Rasa nyeri menusuk kepala Cella ketika ia mencoba membuka matanya. Pandangan kabur menyambut, memaksanya untuk mengedipkan mata beberapa kali agar semuanya terlihat lebih jelas. Langit-langit putih rumah sakit dengan lampu redup di atasnya terasa asing. Kepalanya terasa berat, dan sesuatu membalutnya, perban.
"Apa... yang terjadi?" gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.
Ia mengangkat tangannya dengan susah payah, tertegun saat melihat jari-jari lentik yang tak dikenalnya. Kukunya terawat sempurna, berbeda jauh dari jari-jari Cella yang biasanya kasar akibat aktivitas memasak. Panik mulai merayap di dadanya, terutama saat pandangan matanya menangkap pantulan bayangan di monitor kecil di samping tempat tidur.
Itu bukan dirinya.
Ia menatap wajah seorang wanita cantik berambut hitam panjang yang tampak pucat, wajah yang tak pernah dilihatnya sebelumnya kecuali di... televisi? Atau internet? Perlahan, ingatannya berputar kembali ke kejadian terakhir yang ia alami, seorang nenek tua, sebuah zebra cross, klakson bus yang memekakkan telinga, dan rasa sakit luar biasa.
"Aku... sudah mati, bukan?" suaranya bergetar, tak percaya.
Sebelum ia bisa mencerna lebih jauh, pintu kamar rumah sakit terbuka. Seorang pria tinggi dengan setelan jas masuk, membawa aura dingin namun khawatir. Matanya yang tajam segera tertuju pada dirinya.
"Fifi" pria itu memanggil dengan suara berat yang terkontrol. Langkahnya cepat menghampiri, dan ia segera duduk di kursi di samping tempat tidur.
Cella terdiam. Nama itu Fifi. Apakah itu nama tubuh ini?
Pria itu, dengan hati-hati namun terlihat canggung, meraih tangan Cella. Tatapannya melunak seolah menyembunyikan sesuatu. "Kau baik-baik saja? Dokter bilang kepalamu terbentur keras saat jatuh, tapi kau beruntung. Luka ini tidak terlalu parah".
Cella memandangi pria itu dengan kebingungan. Wajahnya tampan, tegas, dengan rahang kokoh dan mata gelap yang penuh emosi yang tak bisa ia baca. Namun, siapa dia?
"Maaf" Cella berkata dengan suara kecil. "Aku... siapa kau?"
Tatapan pria itu berubah kaku. Sekilas terlihat rasa terluka dalam matanya, namun ia segera menutupinya dengan senyum tipis yang tampak dipaksakan. "Darius. Aku suamimu".
S-U-A-M-I?
Cella tersentak, mulutnya ternganga tanpa sadar. Suami? Sejak kapan ia punya suami? Ia hanya seorang koki lajang yang... mati!
"Suami?" gumamnya pelan, mencoba mencerna informasi ini.
Darius mengangguk, masih memegang tangan Cella dengan lembut "Aku tahu kepalamu terluka, jadi mungkin kau masih bingung. Jangan memaksakan dirimu untuk mengingat apa pun sekarang"
Cella menelan ludah, pikirannya kacau balau. Ia harus segera mengatasi situasi ini. Jika memang ia berada di tubuh wanita bernama Fifi, ia harus berpikir cerdas dan berhati-hati.
"Terima kasih... Darius" ucapnya, berusaha tenang meski suaranya sedikit bergetar.
Darius memandangnya sejenak, ekspresinya sulit diartikan. "Kau tidak perlu berterima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami"
Cella hanya bisa tersenyum kaku. Ia tidak tahu seperti apa hubungan mereka sebelumnya, tetapi ia bisa merasakan ada jurang yang memisahkan keduanya meski pria ini jelas peduli.
Ketika Darius berdiri untuk berbicara dengan dokter yang baru masuk, Cella mengatur napasnya dan mencoba memproses semuanya. Dia adalah Fifi sekarang, istri pria kaya bernama Darius. Dunia ini bukan lagi miliknya sebagai Cella, seorang koki berbakat.
Namun, satu hal jelas, ia telah diberi kesempatan kedua. Dan entah bagaimana, ia harus menggunakannya untuk memperbaiki apa yang salah di masa lalu tubuh ini.
Tapi... bagaimana caranya? Pertanyaan itu terus menggantung di benaknya saat Darius kembali menghampirinya dengan senyum tipis yang penuh harapan.
Suasana kamar rumah sakit sunyi. Cella atau sekarang Fifi berbaring diam di tempat tidur sambil mencoba mencerna kenyataan barunya. Darius baru saja pamit untuk menjemput anak mereka, Dinda, dari sekolah. Meski pria itu berbicara lembut dan penuh perhatian, bayangan tentang memiliki seorang anak terasa seperti petir di siang bolong.
"Anak?" Cella bergumam, mencoba mengingat setiap detail dari novel yang pernah ia baca sebelum kematiannya.
Memori itu perlahan datang, seperti layar film yang memutar kembali adegan-adegan penuh tragedi. Ia mengingat segalanya. Fifi yang mabuk di sebuah pesta, hubungan singkat tanpa cinta yang berujung pada kehamilan. Pernikahan Fifi dengan Darius bukan karena cinta, melainkan tanggung jawab. Darius mencintai Fifi sejak kecil, tetapi bagi Fifi, Darius hanyalah penjara.
Lalu ada Dinda. Anak perempuan kecil yang tumbuh dengan kasih sayang penuh dari ayahnya, tetapi selalu diabaikan dan dimarahi oleh ibunya. Dinda tak pernah mengeluh. Bahkan di usia semuda itu, ia hanya berharap suatu hari ibunya akan menyayanginya.
Rasa nyeri tiba-tiba menyerang kepala Cella. Ia memegang pelipisnya, tubuhnya gemetar. Pandangan matanya kabur, dan memori-memori kelam menguasai pikirannya.
Dalam kilasan itu, ia melihat Dara, adik tiri Fifi, dengan senyuman licik, menuangkan racun ke dalam susu Dinda. Ia melihat tubuh kecil anak itu terkulai lemas di lantai, matanya yang berbinar kini kehilangan cahaya.
"Ma... ma..." bisik Dinda lemah, meski Fifi, dalam tubuh aslinya, hanya menatap dingin tanpa rasa bersalah.
Kemudian ada Kelvin. Pria yang selama ini dimanfaatkan Fifi untuk menghancurkan Darius, pria yang menjadi alasan Fifi menyakiti keluarganya sendiri. Ia teringat bagaimana Kelvin dengan kejam menusuk Fifi dari belakang setelah harta Darius diambil alih.
Kilasan terakhir memperlihatkan Darius. Pria itu duduk sendiri di ruangan gelap, memegang foto keluarganya yang telah hancur. Wajahnya penuh luka dan air mata, sebelum akhirnya ia mengakhiri hidupnya sendiri.
Cella tersentak, napasnya memburu. "Ya Tuhan..." desisnya pelan.
Tubuh ini bukan hanya tubuh asing. Tubuh ini adalah karakter dalam novel tragis yang pernah ia baca. Ia ingat betul kisahnya. Kisah yang membuatnya menangis karena kebodohan Fifi yang menghancurkan hidup semua orang yang mencintainya.
Namun, sekarang ia ada di sini. Cella bukan Fifi, dan ia tahu akhir kisah ini. Ia tidak akan membiarkan semua itu terjadi lagi.
"Ini bukan hanya hidup kedua" gumamnya, mencoba menenangkan napasnya. "Ini kesempatan kedua untuk memperbaiki segalanya".
Pintu kamar terdengar terbuka. Seorang perawat masuk, membawa nampan berisi obat. Senyum ramah perawat itu memberinya sedikit ketenangan.
"Bagaimana kabar Anda, Bu Fifi? Kepalanya masih sakit?"
Cella hanya mengangguk pelan, pikirannya masih sibuk menyusun rencana. Ia tidak tahu seberapa besar pengaruhnya terhadap alur cerita, tetapi ia yakin satu hal: Darius dan Dinda harus selamat.
"Anak saya" katanya tiba-tiba, suaranya terdengar ragu. "Dinda... dia baik-baik saja, kan?"
Perawat itu tampak sedikit terkejut, mungkin karena Fifi sebelumnya dikenal tidak peduli pada anaknya. "Tentu saja, Bu. Tuan Darius sangat menyayanginya. Dinda adalah anak yang manis sekali"
Cella mengangguk, hatinya tersentuh oleh kata-kata itu. Ia memutuskan, mulai saat ini, ia akan menjadi ibu yang baik untuk Dinda dan istri yang mendukung bagi Darius.
Namun, bayangan Dara dan Kelvin kembali menghantui pikirannya. Kelicikan mereka bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Cella harus memikirkan cara untuk melindungi keluarganya dari mereka tanpa menimbulkan kecurigaan.
Ketika pintu kamar terbuka lagi, Darius masuk dengan Dinda di sisinya. Gadis kecil itu berdiri canggung di ambang pintu, memandang ibunya dengan harapan yang tulus. Mata Dinda bersinar, namun terlihat ada kehati-hatian dalam langkahnya.
Cella tersenyum tipis, meski hatinya terasa sesak. "Dinda," panggilnya, mencoba terdengar lembut.
Gadis kecil itu ragu sejenak sebelum melangkah maju. "Mama?" suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Cella merasakan air mata menggenang di sudut matanya. "Iya, sayang. Mama di sini."
Dinda berlari kecil ke arahnya, memeluknya dengan erat. Cella membalas pelukan itu, bertekad bahwa ia akan melindungi gadis kecil ini dengan segala yang ia miliki.
"Ini permulaan baru" pikir Cella. "Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi"
Darius berdiri mematung di ambang pintu, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya. Fifi, wanita yang telah ia cintai sejak usia 10 tahun, sedang memeluk putri mereka dengan kehangatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia tidak menyangka akan melihat momen seperti ini. Selama ini, Fifi selalu menjaga jarak dari Dinda, seolah-olah gadis kecil itu adalah beban, bukan darah dagingnya. Tapi suara lembut itu... panggilan penuh kasih dari Fifi untuk Dinda... membuat dadanya berdebar tak menentu.
Dinda perlahan melepaskan pelukannya dan menatap ibunya dengan senyuman kecil “Mama, apa Mama baik-baik saja? Dinda dengar Mama jatuh dan kepalanya terluka...”
Cella, yang kini berada dalam tubuh Fifi, membelai rambut putrinya “Mama baik-baik saja, sayang. Terima kasih sudah khawatir. Mulai sekarang, Mama akan lebih sering ada untuk kamu, ya”
Dinda tampak bingung sekaligus bahagia mendengar janji itu. Ia mengangguk semangat dan kembali memeluk ibunya erat-erat.
Darius akhirnya melangkah masuk, membersihkan tenggorokannya untuk mengalihkan perhatian mereka. “Fifi” panggilnya dengan suara yang lebih berat dari biasanya.
Cella menoleh, bertemu dengan tatapan pria itu. Dalam mata Darius, ia bisa melihat campuran rasa lega, bingung, dan harapan. Ia tahu ini bukan hal mudah bagi Darius. Setelah semua yang Fifi lakukan padanya—pengkhianatan, pengabaian, hingga cinta butanya pada Kelvin—pria itu tetap bertahan.
“Darius” balas Cella dengan suara yang hangat.
Darius mendekat, menatapnya dengan penuh kehati-hatian. “Kau terlihat... berbeda” katanya pelan “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi terima kasih karena telah berbicara dengan Dinda seperti itu”.
Cella tersenyum tipis, tetapi hatinya terasa perih. Ia tahu Darius telah melalui banyak hal. Ia tahu bagaimana Fifi memperlakukannya, bagaimana wanita itu memilih Kelvin meskipun Darius telah memberikan segalanya.
“Darius” katanya, mencoba merangkai kata-kata “Aku minta maaf”
Kata-kata itu membuat Darius terpaku “Minta maaf? Untuk apa?” tanyanya, jelas terkejut.
Cella menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak membiarkan emosinya mengambil alih “Untuk semua yang aku lakukan padamu dan Dinda. Untuk semua hal yang membuatmu terluka”.
Darius menatapnya dengan curiga “Kau tidak perlu mengatakan ini hanya karena—karena apa pun yang kau pikirkan sekarang. Jika ini hanya karena rasa bersalah sesaat...”
Cella memotongnya “Tidak, Darius. Aku serius. Aku ingin memperbaiki semuanya”
Darius mengamati wajahnya, mencari tanda-tanda kebohongan. Tapi yang ia temukan adalah ketulusan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia ingin percaya, tetapi rasa sakit dari masa lalu membuatnya berhati-hati.
“Aku tidak tahu apa yang berubah dalam dirimu” katanya akhirnya. “Tapi kalau kau benar-benar ingin memperbaiki semuanya... aku akan memberimu kesempatan”
Cella mengangguk pelan, lega mendengar kata-kata itu. Tapi ia juga tahu bahwa ini baru awal. Perjalanan untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan cinta Darius akan panjang, dan musuh mereka—Kelvin dan Dara—akan menjadi ancaman besar.
“Darius” katanya pelan, menatap pria itu. “Aku tahu selama ini aku tidak pernah mencintaimu seperti yang seharusnya. Tapi... aku ingin mencoba. Bukan karena rasa bersalah, tapi karena aku ingin memberimu kesempatan seperti kau memberiku selama ini”
Darius terdiam. Kata-kata itu menggema dalam pikirannya, menggetarkan hatinya yang selama ini ia coba lindungi. Sejak kecil, ia tahu hatinya hanya untuk Fifi. Namun bertahun-tahun diabaikan dan disakiti membuatnya ragu apakah cinta itu masih ada. Tapi sekarang, mendengar janji ini, harapan itu kembali menyala.
“Mencintai aku... itu akan menjadi hal yang sulit bagimu” katanya, suara bergetar “Aku tahu kau selalu mencintai Kelvin, meskipun aku mencoba memperingatkanmu tentang dia”
Cella mengepalkan tangannya “Kelvin... aku tidak akan membiarkannya menghancurkan kita lagi”
Darius menatapnya dalam-dalam, mencoba memahami perubahan ini “Fifi, jika ini benar... aku akan menunggumu. Aku akan tetap di sini, seperti yang selalu kulakukan”
Cella tersenyum, dan untuk pertama kalinya sejak ia berada di tubuh ini, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa memberikan kebahagiaan yang layak untuk pria yang begitu setia ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!