mereka lagi tiduran sambil selimutan.” Kadara mendekati Kelana dengan mimik nakalnya.
“Ya udah, kalau gitu aku pulang aja. Lama-lama di sini gerah.” Kelana bukan merasa gerah pada suhu ruangan, melainkan gerah melihat dada Kadara yang menjulang dan terpampang.
“Kenapa sih, kamu nggak pernah mau berduaan sama aku, Mas?”
"Daraaa ...."
"Sebagai calon istri kamu, aku juga ingin berduaan sama kamu, Mas."
"Tapi kita belum halal, sayang."
"Tapi sebelum lagi kita halal." Kadara menekan ke dua pundak Kelana hingga duduk di atas sofa. “Apa aku nggak cantik di mata kamu?”
“Cantik, sayang.”
“Atau nggak menarik?” Kadara membusungkan dadanya di hadapan wajah Kelana.
“Kamu menarik, sayang. Sangat menarik. Tapi aku nggak mau ngerusak kamu. Aku ingin jadi pria yang bisa jaga kamu. Tunggu kita halal sebentar lagi, ya?”
"3 hari itu lama, Mas. Lagian kita akan sah jadi suami istri. Nggak papa kali kalau kita ciuman? Atau kalau kamu mau yang lebih juga boleh.”
Kadara memancing dengan membelai pipi Kelana. Wanita itu sudah sangat gemas tingkat republik cina, karena ingin membuat pria yang dicintainya itu mau menyentuhnya.
“Kadara –“ Suara Kelana tak tuntas karena bibirnya disentuh jari telunjuk.
“Aku lagi pingin, Mas. Barusan aku habis nonton vidio dewasa. Hujan-hujan begini kayaknya enak kalau praktek itu sama kamu.” Bisikan Kadara di telinga Kelana membuat pria itu meremang.
“Istighfar, Kadara, istighfar!” Kelana berusaha mengendalikan dirinya agar tak khilaf.
“Mas.” Kadara memeluk Kelana dengan mata yang sudah sayu. “Aku beneran udah cenut-cenut tiap sama kamu, Mas. Aku udah nggak tahan pingin disentuh sama kamu.”
“Kalau kamu hamil?”
“Ya nggak papa, Mas. Lagian kita bakal menikah, kan? Dosa dikit nggak papa.” Napas Kadara sudah memburu saat menatap kekasihnya itu. “Ya?” Jari jemari Kadara mulai membuka kancing kemeja Kelana satu persatu.
Namun kali ini Kelana tak menepis tangan kekasihnya itu. Ia seperti terhipnotis tatapan Kadara yang hasratnya sudah diujung tanduk.
“Kamu boleh ciumi aku, Mas. Bahkan kalau mau minta jatah di muka juga nggak papa. Aku bantu buka, ya?” Kadara mengibaskan rambut panjangnya ke belakang, hingga tampak lah leher putih mulus yang jenjang.
“Dara, kamu serius ingin kasih itu?” tanya Kelana, yang sudah dibisiki setan.
“Tentu serius, Mas. Kamu selalu memberikan apa pun untuk aku. Kamu pun boleh meminta apa pun sama aku.”
‘Pamali, Kelana, Pamali.’
'PAMALI.'
'PAMALI!'
Suara sang ibu seolah terngiang-ngiang di isi ke kepala Kelana. Namun ia menepis pikiran itu saat melihat Kadara yang mulai membuka dresnya.
"Dara --"
"Apa kamu suka, Mas?"
Jiwa lelaki Kelana akhirnya merasa tertantang setelah berhasil melihat tubuh pacarnya untuk kali pertama.
“Mas, aku cantik, kan?” Kadara memutar-mutar tubuhnya di depan mata Kelana, hingga membuat jiwa lelakinya semakin menggelora.
“Kamu sangat cantik, sayang,” puji Kelana tanpa berkedip, dan itu momen kali pertamanya ia melihat pemandangan surga di bumi.
“Aku mau kamu melakukan ini, Mas.” Kadara menunjukkan vidio dewasa di ponselnya, hingga aliran darah Kelana semakin menegang seperti kekuatan listrik bertegangan tinggi.
“Oke.”
Tanpa penolakan apa pun lagi, akhirnya Kelana menyetujuinya. Ia menarik lengan Kadara untuk duduk di atas sofa, hingga memegang ke dua pijakan Kadara dengan pose yang sama seperti di vidio yang ia lihat.
“Makasih kamu mau nurutin kemauanku, Mas,” lirih Kadara saat menumbangkan kepalanya pada punggung sofa, seolah sudah pasrah akan memberikan apa pun untuk calon suaminya.
Hening.
Tak ada suara pun selain suara hujan yang semakin deras. Namun alis Kadara mengernyit di tengah mata yang terpejam, karena ia tak merasakan apa pun.
“Mas?” panggil Kadara, lantas membuka matanya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat aktivitas yang sedang terjadi di bawah sana.
“Mas?” panggil Kadara lagi, ia melihat Kelana yang hanya mematung sambil memperhatikan miliknya.
“Kamu kenapa, Mas? Kok diem aja?” Kadara menarik kepala Kelana, namun calon suaminya itu tetap diam saja.
“Mas Kelana, kamu kenapa sih? Ayo cepetan, aku udah nggak tahan,” lirih Kadara.
“Ini apa, Kadara?” Kelana menunjuk milik kekasihnya.
“Apa sih, Mas?” Kadara mengangkat punggungnya untuk bangkit.
“Kamu punya penyakit kelamin?” Kelana menyorot wajah Kadara dengan tatapan tajam.
“Mas –“
Kadara terkejut melihat tatapan Kelana yang berubah. Hasrat yang semula memuncak itu pun mendadak turun drastis.
“INI APA!” teriak Kelana.
Bak ada benda tajam yang menghunus dadanya. Ia tak ingin percaya pada yang dilihatnya, namun ia sangat yakin Kadara memiliki penyakit menular seksual.
“Mas, maksud kamu apa. Kamu –“
Kadara tak bisa menuntaskan kata karena baru pertama kali melihat kekasihnya marah. Seorang Kelana yang selalu lemah lembut padanya, ternyata bisa berubah saat sedang marah.
“Sekarang kamu jelasin, ini apa, Kadara?” Kelana menunjuk milik Kadara yang langsung ditutup.
“INI APA! BUKA!” Kelana menarik paksa kaki Kadara agar bisa kembali melihatnya.
“Ini –“ Kelana menunjuk benjolan aneh mirip jengger ayam yang tumbuh di milik Kadara. “Ini kutil kelamin, kan? Ini penyakit menular seksual, DARI MANA KAMU DAPAT PENYAKIT INI!” teriak Kelana.
Kadara ketakutan melihat kemarahan Kelana, tergesa-gesa ia pun bangkit untuk mengambil pakaiannya di lantai.
“Jawab pertanyaanku.” Kelana mencekal lengan Kadara. “Tolong jujur, apa kamu selingkuh? Sama siapa?”
“Lepas, Mas. Aku nggak selingkuh!” Kadara menepis tangan Kelana, lantas mengambil dressnya.
“Nggak usah bohong! Aku benci kebohongan! Apa arti 1 tahun kita pacaran kalau kamu udah dibobol orang?"
"Mas aku nggak selingkuh. Ini bukan penyakit, mas. Kamu harus percaya sama aku. Aku --"
"Jadi effortku yang ingin melindungi kamu itu sia-sia? Ternyata aku cuma disuruh jagain toko emas yang isinya dirampok maling?” Kelana seolah tak membiarkan Kadara menuntaskan kata, karena kepercayaan itu hampir sirna.
“Mas, dengerin dulu penjelasan aku –“
“Berapa kali kamu melakukan itu? BERAPA KALI! Sama siapa? SAMA SIAPA!” Kelana sudah tak bisa mengendalikan amarahnya. "Pasti sama laki-laki berpengalaman? Kamu dapat penyakit itu dari siapa, KADARA!"
“Mas, aku nggak kayak gitu. Tolong percaya aku.”
“CUKUP! Lebih baik pernikahan kita batal. Aku nggak mau kena penyakit menular!”
**
**
**
PRANG!
Kelana melempar kunci mobil saat sampai di rumahnya. Pria itu sangat amat kecewa pada calon istri yang sudah ia jaga sedemikian rupa. Rasa menyesal dan gagal pun semakin berbisik untuk membuatnya emosi, namun semuanya urung saat melihat ibunya menghampiri.
“Kelana? Anak ibu kenapa?” Agustina terkejut saat melihat kaca lemari hias yang pecah. Ibu beranak dua itu pun berdebar karena tak pernah melihat putranya tantrum.
“Kamu nggak papa kan, Nak?” Agustina mengecek tubuh Kelana yang tak ada luka apa-apa.
Kelana menarik tangan ibunya untuk duduk di sofa. Wajahnya sangat serius ingin membicarakan kelanjutan pernikahannya dengan calon istrinya.
“Bu, kalau misalnya pernikahanku dan Dara dibatalkan, apa ibu setuju?” tanyanya pelan-pelan.
“Ya Allah.” Agustina memegang dadanya yang sakit, sedangkan ia sudah sangat klop dengan Kadara.
"Gimana pendapat ibu?"
“Dibatalkan kenapa, Kelana? Persiapan pernikahan kamu itu udah 100% hampir selesai. Kalian tinggal ijab qobul. Kenapa tiba-tiba kamu bilang batal?” tanya Agustina.
“Aku berubah pikiran, Bu. Aku merasa nggak cocok lagi sama Dara.”
“Tuh kan, ibu bilang juga apa. Kalau mau menikah itu jangan banyak keluar rumah, jangan banyak ketemu calon, semua itu pamali, Kelana, PAMALI.”
“Bu, tolong stop bicara pamali. Ini nggak ada hubungannya sama pamali-pamali. Aku udah mantap ingin membatalkan pernikahan ini.”
“Ya tapi kenapa?”
Pertanyaan Agustina membuat Kelana bungkam. Ia bukan typical pria yang tega membuka aib orang.
“Kenapa harus batal, Kelana? Jawab ibu. Pernikahan kamu itu udah dipersiapkan secara matang. Kita udah keluar banyak uang tabungan. Ditambah lagi akan banyak tamu ibu dan tamu orang tua Kadara yang akan datang. Mau taruh di mana wajah ibu kalau semuanya batal?”
“Bu –“
“Satu lagi, ibu itu udah srek mau punya calon mantu kayak Kadara. Calon istrimu itu anak dari sahabat ibu. Bu Dewi itu teman ibu dari SMA, Pak Rusli juga teman Almarhum ayahmu dari kecil. Kami sudah saling cocok untuk jadi besan, Kelana.”
“Enggak, Bu. Pokoknya aku nggak bisa nikahi Dara. Aku punya alasan yang nggak bisa kujelaskan.”
“Nggak! Pokoknya ibu nggak setuju! Kamu harus menikahi Dara apa pun yang terjadi. Kalau enggak, lebih baik ibu mati.”
**
**
**
Di dalam kamar, Kelana sedang bingung ugal-ugalan. Ia tak bisa memberitahukan hal yang sebenarnya pada ibunya, namun tak bisa juga menolak ibunya yang sudah memaksa. Tapi jika mengingat penyakit yang menempel pada bagian tubuh Kadara, Kelana semakin kecewa hingga runtuh lah rasa cintanya.
“Nggak nyangka, perempuan yang udah kujaga baik-baik taunya bukan perempuan baik-baik. Ternyata istilah jangan pandang buku dari cover itu nggak sepenuhnya benar, sampulnya Dara memang sama dengan isinya. Busuk! Perempuan murahan!” umpatnya sangat kecewa.
“Dengan siapa kamu selingkuh, Dara? DENGAN SIAPA! 1 tahun kita bersama, apa pun selalu kuberikan, tapi ini balasannya?” Kelana berbicara pada foto Kadara yang menempel di dinding kamarnya.
Rasa kecewa itu semakin menjalar saat mengingat kebahagiaannya yang ingin lepas perjaka dengan wanita perawan, namun semuanya hancur karena jengger ayam.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan pintu itu membuat Kelana menoleh, ia pun langsung melihat Harum – Kakak kandung Kelana, yang sudah berhasil menjadi seorang bidan di kota itu.
“Mbak? Ngapain ke sini?” tanya Kelana.
“Mbak disuruh ibu ke sini, padahal di klinik masih banyak pasien kontrol ibu hamil. Tapi untungnya ada asisten Mbak yang tanganin mereka,” sahut Harum, lantas duduk di hadapan Kelana.
“Oh, terus ibu lagi ngapain di bawah?” sahut Kelana.
“Ibu lagi masak, Bu Ajeng kan masih pulang kampung. Jadi nggak ada yang bisa bantu-bantu kerjaan ibu.”
“Loh, jadi Bu Ajeng belum pulang? Kasian dong ibu ngerjain kerjaan rumah sendirian?” Kelana jadi mengkhawatirkan ibunya.
“Suami Bu Ajeng meninggal, masa iya dia nggak boleh pulang kampung? Jangan jadi majikan yang kejam. Nanti juga Bu Ajeng balik lagi.” Harum mencubit lengan adiknya.
“Oh,” sahutnya datar.
“Adik Mbak yang paling ganteng ini kenapa? Ada masalah apa? Kata ibu, kamu mau batalkan pernikahan kamu sama Dara? Kenapa, Kelana? Apa kamu dan Dara bertengkar?”
Harum sudah mendengar semuanya dari ibunya, karena hanya anak-anaknya lah tempat Agustina mencurahkan isi hatinya.
Kelana memicing. “Jadi ibu udah ngadu sama Mbak?”
“Ya kalau bukan sama Mbak, sama siapa lagi? Cuma kita harta yang ibu miliki. Ibu udah nggak punya siapa-siapa lagi selain kita. Jadi Mbak harap kamu nggak kecewain ibu. Ibu juga yang udah berjuang sampai kita sesukses ini, kan?”
“Tapi aku beneran nggak bisa turutin kemauan ibu kali ini, Mbak. Aku tetap nggak mau ngelanjutin pernikahanku sama Dara.”
“Ya kenapa? Apa sebabnya?” Cara bicara Harum sangat lembut seperti wajahnya yang tenang.
Kelana membuka ponsel, lantas mensearching gambar yang sama dengan benda yang ia lihat pada anggota tubuh Kadara, dan ketemu.
“Ini namanya penyakit apa, Mbak?” Kelana memperlihatkan foto benda yang sangat mirip dengan milik Kadara.
“Ini –“ Harum menilik jelas sampai merebut ponsel Kelana. “Ini penyakit kelamin, Kelana. Sering disebut jengger ayam atau kutil kelamin.”
“Benar dugaanku,” gumam Kelana sangat pelan.
“Apa?” Harum tak mendengarnya.
“Nggak papa, Mbak. Aku cuma mau tanya, penyakit ini bisa menular lewat apa aja? Apa lewat hubungan seksual?”
“Tentu, orang yang sering melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki penyakit yang sama pasti akan tertular penyakit ini.”
Kelana mengepalkan tangan karena semakin kecewa pada Kadara.
“Kamu kenapa tanya soal ini, Kelana? Kamu punya penyakit ini?” Harum menyelidik.
“Bukan aku, Mbak. Tapi Dara.”
Harum terkejut saat mendengar penuturan adiknya. “Dara? Calon istri kamu punya jengger ayam?”
“Ya, tapi tolong jangan kasih tau ibu ya, Mbak. Mbak tau sendiri kan kondisi ibu?”
“Apa itu artinya kamu udah ngeliat organ kewanitaannya Dara? Kamu dan Dara udah melakukan hubungan suami ist ---“
Kelana memotong ucapan kakaknya dengan mengangkat tangan ke udara. “Ini juga yang aku takutkan, Mbak. Ibu juga pasti bakal kaget dan nuduh yang enggak-enggak kayak Mbak. Tapi aku berani sumpah, aku belum apa-apain Dara, aku masih perjaka, dan aku cuma liat aja.”
“Ya udah, tolong kamu bawa Dara ke klinik Mbak. Mbak ingin lihat sendiri ukuran dan bentuknya. Semoga aja itu bukan jengger ayam.”
**
**
**
Makan malam itu terasa sunyi karena hanya dihadiri Kelana dan ibunya saja. Tak ada suara apa pun yang keluar dari mulut mereka, selain suara sendok dan piring yang sedang beradu.
Ibu dan anak itu saling mencintai dan mengasihi karena sudah tak ada saudara satu pun yang mereka miliki. Namun jika sedang marahan seperti itu, Kelana jadi merasa bersalah pada ibunya.
“Mbak Harum mana, Bu?” tanya Kelana.
Pria itu memecah keheningan, berharap ibunya sudah melupakan permasalahan. Namun mimik Agustina yang tetap cemberut itu telah memberikan jawaban.
"Bu, Mbak Harum mana? Apa di kamar? Aku panggilkan, ya?"
“Udah pulang,” jawab Agustina ketus, sebelum Kelana meninggalkan tempat duduk.
“Kenapa nggak suruh makan dulu, Bu?”
“Mbakmu punya pasien melahirkan.”
“Oh.”
Kelana sangat canggung berbicara pada ibunya. Padahal selama ini mereka selalu cerewet dan membahas apa pun saat sedang bersama. Tapi semuanya mendadak berubah karena Agustina kecewa pada putranya yang ingin membatalkan pernikahan, padahal sudah habis puluhan juta.
Kelana menusuk-nusuk makanan karena jadi tak napsu makan. “Ibu marah?”
“Ya jelas marah. Muka ibu mau taruh di mana kalau kamu batalkan pernikahan ini? Ibu bisa malu pada Bu Dewi dan Pak Rusli. Lagian kenapa sih kamu tiba-tiba jadi gini? Bukannya kamu cinta sama Dara? Kamu nggak sabar mau menikahinya, kan? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa kalian bertengkar? Pertengkaran apa sih yang nggak bisa diselesaikan?” nyerocos Agustina panjang lebar.
“Bu –“
“Assalamualaikum ....” Suara salam seseorang menengahi pembicaraan ibu dan anak itu.
“Wa’alaikum salam, Bu Ajeng?” Agustina berbinar saat melihat asisten rumah tangganya datang.
“Maaf saya baru balik, Bu. Saya harus selesaikan 7 hari tahlilan almarhum suami saya dulu,” sahut Ajeng – Asisten rumah tangga yang sudah bekerja hampir 6 tahun.
“Nggak papa, Bu Ajeng. Sini duduk dulu, Bu Ajeng pasti belum makan, kan?” ajak Agustina.
“Terima kasih, Bu. Saya memang belum makan, tapi apa saya boleh meminta tolong sama ibu?” tanya wanita berhijab itu.
“Minta tolong apa, Bu? Tinggal bilang,” sahut Kelana yang lanjut makan.
“Di luar, saya bawa anak saya, Mas, Bu. Saya belum bisa menyuruhnya masuk sebelum mendapat izin dari ibu dan Mas Kelana."
"Oh, ya udah suruh masuk aja, Bu," sahut Agustina.
"Tapi apa boleh anak saya tinggal di sini, Bu, Mas? Anak saya udah nggak punya siapa-siapa lagi di kampung. Rencananya saya juga ingin menyekolahkan dia di sini. Anak saya bisa disuruh apa aja dengan bayaran tinggal di sini kok, Bu, Mas,” jelas Ajeng.
“Nggak papa, Bu. Nggak perlu izin,” jawab Kelana yang mulai bisa menikmati makannya.
“Iya, Bu. Nggak papa kalau anak ibu mau tinggal di sini. Saya nggak keberatan, lagian saya juga udah menganggap ibu seperti keluarga di sini,” sambung Agustina.
“Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih banyak, Bu, Mas. Saya panggil anak saya dulu.” Ajeng pun berlari meninggalkan Kelana dan Agustina.
Hening.
Hening.
Hening.
Suasana kembali tegang saat sudah tak ada siapa-siapa. Agustina pun kembali menyorot tajam wajah putranya.
“Makan yang banyak, Kelana. Kamu harus kuat ngeliat ibu mati kalau kamu nggak jadi nikah,” ujar Agustina kembali ketus.
“Bu –“
“Assalamualaikum,” Suara seseorang kembali memotong ucapan Kelana.
“Ck, waalaikum sa –“ Salam Kelana tak tuntas saat melihat si pengucap salam.
Kelana melihat seorang gadis yang sangat cantik natural. Tubuh gadis itu tinggi proporsional seperti seorang model, berkulit putih, hidungnya mancung, alisnya sangat tebal berbulu, rambutnya hitam pekat dan panjang terurai. Namun penampilan dan pakaiannya sangat kuno seperti orang yang datang dari desa. Bahkan gadis itu memakai sendal jepit swalow dengan keranjang ayam di tangannya. Keranjang itu pun tidak kosong, melainkan berisi ayam jago berjenis ayam pelung.
“Ini siapa, Bu Ajeng? Putri ibu?” tanya Agustina.
“Benar, Bu. Ini putri saya. Sekali lagi tolong izinkan anak saya tinggal di sini dan sekolah di sini ya, Bu,” pinta Ajeng.
“Iya, Bu. Nggak papa jangan sungkan,” jawab Agustina. “Nama kamu siapa?” tanyanya pada putri Ajeng.
“Nama saya Bening, Bu,” sahut gadis yang suaranya terdengar belia.
“Bening? Bagus banget namanya sebening orang,” ujar Kelana.
Agustina sontak memicing pada putranya. “Kamu akan menikah dengan Dara, Kelana. Tolong jaga hati dan mata,” omelnya.
“Oke, kamu kuliah semester berapa, Mbak? Perlu saya carikan kampus yang cocok?” tanya Kelana, ingin membantu.
“Saya belum kuliah, om. Saya masih S M P.” Jawaban bening membuat Kelana menganga.
‘Masih S M P udah subur kayak gini?’ batin Kelana.
“Ayo duduk dulu – duduk dulu. Kalian pasti lapar, kan? Kita makan sama-sama ya, jangan sungkan,” ucap Agustina yang sudah sangat dekat dengan asisten rumah tangganya.
Majikan dan asisten rumah tangga itu tampak tak ada kesenjangan. Mereka sama-sama wellcome, bahkan sering curhat dan ngobrol setiap hari.
“Terima kasih, Bu.” Ajeng memang sedang lapar setelah menempuh perjalanan jauh. “Bening, taruh dulu ayamnya. Kita makan sama-sama,” ucapnya pada putrinya.
“Iya, Bu.” Bening meletakan keranjang ayam jagonya di lantai, lantas menghampiri meja makan itu.
“Jadi Bening masih S M P? Kelas berapa?” tanya Agustina yang membiarkan meja makannya dikuasai siapa pun.
“Kelas 9, Bu,” jawab Bening.
“Saya kira udah kuliah semester 3,” sahut Kelana.
“Iya, ibu juga ngiranya gitu. Soalnya Bening punya badan yang bagus,” sahut Agustina.
“Badan Bening nurun dari Almarhum bapaknya, Bu. Bapaknya juga tinggi, 2 meter tingginya,” sahut Ajeng.
“Ukhuk! Ukhuk!” Kelana yang sedang minum lantas tersedak. “200 sentimeter?”
“221 sentimeter, Mas. Suami saya memang beda dari orang kebanyakan. Bahkan jadi orang yang paling aneh di kampung. Suami saya juga pernah dapat penghargaan orang tertinggi di kampung, Mas,” sahut Ajeng.
'221 senti meter?' batin Kelana.
Pria itu memandang pintu rumahnya untuk menggambarkan tinggi Ayahnya Bening. Pintu rumah Kelana pun tingginya ada di kisaran 200 Senti meter. Kelana pun akhirnya bisa membayangkan visual ayah Bening yang tingginya melebihi pintu rumah.
“Oh, pantas Bening tinggi. Ibu akui kamu cantik, Bening. Pantas jadi model,” ujar Agustina.
“Makasih, Bu,” sahut Bening yang sudah mengambil nasi satu piring penuh.
“Kamu makan sebanyak itu?” Kelana melongo melihat porsi makan bening yang jumbo.
“Iya, om. Soalnya badan saya tinggi. Jadi usus saja juga panjang.”
“UKHUK! UKHUK!”
**
**
**
[Mas.]
[Mas Kelana?]
[Sayang?]
[Kenapa chat aku nggak di bales, Mas?]
[Tolong balas, Mas.]
[Kamu salah paham.]
[Itu bukan penyakit menular seksual.]
[Aku nggak pernah selingkuh, Mas. Tolong percaya aku.]
Rentetan pesan chat dari Kadara itu telah Kelana baca, namun Kelana sangat tak ingin membalasnya. Bahkan saat pacarnya itu menelepon, Kelana sudah malas mengangkatnya.
Padahal dulu, hanya chat dan telepon dari Kadara lah yang menjadi penyemangat hidupnya saat lelah bekerja. Namun kini, rasa cinta yang dulu banyak itu seolah habis terkikis rasa kepercayaan yang menipis.
Pria yang memiliki perpaduan wajah manis dan tampan itu melemparkan ponselnya ke atas ranjang di saat Kadara menelepon ulang. Ia pun keluar kamar karena sedang haus malam.
Sesampainya di dapur, pintu kulkas lah yang ia hampiri. Kelana meneguk air dalam botol sampai dahaganya hilang sempurna.
“Hi hi hi.”
Suara tawa wanita membuat Kelana celingak-celinguk. Tak ada siapa pun di dapur itu, jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 malam.
POK! POK! POK!
TOK! TOK! TOK!
Suara aneh itu berasal dari kamar mandi. Kelana menghampiri suara itu meskipun agak merinding.
“Siapa? Ada orang?” tanya Kelana sambil mendekat.
Namun saat melihat isi kamar mandi, jantungnya berdebar cepat saat melihat wanita berambut sepantat sedang berjongkok sambil tersenyum menampakkan gigi rapat.
“Astaga, Bening!” pekik Kelana. Ia sangat terkejut karena mengira Bening kuntilanak.
“Ada apa, om? Om mau pipis?” tanya Bening.
“Nggak, saya cuma penasaran dengar suara kamu. Ngapain malam-malam gini kamu di kamar mandi?” Namun saat Kelana perhatikan lebih jeli, ternyata Bening sedang memberi makan ayam jagonya.
“Saya nganter Dudung berak, om. Sekalian kasih makan. Tadi saya ambil beras di tempat beras om. Saya minta segini nggak papa kan, om?” Bening memperlihatkan mangkuk kecil berisi beras.
POK! POK! POK (Suara ayam)
TOK! TOK! TOK! (Suara ayam mematuki beras)
“Dudung?” Alis tebal Kelana menaut.
“Ini Dudung, Om.” Bening mengelus ayam jago besar berwarna orange itu.
“Dudung nama ayam kamu?”
“Sebenarnya ini ayam kesayangan Almarhum Bapak saya, Om. Saya nggak tega ninggalin dia di kampung. Bapak saya pasti sedih kalau saya jual Dudung.” Bening berkaca-kaca karena mengingat Almarhum ayahnya yang meninggal karena jatuh dari pohon kelapa.
“Oh, kalau udah selesai cepet tidur. Seusia kamu nggak boleh banyak begadang.”
BEEERR!
POK! POK! POK!
Ayam pelung itu terbang ke atas kepala Kelana, hingga pria itu mematung dengan bibir menganga.
“Astaga, DUDUNG!” Bening berlari menghampiri Kelana. “Om, maafin Dudung ya.” Lanjut mengambil Dudung dari kepala Kelana.
“Aish!” Kelana menggosok-gosok rambutnya sambil membungkukkan tubuh. “Tolong ajari ayam kamu tata krama, taruh dia di luar, jangan dibawa masuk.”
“Baik, Om. Maaf.” Raut Bening merasa bersalah.
“Ya udah nggak papa. Btw kamu memang tinggi ya, sampe bisa ambil ayam di kepala saya. Memang tinggi kamu berapa?” tanya Kelana meskipun hampir emosi.
“Saya 178, om.”
“Oh, masih tinggi saya berarti. Tapi –“ Ucapan Kelana terjeda untuk berpikir. “Kalau masih segini aja badan kamu udah segitu, gimana besarnya? Apa bakal 2 meter juga?” Lanjut meneguk minum dalam otak berpikir.
“Saya nggak bisa memprediksi masa depan, om. Saya kan bukan Roy Kiyoshi.”
UKHUK! UKHUK!
**
**
**
U’uUuuUuuuOoooook!
Kok kok petook! Kok kok ptok!
Suara ayan jantan berkokok yang berirama khas itu membangunkan Kelana dari tidurnya. Calon pengantin pria yang entah jadi menikah atau tidak itu bergegas turun dari ranjang untuk pergi ke kantor.
“Hari ini jadi ngajuin cuty nggak ya? Soalnya kan nikahnya aja nggak tau jadi nggak tau enggak,” gumam Kelana.
U’uUuuuuOooooook!
Suara ayam jantan yang merdu itu membuat Kelana mengernyit baru sadar. ‘Tumben di daerah sini ada ayam berkokok?’
Gegas ia membuka gorden jendela karena suara itu sangat dekat dengan kamarnya. Dan ternyata ia pun melihat Bening yang sedang memandikan ayamnya di luar.
“Oh, ayamnya Bening. Bagus lah, buat alarm,” gumamnya, sambil memperhatikan pemilik ayam yang semakin cantik saat tersorot matahari pagi.
“Si Bening, bening banget ya mukanya. Sayang masih S M P.” Bahkan Kelana melihat Bening yang sudah memakai seragam putih biru untuk masuk sekolah di hari pertamanya.
Kelana tak ingin berlama-lama mengagumi wajah gadis yang usianya terpaut 15 tahun darinya. Pria berusia 30 tahun itu lantas menyambar handuk untuk mandi.
Setelah mandi, hal yang pertama kali ia cium saat keluar dari kamar mandi adalah aroma masakan yang sangat harum, serta suara kongsrang kongsreng orang yang sedang memasak.
“Bu Ajeng masak apa? Wangi banget,” tanya Kelana pada Bu Ajeng yang sedang memasak.
“Masak tongseng kambing, Mas. Mas mau sarapan?” tanya Ajeng.
“Enggak, Bu. Bawain bekel aja kayak biasa, ya?”
“Siap, Mas.”
Kelana meninggalkan Ajeng untuk menghampiri ibunya yang sedang meneguk teh hangat di meja makan.
“Pagi, Bu?” sapa Kelana dengan senyuman hangatnya.
“Pagi,” sahut Agustina sangat jutek.
“Ibu masih marah?” tanya Kelana.
“Ibu akan tetap marah sebelum kamu dan Dara menikah.”
“Bu, maaf. Aku beneran nggak bisa nikahin Dara.”
“Alasannya?”
Kelana bergeming karena tak punya bukti apa-apa. Namun tiba-tiba datang Bening yang sudah membawa tas sekolahnya.
“Bu, aku mau ke sekolah dulu, ya?” pamit Bening pada Ibunya.
“Data-data pindah sekolahnya udah dibawa kan, Ning? Perlu ibu temenin?” tanya Ajeng.
“Nggak usah, Bu. Aku udah besar, aku bisa sendiri. Lagian sekolahnya deket, kan?”
Semalam Ajeng sudah membawa Bening komplek tour untuk mengetahui tempat-tempat penting di daerah itu, sekaligus sekolahnya yang hanya berjarak 50 meter dari rumah Kelana. Dan karena Bening termasuk anak yang cerdas dan berani, ia sangat percaya diri ke mana-mana sendiri meskipun daerah itu masih baru untuknya.
“Ya udah, tapi hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon ibu,” sahut Ajeng.
“Siap, Bu.” Bening pun mencium tangan ibunya, lantas menghampiri Agustina dan Kelana yang masih mematung di meja makan.
“Bening sekolah dulu ya, Bu.” Bening mencium tangan Agustina, lanjut mencium tangan Kelana.
“Hah?” Kelana menganga sambil memperhatikan punggung tangan yang dicium seorang gadis untuk kali pertamanya.
**
**
**
Sepulang dari kantor, Kelana tancap gas menuju rumah Kadara untuk menyelesaikan rasa penasarannya. Ia teringat kata-kata Harum yang memintanya membawa Kadara ke kliniknya.
“Semoga Dara mau diperiksa Mbak Harum,” gumam Kelana sambil mengemudi.
TUUUUT ...
Pria itu menghubungi kakak perempuannya dan tersambung.
[Halo?] Harum mengangkat telepon itu.
“Mbak, di mana? Di klinik?” tanya Kelana.
[Iya, kenapa?]
“Aku mau bawa Dara ke klinik Mbak. Mbak bisa periksa kutil itu, kan? Bisa cek dia masih perawan juga, nggak?”
[Bisa, tapi hari ini Mbak masih banyak pasien. Tunggu agak lama nggak papa, kan?]
“Nggak papa, Mbak. Aku belum otw, masih mau jemput Dara dulu, semoga mau.”
[Oke, Mbak tunggu.] Telepon berakhir.
Sampailah mobil Kelana di depan rumah Kadara. Hal yang pertama ia lihat adalah sebuah motor matic berwarna putih milik ayah Kadara, motor itu pun didapat dari Kelana yang membelikannya.
Tidak hanya itu, Kelana pun melihat Dewi – ibu Kadara yang sedang menyapu teras, beserta suaminya – Rusli, yang sedang meneguk kopi di kursi teras sambil makan pisang goreng, di hadapan ponsel yang digenggam.
“Assalamualaikum,” sapa Kelana sangat sopan.
“Waalaikum salam, eh ada menantu ibu.” Dewi menyambut Kelana dengan senyuman lebarnya.
“Kelana, sini ngopi sambil makan pisang goreng,” ajak Rusli.
“Terima kasih, Bu, Pak. Tapi saya mau ajak Kadara keluar sebentar, apa Daranya ada?” tanya Kelana.
“Ada, Kadara lagi main HP di kamarnya. Sebentar ya, ibu panggilkan dulu.” Dewi pun masuk ke dalam rumah sambil menenteng sapu.
“Sini, Kelana. Ngopi dulu,” ucap Rusli.
“Iya, Pak. Silahkan dilanjut. Kapan Bapak dan ibu pulang dari Cianjur?” tanyanya basa basi.
“Tadi pagi, capek banget, macet. Tapi senang karena undangan pernikahan kamu dan Dara udah tersebar di sana. Semua keluarga di sana pasti datang ke pernikahan kalian nanti,” ujar Rusli.
Kelana tertegun saat mendengarnya. Ia bingung, tak enak, dan serba salah bila tiba-tiba membatalkan pernikahannya, sedangkan calon mertuanya itu sudah mengundang banyak orang.
“Mas?” Kadara menghampiri Kelana dengan raut senangnya. “Akhirnya kamu dateng juga ke sini. Aku kira kamu nggak akan ke sini lagi.” Rautnya berubah jadi sedih.
“Kalian kenapa? Lagi berantem?” tanya Dewi.
“Enggak kok, Bu. Saya izin bawa Kadara sebentar boleh, kan?” sahut Kelana.
“Mau ke mana, Mas?” Kadara melendoti lengan Kelana, Kelana pun tersenyum tak nyaman dan melepaskan tangan Kadara secara halus.
“Kita jalan-jalan sebentar,” dustanya.
**
**
**
Sesampainya di klinik milik Harum, Kadara terperangah melihat tempat yang katanya dituju untuk jalan-jalan. Namun gadis berusia 26 tahun itu sudah tahu bahwa klinik itu milik calon kakak iparnya.
“Ngapain kita ke klinik Mbak Harum, Mas? Kamu mau berobat?” tanya Kadara.
“Bukan aku yang berobat tapi kamu.”
“Aku?” Kadara menunjuk dirinya sendiri.
“Ya, kamu harus periksakan kelainan di itu kamu.”
“Periksa? Aku itu nggak sakit apa-apa, Mas. Aku nggak perlu periksa, itu cuma kutil biasa, Mas. Aku udah punya itu dari lahir!”
“Dari lahir?” Kelana terkejut. “Memangnya ada jengger ayam dari lahir?”
“Ini bukan jengger ayam, Mas! Aku nggak sakit!”
“Oke, kalau memang itu bukan penyakit apa-apa, apa salahnya kita periksa. Aku akan terima kamu apa adanya kalau memang itu kelainan dari lahir.”
“Nggak, Mas. Aku nggak mau periksa! Aku malu!”
“Kadara, Please.” Kelana merapatkan ke dua telapak tangannya. “Aku mohon kamu turutin permintaan aku. Aku itu sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, tolong jangan buat cinta dan sayang aku hilang buat kamu. Tolong kamu buktiin kalau itu cuma kelainan dan bukan penyakit.”
“Oke, aku mau periksa. Tapi kamu harus janji, apa pun hasilnya nanti, kamu harus tetap nikahin aku.”
“Ya nggak bisa gitu juga, Kadara.”
“Tuh, kan. Kalau gitu aku nggak mau periksa! Buang-buang waktuku aja.” Kadara hendak pergi namun dicekal oleh Kelana.
“Oke, aku janji,” jawab Kelana.
“Kamu janji akan tetap nikahin aku apa pun hasilnya?” Kadara memastikan.
“Ya, aku janji. Sekarang kita masuk, kamu harus periksa.”
Terpaksa Kelana mengiyakan karena sangat penasaran dengan hasil pemeriksaan. Jika yang dikatakan Kadara memang hanya kelainan bawaan lahir, mungkin ia akan senang karena masih ada rasa cinta yang tersisa. Tapi jika hasilnya penyakit menular seksual, Kelana pun akan cari cara lain untuk membatalkan pernikahannya.
Memasuki klinik, Kadara dan Kelana duduk di kursi tunggu. Mereka tak perlu mendaftar sebagai pasien, karena Harum sudah chat akan memanggil jika sudah tak menangani pasien.
“Om Kelana!” panggil suara anak kecil.
“Loh, Kiblat ada di sini?” tanya Kelana pada Kiblat – Anak semata wayang Harum.
“Iya, om. Kiblat ikut ibu sama ayah,” jawab keponakannya Kelana itu.
Kiblat merupakan keponakan yang sangat disayangi Kelana seperti menyayangi anak sendiri. Profesi ayah kiblat dan ibunya sama-sama seorang nakes, namun Ayah Kiblat spesialis Dokter umum di klinik itu, sedangkan Harum masih sebatas Bidan yang sangat berpengalaman menangani ibu hamil dan melahirkan.
“Halo, Kiblat. Salim sama Tante.” Kadara menyodorkan tangan ingin dicium oleh calon keponakannya itu.
“Nggak mau.” Kiblat menyembunyikan wajah bahu Kelana. “Tante serem,” ujarnya, yang selalu takut bila bertemu Kadara.
“Serem kenapa? Tante cantik, kan?” Kadara mengibaskan rambut ikalnya.
“Enggak, serem.” Kiblat pun pergi meninggalkan Kelana dan Kadara. Ia lari-lari dan sudah terbiasa main di klinik orang tuanya.
“Serem apa sih.” Kadara tampak kesal.
“Maaf, ya. Namanya anak kecil,” ujar Kelana. ‘Apa selama ini Kiblat tau kalau Kadara memang bukan yang terbaik untukku?’ batinnya.
“Iya, Mas. Nggak papa. Untungnya keponakan kamu, kalau bukan, udah kucubit.”
‘Oh, ternyata Dara memang semenakutkan itu untuk anak kecil sampai berani cubit?’ batinnya baru sadar.
“Kelana, Kadara, sudah siap masuk?” tanya Harum di ambang pintu ruangannya.
“Cepat masuk sana,” titah Kelana.
“Kamu nggak ikut masuk, Mas?”
“Ngapain aku masuk? Kamu nggak malu itu kamu aku liatin?”
“Ya nggak malu lah, Mas. Kamu kan calon suami aku. Malahan aku seneng kalo diliatin sama kamu. Ayo masuk.” Kadara menarik tangan Kelana.
“Nggak.”
“Ya udah, kalo kamu nggak masuk, aku juga nggak mau masuk.” Kadara duduk lagi.
“Kelana.” Harum mengetuk-ngetuk jam tangan tanda tak punya waktu banyak.
“Ya udah ayo.” Kelana menarik tangan Kadara untuk masuk di ruangan itu.
Hening.
Kadara sudah berbaring di ranjang pasien. Ke dua kakinya sudah terangkat oleh alat penyangga kaki untuk ibu melahirkan. Sedangkan Kelana hanya duduk di kursi dokter dan tak ingin melihat proses pemeriksaan.
“Mas Kelana, kamu masih di situ, kan?” tanya Kadara, ia tak tak bisa melihat raga calon suaminya karena ranjang pemeriksaan tertutup tirai.
“Aku masih di sini, fokus aja,” sahut Kelana.
“Kita mulai ya, Dara. Maaf kalau Mbak harus mengecek milik kamu,” ujar Harum yang sedang memakai sarung tangannya.
“Iya, Mbak. Nggak papa.” Kadara menarik napas dalam-dalam untuk melakukan pemeriksaan.
Hening.
Kelana masih menunggu dengan sabar ditemani suara jam dinding yang berdetak. Proses pemeriksaan itu pun terasa lama bagi Kelana karena ingin cepat mengetahui hasilnya.
Akhirnya Harum ke luar dari tirai itu tak lama kemudian, meninggalkan Kadara yang masih merapikan pakaian di balik tirai.
“Gimana hasilnya, Mbak?” tanya Kelana dengan nada berbisik.
“Itu memang jengger ayam, Kadara udah nggak perawan.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!