NovelToon NovelToon

Claimed And Kept

Unexpected Companionship

Langit mendung di atas kota London menciptakan bayangan kelabu yang membalut gedung-gedung tinggi, termasuk gedung milik perusahaan Everleigh Corporation. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar menyusup ke dalam lobi marmer yang megah. Elea Victoria Whitmore berdiri di depan lift dengan secangkir kopi di tangannya, menghela napas panjang. Hari itu terasa lebih berat dari biasanya, dan ia sudah bisa membayangkan tumpukan pekerjaan yang menantinya di meja.

Elea, 34 tahun, mengenakan blazer abu-abu dengan kemeja putih sederhana, rambut cokelat gelapnya ditata rapi ke belakang. Wajahnya menunjukkan ketegasan seorang wanita mandiri yang telah terbiasa menghadapi tekanan, baik dari pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada kilatan kelelahan di matanya—sisa dari pertengkaran semalam dengan Adrian, suaminya yang semakin menjadi beban daripada pendukung.

Saat pintu lift terbuka, seorang pria muda dengan kemeja biru yang tergulung santai di lengannya melangkah masuk bersamaan dengannya. Ia membawa tas ransel dan senyuman yang nyaris mengganggu. Darren Alaric Everleigh, 26 tahun, baru saja memulai "pekerjaan baru"-nya di perusahaan keluarganya, meskipun tidak seorang pun di sana tahu bahwa ia adalah putra pemilik perusahaan. Dengan sengaja, ia memilih untuk menyembunyikan identitas aslinya, menyebut dirinya hanya sebagai "Darren."

"Selamat pagi, Bu Elea," sapa Darren, suaranya terdengar ceria, bahkan sedikit terlalu santai untuk seorang karyawan baru.

Elea menoleh, menatap pria itu dengan pandangan datar. "Selamat pagi. Jangan terlambat ke ruanganmu," ucapnya dengan nada profesional yang kaku, meskipun ia sedikit terganggu oleh senyuman Darren yang lebar.

"Tenang saja. Aku selalu tepat waktu... biasanya," balas Darren dengan nada main-main. Ia mengangkat alis dan menyeringai, menunggu reaksi dari Elea.

Elea mengerutkan dahi. "Biasanya? Itu bukan sesuatu yang ingin aku dengar dari asisten baruku."

Darren hanya tertawa kecil, membuat Elea menghela napas panjang. "Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

***

Lantai 18 perusahaan Everleigh dipenuhi oleh suasana sibuk yang khas. Deretan meja kerja yang rapi dengan sekat-sekat kaca memberikan kesan modern dan profesional, namun ada juga kehangatan dalam tawa kecil dan obrolan antar karyawan. Elea berjalan dengan langkah cepat menuju mejanya, diikuti oleh Darren yang tampak tidak terburu-buru sama sekali.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan hari ini, Bu Elea?" tanya Darren dengan nada polos, meskipun matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia jauh lebih cerdas daripada yang ia biarkan terlihat.

Elea menaruh tasnya dengan gerakan tegas, lalu memandang Darren. "Pertama-tama, jangan panggil saya 'Bu.' Aku hanya lebih tua beberapa tahun darimu, bukan nenek-nenek."

Darren terkekeh pelan. "Kalau begitu, bolehkah aku panggil... Elea saja?"

Elea memicingkan matanya. "Baiklah. Terserah."

Darren mengangguk dengan senyuman jahil yang sulit ditebak. "Baiklah, Elea. Apa tugas pertama saya?"

Elea menyerahkan setumpuk dokumen tebal kepadanya. "Ini. Pelajari semua data ini dan siapkan laporan untuk rapat nanti sore. Jangan tanya aku apa pun sampai kau selesai membaca semuanya."

Darren menerima dokumen itu dengan ekspresi terkejut yang jelas dibuat-buat. "Wow, langsung ujian berat. Aku pikir hari pertama akan lebih santai."

"Selamat datang di dunia kerja, Darren," balas Elea dengan nada datar, lalu duduk di kursinya dan mulai mengetik.

***

Beberapa jam berlalu, dan Darren mulai membaca dokumen-dokumen itu dengan tekun, meskipun sesekali ia mencuri pandang ke arah Elea yang sibuk. Ada sesuatu yang memikat dari cara wanita itu bekerja—efisien, penuh dedikasi, namun ada kesan melankolis yang sulit dijelaskan. Darren merasa penasaran, ingin tahu lebih banyak tentangnya, meskipun ia tahu bahwa Elea mungkin hanya menganggapnya sebagai "anak kecil" yang tidak tahu apa-apa.

"Elea," panggil Darren akhirnya, mencoba terdengar serius.

Elea mengangkat alis tanpa menoleh dari layar komputernya. "Ada apa? Bukankah aku bilang jangan tanya sebelum selesai?"

"Aku sudah selesai," jawab Darren santai, menyandarkan diri di kursinya. "Dan aku punya ide tentang bagaimana menyusun laporan ini lebih efisien."

Elea akhirnya menoleh, sedikit terkejut. "Selesai? Itu dokumen 200 halaman."

"Aku pembaca cepat," Darren menyeringai, menambahkan, "Dan juga cerdas, kalau aku boleh bilang."

Elea menghela napas, mencoba menahan senyum kecil yang nyaris muncul di bibirnya. "Kalau begitu, mari kita lihat idemu."

Darren mendekat dengan antusias, dan selama beberapa menit mereka membahas laporan itu bersama. Saat Elea menyadari bahwa Darren benar-benar memiliki pemahaman yang tajam tentang data, ia merasa ada sedikit perubahan dalam cara pandangnya terhadap pria muda ini.

Namun, ketika Darren menyelesaikan penjelasannya, ia menambahkan, "Oh, dan kalau aku berhasil membuat laporan ini sempurna, apakah aku akan mendapatkan penghargaan dari atasanku yang cantik?"

Elea menatapnya dengan pandangan tajam. "Kau akan mendapatkan lebih banyak pekerjaan."

Darren terkekeh. "Baiklah, aku akan menerima nasibku."

***

Lantai kerja di Everleigh Corporation tengah sibuk seperti biasanya. Suara keyboard yang ditekan, telepon yang berdering, dan obrolan singkat antar karyawan membentuk simfoni kerja yang khas. Elea duduk di meja kerjanya, memeriksa laporan yang baru saja diserahkan oleh Darren. Cahaya matahari yang menembus jendela besar di belakangnya menyinari rambut cokelat gelapnya, membuatnya terlihat lebih lembut dibandingkan biasanya. Namun, ekspresi serius di wajahnya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Darren," panggil Elea dengan nada tegas namun tetap tenang.

Darren, yang duduk di meja kecil di samping ruangan Elea, menoleh dengan cepat. Ia sedang memutar-mutar pena di tangannya, tampak terlalu santai untuk ukuran seorang asisten. Wajah tampannya yang dihiasi seringai kecil langsung berubah menjadi ekspresi polos.

"Ya, Elea?" balasnya, berdiri dan mendekat dengan langkah santai.

Elea mengangkat laporan itu, menunjuk salah satu bagian dengan ujung jarinya. "Apa ini? Data yang kau masukkan di sini salah. Jika kita menggunakan ini untuk presentasi nanti, seluruh tim akan terlihat seperti orang bodoh di depan klien."

Darren mendekat, menunduk untuk melihat laporan itu, hingga ia cukup dekat untuk mencium aroma parfum lembut yang dipakai Elea. Ia menahan diri untuk tidak tersenyum. "Oh, itu? Ups, sepertinya aku salah memasukkan angka," katanya, berusaha terdengar polos.

"Ups?" Elea mengangkat alis, nadanya dipenuhi ketidakpercayaan. "Ini bukan sekadar ‘ups,’ Darren. Ini laporan penting. Kalau kau tidak memperbaikinya sekarang, aku harus mengerjakannya sendiri."

Darren mengangkat tangan, seolah menyerah. "Tenang, tenang. Aku akan memperbaikinya. Jangan marah, Elea. Senyummu jauh lebih bagus daripada wajah marah seperti itu."

Elea mendesah panjang, menutup mata sejenak untuk menenangkan dirinya. "Darren, aku tidak sedang bercanda. Kalau kau ingin menjadi karyawan yang kompeten, kau harus lebih teliti."

Darren mengangguk patuh, tetapi seringai kecil masih bermain di bibirnya. "Baik, Bu Guru. Aku akan mengulang semuanya, demi mendapatkan senyummu lagi."

Elea menatap Darren dengan pandangan yang tidak percaya. "Kau benar-benar seperti anak kecil, Darren."

Darren tersenyum lebar, memiringkan kepalanya seperti anak kucing yang minta perhatian. "Tapi aku anak kecil yang menggemaskan, kan?"

Elea hanya menggelengkan kepala, merasa frustrasi sekaligus geli. "Pergilah, Darren. Aku butuh laporan ini selesai dalam satu jam."

"Siap, Bos," balas Darren sambil memberi hormat main-main sebelum kembali ke mejanya.

***

Setelah Darren kembali ke mejanya, Elea mendapat panggilan dari penerbit yang tertarik dengan naskah yang pernah ia kirimkan diam-diam. Perasaan bahagia sempat melintas di wajahnya, tetapi segera berubah menjadi keraguan. Adrian pasti tidak akan menyetujui hal ini.

Di sisi lain, Darren yang memperhatikan perubahan ekspresi Elea menjadi penasaran. "Ada apa, Elea? Kau terlihat seperti baru saja memenangkan lotre."

Elea menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. "Tidak ada yang perlu kau tahu, Darren. Fokus saja pada laporanmu."

Namun, Darren tidak berniat menyerah. Ia tahu ada sesuatu yang besar terjadi, dan ia bertekad untuk mencari tahu, entah bagaimana caranya.

***

Endless Conversation

Malam sudah larut, tetapi apartemen sederhana di pinggir kota London itu masih terang benderang oleh lampu ruang tamu. Elea duduk di sofa, mengenakan piyama satin biru lembut yang terlihat kontras dengan kulitnya yang cerah. Rambutnya yang biasanya terikat rapi di kantor dibiarkan tergerai, menciptakan kesan santai namun tetap anggun.

Di meja kopi di depannya, secangkir teh hangat mengeluarkan uap tipis. Elea memandang cangkir itu dengan tatapan kosong, menggigit bibir bawahnya, sambil sesekali melirik ke arah Adrian yang duduk di kursi sebelah.

Adrian, pria berusia 35 tahun dengan rambut hitam yang mulai memudar di sisi-sisinya, mengenakan kaus abu-abu sederhana dan celana pendek. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel di tangannya. Jemarinya terus mengetik cepat, ekspresinya serius, sepenuhnya tenggelam dalam percakapan bisnis yang tampaknya sangat penting.

"Adrian," panggil Elea dengan lembut, mencoba menarik perhatian suaminya.

"Hm?" gumam Adrian tanpa menoleh, matanya tetap terpaku pada layar.

Elea menarik napas panjang, mencoba untuk tetap tenang. "Sudah larut. Kau tidak lelah? Mungkin kita bisa duduk bersama, bicara sedikit? Aku membuat teh kesukaanmu."

Adrian mengangguk tanpa benar-benar mendengar, tangannya tetap sibuk. "Nanti, sayang. Aku harus menyelesaikan ini dulu. Klien di Hong Kong butuh proposal revisi secepatnya."

Elea mengepalkan tangannya di pangkuannya, berusaha menahan rasa kecewa yang perlahan menjalar di hatinya. Ia tahu betapa pentingnya pekerjaan Adrian, tetapi malam-malam seperti ini sudah terlalu sering terjadi.

"Setiap malam selalu nanti," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Adrian akhirnya menoleh sekilas, seperti baru menyadari nada dalam suara Elea. "Apa yang kau katakan?"

Elea tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan luka di balik ekspresinya. "Tidak, tidak ada apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaanmu."

Namun, di dalam hatinya, perasaan kesepian itu semakin kuat. Elea mencintai Adrian—ia tahu itu. Tetapi cinta yang ia berikan terasa seperti menghantam tembok kosong, tanpa balasan, tanpa perhatian.

***

Apartemen mereka memiliki desain minimalis dengan dinding berwarna netral dan furnitur yang sederhana. Sofa abu-abu yang empuk, meja kopi kayu kecil, dan lampu lantai dengan cahaya hangat memberikan kesan nyaman. Namun, tidak ada sentuhan pribadi yang membuat ruangan itu terasa hidup.

Suara hujan gerimis di luar menambah suasana melankolis. Elea sering menyukai hujan—suara tetesannya biasanya memberikan ketenangan. Tetapi malam itu, hujan hanya membuat kesunyian di dalam apartemen terasa lebih menyakitkan.

***

Elea mencoba sekali lagi. "Adrian, apa kau masih ingat kapan terakhir kali kita makan malam bersama? Hanya kita berdua, tanpa gangguan pekerjaan atau telepon?"

Adrian mendesah pelan, meletakkan ponselnya sebentar di meja. "Elea, aku tahu kau ingin perhatian, tapi kau juga tahu pekerjaan ini penting. Ini untuk kita, untuk masa depan kita."

Elea menatapnya, mencoba mencari sesuatu di mata suaminya—sedikit pengertian, mungkin? Tetapi yang ia temukan hanyalah kelelahan dan ketidaksabaran.

"Aku tahu itu penting," jawab Elea dengan suara bergetar. "Tapi apa kau tidak mengerti? Aku tidak butuh masa depan yang sempurna. Aku hanya butuh suamiku ada di sini bersamaku, sekarang."

Adrian mengusap wajahnya, terlihat kesal. "Elea, aku sudah berusaha. Apa lagi yang kau inginkan? Aku bekerja keras setiap hari untuk memastikan kita hidup nyaman. Kenapa itu tidak cukup bagimu?"

Elea merasa matanya mulai panas, tetapi ia menolak untuk menangis. Ia tahu tangisannya hanya akan membuat Adrian semakin menjauh. "Aku ingin kau melihatku, Adrian. Hanya itu. Lihat aku. Dengarkan aku. Apa itu terlalu sulit?"

Adrian menggelengkan kepala, mengambil kembali ponselnya, dan berdiri. "Aku harus menyelesaikan ini. Kita bicara nanti."

"Tidak! Aku ingin kita bicara, sekarang." Elea menghela napas, berat, hampir tak terdengar.

Namun Adrian, dengan naluri tajamnya, berhenti sejenak dan menatapnya.

“Ada apa lagi, Elea?” suara Adrian terdengar datar, seperti sudah lelah sebelum mendengar jawabannya.

Elea mendongak, matanya yang berkaca-kaca mencoba mencari sisa kehangatan dalam sorot mata suaminya. “Adrian, apa kau tahu seberapa sering aku merasa seperti... aku sendirian di sini?”

Adrian mengangkat alisnya. “Sendirian? Elea, aku ada di sini. Aku selalu di sini, bukan? Apa lagi yang kau mau?” Nada suaranya naik sedikit, seolah ingin menangkis tuduhan yang belum sepenuhnya keluar.

Elea menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. Namun, malam ini dia tidak ingin mundur. “Kau ada di sini, Adrian. Secara fisik, ya. Tapi kau tahu apa yang kurasakan? Kau seperti ada di dimensi lain—dimensi pekerjaanmu, klienmu, ambisimu.”

Adrian mendekat, meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan pelan namun tegas. “Aku bekerja keras untuk kita, Elea. Untuk hidup yang kau—yang kita—impikan. Rumah, keamanan, kenyamanan. Itu semua bukan hal yang bisa datang dengan sendirinya.”

"Lalu apa gunanya semua itu kalau aku merasa seperti tamu di rumahku sendiri?” Suara Elea bergetar, dan air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir perlahan di pipinya. “Aku tidak ingin rumah besar atau uang lebih banyak. Aku ingin kamu, Adrian. Bukan sebagai penyedia, tapi sebagai suami.”

Adrian melangkah mundur, matanya membulat. “Aku tidak percaya kau mengatakannya. Elea, aku melakukan segalanya untuk memastikan kita memiliki kehidupan yang lebih baik."

"Itu karena kau tidak mendengarkan!” sergah Elea, kali ini suaranya naik. Matanya yang biasanya lembut kini menatap tajam ke arah Adrian. “Kau tidak pernah mendengarkan. Selalu ada alasan—pekerjaan, klien, tenggat waktu. Apakah kau pernah berpikir bagaimana rasanya menjadi aku?”

Adrian membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar.

Elea berdiri, melangkah ke jendela yang menghadap ke jalanan basah oleh hujan. Tangannya menyentuh kaca dingin, matanya menerawang ke luar. “Aku hanya ingin suamiku kembali. Bukan orang asing yang berbagi tempat tidur denganku, tapi tidak pernah benar-benar ada.”

"Aku tahu. Aku tahu, Elea,” jawab Adrian dengan nada penuh penyesalan. “Tapi tidak ada gunanya membicarkan ini sekarang. Kita bahas lagi lain kali."

Elea tidak menjawab. Ia hanya menatap punggung Adrian yang menjauh ke kamar tidur, meninggalkan dirinya sendirian di ruang tamu.

***

Setelah Adrian masuk ke kamar, Elea menatap teh di meja yang kini sudah mulai dingin. Ia menggenggam cangkir itu, berharap hangatnya bisa mengusir dingin di hatinya. Namun, rasa sepi itu tetap ada, tidak tergantikan.

Sebuah notifikasi di ponselnya berbunyi. Elea meraih ponselnya dengan malas, berpikir itu hanya pesan dari grup kantor. Namun, ketika ia membukanya, sebuah pesan dari Darren muncul di layar:

"Elea, aku baru saja memikirkan sesuatu. Kenapa kau terlihat begitu tegang hari ini? Jangan bilang kau marah karena aku terlalu tampan untuk menjadi asistenmu?"

Pesan itu membuat Elea tersenyum kecil tanpa sadar. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa bahwa seseorang benar-benar memperhatikannya, meskipun dengan cara yang tidak terduga.

***

Coffee And Unspoken Words

Pagi itu, suasana di lantai kerja Everleigh Corporation sibuk seperti biasa. Lantai kantor yang didominasi kaca besar menghadirkan pemandangan kota London yang masih diselimuti kabut tipis. Meja-meja kerja dipenuhi dokumen, laptop, dan beberapa mug kopi setengah penuh, sementara suara mesin kopi otomatis di sudut ruangan sesekali terdengar, menandai permulaan hari yang sibuk.

Elea duduk di ruang kerjanya, yang dikelilingi oleh partisi kaca transparan, memberikan pandangan langsung ke area kerja terbuka di luar. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan wajahnya tampak serius saat ia memeriksa laporan dari divisi pemasaran. Namun, meski ekspresinya tenang, pikirannya masih melayang pada percakapan dingin dengan Adrian semalam. Ada kekosongan di dadanya yang tidak bisa ia abaikan.

Pintu ruangannya diketuk pelan, dan tanpa menunggu izin, Darren masuk dengan langkah santai. Ia mengenakan kemeja biru muda yang sedikit terbuka di bagian atas, membuatnya terlihat kasual namun tetap menarik. Senyum nakalnya langsung muncul saat ia melihat Elea.

"Selamat pagi, Elea," sapanya, menaruh setumpuk dokumen di meja Elea dengan sedikit berlebihan. "Aku sudah memperbaiki laporan yang kau marahi kemarin. Mungkin sekarang aku bisa mendapatkan pujian?"

Elea mendongak, menatap Darren dengan tatapan dingin namun profesional. "Kau tahu, Darren, jika kau lebih teliti sejak awal, aku tidak perlu menghabiskan waktu untuk memeriksa kesalahanmu."

"Aww, kau benar-benar tidak bisa memberiku senyum pagi ini, ya?" balas Darren, sambil duduk di kursi di depan meja Elea tanpa diundang. "Aku sudah bangun lebih awal untuk ini, lho. Aku bahkan belum sarapan."

Elea memutar matanya, merasa tidak ingin terjebak dalam tingkah Darren pagi ini. "Jika kau datang hanya untuk bercanda, aku punya pekerjaan lain yang lebih penting."

Darren mendekatkan diri ke meja, menyandarkan dagunya di tangannya, memandang Elea dengan mata berbinar seperti anak kecil yang sedang meminta perhatian. "Whitmore, kenapa kau selalu terlihat terlalu serius? Kau tahu, terlalu banyak bekerja itu buruk untuk kesehatan."

Elea menghela napas panjang. "Darren, kau bukan anak kecil lagi. Bersikaplah seperti orang dewasa. Kita ada di kantor, bukan taman bermain."

Namun, Darren hanya tertawa kecil, seolah ucapan Elea tidak mengganggunya sama sekali. "Tapi, bermain denganmu jauh lebih menyenangkan daripada bekerja."

Sebelum Elea sempat membalas, pintu ruangannya diketuk lagi, kali ini lebih tegas. Seorang wanita masuk dengan tumpukan dokumen di tangannya. Itu adalah Rachel, rekan kerja Elea sekaligus kepala divisi keuangan yang terkenal perfeksionis. Rachel adalah wanita berusia 40-an dengan rambut pendek bergelombang dan penampilan yang selalu rapi.

"Elea, aku butuh persetujuanmu untuk laporan ini sebelum rapat siang nanti," kata Rachel sambil menaruh dokumen di atas meja. Ia melirik Darren sekilas, lalu kembali menatap Elea. "Dan Darren, bukankah kau seharusnya berada di meja kerjamu sekarang?"

Darren mengangkat tangannya dengan gaya santai. "Aku hanya memastikan bosku yang cantik ini tidak terlalu stres pagi ini. Tapi baiklah, aku akan pergi kalau sudah diusir."

Rachel mendengus pelan, lalu menatap Elea dengan tatapan mengetahui. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tahan dengan asistenmu itu."

Begitu Rachel pergi, Darren menoleh ke Elea dengan seringai lebar. "Aku rasa dia tidak terlalu suka padaku."

"Dan kau pikir aku suka?" Elea menimpali dengan nada datar, meskipun sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, nyaris membentuk senyuman.

***

Di luar ruangan Elea, lantai kerja dipenuhi dengan karyawan yang sibuk. Ada James, seorang analis data yang selalu terlihat gugup dan terburu-buru; Clara, sekretaris senior yang ramah tetapi sangat tegas dalam pekerjaannya; dan Ben, seorang desainer grafis muda yang sering membawa kopi untuk semua orang.

Masing-masing memiliki dinamika yang berbeda, tetapi semuanya tahu bahwa Darren adalah seorang "anomaly" di kantor. Meskipun sering dianggap kurang serius, pesonanya membuatnya mudah diterima oleh kebanyakan orang, terutama Clara, yang selalu tertawa mendengar lelucon-leluconnya.

***

Saat Darren kembali ke meja kerjanya, ia mendengar James berbisik kepada Clara. "Kau dengar? Ada rumor bahwa anak pemilik perusahaan ini sedang bekerja di sini menyamar. Aku bertaruh itu pasti orang dari divisi kita."

Darren tersenyum tipis mendengar gosip itu, tetapi ia tetap fokus pada layar komputer. Di kejauhan, ia mencuri pandang ke arah ruangan Elea. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya ingin lebih dari sekadar menjadi asistennya.

Di sisi lain, Elea menatap layar laptopnya, mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pesan singkat dari Adrian yang hanya berbunyi, 'Aku akan pulang larut malam ini,' membuatnya kembali merasa kosong.

***

Hari itu matahari bersinar terang, menembus kaca besar yang mendominasi dinding kantor Everleigh Corporation. Ruang kerja Elea terasa hangat oleh cahaya pagi, tetapi suasananya penuh ketegangan. Laptop di mejanya menampilkan laporan keuangan yang perlu diperbaiki, dan teleponnya terus berbunyi, menandakan email yang masuk tanpa henti.

Elea duduk dengan postur tegak, tangan kanannya sibuk mengetik, sementara tangan kirinya sesekali mengaduk kopi yang sudah mulai dingin. Wajahnya memancarkan ekspresi fokus yang tajam, alisnya sedikit berkerut. Ia wanita yang tangguh dan mandiri, tetapi hari ini tekanan pekerjaan hampir membuatnya kehilangan kesabaran.

Ketika pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan, Elea mendongak dengan gerakan cepat, siap untuk menegur siapa pun yang masuk sembarangan. Namun, saat matanya bertemu dengan sosok Darren yang membawa dua gelas kopi dengan gaya santai, ia hanya menghela napas panjang.

"Whitmore," Darren memanggilnya dengan nada menggoda, menggunakan nama belakang Elea seolah-olah itu panggilan akrab di antara mereka. "Aku membawakan kopi segar untukmu. Kau terlihat seperti butuh sesuatu yang lebih kuat daripada itu," katanya sambil melirik cangkir kopi di meja Elea.

"Darren," balas Elea dengan nada tegas. "Aku sedang sibuk. Dan sejujurnya, aku tidak butuh tambahan gangguan."

Darren hanya terkekeh, tidak terintimidasi sedikit pun. Ia berjalan mendekat, menaruh gelas kopi di meja Elea tanpa diminta, lalu duduk di kursi depan meja dengan gaya yang santai, menyandarkan tubuhnya dan melipat tangan di belakang kepala.

"Kau selalu sibuk," ucapnya ringan. "Bukankah kau pernah mendengar bahwa terlalu banyak bekerja bisa membuatmu cepat tua?"

Elea menatapnya tajam. "Darren, aku tidak punya waktu untuk leluconmu. Jika kau tidak ada keperluan penting, tolong kembali ke meja kerjamu."

"Tunggu dulu," Darren memotong, matanya berkilat nakal. "Aku serius, lho. Kau harus belajar santai sedikit. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan angka-angka membosankan itu."

***

Elea merasa frustrasi, tetapi di dalam hatinya, ada bagian kecil yang terhibur oleh sikap Darren yang selalu santai dan ceria. Ia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran pria itu sedikit meringankan tekanan di tengah kesibukannya. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Darren mungkin menarik dan menawan, tetapi baginya, pria itu masih seperti anak kecil yang suka bermain-main.

Di sisi lain, Darren menikmati setiap kesempatan untuk berhadapan dengan Elea. Ia tahu Elea menganggapnya belum dewasa, tetapi hal itu justru membuatnya semakin tertantang. Di balik senyum nakalnya, Darren sebenarnya memiliki sisi tangguh dan serius yang jarang ia tunjukkan. Namun, ketika berada di dekat Elea, ia lebih suka menunjukkan sisi polos dan manjanya, karena ia tahu itu membuat Elea kesal—dan ia menyukai reaksinya.

***

Elea menghela napas panjang, menutup laptopnya untuk sementara. "Baiklah, Darren. Kau mau apa? Jika ini tentang laporanmu, aku sudah bilang akan memeriksanya nanti."

Darren menggeleng dengan senyuman lebar. "Bukan, ini bukan tentang laporan. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau terlihat seperti sedang membawa seluruh beban dunia di pundakmu."

"Dan itu bukan urusanmu," Elea membalas dengan nada setengah kesal, meskipun ia sedikit terkejut dengan perhatiannya.

"Karena aku asistenmu," Darren menjawab santai, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Tapi jujur saja, Elea, aku penasaran. Kenapa kau selalu terlihat seperti harus membuktikan sesuatu? Seolah-olah kau tidak bisa mempercayai siapa pun untuk membantumu."

Pertanyaan itu membuat Elea terdiam. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersinggung atau tersentuh. Dengan suara yang lebih lembut, ia akhirnya menjawab, "Karena jika aku tidak melakukannya sendiri, siapa yang akan melakukannya untukku? Hidup tidak selalu memberi kita pilihan, Darren."

Darren menatapnya dengan ekspresi yang jarang terlihat—serius dan penuh perhatian. "Tapi kau tahu, Elea, terkadang menerima bantuan bukan berarti kau lemah. Itu hanya berarti kau manusia."

Elea menahan napas sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. Kata-kata Darren terdengar terlalu dekat dengan apa yang ia rasakan, tetapi ia tidak mau mengakuinya.

"Kalau kau sudah selesai memberikan kuliah filosofis ini," katanya akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan, "kembalilah bekerja. Aku tidak ingin mendengar keluhan dari Rachel tentang asistenku yang malas."

Darren tertawa, bangkit dari kursinya dengan gaya yang santai. "Baik, Elea. Tapi kau harus janji satu hal."

Elea mengangkat alis. "Apa?"

"Kau akan mencoba kopi yang kubawakan ini. Aku jamin rasanya jauh lebih baik daripada kopi murahan yang kau minum setiap hari."

Elea hampir tersenyum, tetapi ia berhasil menahannya. "Kita lihat saja nanti."

Saat Darren pergi, ia meninggalkan ruangan dengan senyum kecil di wajahnya. Sementara Elea menatap gelas kopi yang ia tinggalkan, merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya.

***

Ketika Darren kembali ke mejanya, ia mendengar percakapan antara Rachel dan Clara tentang perubahan besar di perusahaan. "Aku dengar anak pemilik perusahaan ini sedang bekerja di sini menyamar," kata Clara dengan nada bersemangat.

Rachel mengangguk, "Ya, aku juga dengar. Tapi aku belum tahu siapa orangnya."

Darren tersenyum tipis mendengar itu, tetapi ia tetap berpura-pura fokus pada pekerjaannya. Di ruangan Elea, wanita itu akhirnya menyeruput kopi yang dibawakan Darren, dan senyum kecil muncul di wajahnya tanpa sadar. Namun, senyumnya memudar ketika ponselnya berbunyi—pesan dari Adrian yang singkat dan dingin.

'Aku lembur lagi malam ini. Jangan tunggu aku.'

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!