"Kondisi Elma memburuk. Kamu harus bergegas ke sini, San. Dia ingin menemui kamu."
Suara wanita itu mengusik gendang telingaku untuk ke sekian kali. Aku berlari di lorong koridor Taman Kanak-kanak. Beruntung sudah sepi, jadi aku bisa mempercepat laju lari.
"Tante, aku tutup dulu, ya. Nanti aku kabari lagi kalau sudah sampai sana," cetusku seraya masuk ke mobil.
Elma ... Elma .... nama itu terus berdengung dalam telingaku. Ya, Tuhan! Aku memang senang akhirnya bisa bebas dari bayang-bayang Elma setelah dia menikah, tetapi aku juga tidak bisa melihatnya kalau sedang dalam keadaan seperti ini. Dia tetap kakakku, meskipun kenyataannya aku selalu mengalah untuk Elma.
Aku menyetir dengan kecepatan lumayan hanya agar bisa sampai di rumah Elma. Barangkali dia tahu waktunya tak akan lama, sehingga menolak untuk melakukan kemoterapi atau pengobatan apa pun itu.
Elma pernah berkata padaku, "Buat apa, San? Itu nggak akan membuatku sembuh, hanya akan menunda kematianku."
Ketika Elma berkata demikian, aku merasa sakit. Sungguh. Kami bersama sejak kecil dan Elma adalah satu-satunya keluargaku selain ayah kami.
Mobil yang aku kendarai akhirnya tiba di halaman rumah Elma. Hanya ada satu kendaraan di halaman dan aku tahu itu mobil mertua Elma sedangan Jeep milik suaminya tak ada di carport. Jam segini dia memang masih bekerja, seingatku.
"Tante," sapaku saat bergegas masuk ke kamar Elma.
Kakakku terbaring lemah di tempat tidur. Dia terlihat bukan seperti Elma yang aku kenal. Elma terlihat rapuh dan hancur. Tulang pipinya mulai menyembul dan setiap kali menatapnya, hatiku terasa hancur.
"Elma," sapaku seraya duduk di sisi kasur dan mencium keningnya. Kedua mataku serasa memanas. Ya, Tuhan! Sesakit ini melihatnya melawan kanker yang sudah menyerang organ lain dalam tubuhnya.
"Aku senang kamu datang, San," katanya lirih.
"El, kamu harus berobat. Lihat, ada aku, Tante Julia, Om Sandy, dan Ayah. Kami semua ingin kamu sembuh. Ada Niklas yang juga ingin kamu ...."
Senyum rikuh Elma memutus ucapanku. "Aku baik-baik saja. Lebih baik begini."
"Tapi, Elma ...."
Ucapanku terpotong lagi oleh sorot matanya yang redup. Air mataku meleleh untuk ke sekian kali. Perasaanku seperti dihantam bebatuan besar tak terlihat.
"Sudahlah, San. Ini sudah menjadi keputusan Elma," kata Tante Julia—ibu mertuanya Elma.
"Elma, aku nggak mau kamu menyerah begini." Aku mengusap lembut pelipis Elma. Air mataku tetap tak bisa berhenti mengalir saat menatapnya.
"San, aku kan sudah bilang, kemo hanya akan menunda kepergianku," ucap Elma dengan pelan.
"Please, jangan bicara seperti ini, Elma. Aku di sini, ada kami. Kamu harus berjuang."
Kepala Elma menggeleng lemah. "Kamu tau, San? Jangankan bertahan selama mungkin, menggeleng sedikit saja rasanya sangat sakit."
Ya, Tuhan! Hatiku menjerit sakit saat mendengar ucapan Elma. Tak kusangka hal seburuk ini menimpa dirinya. Namun, siapa yang tahu jalan dan takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan?
"Tsania, sudahlah." Kini ayahku yang bersuara. Mungkin karena dia juga tidak mau memperpanjang suasana menyedihkan ini.
Aku akhirnya memilih untuk berhenti pengobatan untuk Tsania. Padahal aku sangat berharap semangat Tsania seperti beberapa bulan belakangan—sebelum kankernya ditetapkan mencapai stadium akhir. Hanya saja, penyakit itu melemahkan api semangat Tsania. Di satu sisi, aku tahu Tsania sangat mengharapkan keinginan seorang anak, hanya saja ... Tuhan berkata lain.
Kami semua terdiam dalam ruangan itu. Lebih-lebih aku yang hanya bisa meneteskan air mata. Tangan kurus Elma mengusap pipiku dengan lembut. Tak pernah kubayangkan aku dan Elma akan terjebak dalam situasi ini. Perasaanku benar hancur oleh kenyataan yang menimpa Elma.
Beberapa bulan lalu Elma didiagnosa kanker rahim stadium akhir. Hidupnya tak akan lama lagi karena kanker menyebar ke organ tubuhnya yang lain. Kami tentu saja terpukul dan tidak tahu harus berbuat apa selain mengupayakan pengobatan untuk Elma.
Beberapa kali Elma menjalani kemoterapi. Niklas—suaminya—yang meminta agar Elma berobat. Karena Niklas percaya istrinya akan sembuh. Dia rela merogoh biaya berapa pun asal Elma bisa kembali sehat.
Akan tetapi, suatu hari Elma menyerah akan takdir dan penyakitnya. "Aku tidak mau kemoterapi lagi." Begitu katanya.
Keputusan yang sulit, tetapi Elma bersikeras. Niklas sempat memprotes walau ujung-ujungnya menyerah atas keinginan besar Elma. Aku yang mendengar keputusannya juga ikut merasa hancur. Di saat seperti ini aku tidak bisa membantu Elma. Tak bisa membantu apa pun selain mendukung dan berada di sisinya.
"San, sebenarnya ada yang mau aku bicarakan berdua," kata Elma setengah berbisik. Memecah lamunanku tentang kenyataan pahit yang menimpa Elma.
"Ada apa? Katakan saja," tukasku.
"Aku ingin bicara berdua."
Ucapan Elma membuat mertuanya dan ayahku bergegas keluar. Walaupun sebenarnya aku merasa tak enak hati karena terkesan mengusir mereka.
Selepas mereka keluar, aku menggenggam jari-jari Elma yang rikuh. Genggaman kami menghangat seiring senyum yang terbit di bibirnya. Elma menyentuh wajahku dengan tangannya yang lesu.
"San, kamu tau, aku menyayangimu. Kamu saudaraku satu-satunya yang sangat aku sayang dan berharga. Aku sudah melukaimu, San. Aku sudah merebut banyak hal darimu, maafkan aku," katanya.
Aku tersentak mendengar ucapannya. "El, jangan membahas masa lalu. Akan kulakukan apa pun karena kamu saudaraku. Aku juga juga menyayangi kamu."
"Benarkah? Kamu akan melakukan apa pun?"
Pertanyaan Elma kujawab dengan anggukan. Terlihat Elma menyunggingkan senyum dari bibirnya yang kering dan pucat.
"Kalau begitu, tolong aku, Tsania. Maukah kamu memenuhi permintaan terakhirku?" tanya Elma menambahkan.
"Jangan bicara seolah ini hari terakhirmu, Elma. Aku nggak mau mendengar hal-hal seperti itu. Katakan apa yang kamu inginkan. Akan aku lakukan," ucapku.
"Berikan anak untuk Niklas."
Sepasang mataku melebar kaget mendengar ucapannya. Mataku mengejap sebentar seiring pegangan pada jari-jari Elma yang sedikit melonggar. Namun, dengan sisa tenaganya, Elma meraih tanganku dan menggenggamnya.
"Keluarga Niklas sangat berharap padaku. Mereka membutuhkan seorang penerus, San. Aku tidak bisa memberikan itu pada Niklas dan hanya kamu yang bisa," imbuhnya.
"Bicara apa kamu? Kamu sedang lelah, aku akan keluar dan istirahatlah."
Aku hendak pergi, Elma menahan jari-jariku. "Kumohon, San. Aku tidak mau Niklas bersama wanita lain saat aku tiada. Aku ingin dia bersama adikku."
"Kamu tau itu nggak mungkin terjadi, Elma. Jangan berpikir seperti itu."
Kakakku menggeleng lemah. Sorot matanya terlihat sangat memohon. Genggamannya yang lemah makin terasa sedikit erat. Belum sempat dia menjawab, terdengar suara mesin mobil dari arah halaman rumah.
Seketika detak jantungku bertalu lebih cepat. Sentuhan Elma menarik atensiku.
"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu."
"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami membutuhkan bantuanmu," kata Elma berpesan padaku.
Aku menggeleng seraya melepas jari-jarinya. "Elma, kamu sedang sakit, makanya kamu berpikir macam-macam. Mana bisa aku melakukan itu? Niklas itu suami kamu dan nggak mungkin aku ...."
"Niklas pasti mau melakukannya, Tsania." Elma memotong kalimatku dengan cepat.
Aku nggak yakin dan kalaupun Niklas bersedia, aku yang nggak mau. Aku yang nggak bersedia, batinku.
Senyum tipis Elma terlukis sebelum aku beranjak dari tepi kasur. Tangannya menepuk-nepuk punggung tanganku. Sorot matanya yang redup seakan-akan berkata aku harus mematuhi keinginannya.
"Maaf, San. Bahkan di sisa usiaku, kamu harus mengalah untukku," ujar Elma.
"El, apa yang kamu bicarakan ...."
"Kumohon, San ... ini yang terakhir. Aku janji, aku nggak akan meminta apa pun lagi. Aku juga nggak akan membuatmu mengalah lagi." Sorot mata Elma yang sayu tampak berkaca-kaca saat menatapnya. "Aku minta maaf Tsania karena aku baru bisa mengembalikannya sekarang. Maksudku, hal-hal yang seharusnya jadi milikmu."
Tak sanggup lagi aku mendengar kata-kata Elma. Aku bergegas keluar setelah merapikan selimutnya.
Pintu kamar Elma tertutup pelan sesaat setelah aku keluar dari sana. Tanganku yang memegang kenop pintu terlepas dengan gerakan lesu dari benda itu. Kakiku masih lemas dan sedikit bergetar tatkala mendengar permintaan Elma.
"Ini nggak mungkin. Elma seharusnya nggak memintaku melakukan hal yang seperti itu. Kenapa dia menginginkan itu? Sampai kapan kamu akan menyakiti aku, El?"
Bahkan sampai detik ini aku masih merasa sedih setiap kali mengingat masa lalu. Bibirku mungkin berkata tak perlu mengungkit masa yang telah lewat, tetapi rasanya hal itu bukan sesuatu yang bisa aku abaikan dalam satu dua bulan.
Aku menyeret langkah hendak turun menuju lantai utama, di mana para orang tua mungkin sedang menanti dengan cemas. Mesin mobil Niklas baru saja terdengar dan aku yakin dia sedang menyapa ayahku yang datang hari ini.
"Jangan gila, Ibu!"
Suara keras dari arah lorong ruang laundry membuatku terhenyak di ujung anak tangga. Tak ada ayah di ruang tengah, tetapi beliau juga tidak bergabung di lorong itu. Hanya ada Niklas, Tante Julia, dan Om Sandy. Mereka sepertinya tidak menyadari keberadaanku.
"Bagaimana bisa saya menikah dengan keadaan Elma sekarang? Ibu dan Ayah jangan harap saya akan mengiakan permintaan aneh ini," kata Niklas lagi.
"Nik, istrimu sudah tidak bisa apa-apa lagi. Hanya bisa berbaring melawan kankernya. Dia bahkan nggak mau kemoterapi. Oh, kemoterapi juga sebenarnya nggak akan membantu banyak, Elma menyerah, Elma gagal, Niklas!" Suara Tante Julia terdengar menyusul suara berat Niklas.
Giliran Om Sandy yang ikut bersuara. "Benar kata ibumu, Niklas. Apa lagi yang kamu harapkan dari Elma? Dia sudah tidak bisa memberikan keturunan untuk keluarga kita. Elma sudah berjuang, tapi sampai di sinilah perjuangannya. Terima saja kenyataan yang ada, Niklas dan kamu adalah satu-satunya anak kami, hanya kamulah yang akan memberikan kami cucu untuk melanjutkan keturunan kita."
"Kalian benar-benar nggak punya hati. Lihat Elma sekarang, dia sedang sakit. Lalu, kalian meminta saya untuk menikahi perempuan lain dengan kondisinya yang seperti ini?" Niklas lagi-lagi memprotes.
"Itu dia!" Tante Julia berteriak keras. Aku yakin mungkin Elma mendengar teriakan itu. "Dari awal Ibu nggak pernah suka kamu menikah dengannya. Kamu tahu bagaimana ibunya Elma, Niklas!"
"Lalu apa? Apa bedanya Elma dengan perempuan itu? Apa bedanya Elma dengan Tsania?!"
Saat Niklas membawa-bawa namaku, aku lagi-lagi terhenyak kaget. Rupanya permintaan Elma sudah sampai juga pada keluarga besar Niklas dan aku yakin, ayahku juga pasti sudah tahu akan hal ini. Kakiku lagi-lagi bergetar karena pertengkaran itu. Ternyata hanya aku yang baru mengetahui permintaan terakhir Elma.
"Elma gagal, Niklas. Elma bermasalah, nggak bisa memberimu anak!" Lagi-lagi Tante Julia berteriak.
"Jangan menyebutnya seperti itu. Saya menikahinya bukan semata hanya karena menginginkan keturunan, tapi saya mencintainya."
"Niklas," kata Om Sandy. Suaranya terdengar jauh lebih tenang. "Elma yang meminta hal ini. Apa salahnya menikah dengan Tsania? Elma menyetujui ini dan ...."
"Makanya, saya tanya apa bedanya Tsania dan Elma kalau kalian sangat membenci Elma?" Niklas memotong ucapan ayah dan ibunya.
"TSANIA BUKAN ANAK KANDUNG OM IRFAN! INGAT, ITU!" Teriakan Tante Julia lagi-lagi memicu detak jantungku sehingga berdegup lebih kencang.
Fakta yang terlontar dari bibir Tante Julia membuat hatiku perih seketika. Begitulah kebenarannya. Aku dan Elma bukan saudara kandung. Kata ayah, aku resmi menjadi anak mereka secara hukum saat menemukanku di panti asuhan.
Hanya karena Elma butuh seorang adik karena mendiang ibu kami tidak bisa mengandung lagi, mereka pun mengangkatku sebagai anak. Meski begitu, aku menyayangi Elma selayaknya kakak kandung. Dia mencintai, memperhatikan, dan memperlakukan aku dengan baik.
Saudara tak harus sedarah, 'kan?
"Apa maksud kalian?" tanya Niklas dengan suara yang sedikit rendah dan berat.
"Begitulah kebenarannya. Tsania masih bisa hamil, Niklas, masih ada harapan. Itulah yang diinginkan juga oleh Elma," ucap Tante Julia.
Tak ada jawaban apa pun dari Niklas. Beberapa saat berikutnya, terdengar suara langkah lebar Niklas mendekat. Aku tidak sempat menjauh karena masih terlalu syok oleh pertengkaran itu.
Selama ini ternyata Tante Julia tidak menyukai Elma? Dia tak pernah menyetujui kemauan Niklas untuk menikahi Elma? Begitu, kah?
Niklas berhenti di depan anak tangga saat mata kami bertatapan. Aku terkesiap, lalu menghindar dari tatapannya. Pria itu mendekat, memamerkan tatapan tidak bersahabat terhadapku. Dia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Asing sekali. Rasanya menyakitkan ... sungguh.
"Tsania?" Tante Julia tiba-tiba muncul dari lorong, ditemani oleh Om Sandy. Wanita itu mendekatiku. "Elma pasti sudah membicarakannya dengan kamu, 'kan?"
"Kenapa, Tante?"
"Apa maksudmu? Tentu saja itu keinginan Elma," kata Tante Julia.
"Benarkah? Bukan karena kalian yang memintanya untuk membuat keputusan seperti itu? Niklas benar, mana mungkin dia harus menikah dengan perempuan lain di saat kondisi Elma seperti itu, Om, Tante." Aku melirik Om Sandy yang tampak frustrasi.
Tante Julia mendekat dan memelukku selama sekian detik. "Kamu tau, Tsania. Hanya kamulah yang kami harapkan sejak dulu."
"Tante ...." Aku berusaha memprotes, tetapi kata-kataku tertahan di tenggorokan.
Kini Om Sandy yang mendekat dan menepuk-nepuk pundakku. "Ayahmu juga tidak keberatan. Jadi, untuk apa mengeluh? Elma sudah memberikan kalian izin."
"Ini nggak semudah yang kalian pikirkan," ucapku.
Kata-kataku diabaikan lagi oleh mereka. Tante Julia meraih jari-jariku, lalu menggenggamnya dengan erat. Sepasang mata Tante Julia menatap lekat, sorotnya menyala penuh harapan.
"Jujur saja, Tsania. Kamu juga masih menginginkan Niklas, 'kan?" tanya Tante Julia.
Kejadian kemarin terasa seperti mimpi buruk yang sangat panjang. Setiap detail adegan kemarin masih sangat melekat dalam ingatanku, seperti terjadi beberapa jam lalu. Padahal hari kini telah berganti.
Ucapan dan ekspresi Tante Julia memerangkap aku dalam ketidakpercayaan. Ekspresi Niklas yang tidak bersahabat mengungkit cerita lama yang terkubur jauh.
Pertanyaan yang diluncurkan Tante Julia tidak kujawab sama sekali. Aku memilih pulang untuk berbicara dengan ayah, meminta penjelasannya atau kebenaran tentang alasan di balik keinginan Elma. Aku yakin, Elma pasti mengatakan hal itu karena didorong atau ditekan oleh kedua mertuanya.
Jelas sekali, bukan? Om Sandy dan Tante Julia sangat menginginkan seorang cucu. Mereka butuh keturunan dari Niklas, anak mereka satu-satunya. Kelak jika bukan anak Niklas, lalu siapa yang akan menjadi pewaris dari kekayaan mereka?
Aku tahu ini terlalu dini, tetapi keluarga kaya seperti mereka pasti sudah memperhitungkan rencana masa depan. Kemarin sebelum aku pergi, Om Sandy berkata; Niklas satu-satunya putra kami, San. Tentu saja kami harus punya cucu darinya.
Lalu apa hubungannya denganku? Kenapa aku yang harus memberikan dia seorang anak setelah dinikahi menjadi istri kedua? Mereka benar-benar gila dan egois. Mereka tahu saat ini Elma sedang terbaring lemah melawan penyakitnya, tetapi mereka masih sempat memikirkan tentang seorang cucu.
"Bunda, mau pipis." Suara seorang anak kecil mengganggu lamunanku.
Aku terkesiap kaget. "Maaf, maaf, Bunda nggak dengar. Ayo, Bunda antar ke kamar mandi."
Sementara anak-anak lain sibuk dengan guru lain, aku mengantar anak berambut kepang dua keluar menuju kamar mandi. Masih ada sisa beberapa menit lagi sebelum anak-anak ini pulang dan dijemput oleh orang tua mereka. Dan rasanya aku tak ingin pulang. Sungguh tidak ingin karena malas bertemu ayah.
Padahal kemarin aku sangat ingin membicarakan permintaan Elma dengannya. Namun, ayah seperti sengaja menghindar dan mengurung diri di kamar. Sejak ibu meninggal, ayah menjadi sosok yang tenang dan tidak banyak bicara, serta tidak merespons 'tertarik' pada hal-hal tertentu. Separuh jiwanya telah dibawa pergi oleh mendiang ibu.
"Bunda, lagi sedih, ya?" tanya anak dengan badge name di seragamnya yang bertuliskan Aurora. Sesaat setelah selesai urusan di kamar mandi, aku membantu Aurora memakai kembali rok sekolahnya.
"Kenapa bisa berpikir kalau Bunda lagi sedih?"
"Soalnya muka cantik Bunda kelihatan murung. Nggak bersemangat," katanya.
Aku mencolek gemas ujung hidung Aurora. "Kamu pintar sekali memuji dan terlalu peka akan orang lain, Rora."
"Kata Om Ervin, nggak boleh sedih-sedih, Bunda. Apa karena Om Ervin nggak pernah datang menjemputku? Om Ervin datang kok hari ini. Dia sudah pulang dari Bali," kata anak itu berceloteh lagi.
Aku terkekeh pelan karena masih saja merasa lucu akan keinginan Aurora. Ervin—omnya—masih single dan dialah yang merawat Aurora sejak orang tua anak itu meninggal dalam suatu insiden kecelakaan pesawat. Karena aku dan Ervin sering mengobrol, Aurora berpikir kami saling tertarik dan anehnya dia memintaku untuk menjadi istri omnya.
Anak sekecil Aurora sudah membicarakan hal-hal seperti itu. Hanya aku dan Ervin yang mengingatkan agar Aurora tak membahas hal tersebut karena masih kecil, tidak seharusnya dia membahas hal seperti itu.
"Sudah, yuk! Kita masuk ke kelas," ajakku memutus obrolan kami tentang Ervin.
"Bunda jangan sedih lagi, dong," ucap Aurora.
"Iya, Bunda nggak sedih."
"Janji, ya?" Aurora mendongak seraya mengacungkan jari kelingkingnya yang mungil.
Aku terkekeh sambil mengaitkan jari kelingking kami. Lantas berjalan bersama Aurora menuju ruang kelas. Itulah alasan mengapa aku lebih suka di Taman Kanak-kanak ini daripada di rumah. Di sini ramai oleh riuh tawa anak-anak kecil dan pikiranku tentang Elma, Niklas, serta keluarga kami akan tersingkirkan. Walaupun hanya sejenak.
——oOo——
"Bunda! Itu mobil Om Ervin!" teriak Aurora saat kami mengantar anak-anak ke halaman depan untuk bertemu orang tua atau pengasuh yang menjemput mereka.
Tak terkecuali sosok bernama Ervin yang baru saja keluar dari Audi hitamnya. Hari ini tampak jauh lebih santai dengan kaos hitam yang kebesaran. Ervin seusia denganku dan karena itulah kami sangat nyambung saat mengobrol. Sampai-sampai Aurora kecil menganggap kami ini berpacaran.
"Om Ervin lama sekali," protes Aurora.
"Macet, Rora. Untung Om datang, kalau nggak, kamu mau dititip pulang baik gerobak mang bakso?" Ervin mengacak-acak rambut keponakannya.
Anak itu menekuk pipi. "Dasar Om Ervin! Bukan aku yang kesal, tapi Bunda yang kangen Om Ervin karena nggak pernah kelihatan."
Sepasang mata Ervin beradu denganku. Aku mengernyitkan dahi karena ucapan Aurora. Anak itu memang suka bicara seenaknya. Sedangkan aku dan Ervin sudah biasa dengan tingkah Aurora ini.
"Oh, beneran ya? Aduh, Om jadi senang kalau ada yang kangen," kata Ervin. Pria berkulit sawo matang itu terkekeh sesaat.
"Bunda, Om nggak peka, ya?" Aurora mendongak ke arahku.
"Sudah, Rora. Lebih baik kamu pulang sekarang, Oma Titi pasti menunggu kamu," kataku menyudahi obrolan agar Aurora tak makin menjadi-jadi.
Anak itu untungnya mengangguk patuh dan masuk ke mobil sesaat setelah Ervin membuka pintu untuknya. Sebelum pergi, Ervin menyempatkan diri untuk berbicara denganku. Dia memandangiku selama sekian detik.
"Kenapa?" tanyaku.
"Aku cuma pergi lima hari, tapi aku sudah merindukan calon tantenya Aurora." Seperti biasa Ervin selalu bisa mengeluarkan jurus andalannya; menggoda wanita.
Kata-kata Ervin membuatku tertawa sebentar. "Bagaimana di Bali? Aku yakin kamu nggak akan melewatkan kesempatan berkenalan dengan bule atau gadis lokal," tukas.
"Nggak ada yang menarik karena aku lebih suka gadis yang di sini," katanya lagi sambil tersenyum usil.
"Sudahlah, Ervin. Pulang sana, nanti Aurora marah kalau kamu terlalu lama."
Ervin terkekeh sebentar. "Aku membeli oleh-oleh untukmu, tapi aku lupa bawa. Besok saja aku bawakan atau kalau kamu nggak sibuk, ayo dinner malam ini."
"Bagaimana, ya? Nanti aku kabari kalau ... sebentar."
Kalimatku tertahan karena ponsel di saku celana tiba-tina bergetar. Panggilan dari kontak ayah. Sesaat setelah melirik Ervin, aku menjawab panggilan suara tersebut.
"Kenapa, Ayah? Aku akan pulang sekarang dan baguslah kalau Ayah sudah mau diajak bicara. Karena banyak yang ingin aku katakan pada ...."
"Tsania," panggil ayah dengan suara yang sangat lirih.
"Ada apa, Ayah?" Seketika perasaanku diburu kalut. Aku menjauhkan ponsel dari telinga. "Vin, kamu balik saja ya. Aku juga harus pulang, permisi."
Kutinggalkan Ervin sebelum dia menjawab ucapanku. Aku berlari menuju mobil yang tidak jauh dari tempat Ervin berdiri.
"Halo, Ayah? Ada apa? Ayah masih di situ?" tanyaku seraya memakai sabuk pengaman."
"San, Elma meninggalkan kita."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!